1. Kehidupan Awal dan Identifikasi
Panchen Lama ke-10 lahir dengan nama Gonpo Tseten pada 19 Februari 1938 di Bido, yang kini dikenal sebagai County Otonom Salar Xunhua di Qinghai, atau yang secara historis dikenal sebagai Amdo. Ayahnya juga bernama Gonpo Tseten, dan ibunya bernama Sonam Drolma.
Setelah Panchen Lama Kesembilan meninggal pada tahun 1937, dua pencarian simultan untuk reinkarnasi Panchen Lama kesepuluh menghasilkan dua kandidat yang berbeda. Pemerintah di Lhasa mendukung seorang anak laki-laki dari Xikang, sementara para khenpo (guru) dan rekan-rekan Panchen Lama Kesembilan memilih Gonpo Tseten. Pada 3 Juni 1949, pemerintah Republik Tiongkok (ROC), yang saat itu terlibat dalam Perang Saudara Tiongkok, secara resmi menyatakan dukungannya untuk Gonpo Tseten.
2. Penobatan dan Aktivitas Politik Awal
Pada 11 Juni 1949, pada usia dua belas tahun menurut sistem perhitungan Tibet, Gonpo Tseten dinobatkan di biara utama Gelugpa di Amdo, Biara Kumbum Jampa Ling, dan diberi nama Lobsang Trinley Lhündrub Chökyi Gyaltsen. Upacara penobatan ini dihadiri oleh Guan Jiyu, kepala Komisi Urusan Mongolia dan Tibet, dan Gubernur Kuomintang Qinghai, Ma Bufang. Republik Tiongkok berambisi menggunakan Choekyi Gyaltsen untuk membangun basis anti-Komunis yang luas di Tiongkok Barat Daya. Kuomintang bahkan merumuskan rencana di mana tiga divisi Khampa Tibet akan dibantu oleh Panchen Lama untuk menentang Komunis.
Ketika pemerintah di Lhasa menolak memberikan wilayah yang secara tradisional dikuasai oleh Panchen Lama kepada Choekyi Gyaltsen, ia meminta bantuan Ma Bufang untuk memimpin pasukan melawan Tibet pada September 1949. Ma mencoba membujuk Panchen Lama untuk ikut dengan pemerintah Kuomintang ke Taiwan saat kemenangan Komunis semakin dekat, namun Panchen Lama justru menyatakan dukungannya untuk Republik Rakyat Tiongkok Komunis. Pada saat itu, pemerintahan Dalai Lama di Lhasa tidak stabil, setelah mengalami perang saudara pada tahun 1947, dan Kuomintang memanfaatkan situasi ini untuk memperluas pengaruhnya di Lhasa.
Pada tahun 1951, Panchen Lama memberikan inisiasi Kalacakra di Biara Kumbum. Pada tahun yang sama, ia diundang ke Beijing saat delegasi Tibet menandatangani Perjanjian 17 Poin dan mengirim telegram kepada Dalai Lama untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Radio Beijing menyiarkan seruan pemimpin agama itu agar Tibet "dibebaskan" ke Tiongkok, yang menciptakan tekanan pada pemerintah Lhasa untuk bernegosiasi dengan Republik Rakyat Tiongkok. Ia kemudian diakui oleh Dalai Lama ke-14 ketika mereka bertemu pada tahun 1952.

3. Hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok
Panchen Lama dilaporkan mendukung klaim kedaulatan Tiongkok atas Tibet dan mendukung kebijakan reformasi Tiongkok untuk Tibet. Ia mendukung gagasan reformasi sosial dan penguatan stabilitas politik di Tibet melalui integrasi Tibet ke dalam Republik Rakyat Tiongkok.
3.1. Peran dan Jabatan Politik
Pada September 1954, Dalai Lama dan Panchen Lama pergi ke Beijing untuk menghadiri sesi pertama Kongres Rakyat Nasional pertama, bertemu dengan Mao Zedong dan para pemimpin lainnya. Panchen Lama segera terpilih sebagai anggota Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional, dan pada Desember 1954 ia menjadi wakil ketua Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok. Pada tahun 1956, Panchen Lama pergi ke India dalam sebuah ziarah bersama Dalai Lama. Ketika Dalai Lama melarikan diri ke India pada tahun 1959, Panchen Lama secara terbuka mendukung pemerintah Tiongkok, dan Tiongkok membawanya ke Lhasa dan menjadikannya ketua Komite Persiapan Daerah Otonom Tibet.

