1. Gambaran Umum
Hirotake Yano (矢野 博丈Yano HirotakeBahasa Jepang; lahir Koro Kurihara pada 19 April 1943 - meninggal 12 Februari 2024) adalah seorang pengusaha Jepang yang dikenal sebagai pendiri jaringan toko ritel diskon Daiso. Ia memimpin Daiso dari sebuah bisnis penjualan keliling kecil menjadi salah satu jaringan toko 100 yen terbesar di dunia, merevolusi industri ritel dan budaya konsumen di Jepang serta secara global. Filosofi manajemennya yang unik, yang menekankan kerendahan hati dan pembelajaran dari kegagalan, menjadi ciri khas perjalanannya membangun kerajaan bisnis ini.
2. Kehidupan Awal
Kehidupan awal Hirotake Yano ditandai oleh perjuangan dan berbagai pengalaman yang membentuk karakternya yang ulet dan filosofi bisnisnya yang tidak konvensional.
2.1. Kelahiran dan Masa Kecil
Hirotake Yano, yang lahir dengan nama Koro Kurihara, dilahirkan pada 19 April 1943 di Beijing, Tiongkok. Ia berasal dari keluarga besar dengan delapan bersaudara, termasuk lima laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya dan dua saudara laki-lakinya berprofesi sebagai dokter, sementara ibunya adalah putri dari "Bank Yamaoka", salah satu cikal bakal Hiroshima Bank.
Setelah Perang Dunia II berakhir, sekitar enam bulan kemudian, keluarga Yano kembali ke kampung halaman ayahnya di Higashihiroshima, Prefektur Hiroshima. Meskipun ayahnya membuka praktik klinik di pusat kota Hiroshima, keluarga mereka hidup dalam kemiskinan. Yano sendiri mengalami kesulitan finansial yang signifikan saat kuliah di Universitas Chuo.
2.2. Pendidikan dan Aktivitas Awal
Saat bersekolah di Sekolah Menengah Atas Hiroshima Kokutaiji di Hiroshima, Yano sangat aktif dalam tinju. Ia bahkan menjadi perwakilan Prefektur Hiroshima dan terpilih untuk kamp persiapan atlet Olimpiade. Salah satu lawannya di kamp tersebut adalah Tetsuro Kawai, seorang juara bulu tangkis amatir dan kandidat untuk Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo.
Ayah Yano tidak mengizinkannya kuliah dengan beasiswa olahraga, kecuali jika ia mempelajari mata pelajaran sains atau teknik yang dapat menjamin pekerjaan yang baik. Akibatnya, Yano gagal dalam ujian masuk di 16 universitas berbeda sebelum akhirnya diterima di departemen teknik sipil sekolah malam Universitas Chuo. Ia lulus dari Fakultas Sains dan Teknik Universitas Chuo pada Maret 1967 dengan gelar sarjana di bidang teknik sipil. Setelah lulus, ia mendirikan klub "Wander Vogel" di universitasnya. Pengalaman bisnis pertamanya adalah pekerjaan paruh waktu di pasar Yodobashi, Shinjuku, mengangkut pisang.
Yano menikah dengan Katsuyo Yano saat masih menjadi mahasiswa. Ia mengadopsi nama belakang istrinya, Yano, karena ia merasa nama tersebut lebih mudah diingat dan lebih akrab untuk transaksi bisnis dibandingkan Kurihara. Nama "Hirotake" sendiri diubah berdasarkan namae-shindan, praktik Jepang yang menilai keberuntungan nama.
2.3. Kegagalan Bisnis dan Kebangkitan
Setelah lulus kuliah, Yano kesulitan mencari pekerjaan. Ia dan istrinya mengambil alih bisnis akuakultur ayahnya, yang membudidayakan ikan yellowtail amberjack. Namun, bisnis ini tidak berhasil, dan Yano bangkrut dalam waktu tiga tahun. Ia berutang sekitar 7.00 M JPY kepada saudaranya, yang setara dengan sekitar 100.00 M JPY dalam nilai mata uang tahun 2024. Pada akhir tahun 1970, Yano, istri, dan putra kecilnya terpaksa melarikan diri ke Tokyo untuk menghindari utang. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan para pelari Ekiden Hakone di Chigasaki.
