1. Kehidupan awal dan pendidikan
Frank Hsieh memiliki latar belakang akademis dan karier hukum yang kuat sebelum memasuki dunia politik.
1.1. Masa kecil dan latar belakang akademis
Hsieh Chang-ting dilahirkan di Dadaocheng, Taipei, pada 18 Mei 1946. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara dari seorang ayah yang berprofesi sebagai tabib pengobatan herbal Tiongkok. Semasa SMA, Hsieh aktif sebagai pesenam dan pernah menjadi juara di cabang palang sejajar dalam ajang Taiwan Provincial Games (setara Pekan Olahraga Nasional di Indonesia). Sebelum kuliah, ia sempat bekerja sebagai penjual makanan. Hsieh meraih gelar Sarjana Hukum (LL.B.) dari Universitas Nasional Taiwan. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Kyoto, Jepang, di mana ia memperoleh gelar Magister dan kemudian menyelesaikan program doktoral (hampir menyelesaikan disertasi) di bidang yurisprudensi di Sekolah Pascasarjana Hukum universitas tersebut.
1.2. Karier hukum awal
Hsieh berpraktik sebagai pengacara dari tahun 1969 hingga 1981. Pengalaman penting dalam karier hukumnya adalah perannya sebagai pengacara pembela dalam pengadilan militer menyusul Insiden Kaohsiung pada tahun 1980. Insiden ini, yang merupakan penindasan gerakan pro-demokrasi oleh rezim Kuomintang, menjadi titik balik yang mendorongnya untuk terlibat dalam dunia politik.
2. Karier politik
Frank Hsieh memulai perjalanan politiknya dengan terlibat dalam gerakan pro-demokrasi dan kemudian memegang beberapa jabatan penting di pemerintahan Taiwan.
2.1. Pendirian Partai Progresif Demokrat
Sebelum berdirinya Partai Progresif Demokrat (PPD) pada tahun 1986, Hsieh Chang-ting, Chen Shui-bian, dan Lin Cheng-chieh dikenal sebagai "tiga musketer" dalam gerakan Tangwai (luar partai). Gerakan ini merupakan kelompok-kelompok oposisi non-partisan yang menantang pemerintahan satu partai Kuomintang di bawah darurat militer. Hsieh adalah salah satu pendiri PPD dan juga yang mengusulkan nama partai saat ini. Ia juga pernah menjabat sebagai ketua partai sebanyak dua kali.
2.2. Aktivitas politik awal
Hsieh dua kali menjabat sebagai anggota Dewan Kota Taipei dari tahun 1981 hingga 1988. Setahun kemudian, pada tahun 1989, ia terpilih sebagai anggota Legislatif Yuan dan kembali memenangkan pemilihan pada tahun 1992. Alih-alih mencalonkan diri kembali dalam pemilihan legislatif 1995, Hsieh memilih untuk mencalonkan diri dalam pemilihan Wali Kota Taipei 1994, namun kalah dalam pemilihan pendahuluan dari Chen Shui-bian yang akhirnya menjadi pemenang. Pada September 1995, Peng Ming-min dan Hsieh dipasangkan sebagai calon presiden dan wakil presiden dari PPD dalam Pemilihan umum Presiden Republik Tiongkok 1996. Mereka menempati posisi kedua dengan perolehan 21.1% suara.
2.3. Masa jabatan Wali Kota Kaohsiung
Pada tahun 1997, Hsieh berhasil menegosiasikan penyerahan diri pelaku dalam krisis sandera keluarga Alexander, yang secara signifikan meningkatkan profil nasionalnya. Ia mengejutkan banyak pengamat dengan memenangkan pemilihan Wali Kota Kota Kaohsiung pada tahun 1998, mengalahkan petahana Kuomintang, Wu Den-yih, dengan selisih 4.565 suara.
