1. Early Life
Kehidupan awal Cetshwayo ditandai oleh kelahiran dalam garis keturunan kerajaan yang terkemuka serta perebutan kekuasaan internal yang intens, yang membentuk jalannya menuju kepemimpinan Kerajaan Zulu.
1.1. Birth and Family Background
Cetshwayo lahir sekitar tahun 1826. Ia adalah putra dari Mpande, raja Kerajaan Zulu, dan Ratu Ngqumbazi. Dari garis keturunannya, Cetshwayo adalah keponakan tiri dari raja Zulu yang legendaris, Shaka, dan cucu dari Senzangakhona. Lingkungan sosial-politik masa mudanya sangat dipengaruhi oleh dinamika internal istana Zulu yang penuh intrik dan perjuangan suksesi. Cetshwayo dikenal memiliki tubuh yang sangat besar, dengan tinggi antara 198 cm dan 203 cm, dan berat hampir 159 kg.
1.2. Succession Struggles and Rise to Power
Jalan Cetshwayo menuju kekuasaan diwarnai oleh konflik berdarah dengan saudara-saudaranya. Pada tahun 1856, ia menghadapi saudara tirinya, Mbuyazi, putra kesayangan Raja Mpande, dalam Pertempuran Ndondakusuka. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan telak bagi Cetshwayo, dan Mbuyazi terbunuh. Setelah pertempuran itu, hampir semua pengikut Mbuyazi dibantai, termasuk lima saudara Cetshwayo sendiri. Peristiwa ini secara efektif menjadikan Cetshwayo penguasa de facto rakyat Zulu, meskipun ia belum secara resmi naik takhta karena ayahnya, Mpande, masih hidup.
Ancaman terhadap posisinya terus muncul. Saudara tirinya yang lain, Umthonga, tetap menjadi saingan potensial. Cetshwayo juga mengawasi istri-istri baru ayahnya dan anak-anak mereka sebagai potensi ancaman. Pada tahun 1861, ia memerintahkan eksekusi istri kesayangan ayahnya, Nomantshali, dan anak-anaknya, meskipun dua putranya berhasil melarikan diri, sementara yang termuda dibunuh di hadapan raja. Setelah peristiwa ini, Umthonga melarikan diri ke wilayah Boer di perbatasan, dan Cetshwayo harus membuat kesepakatan dengan Boer untuk mengembalikannya. Pada tahun 1865, Umthonga kembali melarikan diri melintasi perbatasan, yang membuat Cetshwayo percaya bahwa Umthonga akan mengorganisir bantuan dari Boer melawannya, seperti cara ayahnya menggulingkan pendahulunya, Dingane. Selain itu, ia memiliki saudara tiri saingan bernama uHamu kaNzibe, yang beberapa kali mengkhianati perjuangan Zulu.
2. Reign
Masa pemerintahan Cetshwayo sebagai Raja Kerajaan Zulu ditandai oleh upayanya untuk memperkuat militer dan administrasi negaranya, di tengah ketegangan diplomatik yang terus meningkat dengan otoritas kolonial Inggris.
2.1. Accession and Early Governance
Raja Mpande meninggal pada tahun 1872. Kematiannya awalnya dirahasiakan untuk memastikan transisi kekuasaan yang mulus. Cetshwayo secara resmi dinobatkan sebagai raja pada tanggal 1 September 1873 oleh Sir Theophilus Shepstone, seorang pejabat kolonial Inggris yang kemudian mencaplok Koloni Transvaal ke Koloni Cape.