Di Tokyo, Yano mencoba berbagai pekerjaan kasar. Ia bekerja sebagai penjual ensiklopedia selama tiga bulan, tetapi menyadari bahwa ia tidak pandai dalam hal itu karena sifatnya yang pendiam. Ia kemudian bekerja di arena bowling dan di perusahaan daur ulang kardus dan kertas, yang membantunya melunasi sebagian utangnya.
Setelah itu, keluarga Yano kembali ke Hiroshima, dan Yano mulai bekerja untuk seorang pedagang keliling. Pengalaman inilah yang akhirnya mengarah pada pembentukan perusahaan Daiso. Yano sering menggambarkan hidupnya sebagai serangkaian peristiwa sulit, termasuk "sembilan kali ganti pekerjaan, satu kali nyaris melarikan diri (kabur di malam hari), dan satu kali kebakaran".
3. Pendirian dan Pertumbuhan Daiso
Perjalanan Hirotake Yano dalam membangun Daiso adalah kisah tentang inovasi, ketahanan, dan adaptasi yang mengubahnya dari pedagang keliling menjadi pemimpin industri ritel global.
3.1. Bisnis Penjualan Keliling
Pada awal 1970-an, Yano tertarik pada bisnis penjualan keliling setelah menyaksikan seorang pedagang dari Osaka di Kawajiri, Prefektur Hiroshima. Model bisnis ini, yang dikenal sebagai "bisnis sirkuit", sangat diminati pada masa itu karena fungsi logistik yang belum terorganisir dengan baik. Pedagang keliling memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.
Pada Maret 1972, di usia 28 tahun, Yano dan istrinya mendirikan "Yano Shoten" di Hiroshima. Mereka memulai bisnis ini dari rumah mereka yang berfungsi ganda sebagai gudang, dengan hanya satu truk. Yano menjual barang-barang dari belakang truknya, memajang dagangannya di atas dudukan kayu portabel. Istrinya kemudian menjadi kepala pengadaan Daiso dan dikenal sebagai sosok yang lebih cakap daripada Yano sendiri.
Model penjualan keliling ini, yang juga dikenal sebagai "battaya" atau pedagang diskon, melibatkan pembelian stok barang murah dari perusahaan yang bangkrut atau mengalami kesulitan keuangan. Yano akan membeli barang-barang B-grade dari grosir khusus pedagang kaki lima di tempat-tempat seperti Tsuruhashi, Osaka, mengisi penuh truknya, dan menjualnya di Hiroshima. Meskipun barang-barang tersebut memiliki sedikit cacat, secara sekilas tidak terlihat. Ia membeli barang seharga beberapa ratus yen dan menjualnya seharga 1-2.000 yen.
Yano menjual dagangannya di depan kuil Shinto, koperasi pertanian, toko pribadi, atau di lahan kosong di depan pusat komunitas. Ia menggunakan kotak bir dengan papan triplek atau terpal biru sebagai meja pajangan, dan ember atau kotak perkakas sebagai kasir. Ini adalah bisnis seperti pedagang kaki lima, di mana pada malam hari, barang-barang ditutupi terpal sebelum pulang. Sehari sebelumnya, Yano akan menyebarkan selebaran ke setiap rumah di area yang akan dikunjungi. Keesokan harinya, ia akan membuka toko dan menjual kebutuhan sehari-hari seperti sikat, sapu, saringan, panci, dan peralatan rumah tangga lainnya. Periode penjualan bisa berlangsung dari satu hingga dua hari hingga seminggu. Yano terus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Meskipun pedagang lain sering berkeliling Jepang Barat dalam siklus dua tahunan, Yano, karena memiliki istri dan anak, sebagian besar beroperasi di dalam Prefektur Hiroshima yang dapat dijangkau dalam perjalanan sehari, sehingga ia mengunjungi lokasi yang sama empat kali setahun.
3.2. Kebijakan Harga 100 Yen
Konsep toko 100 yen yang kini menjadi pemandangan umum di Jepang, ternyata tidak lahir dari perhitungan cermat, melainkan dari sebuah kebetulan murni. Pada tahun 1972, tak lama setelah mendirikan Yano Shoten, Yano bersiap untuk berjualan keliling. Cuaca tampak mendung, dan ia berpikir untuk membatalkan rencananya. Namun, cuaca tiba-tiba cerah, dan ketika ia tiba di lokasi, beberapa pelanggan sudah menunggu. Karena ia telah menyebarkan selebaran, pelanggan mendesaknya untuk segera membuka toko. Dalam ketergesa-gesaan menurunkan barang dan bersiap, pelanggan yang tidak sabar mulai membuka kotak kardus sendiri dan bertanya, "Berapa harganya ini?" Yano kesulitan menemukan faktur karena banyaknya barang. Pada saat itu, ia tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang akan menentukan nasibnya: "100 JPY saja!"