Selama masa jabatannya, administrasi Hsieh berfokus pada peningkatan kualitas air di sungai-sungai sekitar serta perombakan umum pada Pelabuhan Kaohsiung. Ia mendukung agar pelabuhan, yang saat itu sebagian besar dikelola oleh pemerintah pusat, ditempatkan di bawah yurisdiksi Pemerintah Kota Kaohsiung. Di bawah kepemimpinan Hsieh, upaya pembersihan Sungai Cinta (Love River) yang sangat tercemar dimulai pada tahun 1999 dan berakhir pada tahun 2002. Hsieh juga berperan besar dalam pendirian Kaohsiung Metro. Pencapaian-pencapaian ini membantu Hsieh mendapatkan dukungan kuat di kalangan warga Kaohsiung, dengan tingkat kepuasan publik mencapai 82.6% pada Desember 2004 (survei Pemerintah Kota Kaohsiung) dan 74% (survei United Daily News).
Ia kembali terpilih untuk masa jabatan empat tahun pada tahun 2002. Hsieh diproyeksikan akan menang dengan mudah, namun ketua Partai Pertama Rakyat James Soong secara terbuka mendukung kandidat Kuomintang Huang Jun-ying, yang membantu Huang mendapatkan lebih banyak suara. Hsieh akhirnya mengalahkan Huang dengan selisih 24.838 suara (3.22%).
2.4. Masa jabatan Perdana Menteri
Pada Januari 2005, Hsieh diangkat sebagai Perdana Menteri, sehingga ia harus meninggalkan jabatannya sebagai Wali Kota Kaohsiung. Chen Chi-mai menggantikannya sebagai penjabat wali kota.
Politikus Kuomintang meminta Hsieh untuk mundur dari jabatan Perdana Menteri tak lama setelah skandal pekerja asing MRT Kaohsiung terkuak. Hsieh akhirnya mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri setelah kekalahan telak PPD dalam pemilihan "Tiga-dalam-Satu" 2005.
Sebagai kandidat PPD untuk pemilihan Wali Kota Taipei 2006, Hsieh kalah dari kandidat KMT Hau Lung-pin dengan selisih 166.216 suara (12.92%). Kekalahan ini sebagian besar sudah diperkirakan, karena Taipei dianggap sebagai basis kekuatan Kuomintang.
Pada Februari 2007, ia memimpin delegasi Taiwan ke acara "National Prayer Breakfast" tahunan ke-55 di Washington, D.C., yang diselenggarakan oleh Komite Kongres Amerika Serikat, dengan dihadiri oleh tokoh-tokoh penting termasuk Presiden George W. Bush.
2.5. Kampanye pemilihan presiden 2008
Hsieh sering dianggap sebagai kandidat terkemuka untuk nominasi PPD dalam Pemilihan umum Presiden Republik Tiongkok 2008, dan secara resmi mengumumkan niatnya untuk mencalonkan diri pada 16 Februari 2007. Hsieh adalah orang kedua yang secara resmi mendeklarasikan pencalonannya, setelah Ma Ying-jeou dari Kuomintang melakukannya tiga hari sebelumnya.
Hsieh memenangkan 45% suara dalam pemilihan pendahuluan Partai Progresif Demokrat. Jajak pendapat yang dijadwalkan dibatalkan setelah ketiga lawan utamanya mengakui kekalahan, dan Hsieh dinyatakan sebagai calon PPD. Pada Juli 2007, Hsieh mengunjungi Amerika Serikat, menyebutnya sebagai "perjalanan Cinta dan Kepercayaan" (「愛與信任」之旅Bahasa Tionghoa). Pada September 2007, Hsieh secara terbuka menyatakan bahwa ia mencalonkan diri sebagai presiden "Negara Taiwan" (台灣國Bahasa Tionghoa), mengatakan bahwa "mengakui diri kita (rakyat Taiwan) sebagai sebuah negara terlebih dahulu dan kemudian memperjuangkan apa yang kita inginkan selama negosiasi dengan negara lain" adalah penting.
Akibat tuduhan korupsi oleh Kuomintang terhadap Hsieh, jaksa memulai penyelidikan terhadapnya pada tahun 2007. Penyelidikan tersebut berakhir pada September, ketika diumumkan bahwa Hsieh tidak akan didakwa atas kesalahan apapun.
Mengenai gagasan Ma Ying-jeou tentang "pasar umum lintas-selat", Hsieh menyatakan bahwa jika Taiwan hanya fokus pada ekonomi, ia akan berakhir seperti Hong Kong dan Makau, yang satu-satunya tujuan hidupnya adalah mencari uang. Hsieh percaya bahwa meningkatkan ekonomi sama pentingnya dengan menjaga martabat nasional, dan bahwa tujuan pembangunan ekonomi lebih dari sekadar mencari uang, tetapi juga meningkatkan kebahagiaan rakyat.