Setelah penobatannya, sesuai tradisi, Cetshwayo mendirikan ibu kota baru untuk bangsanya dan menamakannya Ulundi, yang berarti "tempat tinggi". Ia dengan cepat berupaya memperkuat militernya dan mengadopsi kembali banyak metode organisasi yang diterapkan oleh Shaka, termasuk memperluas pasukannya. Cetshwayo juga melengkapi pasukan impi-nya dengan musket, meskipun bukti penggunaannya dalam pertempuran masih terbatas. Sebagai bagian dari kebijakannya untuk menegaskan kedaulatan Zulu, ia melarang para misionaris Eropa dari wilayahnya dan dilaporkan mendorong suku-suku Afrika lainnya untuk memberontak melawan Boer di Transvaal. Ia juga sempat menahan seorang juru ukur Inggris di dekat perbatasan pada tahun 1877, yang menambah gesekan dengan pihak Inggris.
2.2. Relations and Conflicts with British Colonialism
Hubungan antara Kerajaan Zulu di bawah Cetshwayo dengan otoritas kolonial Inggris memburuk secara signifikan, terutama setelah penobatan Cetshwayo. Sir Theophilus Shepstone, yang awalnya menobatkan Cetshwayo, kemudian berbalik menentang Zulu. Ia merasa terhambat oleh negosiasi terampil Cetshwayo mengenai wilayah tanah yang disengketakan dan terkompromi oleh semakin banyaknya Boer yang merambah. Selain itu, Komisi Perbatasan yang dibentuk untuk memeriksa kepemilikan tanah yang disengketakan berani memutuskan mendukung Zulu, suatu laporan yang kemudian ditekan dan diabaikan oleh Inggris.
Pada tahun 1878, Sir Henry Bartle Frere, Komisaris Tinggi Inggris untuk Koloni Cape, berupaya mengkonfederasikan koloni-koloni di Afrika Selatan, mirip dengan Konfederasi Kanada. Frere merasa bahwa upaya ini tidak akan berhasil selama Kerajaan Zulu yang kuat masih berbatasan dengannya. Oleh karena itu, Frere mulai menuntut ganti rugi atas pelanggaran perbatasan oleh Zulu dan memerintahkan bawahannya untuk mengirimkan pesan-pesan yang mengeluhkan kebijakan Cetshwayo, dengan tujuan memprovokasi raja Zulu. Meskipun mereka menjalankan perintahnya, Cetshwayo tetap tenang, menganggap Inggris sebagai teman dan menyadari kekuatan Tentara Inggris pada Era Victoria. Namun, ia menegaskan bahwa ia dan Frere setara, dan karena ia tidak mengeluh tentang bagaimana Frere mengatur Koloni Cape, Frere harus menunjukkan sikap yang sama terhadap Zululand.

Pada akhirnya, Frere mengeluarkan sebuah ultimatum yang menuntut agar Cetshwayo secara de facto membubarkan pasukannya. Penolakan Cetshwayo terhadap tuntutan yang sangat merugikan kedaulatan Zulu ini menyebabkan pecahnya perang pada tahun 1879. Meskipun demikian, Cetshwayo terus-menerus berusaha mencapai perdamaian bahkan setelah Pertempuran Isandlwana, pertempuran pertama dalam perang tersebut.
3. Anglo-Zulu War
Perang Inggris-Zulu merupakan konflik krusial yang secara drastis mengubah nasib Kerajaan Zulu, dari bangsa yang berdaulat menjadi wilayah yang didominasi kolonial. Konflik ini ditandai oleh pertempuran sengit dan kerugian besar di kedua belah pihak.
3.1. Background and Causes of the War
Penyebab utama Perang Inggris-Zulu berakar pada ambisi ekspansionisme Inggris di Afrika bagian selatan. Sir Henry Bartle Frere, Komisaris Tinggi Inggris untuk Koloni Cape, sangat berhasrat untuk menciptakan sebuah konfederasi negara-negara di wilayah tersebut, sebuah model yang berhasil diterapkan Inggris di Kanada. Namun, keberadaan Kerajaan Zulu yang kuat dan independen dianggap sebagai penghalang utama bagi tujuan ini.