3.2. Sikap terhadap Kebijakan Tibet
Meskipun awalnya ia menunjukkan dukungan terhadap kebijakan Tiongkok di Tibet dan memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan RRT, posisinya sangat kompleks. Ia sering dianggap oleh sebagian orang sebagai sosok pro-Tiongkok, sementara oleh komunitas Tibet di pengasingan ia kadang dipandang sebagai boneka Tiongkok. Namun, seiring waktu, Panchen Lama mulai menunjukkan otonomi yang lebih besar dan mengkritik kebijakan Tiongkok, yang pada akhirnya membawanya pada penganiayaan.
4. Kritik terhadap Kebijakan Tiongkok dan Persekusi
Panchen Lama ke-10 secara progresif mulai menunjukkan independensi dan mengkritik kebijakan Tiongkok di Tibet, yang pada akhirnya menyebabkan penganiayaan dan pemenjaraan.
4.1. Petisi 70.000 Karakter
Setelah melakukan perjalanan keliling Tibet pada tahun 1962, Panchen Lama menulis sebuah dokumen yang ditujukan kepada Perdana Menteri Zhou Enlai yang mengecam kebijakan dan tindakan represif Republik Rakyat Tiongkok di Tibet. Dokumen ini kemudian dikenal sebagai Petisi 70.000 Karakter. Menurut Isabel Hilton, petisi ini tetap menjadi "serangan paling rinci dan terinformasi terhadap kebijakan Tiongkok di Tibet yang pernah ditulis."
Panchen Lama bertemu dengan Zhou Enlai untuk membahas petisi yang telah ia tulis. Reaksi awal Zhou Enlai cukup positif, namun pada Oktober 1962, otoritas RRT yang berurusan dengan populasi mengkritik petisi tersebut. Mao Zedong menyebut petisi itu "... panah beracun yang ditembakkan ke Partai oleh tuan tanah feodal reaksioner."
Selama beberapa dekade, isi laporan ini tetap tersembunyi dari semua kecuali tingkat tertinggi kepemimpinan Tiongkok, sampai satu salinan muncul pada tahun 1996. Pada Januari 1998, bertepatan dengan ulang tahun ke-60 kelahiran Panchen Lama Kesepuluh, terjemahan bahasa Inggris oleh ahli Tibet Robert Barnett berjudul A Poisoned Arrow: The Secret Report of the 10th Panchen Lama, diterbitkan.
Petisi 70.000 Karakter terdiri dari delapan bagian yang mengkritik berbagai aspek kebijakan Tiongkok di Tibet:
- Penindasan Politik: Petisi ini mengecam hukuman balasan berlebihan yang dilakukan pemerintah Tiongkok setelah Pemberontakan Tibet 1959. Dilaporkan bahwa puluhan ribu orang ditangkap di setiap wilayah, tanpa memandang bersalah atau tidak, dan banyak keluarga yang kerabatnya terlibat dalam pemberontakan dieksekusi. Tahanan politik sengaja ditempatkan dalam kondisi yang sangat keras, menyebabkan tingkat kematian yang sangat tinggi dan tidak wajar. Panchen Lama menulis: "Tidak ada cara untuk mengetahui berapa banyak orang yang ditangkap. Di setiap wilayah, lebih dari 10.000 orang ditangkap. Baik orang baik maupun orang jahat, yang tidak bersalah maupun yang bersalah, semuanya ditangkap. Ini tidak sesuai dengan sistem hukum manapun yang ada di dunia. Di beberapa wilayah, sebagian besar laki-laki ditangkap dan dipenjara, sehingga sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh wanita, orang tua, dan anak-anak."
