1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Erik dari Pomerania memiliki latar belakang keluarga bangsawan yang kuat, yang menempatkannya dalam posisi strategis untuk menjadi pewaris takhta Uni Kalmar. Masa kecilnya dihabiskan di Pomerania sebelum ia dibawa ke Denmark untuk dibesarkan di bawah pengawasan Ratu Margrethe I.
1.1. Kelahiran dan Masa Kecil
Erik lahir pada tahun 1381 atau 1382 di Darłowo (sebelumnya Rügenwalde), Pomerania, Polandia. Ia diberi nama Bogusław (Bogislaw) saat lahir. Ia adalah putra dari Wartislaw VII, Adipati Pomerania, dan Maria dari Mecklenburg-Schwerin. Ibunya, Maria (1363-1402), adalah putri dari Ingeborg, kakak perempuan Margrethe I, dan Heinrich III, Adipati Mecklenburg-Schwerin, yang merupakan cicit dari Raja Swedia Magnus III dari Swedia.
1.2. Pendidikan dan Penunjukan Pewaris
Bibi buyut Bogislaw, Margrethe I, yang memerintah kerajaan Denmark, Norwegia, dan Swedia, menginginkan kerajaannya bersatu dan damai. Oleh karena itu, ia membuat ketentuan jika terjadi kematiannya. Ia memilih Bogislaw sebagai ahli waris dan penggantinya. Pada tahun 1389, Bogislaw dibawa ke Denmark untuk dibesarkan oleh Ratu Margrethe. Namanya diubah menjadi "Erik" agar terdengar lebih bernuansa Nordik.
2. Uni Kalmar dan Penobatan
Erik dari Pomerania dinobatkan sebagai raja di ketiga kerajaan Nordik, menandai pembentukan resmi Uni Kalmar. Meskipun demikian, Ratu Margrethe I tetap menjadi penguasa de facto hingga kematiannya.
2.1. Penobatan sebagai Raja Norwegia
Pada tanggal 8 September 1389, Erik diangkat sebagai Raja Norwegia di Ting di Trondheim. Ia mungkin telah dinobatkan sebagai Raja Norwegia di Oslo pada tahun 1392, tetapi hal ini masih diperdebatkan. Setelah kematian ayahnya, Wartislaw, antara November 1394 dan 23 Februari 1395, Erik mewarisi semua takhta ayahnya.
2.2. Penobatan sebagai Raja Denmark dan Swedia
Pada tahun 1396, Erik diproklamasikan sebagai raja di Denmark dan kemudian di Swedia. Pada tanggal 17 Juni 1397, ia dinobatkan sebagai raja ketiga negara Nordik di katedral Kalmar. Pada saat yang sama, sebuah perjanjian persatuan disusun, yang menyatakan pembentukan apa yang kemudian dikenal sebagai Uni Kalmar. Namun, Ratu Margrethe tetap menjadi penguasa de facto ketiga kerajaan tersebut hingga kematiannya pada tahun 1412. Upacara penobatan bersama ketiga kerajaan dilaksanakan di katedral Kalmar. Dalam upacara ini, Erik secara resmi mengambil alih gelar raja di ketiga negara. Ini adalah momen penting yang mengukuhkan Uni Kalmar, sebuah persatuan politik yang bertujuan untuk menyatukan Skandinavia di bawah satu mahkota.

3. Masa Pemerintahan
Masa pemerintahan Erik dari Pomerania ditandai dengan upaya penguatan kekuasaan monarki, kebijakan ekonomi yang ambisius, serta konflik berkepanjangan dengan kekuatan regional dan internal. Kebijakannya, meskipun visioner, seringkali menimbulkan ketidakpuasan yang meluas.
3.1. Peran Wali dan Pemerintahan Bersama
Selama periode awal pemerintahannya, Erik adalah rekan penguasa dengan Ratu Margrethe I, yang tetap menjadi penguasa de facto hingga kematiannya pada tahun 1412. Setelah tahun 1412, Erik memerintah sendiri. Dari sumber-sumber kontemporer, Erik digambarkan sebagai pribadi yang cerdas, visioner, energik, dan berkarakter kuat. Ia juga dikenal sebagai pria yang menawan dan pandai berbicara, seperti yang ditunjukkan oleh tur Eropanya yang besar pada tahun 1420-an. Namun, sisi negatifnya, ia tampaknya memiliki temperamen yang panas, kurangnya kepekaan diplomatik, dan sifat keras kepala yang cenderung keras kepala. Paus Pius II di kemudian hari mendeskripsikan Erik memiliki "tubuh yang indah, rambut kuning kemerahan, wajah kemerahan, dan leher yang panjang dan ramping... sendirian, tanpa bantuan, dan tanpa menyentuh sanggurdi, ia melompat ke atas kuda, dan semua wanita tertarik padanya, terutama sang Permaisuri, dengan perasaan rindu akan cinta."