Frere dengan sengaja memprovokasi konflik dengan Kerajaan Zulu. Ia mulai menuntut ganti rugi atas dugaan pelanggaran perbatasan oleh Zulu, dan secara sistematis memerintahkan para bawahannya untuk mengirimkan pesan-pesan keluhan mengenai kebijakan Raja Cetshwayo. Meskipun Cetshwayo berusaha menjaga ketenangan dan menganggap Inggris sebagai teman, Frere terus meningkatkan tekanan. Puncaknya adalah ketika Frere mengeluarkan ultimatum kepada Cetshwayo pada bulan Desember 1878. Ultimatum ini, antara lain, menuntut agar Cetshwayo secara de facto membubarkan militernya yang kuat dan menerima residen Inggris di wilayahnya, yang secara efektif akan menghilangkan kedaulatan Zulu. Penolakan Cetshwayo terhadap tuntutan yang tidak masuk akal ini menjadi pemicu langsung perang pada awal tahun 1879.
3.2. Major Battles and Zulu Military Strategy
Perang Inggris-Zulu dimulai pada Januari 1879 dengan invasi Inggris ke Zululand. Pertempuran pertama, Pertempuran Isandlwana, adalah kemenangan telak dan paling signifikan bagi Zulu. Pada tanggal 22 Januari 1879, pasukan Zulu, meskipun hanya bersenjatakan tombak dan perisai, berhasil mengepung dan menghancurkan seluruh resimen Inggris yang lebih lengkap dengan senjata api modern. Kemenangan ini merupakan pukulan telak bagi kebanggaan militer Inggris dan menjadi contoh langka di mana pasukan Afrika secara mutlak mengalahkan pasukan imperialis Barat dalam pertempuran terbuka.

Setelah Isandlwana, dua kolom serangan Inggris lainnya gagal membuat kemajuan; salah satunya terperosok dalam Pengepungan Eshowe, dan Inggris mengalami dua kekalahan lagi di medan perang pada Pertempuran Intombe dan Pertempuran Hlobane. Namun, kemenangan Inggris berikutnya di Pertempuran Rorke's Drift dan Pertempuran Kambula mencegah keruntuhan total posisi militer Inggris. Meskipun mundurnya Inggris setelah Isandlwana memberikan kesempatan bagi serangan balik Zulu jauh ke Natal, Cetshwayo menolak untuk melancarkan serangan semacam itu. Ia justru bermaksud untuk memukul mundur serangan Inggris dan mengamankan perjanjian damai. Namun, penerjemah Cetshwayo, seorang pedagang Belanda bernama Cornelius Vijn yang telah ia penjarakan di awal perang, memberikan peringatan kepada Lord Chelmsford tentang berkumpulnya pasukan Zulu selama negosiasi ini.
Inggris kemudian kembali ke Zululand dengan kekuatan yang jauh lebih besar dan bersenjata lebih baik. Pada tanggal 4 Juli 1879, mereka akhirnya merebut ibu kota Zulu dalam Pertempuran Ulundi. Dalam pertempuran ini, Inggris, yang telah belajar dari kekalahan mereka di Isandlwana, membentuk formasi persegi berongga di dataran terbuka, dilengkapi dengan meriam dan Senapan Gatling. Pertempuran berlangsung sekitar 45 menit sebelum Inggris memerintahkan kavaleri mereka untuk menyerbu Zulu, yang mengakibatkan kekalahan dan pelarian pasukan Zulu. Setelah Ulundi direbut dan dibakar, Cetshwayo digulingkan dan diasingkan.
3.3. Outcome and Consequences for the Zulu Kingdom
Kemenangan Inggris di Ulundi menandai akhir dari kemerdekaan Kerajaan Zulu. Pada tanggal 4 Juli 1879, Cetshwayo digulingkan dari takhtanya dan diasingkan. Ia awalnya dibawa ke Cape Town dan kemudian ke London. Kerajaan Zulu tidak hanya kehilangan kemerdekaannya tetapi juga dipecah oleh Inggris menjadi dua belas wilayah otonom yang dikendalikan oleh para kepala suku yang ditunjuk oleh Inggris, yang secara efektif mengakhiri kedaulatan dan kesatuan kerajaan.