- Kelaparan: Kebijakan Lompatan Jauh ke Depan yang menyebabkan kelaparan massal di seluruh Tiongkok juga berdampak buruk di Tibet. Panchen Lama melaporkan kelaparan yang meluas di Tibet timur, di mana pertanian kolektif (komune rakyat) didirikan, menyebabkan banyak kematian. Ia menyatakan bahwa Tibet, meskipun dulunya adalah masyarakat feodal yang gelap, tidak pernah mengalami kekurangan makanan seperti itu, terutama setelah Buddhisme menyebar. Masyarakat Tibet hidup dalam kemiskinan ekstrem, dan banyak yang kelaparan atau meninggal karena kelemahan dan penyakit. Jatah makanan harian hanya 180 g gandum yang dicampur rumput, daun, dan kulit pohon. Masyarakat dilarang bepergian, kantong tsampa (tepung jelai panggang) disita, yang memicu konflik. Kelaparan berlanjut di wilayah Kham hingga tahun 1965. Laporan tahun 1989 oleh Akademi Ilmu Sosial Tiongkok memperkirakan 15 juta kematian akibat kelaparan di seluruh Tiongkok, sementara demografer Judith Banister memperkirakan 30 juta. Sebuah laporan tahun 1980-an oleh Institut Sistem Ekonomi Beijing menyebutkan 900.000 kematian (45% dari populasi) di provinsi Qinghai, kampung halaman Panchen Lama, dan 9 juta di Sichuan. Jesper Becker, yang meneliti kelaparan, menyatakan bahwa "tidak ada kelompok etnis di Tiongkok yang menghadapi penderitaan seberat orang Tibet akibat kelaparan ini."
- Pemusnahan Etnis: Panchen Lama mengungkapkan kekhawatiran tentang potensi pemusnahan etnis Tibet jika bahasa, pakaian, dan adat istiadat mereka dihilangkan. Ia bertanya: "Jika bahasa, pakaian, dan kebiasaan suatu bangsa dihilangkan, maka bangsa itu akan lenyap dan berubah menjadi bangsa lain. Bagaimana kita bisa menjamin bahwa orang Tibet tidak akan berubah menjadi bangsa lain?"
- Penindasan Agama: Partai Komunis Tiongkok, berdasarkan materialisme historis, berusaha memberantas agama sebagai "candu rakyat" atau peninggalan masa lalu, menghancurkan banyak biara di seluruh Tiongkok. Di Tibet, Panchen Lama mencatat bahwa berbagai biara telah dihancurkan bahkan sebelum Revolusi Kebudayaan. Dari 2.500 biara yang ada, hanya 70 yang tersisa, dan 93% biarawan/biarawati diusir. Ia mengkritik pejabat Partai Komunis yang menggunakan segelintir orang untuk mencela agama, mengklaim itu adalah pendapat massa Tibet, dan menyimpulkan bahwa waktu untuk memberantas agama telah tiba. Ia menyatakan bahwa ajaran Buddha yang dulunya berkembang di seluruh Tibet kini terancam lenyap di hadapan mereka, dan 90% orang Tibet, termasuk dirinya, tidak dapat menanggungnya.
4.2. Penangkapan, Pemidanaan, dan Sesi Perjuangan
Pada tahun 1964, Panchen Lama secara terbuka dipermalukan dalam pertemuan Politbiro, diberhentikan dari semua jabatan otoritas, dinyatakan sebagai 'musuh rakyat Tibet', dan jurnal mimpinya disita serta digunakan untuk melawannya. Ia kemudian dipenjarakan pada usia 26 tahun. Situasi Panchen Lama memburuk ketika Revolusi Kebudayaan dimulai. Pembangkang Tiongkok dan mantan Pengawal Merah Wei Jingsheng menerbitkan surat pada Maret 1979 yang ditulis oleh penulis anonim, yang mengecam kondisi di Penjara Qincheng, tempat Panchen Lama ke-10 dipenjara.

Pada Festival Doa Agung (Monlam Chempo) yang diadakan di Lhasa pada tahun 1964, Panchen Lama diperintahkan oleh Partai Komunis Tiongkok untuk mengkritik Dalai Lama. Namun, ia justru berdiri di podium dan berpidato di depan umum, menyatakan: "Yang Mulia Dalai Lama adalah pemimpin sejati Tibet, dan Yang Mulia pasti akan kembali ke Tibet. Hidup Yang Mulia Dalai Lama!" Tindakan ini membuat Partai Komunis sangat marah, dan ia dipaksa melakukan kritik diri. Ia dikirim kembali ke Beijing setelah sesi perjuangan selama 50 hari di Lhasa. Ia dibebaskan pada Oktober 1977, tetapi ditahan di bawah tahanan rumah di Beijing hingga tahun 1982.
5. Kehidupan Akhir dan Rehabilitasi
Pada tahun 1978, setelah melepaskan sumpah biksunya, Panchen Lama melakukan perjalanan keliling Tiongkok untuk mencari istri dan memulai sebuah keluarga.
5.1. Pembebasan dan Rehabilitasi Politik
Ia dibebaskan dari tahanan rumah pada tahun 1982. Setahun kemudian, Panchen Lama diberi jabatan Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional dan jabatan politik lainnya, dan ia sepenuhnya direhabilitasi secara politik pada tahun 1982.