Mendengar itu, pelanggan lain juga mulai bertanya, "Berapa ini?", "Berapa ini?". Karena tidak bisa mengecek harga dengan cepat, Yano yang terdesak akhirnya berkata, "Semuanya 100 JPY saja!" Sejak saat itu, mata pelanggan berbinar, dan barang-barang terjual dengan sangat cepat. Penemuan daya tarik harga tunggal 100 JPY ini merupakan hal besar bagi Yano. Sejak saat itu, semua barang dijual seharga 100 JPY, dan dari situlah sejarah harga seragam 100 yen Daiso dimulai.
Bank dan konsultan manajemen memperingatkan Yano bahwa bisnis semacam itu tidak akan bertahan lama, dan Yano sendiri awalnya berpikir demikian. Namun, ia terus bertahan karena merasa bersyukur bisa mencari nafkah. Ia sengaja mengabaikan praktik umum industri ritel untuk fokus pada barang laris dan mengurangi jumlah varietas produk serta stok gudang demi efisiensi. Sejak awal, ia berjuang dengan masalah keuangan dan pernah hampir bangkrut. Pada tahun 1999, bahkan ada rumor bahwa Daiso akan bangkrut karena "tidak masuk akal membuka banyak toko jika barang murah tidak menghasilkan keuntungan."
Pada tahun 1970-an, krisis minyak 1973 dan kebijakan Teori Rekonstruksi Kepulauan Jepang oleh Kabinet Tanaka I menyebabkan inflasi dan kenaikan harga yang signifikan. Biaya bahan baku terus meningkat; harga plastik dan produk baja nirkarat yang terbuat dari minyak bumi naik 10%. Karena ia telah memutuskan semua barang seharga 100 JPY, ia tidak bisa menaikkan harga. Banyak pesaingnya berhenti, tetapi Yano bertahan dengan keyakinan bahwa "saya tidak punya keberuntungan atau kemampuan, jadi tidak ada jalan lain selain terus maju," dan "cukup makan hari itu," atau "jika untung 1 JPY saja itu cukup. Jika menjual 100 buah, itu akan jadi 100 JPY."
Miki Watanabe, pendiri Watami yang dekat dengan Yano, menyatakan bahwa pemikiran ini hanya bisa dicapai oleh orang yang telah mengalami "titik terendah", dan itu adalah konsep yang tidak dimiliki oleh konsultan manajemen. Yano paling terpukul ketika pelanggan mengatakan, "beli murah, buang uang." Ia pernah mendengar kalimat itu tiga kali dalam sehari. Ia berpikir, "Sialan! Kalau tidak bisa untung, saya akan jual barang bagus!" Ia mengabaikan keuntungan, menaikkan harga pokok, bahkan terkadang membeli barang seharga 98 JPY dan menjualnya seharga 100 JPY. Seketika, mata pelanggan berubah, mereka berkata, "Wah, ini juga 100 JPY! Ini juga 100 JPY!" Melihat ekspresi terkejut pelanggan menjadi dorongan baginya untuk terus berbisnis.
3.3. Ekspansi Industri Daiso
Pada Desember 1977, dengan keinginan untuk "menciptakan perusahaan besar, setidaknya dengan nama yang megah," Yano mendirikan "Daiso Industries" sebagai badan hukum. Ia mulai mempekerjakan karyawan dan menambah jumlah truk, tetapi pada masa itu, pekerjaan tersebut dianggap sebagai "3K" (kotor, berbahaya, sulit). Pada awal berdirinya, toko 100 yen dipandang rendah sebagai "penjual barang murah," sehingga lulusan universitas tidak mau bergabung dengan Daiso. Persaingan untuk mendapatkan lokasi penjualan semakin sengit di antara para pedagang, dan Yano bahkan kesulitan mendapatkan tempat parkir untuk truknya.