Pembubaran status kemerdekaan Kerajaan Zulu memiliki konsekuensi langsung yang menghancurkan bagi Cetshwayo dan rakyatnya. Fragmentasi wilayah ini menyebabkan ketidakstabilan dan konflik internal yang berkepanjangan di Zululand pasca-perang, ketika para kepala suku yang baru diangkat saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan.
4. Exile and Return to Zululand
Setelah kekalahan di Perang Inggris-Zulu, Cetshwayo mengalami periode pengasingan yang panjang, sebelum akhirnya diizinkan kembali ke wilayah Zulu yang sudah terpecah belah dan melemah.
4.1. Exile and Captivity
Setelah Pertempuran Ulundi, Cetshwayo ditangkap pada tanggal 28 Agustus 1879 dan pertama kali diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan. Selama masa penawanannya, ia menjadi simbol perlawanan Afrika terhadap kolonialisme Inggris dan menarik perhatian publik serta dukungan di Inggris.

Pada tahun 1882, ia diizinkan untuk melakukan perjalanan ke London. Di sana, ia bertemu dengan Ratu Victoria dan berbagai pejabat Inggris, memohon untuk dipulihkan ke takhtanya dan mengembalikan kedaulatan Kerajaan Zulu. Selama di Inggris, perjuangannya didukung oleh berbagai pihak, termasuk Lady Florence Dixie, seorang koresponden dari surat kabar The Morning Post, yang menulis artikel dan buku untuk mendukungnya. Sikapnya yang santun dan bermartabat selama di Inggris membangkitkan simpati publik dan sentimen bahwa ia telah diperlakukan tidak adil oleh Bartle Frere dan Lord Chelmsford. Ia bahkan menjadi subjek kartun oleh E. C. Mountfort pada tahun 1882, yang menggambarkannya sedang dinasihati oleh anggota Parlemen anti-imperialis, John Bright.

4.2. Return and Attempts at Restoration
Pada tahun 1883, Pemerintah Inggris akhirnya mencoba memulihkan Cetshwayo untuk memerintah setidaknya sebagian dari wilayah sebelumnya. Ia kembali ke Zululand pada tanggal 10 Januari 1883, dengan otoritas administratif atas wilayah di sekitar Ulundi dikembalikan kepadanya. Namun, upaya restorasi ini sebagian besar gagal.
Kerajaan Zulu yang ia temukan saat kembali sudah terpecah belah dan dilanda konflik internal yang sengit. Perselisihan antara dua faksi Zulu-yaitu uSuthus yang pro-Cetshwayo dan tiga kepala suku saingan yang dipimpin oleh Zibhebhu kaMaphitha-telah meletus menjadi pertikaian berdarah dan perang saudara sejak tahun 1882. Cetshwayo tidak lagi memiliki pengaruh yang sama seperti sebelumnya, dan posisinya sangat genting di tengah perpecahan yang meluas.
5. Later Life and Death
Tahun-tahun terakhir kehidupan Cetshwayo ditandai oleh konflik internal yang parah dan penurunan kesehatannya, yang berujung pada kematiannya di pengasingan yang relatif terisolasi.
5.1. Internal Strife and Final Days
Kembalinya Cetshwayo ke Zululand pada tahun 1883 tidak membawa perdamaian yang diharapkan. Sebaliknya, konflik sipil yang telah berkobar antara faksi pro-Cetshwayo (uSuthus) dan kepala suku saingan yang dipimpin oleh Zibhebhu semakin memburuk. Dengan bantuan tentara bayaran Boer, Kepala Suku Zibhebhu memulai perang untuk memperebutkan suksesi.