3.2. Kebijakan dan Pencapaian Utama
Pada tahun 1417, Raja Erik menjadikan Kopenhagen sebagai milik kerajaan, sehingga memastikan statusnya sebagai ibu kota Denmark. Ia juga mengambil alih hak Kastil Kopenhagen dari Uskup Roskilde, dan sejak saat itu, kastil tersebut diduduki olehnya.
Mungkin tindakan Erik yang paling berdampak luas adalah pengenalan Cukai Sund (ØresundtoldenBahasa Denmark) pada tahun 1429, yang berlangsung hingga tahun 1857. Cukai ini berupa pembayaran bea oleh semua kapal yang ingin masuk atau keluar dari Laut Baltik melalui Selat Sund. Untuk membantu menegakkan tuntutannya, Erik membangun Krogen, sebuah benteng yang kuat di titik tersempit Selat Sund, pada awal tahun 1400-an. Hal ini menghasilkan kendali atas semua navigasi melalui Selat Sund, dan dengan demikian mengamankan pendapatan stabil yang besar bagi kerajaannya yang membuatnya relatif kaya, serta membuat kota Elsinore berkembang pesat. Ini menunjukkan minatnya pada perdagangan dan kekuatan angkatan laut Denmark, tetapi juga secara permanen menantang kekuatan Baltik lainnya, terutama kota-kota Liga Hanseatic yang juga ia perangi.

3.3. Diplomasi dan Hubungan Luar Negeri
Pada tahun 1402, Ratu Margrethe memulai negosiasi dengan Raja Henry IV dari Inggris tentang kemungkinan aliansi antara Kerajaan Inggris dan Uni Nordik. Proposalnya adalah pernikahan ganda, di mana Raja Erik akan menikahi putri kedua Raja Henry, Philippa dari Inggris, dan ahli waris Henry IV, Henry, Pangeran Wales, akan menikahi saudara perempuan Erik, Catherine dari Pomerania (sekitar 1390-1426). Pernikahan ganda tersebut tidak terlaksana, tetapi pernikahan Erik dengan Philippa dari Inggris berhasil dinegosiasikan.
Hampir seluruh pemerintahan tunggal Erik dipengaruhi oleh konfliknya yang berkepanjangan dengan Count Schauenburg dan Holstein. Ia mencoba merebut kembali Jutland Selatan (Schleswig) yang telah dimenangkan oleh Ratu Margrethe, tetapi ia memilih kebijakan perang daripada negosiasi. Hasilnya adalah perang yang menghancurkan yang tidak hanya berakhir tanpa penaklukan, tetapi juga menyebabkan hilangnya wilayah Jutland Selatan yang telah ia peroleh. Selama perang ini, ia menunjukkan banyak energi dan keteguhan, tetapi juga kekurangan kecerdasan yang mencolok. Pada tahun 1424, putusan Kekaisaran Romawi Suci oleh Sigismund, Raja Jerman, yang mengakui Erik sebagai penguasa sah Jutland Selatan, diabaikan oleh para bangsawan Holstein. Perang yang panjang ini menjadi beban bagi ekonomi Denmark serta bagi persatuan di utara.
Dari tahun 1426 hingga 1435, ia berperang dengan Liga Hanseatic Jerman dan Holstein. Ketika Hanseat dan bangsawan Holstein menyerang Kopenhagen pada tahun 1428, Raja Erik tidak berada di kota, melainkan di Biara Sorø, dan tidak kembali, sehingga Ratu Philippa yang mengelola pertahanan ibu kota.
3.4. Tur Eropa dan Ziarah
Dari tahun 1423 hingga Mei 1425, Erik melakukan ziarah ke Yerusalem. Setelah tiba di sana, ia dianugerahi gelar Ksatria Makam Suci oleh Fransiskan Kustos Tanah Suci, dan kemudian ia sendiri menganugerahkan gelar tersebut kepada rekan-rekan peziarahnya, termasuk Ivan Anz Frankopan. Selama ketidakhadirannya, Ratu Philippa menjabat sebagai wali ketiga kerajaan dari Kopenhagen.

3.5. Pemberontakan Internal dan Dampak Sosial
Selama tahun 1430-an, kebijakan Raja Erik mulai runtuh. Pada tahun 1434, para petani dan pekerja tambang di Swedia memulai pemberontakan nasional dan sosial yang segera dimanfaatkan oleh bangsawan Swedia untuk melemahkan kekuasaan Raja.