Setelah kinerja buruk PPD dalam Pemilihan umum legislatif Republik Tiongkok 2008, Hsieh menggantikan Chen Shui-bian sebagai ketua partai.
Pada Januari 2008, Hsieh menuduh kandidat Ma Ying-jeou memiliki "kartu hijau" (izin tinggal permanen) Amerika Serikat. Penyelidikan selanjutnya mengungkapkan bahwa salah satu saudara perempuan Ma dan salah satu dari dua putrinya adalah warga negara AS. Hsieh menyatakan bahwa jika Ma mempublikasikan bukti terdokumentasi bahwa ia telah melepaskan kartu hijau tersebut, Hsieh akan menarik diri dari pemilihan.
Pemilihan tersebut sangat menghancurkan bagi Hsieh dan PPD karena ia kalah dengan selisih yang lebih lebar dari perkiraan, yaitu 17%. Hsieh sebelumnya menyatakan bahwa jika ia kalah dalam pemilihan ini, ia tidak akan mencalonkan diri lagi. Ia mengundurkan diri dari jabatan ketua PPD untuk bertanggung jawab atas kekalahan tersebut. Tsai Ing-wen kemudian terpilih sebagai ketua baru PPD.
Pada Juli 2010, Hsieh mencalonkan diri dalam pemilihan anggota tetap komite sentral PPD dan berhasil memenangkan posisi tersebut.
2.6. Perwakilan untuk Jepang
Pada Maret 2016, media lokal mulai melaporkan bahwa Hsieh telah menerima posisi sebagai perwakilan Taiwan untuk Jepang dalam administrasi Tsai Ing-wen. Ia mengumumkan penunjukan tersebut pada akhir April, dan melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Jepang pada 9 Juni 2016. Penunjukan Hsieh disambut positif, dengan fokus pada kebijakan "New Southbound Policy" di bawah kepresidenan Tsai, yang bertujuan untuk memperkuat hubungan Taiwan dengan negara-negara di Asia Selatan dan Tenggara.
Hsieh telah membahas kemungkinan pencabutan pembatasan impor makanan dari Prefektur Fukushima, yang telah diberlakukan sebagai akibat dari Gempa bumi dan tsunami Tōhoku 2011, penyebab peleburan di Pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi.
Pada 30 April hingga 1 Mei 2019, Hsieh Chang-ting, sebagai Perwakilan Taiwan untuk Jepang, menghadiri upacara penobatan Kaisar Jepang yang baru, Naruhito, di Istana Kekaisaran Tokyo. Meskipun tidak ada undangan resmi dari pemerintah Jepang, Hsieh diizinkan untuk hadir dan diperlakukan sebagai tamu, yang menunjukkan status istimewa dan kedalaman hubungan antara Taiwan dan Jepang. Ini merupakan peristiwa yang signifikan karena mencerminkan hubungan tidak resmi yang kuat antara kedua pihak.
Hsieh meninggalkan jabatannya pada pertengahan Agustus 2024, dan digantikan oleh Lee I-yang.

3. Filosofi politik dan hubungan lintas-selat
Frank Hsieh memiliki pandangan politik yang khas, yang tercermin dalam ideologinya dan pendekatan terhadap hubungan lintas-selat serta isu-isu sosial.
3.1. Ideologi politik inti
Hsieh dikenal sebagai salah satu tokoh senior di Partai Progresif Demokrat yang moderat dan pragmatis. Salah satu filosofi politik utamanya adalah konsep "Rekonsiliasi dan Koeksistensi" (和解共生Bahasa Tionghoa). Konsep ini menekankan pentingnya membangun jembatan dialog dan pemahaman antara berbagai kelompok politik di Taiwan serta dengan Tiongkok daratan, meskipun terdapat perbedaan ideologis yang mendalam.