Penjualan di depan supermarket terbukti paling menguntungkan. Yano dengan tekad bulat mengunjungi kantor pusat supermarket "Izumi" di Hiroshima dan meminta izin untuk berjualan di depan toko mereka. Permintaannya dikabulkan, dan ia berhasil menjual 1.00 M JPY dalam satu hari. Penjualan yang luar biasa ini mengejutkan Izumi, yang kemudian menawarkan Yano untuk menjadi pemasok eksklusif mereka.
Ketika bisnisnya mulai stabil, rumah sekaligus gudang barang Yano di Hiroshima terbakar habis akibat pembakaran. Ia sempat berpikir untuk berhenti, tetapi saudara-saudaranya memberikan dukungan, dan ia melanjutkan bisnisnya. Pada tahun 1980, Daiso mulai mendirikan kantor cabang di berbagai wilayah, dimulai dari Tokyo, sebagai persiapan untuk ekspansi nasional.
Ekspansi pertama Daiso di Tokyo adalah di toko Ito-Yokado Kitansenju. Ketika Yano menyapa manajer toko, ia dimarahi dan disuruh membawa pulang barang-barangnya, karena pada saat itu, tidak ada pedagang yang percaya bahwa barang seharga 100 JPY dapat menghasilkan ratusan ribu atau bahkan jutaan yen per hari di toko seluas 10-30 tsubo (sekitar 33 m2 hingga 99 m2). Namun, toko Kitansenju ini berhasil menjual 1.30 M JPY dalam sehari, dan kabar ini sampai ke kantor pusat Ito-Yokado. Yano menjelaskan kesuksesannya dengan mengatakan, "Karena saya tidak bisa berbicara, saya memutuskan untuk menaruh banyak barang agar barang-barang itu bisa berbicara sendiri. Jika toko dipenuhi barang, pelanggan akan mencari sendiri tanpa perlu saya ajak bicara. Ini nyaman bagi saya yang tidak bisa bicara, dan pelanggan juga senang." Sejak era penjualan keliling, Yano selalu memuat dua hingga tiga kali lebih banyak barang di truknya dibandingkan pedagang lain.
Setelah itu, Daiso terus mencatat keberhasilan di toko-toko rantai nasional besar lainnya seperti Mycal (sekarang Aeon), Daiei, dan Uny. Nama Daiso dan Hirotake Yano mulai dikenal di kalangan para eksekutif rantai ritel besar. Ada sebuah anekdot dari masa itu: ketika menata barang di area penjualan supermarket, karyawan supermarket yang membantu Yano berulang kali bertanya, "Ini bukan 100 JPY, kan?" Karena di Tokyo dan Osaka, pedagang keliling sering mencampur barang seharga 20 JPY-30 JPY ke dalam toko 100 yen, sehingga karyawan dan pelanggan tetap dapat membedakannya. Di toko Uny di Kōnan, Aichi, Yano diminta untuk meninggalkan barang-barangnya di area acara di lantai empat dan kasir akan diurus oleh toko. Yano menolak karena tidak mungkin pelanggan akan naik ke lantai empat, tetapi diancam akan dihentikan semua kerja sama jika menolak. Tiga bulan kemudian, manajer toko Uny berterima kasih kepadanya, mengatakan bahwa pelanggan naik ke lantai empat hanya untuk mencari barang 100 yen Daiso. Dengan demikian, Daiso dapat berbisnis di area penjualan dan area acara di berbagai supermarket.
Titik balik besar terjadi ketika Isao Nakauchi, pemilik Daiei, memanggil Yano dan mengatakan bahwa acara 100 yen tidak sesuai dengan era baru dan membuat area acara kotor, sehingga Daiei akan menghentikannya. Yano kemudian memutuskan untuk membuka toko 100 yen permanen di tempat-tempat yang sering dikunjungi pelanggan Daiei. Inilah awal mula toko 100 yen modern dengan format toko permanen. Meskipun bisnis baru yang menguntungkan sering kali menarik masuknya modal besar dan akhirnya diakuisisi atau bangkrut, toko 100 yen tidak menarik minat perusahaan besar karena margin keuntungannya yang rendah. Daiei kemudian mencoba toko 88 yen tetapi gagal.