5.2. Pernikahan dan Keluarga
Ia mulai menjalin hubungan dengan Li Jie, cucu perempuan dari Dong Qiwu, seorang jenderal Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) yang pernah memimpin pasukan dalam Perang Korea. Li Jie adalah seorang mahasiswi kedokteran di Universitas Kedokteran Militer Keempat di Xi'an. Pada saat itu, Panchen Lama tidak memiliki uang dan masih masuk daftar hitam partai, tetapi istri Deng Xiaoping dan janda Zhou Enlai melihat nilai simbolis dari pernikahan antara seorang Lama Tibet dan seorang wanita Han. Mereka secara pribadi campur tangan untuk menikahkan pasangan itu dalam upacara besar di Aula Besar Rakyat pada tahun 1979.
Li Jie melahirkan seorang putri pada tahun 1983, yang diberi nama Yabshi Pan Rinzinwangmo (ཡབ་གཞིས་པན་རིག་འཛིན་དབང་མོ་yab gzhis pan rig 'dzin dbang moBahasa Tibet). Ia populer dikenal sebagai "Putri Tibet". Ia dianggap penting dalam Buddhisme Tibet dan politik Tibet-Tiongkok, karena ia adalah satu-satunya keturunan yang diketahui dalam sejarah lebih dari 620 tahun garis reinkarnasi Panchen Lama atau Dalai Lama. Pernikahan ini, yang melibatkan seorang biksu Gelugpa yang melanggar sumpahnya, menimbulkan kejutan besar dalam masyarakat Tibet. Beberapa pihak berpendapat bahwa pernikahan ini dipaksakan oleh Partai Komunis Tiongkok untuk merendahkan otoritas Panchen Lama ke-10 yang menolak menjadi boneka, sementara yang lain berpendapat bahwa Panchen Lama sendiri yang menginginkannya karena kesepian selama penahanannya. Deng Yingchao, istri Zhou Enlai, berharap putrinya akan menjadi jembatan antara etnis Tibet dan Han.
Mengenai kematian ayahnya, Rinzinwangmo dilaporkan menolak berkomentar, diduga mengaitkan kematian dini ayahnya dengan kesehatan yang buruk secara umum, obesitas morbid, dan kurang tidur kronis. Kematian Panchen Lama ke-10 memicu perselisihan selama enam tahun mengenai asetnya yang berjumlah sekitar 20.00 M USD antara istri dan putrinya dengan Biara Tashilhunpo.
5.3. Kepulangan ke Tibet dan Aktivitas Publik
Panchen Lama melakukan beberapa perjalanan ke Tibet dari Beijing, selama tahun 1980 dan setelahnya. Saat berkeliling Tibet timur pada tahun 1980, Panchen Lama juga mengunjungi master aliran Nyingma yang terkenal, Khenchen Jigme Phuntsok di Larung Gar. Pada tahun 1987, Panchen Lama bertemu Khenchen Jigme Phuntsok lagi di Beijing, menganugerahkan ajaran Tiga Puluh Tujuh Praktik Bodhisattva, serta memberkati dan mendukung Larung Gar dan memberinya nama Serta Larung Ngarik Nangten Lobling (gser rta bla rung lnga rig nang bstan blob gling), yang umumnya diterjemahkan sebagai Akademi Buddha Lima Ilmu Serta Larung.
Dengan undangan Panchen Lama, Khenchen Jigme Phuntsok bergabung dengannya pada tahun 1988 dalam ritual konsekrasi di Tibet tengah, yang menjadi ziarah monumental ke situs-situs Buddha suci di Tibet, di antaranya Istana Potala, Norbulingka, Biara Nechung, kemudian ke Biara Sakya dan Biara Tashilhunpo, serta ke Biara Samye.
Juga pada tahun 1987, Panchen Lama mendirikan sebuah perusahaan bernama Tibet Gang-gyen Development Corporation, yang dibayangkan untuk masa depan Tibet di mana orang Tibet dapat mengambil inisiatif untuk mengembangkan dan bergabung dalam modernisasi mereka sendiri. Rencana untuk membangun kembali situs-situs Buddha suci yang dihancurkan di Tibet selama tahun 1959 dan setelahnya juga termasuk dalam rencana ini. Gyara Tsering Samdrup bekerja dengan perusahaan ini, tetapi ditangkap pada Mei 1995 setelah Panchen Lama ke-11 diakui.