3.2. Pandangan tentang hubungan lintas-selat
Pada Oktober 2012, Hsieh mengunjungi Tiongkok daratan selama lima hari sebagai pejabat PPD berpangkat tertinggi yang pernah berkunjung, meskipun perjalanan tersebut dilakukan dalam kapasitas pribadi. Ia mengunjungi Xiamen dan Kepulauan Dongshan di Fujian serta Beijing pada 4-8 Oktober. Ia bertemu dengan Dai Bingguo, anggota Dewan Negara saat itu; Chen Yunlin, Presiden Asosiasi Hubungan Lintas-Selat saat itu; dan Wang Yi, Direktur Kantor Urusan Taiwan saat itu.
Meskipun kedua belah pihak sepakat mengenai Kebijakan Satu Tiongkok, yang mengatur hubungan lintas-selat, Hsieh lebih suka memiliki konsensus baru yang ia sebut "Dua Sisi, Dua Konstitusi" (憲法各表Bahasa Tionghoa) alih-alih Konsensus 1992. Ia menegaskan kembali inisiatif "Dua Sisi, Dua Konstitusi"-nya saat kunjungan ke Amerika Serikat pada April 2013, dan mendesak Beijing untuk menerima perbedaan di Selat Taiwan agar kedua belah pihak dapat memfasilitasi dialog.
Pada akhir Juni 2013, Hsieh menghadiri forum dua hari mengenai hubungan lintas-selat yang berjudul "Pengembangan dan Inovasi Hubungan Lintas-Selat" di Hong Kong. Forum tersebut diselenggarakan bersama oleh Yayasan Reformasi Taiwan yang berbasis di Taiwan dan Institut Riset Taiwan yang berbasis di Beijing. Sebelum forum, Hsieh menghadiri jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Tung Chee Hwa, mantan Kepala Eksekutif Hong Kong, pada Jumat malam. Hsieh mengatakan bahwa saling percaya antara PPD dan Beijing adalah penting, dan bahwa semua pertukaran bilateral antara kedua sisi Selat Taiwan harus menguntungkan publik dan mengatasi kebutuhan mereka. Ia juga menambahkan bahwa menyeimbangkan kembali interaksi lintas-selat juga penting. Ia sekali lagi menegaskan kembali pandangannya tentang "konstitusi dengan interpretasi berbeda" bahwa Taipei dan Beijing dapat hidup berdampingan jika kedua belah pihak saling menghormati legitimasi konstitusional masing-masing.
3.3. Advokasi untuk isu-isu sosial
Frank Hsieh juga dikenal karena advokasinya terhadap isu-isu sosial yang penting. Ia secara terbuka mendukung pernikahan sesama jenis dan hak asasi manusia. Pada 23 April 2023, ia pertama kali berpartisipasi dalam "Tokyo Rainbow Pride" di Jepang, menyatakan bahwa ia ingin "memperkenalkan kepada banyak orang cinta yang pluralistik Taiwan, pernikahan yang pluralistik, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan kemajuan". Pada 21 April 2024, Hsieh kembali berpartisipasi dalam acara "Tokyo Rainbow Pride", menyatakan bahwa setelah pernikahan sesama jenis disahkan di Taiwan, persentase orang yang mendukungnya meningkat. Ia menegaskan bahwa karena Taiwan berhasil, Jepang juga bisa berhasil. Ini menunjukkan komitmennya terhadap kesetaraan gender dan hak-hak LGBT.
Hsieh juga pernah menyatakan bahwa ia adalah seorang "Jepang-ahli" dan menyukai Jepang karena orang tuanya menerima pendidikan Jepang. Ia menyatakan bahwa Taiwan telah berkembang seperti Jepang dan bahwa ia ingin terus mengembangkan hubungan persahabatan antara Taiwan dan Jepang.
4. Kehidupan pribadi
Hsieh Chang-ting menikah dengan Yu Fang-chih (游芳枝Bahasa Tionghoa). Bersama istrinya, mereka memiliki seorang putri dan seorang putra. Putranya, Hsieh Wei-chou, menjabat sebagai anggota Dewan Kota Taipei sejak 2014 dan pernah bertugas di militer di Pulau Dongyin. Ibu Hsieh meninggal dunia pada tahun 2007.
Hsieh juga memiliki ketertarikan pada musik. Pada tahun 2000, ia bersama sembilan politikus PPD lainnya tampil membawakan lagu-lagu tradisional Taiwan dalam perilisan ulang album Oh! Formosa. Ia kemudian belajar memainkan okarina dan merilis albumnya sendiri pada tahun 2005.