Pemberontakan Engelbrekt (1434-1436) dipimpin oleh bangsawan Swedia Engelbrekt Engelbrektsson (sekitar 1390 - 4 Mei 1436). Rakyat Swedia telah terpengaruh oleh perang dengan Liga Hanseatic (1426-35) yang memengaruhi perdagangan dan mengganggu ekspor Swedia dengan Schleswig, Holstein, Mecklenburg, dan Pomerania. Pemberontakan tersebut menyebabkan erosi dalam persatuan Uni Kalmar, yang mengarah pada pengusiran sementara pasukan Denmark dari Swedia.
Di Norwegia, pemberontakan berikutnya pada tahun 1436 dipimpin oleh Amund Sigurdsson Bolt (1400-1465). Pemberontakan ini mengakibatkan pengepungan Oslo dan Kastil Akershus tetapi berakhir dengan gencatan senjata. Pada tahun 1438, pemberontakan baru yang dipimpin oleh Hallvard Graatop meletus di Norwegia Timur, tetapi pemberontakan ini juga berhasil dipadamkan.
Erik harus menyerah pada tuntutan baik dari bangsawan Holstein maupun Liga Hanseatic. Pada April 1435, ia menandatangani perjanjian damai Vordingborg dengan Liga Hanseatic dan Holstein. Berdasarkan ketentuan perjanjian damai tersebut, kota-kota Hanseatic dikecualikan dari Cukai Sund dan Kadipaten Schleswig diserahkan kepada Count Holstein.
4. Kehidupan Pribadi
Erik dari Pomerania memiliki kehidupan pribadi yang menjadi sorotan, terutama pernikahannya dengan Philippa dari Inggris dan hubungannya yang kontroversial dengan kekasih kerajaannya setelah kematian Philippa.
4.1. Pernikahan
Pada tanggal 26 Oktober 1406, Erik menikahi Philippa yang berusia 12 tahun di Lund. Pernikahan tersebut disertai dengan aliansi pertahanan murni dengan Inggris.

4.2. Kekasih Kerajaan
Setelah kematian Philippa pada tahun 1430, Erik menggantikannya dengan mantan dayang Philippa, Cecilia, yang menjadi kekasih kerajaannya dan kemudian menjadi pasangan morganatiknya. Hubungan tersebut merupakan skandal publik dan disebutkan dalam keluhan resmi dewan kerajaan tentang Raja.
5. Pemecatan dan Kehidupan Selanjutnya
Masa pemerintahan Erik berakhir dengan pemecatannya dari takhta ketiga kerajaan Uni Kalmar, yang disebabkan oleh penolakan bangsawan dan ketidakpuasan yang meluas. Setelah pemecatan, ia kembali ke Pomerania dan memerintah sebagai adipati.
5.1. Pemecatan
Ketika bangsawan Denmark kemudian menentang pemerintahannya dan menolak untuk meratifikasi pilihannya, Bogislaw IX, Adipati Pomerania, sebagai raja Denmark berikutnya, Erik meninggalkan Denmark sebagai tanggapan dan menetap secara permanen di Kastil Visborg di Gotland. Hal ini menyebabkan pemecatannya melalui kudeta oleh Dewan Nasional Denmark dan Swedia pada tahun 1439.
Pada tahun 1440, Erik digantikan oleh keponakannya, Christopher dari Bavaria, yang dipilih untuk takhta Denmark dan Swedia. Awalnya, Riksråd Norwegia tetap setia kepada Erik dan ingin ia tetap menjadi raja Norwegia. Pada September 1439, Erik telah memberikan Sigurd Jonsson gelar drottsete, di mana ia akan memerintah Norwegia atas nama Raja. Namun, dengan Raja yang terisolasi di Gotland, bangsawan Norwegia juga merasa terpaksa untuk menggulingkan Erik melalui kudeta pada tahun 1440, dan ia secara resmi digulingkan pada tahun 1442, ketika Sigurd Jonsson mengundurkan diri sebagai drottsete, dan Christopher terpilih sebagai raja.
Setelah kematian Raja Christopher pada tahun 1448, raja berikutnya adalah kerabat Erik, Christian dari Oldenburg (putra dari saingan Erik sebelumnya, Count Theodoric dari Oldenburg), yang naik takhta Denmark, sementara Karl Knutsson Bonde naik takhta Swedia. Persaingan terjadi antara Karl dan Christian untuk takhta Norwegia. Pada tahun 1450, Karl terpaksa melepaskan takhta Norwegia demi Raja Christian.