Pada tanggal 22 Juli 1883, Zibhebhu menyerang markas baru Cetshwayo di Ulundi. Cetshwayo terluka dalam serangan itu tetapi berhasil melarikan diri ke hutan di Nkandla. Setelah permohonan dari Residen Komisaris, Sir Melmoth Osborne, Cetshwayo pindah ke Eshowe. Ia meninggal di Eshowe beberapa bulan kemudian, pada tanggal 8 Februari 1884, pada usia antara 57-60 tahun.

Penyebab kematiannya diperkirakan adalah serangan jantung, meskipun ada beberapa teori yang menyebutkan bahwa ia mungkin telah diracuni. Teori keracunan ini muncul karena pada periode yang sama, beberapa tokoh Zulu berpengaruh lainnya juga meninggal dengan kondisi serupa, menimbulkan kecurigaan terhadap keterlibatan Inggris atau Boer. Jasadnya dimakamkan di sebuah lapangan yang terlihat dari hutan, di sebelah selatan dekat Sungai Nkunzane. Sisa-sisa gerobak yang membawa jenazahnya ke lokasi pemakaman ditempatkan di atas kuburan dan dapat dilihat di Museum Ondini, dekat Ulundi.
6. Historical Assessment
Cetshwayo adalah tokoh yang signifikan dalam historiografi Afrika Selatan, terutama sebagai raja terakhir Kerajaan Zulu yang merdeka. Evaluasi terhadap kepemimpinan dan tindakannya bervariasi, dari pujian atas perlawanannya hingga kritik terhadap kebijakan internalnya.
6.1. Positive Contributions
Cetshwayo secara luas diakui atas upayanya yang gigih untuk melestarikan kedaulatan Zulu di tengah ancaman imperialisme Inggris yang semakin besar. Sebagai pemimpin tertinggi militer Zulu, ia memimpin pasukannya dalam Perang Inggris-Zulu, terutama meraih kemenangan gemilang di Pertempuran Isandlwana, sebuah momen yang menjadi simbol perlawanan Afrika terhadap kekuatan kolonial. Kemenangan ini menunjukkan kehebatan strategi militer Zulu dan tekad mereka untuk mempertahankan kemerdekaan. Meskipun pada akhirnya ia kalah, perlawanannya yang berani menjadikannya tokoh kunci dalam narasi perlawanan Afrika terhadap kolonialisme. Ia juga berupaya untuk memperkuat Kerajaan Zulu dengan memperbarui sistem militer Shaka dan membangun ibu kota baru di Ulundi.
6.2. Criticisms and Controversies
Terlepas dari perannya sebagai simbol perlawanan, Cetshwayo juga menghadapi kritik. Beberapa kritik mengacu pada kebijakan internalnya, termasuk tindakan kerasnya terhadap saudara-saudara dan para pengikutnya selama perebutan suksesi, seperti pembantaian pengikut Mbuyazi dan pembunuhan keluarga Nomantshali. Keputusan-keputusan strategisnya selama perang juga menjadi perdebatan, terutama penolakannya untuk melancarkan serangan balik besar-besaran ke Natal setelah kemenangan di Isandlwana, yang mungkin telah mengubah jalannya perang.
Selain itu, keadaan seputar kematiannya di Eshowe masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya. Meskipun secara resmi dinyatakan meninggal karena serangan jantung, teori keracunan yang muncul menunjukkan adanya kontroversi dan spekulasi seputar akhir hidupnya, terutama mengingat kondisi politik yang tidak stabil dan kehadiran kolonial Inggris di wilayah tersebut.
7. Impact
Pemerintahan Cetshwayo dan Perang Inggris-Zulu memiliki konsekuensi sosial dan politik yang mendalam dan berkelanjutan bagi rakyat Zulu dan wilayah Afrika Selatan secara keseluruhan.