Pada tahun 2005, Hsieh pertama kali mengklaim memiliki keturunan sebagian Pribumi Taiwan, dan menyatakan bahwa ia menyukai musik Bunun. Ia juga merupakan keturunan Han generasi ketujuh dari Hoklo asli Taiwan; leluhurnya, Hsieh Kuang-yu (謝光玉Bahasa Tionghoa), bermigrasi dari Tongshan, sebuah desa di Provinsi Fujian, tanah leluhur yang kini menjadi bagian dari Zhao'an County.
5. Warisan dan evaluasi
Karier panjang Frank Hsieh dalam politik Taiwan telah meninggalkan jejak signifikan, baik dalam bentuk pencapaian maupun kontroversi.
5.1. Pencapaian dan evaluasi positif
Frank Hsieh diakui atas kontribusi pentingnya terhadap pembangunan dan demokratisasi Taiwan. Sebagai Wali Kota Kaohsiung, ia berhasil mengatasi krisis sandera, memimpin proyek-proyek vital seperti pembersihan Sungai Cinta dan pembangunan sistem MRT Kaohsiung, yang meningkatkan kualitas hidup warga dan modernisasi kota. Keberhasilannya dalam memimpin kota ini membuatnya mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat.
Sebagai Perdana Menteri, ia berusaha menerapkan filosofi "Rekonsiliasi dan Koeksistensi" yang bertujuan untuk mengurangi polarisasi politik di Taiwan dan membuka dialog dengan Tiongkok daratan. Meskipun masa jabatannya singkat, visinya untuk Taiwan yang lebih harmonis dianggap sebagai langkah positif.
Dalam perannya sebagai Perwakilan Taiwan untuk Jepang, Hsieh aktif mempromosikan hubungan bilateral yang kuat, termasuk mendukung kebijakan "New Southbound Policy" dan berdiskusi mengenai isu-isu penting seperti impor makanan dari Fukushima. Hubungannya yang baik dengan Jepang dan pengetahuannya tentang budaya Jepang membuatnya dikenal sebagai "ahli Jepang" dan diplomat yang efektif. Partisipasinya dalam upacara penobatan Kaisar Jepang, bahkan tanpa undangan resmi, menegaskan pentingnya perannya dalam diplomasi tidak resmi.
Hsieh juga secara konsisten mendukung isu-isu hak asasi manusia dan kesetaraan sosial, khususnya melalui advokasinya terhadap pernikahan sesama jenis, yang menunjukkan komitmennya terhadap nilai-nilai progresif dan hak-hak minoritas di Taiwan.
5.2. Kritik dan kontroversi
Meskipun banyak pencapaiannya, karier politik Frank Hsieh juga tidak luput dari kritik dan kontroversi. Salah satu isu yang paling mencolok adalah dugaan korupsi yang terkait dengan keluarga mantan Presiden Chen Shui-bian. Pada tahun 2008, putri Chen Shui-bian, Chen Hsing-yu, secara terbuka mengklaim bahwa Su Tseng-chang, Hsieh Chang-ting, dan Chen Chu juga menerima uang dari ayahnya. Namun, Hsieh dengan tegas membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa meskipun ia berterima kasih atas bantuan Chen Shui-bian dalam kampanyenya, ia tidak pernah menerima uang darinya. Penyelidikan oleh jaksa pada tahun 2007 terkait tuduhan graft terhadap Hsieh akhirnya membersihkannya dari tuduhan tersebut.
Kontroversi lain muncul selama kampanye pemilihan presiden 2008 ketika ia menuduh lawannya, Ma Ying-jeou, memiliki "kartu hijau" AS, yang menjadi isu sensitif bagi pemilih Taiwan. Meskipun penyelidikan berikutnya mengungkapkan bahwa anggota keluarga Ma memiliki status kewarganegaraan AS, Hsieh sendiri tidak dapat memberikan bukti langsung bahwa Ma memiliki atau belum mencabut kartu hijau tersebut, yang menambah ketegangan politik.
Terlepas dari kontroversi ini, peran dan pengaruh Frank Hsieh dalam sejarah politik Taiwan tetap signifikan, terutama dalam transisi menuju demokrasi dan pembentukan Partai Progresif Demokrat sebagai kekuatan politik utama.