5.2. Adipati Pomerania
Selama sepuluh tahun, Erik tinggal di Gotland di mana ia melawan perdagangan pedagang di Baltik. Dari tahun 1449 hingga 1459, Erik menggantikan Bogislaw IX sebagai Adipati Pomerania dan memerintah Pomerania-Rügenwalde, sebuah partisi kecil dari Kadipaten Pomerania-Stolp, sebagai "Erik I". Ia meninggal pada tahun 1459 di Kastil Darłowo dan dimakamkan di Gereja Santa Maria di Darłowo, Pomerania.

Wali kota Kiel kepada Raja Christian III dari Denmark menulis bahwa Erik mendorong ekspedisi bersama oleh Didrik Pining dan Hans Pothorst untuk menyelidiki Jalur Barat Laut. Pelayaran mereka setelah kematian Erik diduga telah mencapai Greenland dan terlibat dalam pertempuran dengan Inuit.
6. Gelar dan Gaya
Gelar lengkap Erik adalah: "Raja Denmark, Swedia dan Norwegia, Wend dan Goth, Adipati Pomerania".
7. Pohon Keluarga
Erik dari Pomerania adalah putra dari Wartislaw VII, Adipati Pomerania, dan Maria dari Mecklenburg-Schwerin. Maria adalah putri dari Ingeborg dari Denmark, yang merupakan putri dari Valdemar IV dari Denmark. Ingeborg adalah kakak perempuan dari Margrethe I dari Denmark, yang kemudian mengadopsi Erik. Erik memiliki saudara perempuan bernama Catherine dari Pomerania, yang menikah dengan John, Count Palatine dari Neumarkt. Putra mereka adalah Christopher dari Bavaria, yang kemudian menggantikan Erik sebagai raja Denmark, Norwegia, dan Swedia. Erik juga memiliki paman bernama Bogislaw VIII dari Pomerania.

8. Penilaian dan Dampak
Masa pemerintahan Erik dari Pomerania adalah periode yang kompleks dalam sejarah Skandinavia, ditandai oleh upaya sentralisasi kekuasaan yang ambisius namun juga oleh konflik dan ketidakpuasan yang meluas. Penilaian historis terhadapnya bervariasi, mencerminkan keberhasilan dan kegagalannya.
8.1. Penilaian Positif
Erik dikenal sebagai pemimpin yang visioner dan energik, terutama dalam upayanya untuk memperkuat Uni Kalmar dan meningkatkan pendapatan kerajaan. Pengenalan Cukai Sund pada tahun 1429 adalah langkah signifikan yang berhasil mengamankan sumber pendapatan besar bagi Denmark selama berabad-abad, menunjukkan ketajaman ekonominya. Ia juga berupaya menjadikan Kopenhagen sebagai pusat kekuasaan kerajaan, yang berkontribusi pada statusnya sebagai ibu kota Denmark. Meskipun sifatnya keras kepala, ia menunjukkan keteguhan dalam menghadapi tantangan, seperti dalam konflik dengan Holstein.
8.2. Kritik dan Kontroversi
Meskipun memiliki visi, kebijakan Erik seringkali menimbulkan kritik dan kontroversi. Ia cenderung memilih jalur konfrontasi militer daripada negosiasi, seperti dalam upayanya merebut kembali Jutland Selatan, yang berakhir dengan kerugian besar dan membebani ekonomi Denmark. Konflik berkepanjangan dengan Liga Hanseatic dan bangsawan Jerman juga merusak perdagangan dan stabilitas regional.
Pajak yang berat yang diberlakukan Erik di Norwegia dan Swedia, bersama dengan kebijakan sentralisasinya, memicu ketidakpuasan sosial yang meluas. Ini berpuncak pada pemberontakan-pemberontakan besar seperti Pemberontakan Engelbrekt di Swedia dan pemberontakan di Norwegia, yang secara signifikan melemahkan kekuasaan raja dan persatuan Uni Kalmar. Sifatnya yang keras kepala dan kurangnya kepekaan diplomatik seringkali memperburuk situasi, menyebabkan ia kehilangan dukungan dari bangsawan dan akhirnya digulingkan dari takhta. Hubungannya dengan kekasih kerajaan, Cecilia, setelah kematian istrinya, Philippa, juga menjadi skandal publik yang menambah kritik terhadap pemerintahannya. Secara keseluruhan, pemerintahannya dianggap sebagai periode ketidakstabilan yang berkontribusi pada ketegangan internal dan pelemahan Uni Kalmar.