Pada awal tahun 1989, Panchen Lama ke-10 kembali ke Tibet untuk menguburkan kembali tulang-tulang yang ditemukan dari makam para Panchen Lama sebelumnya, makam-makam yang telah dihancurkan di Biara Tashilhunpo pada tahun 1959 oleh Pengawal Merah, dan dikonsekrasikan dalam sebuah chorten yang dibangun sebagai wadahnya.
Pada 23 Januari 1989, Panchen Lama menyampaikan pidato di Tibet di mana ia mengatakan: "Sejak pembebasan, tentu saja ada pembangunan, tetapi harga yang dibayar untuk pembangunan ini lebih besar daripada keuntungannya." Ia mengkritik ekses-ekses Revolusi Kebudayaan di Tibet dan memuji reformasi dan keterbukaan tahun 1980-an. Pidato ini mengabaikan naskah pidato yang telah disiapkan oleh pemerintah Tiongkok.
6. Kematian
Lima hari kemudian, pada 28 Januari 1989, Panchen Lama meninggal di Shigatse pada usia 50 tahun.
6.1. Keadaan dan Dugaan
Meskipun penyebab resmi kematiannya dikatakan akibat serangan jantung, beberapa orang Tibet mencurigai adanya permainan kotor. Banyak teori menyebar di kalangan orang Tibet tentang kematian Panchen Lama. Menurut satu cerita, ia meramalkan kematiannya sendiri dalam sebuah pesan kepada istrinya pada pertemuan terakhir mereka. Dalam cerita lain, sebuah pelangi muncul di langit sebelum kematiannya. Orang lain, termasuk Dalai Lama, percaya bahwa ia diracuni oleh staf medisnya sendiri. Para pendukung teori ini mengutip pernyataan Panchen Lama yang dibuat pada 23 Januari kepada pejabat tinggi dan yang diterbitkan di People's Daily dan China Daily.
Pada Agustus 1993, jenazahnya dipindahkan ke Biara Tashilhunpo di mana jenazahnya pertama kali ditempatkan di keranda kayu cendana, yang kemudian dimasukkan ke dalam lemari pengaman yang dibuat khusus dan akhirnya dipindahkan ke Botol Berharga di stupa biara di mana ia tetap diawetkan.
Pada tahun 2011, pembangkang Tiongkok Yuan Hongbing menyatakan bahwa Hu Jintao, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Partai Komunis Tibet dan Komisaris Politik unit PLA Tibet, telah merencanakan kematian Panchen Lama ke-10. Menurut People's Daily yang dikelola negara, Dalai Lama diundang oleh Asosiasi Buddha Tiongkok untuk menghadiri pemakaman Panchen Lama dan mengambil kesempatan untuk menghubungi komunitas agama Tibet. Namun, Dalai Lama tidak dapat menghadiri pemakaman tersebut.
7. Warisan dan Evaluasi
Panchen Lama ke-10 meninggalkan warisan yang kompleks dan signifikan bagi Buddhisme Tibet dan masyarakatnya, terutama dalam konteks pemerintahan Tiongkok.
7.1. Penilaian di Tibet
Meskipun awalnya ia dipandang dengan skeptisisme oleh beberapa pihak karena hubungannya dengan pemerintah Tiongkok, tindakan Panchen Lama ke-10 yang berani dalam mengkritik kebijakan Tiongkok dan upayanya untuk melindungi Buddhisme Tibet membuatnya sangat dihargai oleh masyarakat Tibet. Ia secara luas diakui atas integritas dan dedikasinya dalam melestarikan budaya dan agama Tibet. Ia juga berperan penting dalam memulihkan Biara Tashilhunpo yang hancur selama Revolusi Kebudayaan. Kesetiaan dan kepemimpinannya yang tulus ini pada akhirnya menghilangkan pandangan bahwa ia adalah boneka Partai Komunis Tiongkok.
7.2. Perspektif Kritis
Posisi Panchen Lama ke-10 sangat kompleks karena ia harus menyeimbangkan peran spiritualnya sebagai pemimpin agama dengan kenyataan politik hidup di bawah pemerintahan Tiongkok. Meskipun ia melakukan kritik yang signifikan, ia juga menghadapi kritik dari komunitas pengasingan Tibet, terutama terkait pernikahannya yang dianggap melanggar sumpah biksu. Evaluasi historis terhadap perannya menyoroti tantangan besar yang dihadapinya dalam upaya melindungi rakyat dan agama Tibet sambil beroperasi dalam batasan politik yang ketat.