7.1. Impact on Later Generations
Perang Inggris-Zulu yang dipimpin oleh Cetshwayo secara permanen mengubah lanskap politik di Afrika bagian selatan. Kekalahan dan fragmentasi Kerajaan Zulu menjadi dua belas wilayah otonom pasca-perang menyebabkan ketidakstabilan dan konflik internal yang berkepanjangan di antara faksi-faksi Zulu. Namun, perjuangan Cetshwayo untuk kemerdekaan Zulu tetap menjadi ingatan yang kuat dan sumber inspirasi bagi generasi-generasi selanjutnya yang berjuang melawan apartheid dan untuk penentuan nasib sendiri. Putra Cetshwayo, Dinuzulu, menjadi ahli waris takhta dan dinobatkan sebagai raja pada 20 Mei 1884, dengan dukungan dari tentara bayaran Boer, melanjutkan garis kepemimpinan Zulu meskipun dalam kondisi yang berbeda. Perjuangan Dinuzulu juga menjadi bagian dari perlawanan terhadap dominasi kolonial. Pengorbanan Cetshwayo dan rakyatnya dalam mempertahankan kedaulatan mereka meninggalkan jejak abadi dalam perkembangan politik selanjutnya dan ingatan kolektif masyarakat Zulu.
8. Legacy
Cetshwayo kaMpande dikenang sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sejarah Zulu dan Afrika. Perannya sebagai raja terakhir Kerajaan Zulu yang merdeka telah mengukuhkannya sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme.
Di London, sebuah plakat biru memperingati Cetshwayo di 18 Melbury Road, Kensington, tempat ia pernah tinggal selama pengasingannya di Inggris. Ini menjadi penanda fisik yang mengakui keberadaannya dan perjuangannya di mata dunia. Di Afrika Selatan modern, warisannya juga diabadikan secara resmi; pada tahun 2016, Munisipalitas Distrik Raja Cetshwayo dinamai untuk menghormatinya. Museum Ondini, dekat Ulundi, juga menyimpan sisa-sisa gerobak yang membawa jenazahnya ke tempat pemakaman, menjaga koneksi fisik dengan akhir hidupnya.
9. In Popular Culture
Kehadiran Cetshwayo kaMpande dalam budaya populer mencerminkan tempatnya yang abadi dalam kesadaran publik, terutama dalam konteks kolonialisme dan perlawanan.
Ia muncul dalam tiga novel petualangan karya H. Rider Haggard: The Witch's Head (1885), Black Heart and White Heart (1900), dan Finished (1917). Selain itu, ia juga menjadi subjek dalam buku non-fiksi Haggard, Cetywayo and His White Neighbours (1882). Cetshwayo juga disebutkan dalam novel Prester John karya John Buchan. Dalam cerpen A Municipal Report dalam Strictly Business (1910) karya O. Henry, wajah salah satu karakter kunci dibandingkan dengan wajah "Raja Cettiwayo".
Dalam ranah opera, sebuah karakter dalam opera Leo, the Royal Cadet (1889) karya Oscar Ferdinand Telgmann dan George Frederick Cameron dinamai untuk menghormatinya.
Kehadiran Cetshwayo juga meluas ke film dan televisi. Dalam film Zulu (1964), ia diperankan oleh Mangosuthu Buthelezi, cicit maternalnya dan pemimpin Partai Kebebasan Inkatha di masa depan. Dalam film Zulu Dawn (1979), ia diperankan oleh Simon Sabela. Sementara itu, dalam miniseri Shaka Zulu (1986), peran Cetshwayo dimainkan oleh Sokesimbone Kubheka.
Cetshwayo juga secara singkat diacu dalam novel Age of Iron karya J. M. Coetzee dengan baris "Orang Afrika baru, pria berperut buncit, berahang berat di bangku jabatan mereka: Cetshwayo, Dingane dalam kulit putih." Dalam permainan video, Civilization V: Brave New World menampilkan Cetshwayo sebagai pemimpin Zulu dalam skenario "Scramble for Africa", yang lebih jauh mengabadikan citranya sebagai tokoh sejarah yang signifikan.