Pada Juli 1987, Daiso memindahkan kantor pusatnya dari rumah Yano di Hiroshima ke lokasi saat ini di Higashihiroshima. Pada April 1991, Daiso membuka toko yang dikelola langsung pertamanya di Takamatsu, Prefektur Kagawa, dan mulai memperluas jaringan tokonya secara serius. Daiso memperluas tokonya dengan menyewa properti kosong yang murah. Karena Daiso memiliki banyak jenis produk, mereka dapat beradaptasi secara fleksibel dengan toko yang kecil maupun besar. Yano selalu berpegang pada pemikiran bahwa "perusahaan akan bangkrut" karena ia telah melihat banyak perusahaan dan pemimpin industri jatuh. Ia membenci kesombongan dan selalu mengingatkan untuk tidak berpuas diri.
Toko 100 yen mengalami pertumbuhan pesat sejak akhir 1990-an, setelah gelembung harga aset Jepang pecah dan Jepang memasuki periode stagnasi ekonomi yang panjang. Toko 100 yen menjadi semacam tren, dan meskipun banyak pesaing baru bermunculan, Daiso membedakan dirinya dengan menawarkan "barang mewah seharga 100 JPY" dibandingkan "barang murahan seharga 100 JPY" dari pesaing. Perbedaan ini menarik hati konsumen. Ketika ada area penjualan yang lesu di toko-toko massal, toko 100 yen menjadi pilihan pertama sebagai pengganti, dan banyak toko massal meminta Daiso untuk membuka cabang.
Pada tahun 1995, Daiso mencatat penjualan sebesar 23.30 B JPY, dan pada tahun 1998, meningkat menjadi 81.80 B JPY. Dari 300 toko pada tahun 1994, jumlah toko Daiso melampaui 1.000 pada tahun 1998, dengan periode di mana mereka membuka 68 toko per bulan. Pada tahun 1999, penjualan tahunan melampaui 100.00 B JPY, dan tahun berikutnya, pada tahun 2000, mencapai lebih dari 200.00 B JPY. Pada tahun yang sama, Daiso menerima "Penghargaan Pengusaha Terbaik Tahunan" (Kategori Perusahaan Swasta). Masuknya perusahaan lain di industri ini juga menghidupkan sektor tersebut, dan jaringan toko meluas ke seluruh negeri, menjadikan toko 100 yen dikenal sebagai bentuk ritel baru.
Dengan kejelasan harga yang seragam dan beragamnya produk kebutuhan sehari-hari, Daiso mendapatkan dukungan luas dan menciptakan jenis bisnis ritel baru yang melambangkan ekonomi deflasi Jepang, yang dikenal sebagai "Hyakkin" (toko 100 yen). Daiso berhasil mempopulerkan toko 100 yen di Jepang. Miki Watanabe, pendiri Watami, memuji Yano karena menciptakan budaya di mana orang dapat berbelanja tanpa khawatir tentang harga. Ia mengatakan bahwa Yano adalah "manajer hebat yang mengukir hal terpenting sebagai seorang pengusaha dalam nama perusahaannya, 'Daiso' (penciptaan besar)."
Pada 30 Maret 2001, NHK-BS1 menayangkan fitur khusus berjudul "Pria 100 Yen - Hirotake Yano, Revolusioner Distribusi," dan Daiso mengalami pertumbuhan pesat karena sering diliput oleh media massa. Nikkei Business memuji Yano sebagai "inovator toko 100 yen." Pada tahun 2001, setelah Qiu Yonghan, seorang penulis dan kritikus ekonomi, sering datang ke kantor pusat Daiso di Hiroshima dan meyakinkan bahwa toko 100 yen akan populer di kampung halamannya, Taiwan, Daiso membuka toko pertamanya di luar negeri di Taoyuan, Taiwan.
Pada tahun 2017, Daiso memiliki 3.150 toko domestik dan 1.800 toko di luar negeri. Pada tahun 2023, jumlah toko domestik mencapai 4.360 dan 990 toko di 25 negara dan wilayah di luar negeri, menjadikannya pemimpin industri. Pendapatan penjualan pada Februari 2023 adalah 589.10 B JPY. Daiso menangani sekitar 76.000 item produk. Impian awal Yano untuk mencapai penjualan tahunan 100.00 M JPY kini tercapai dalam satu jam di seluruh toko Daiso.
4. Filosofi Manajemen dan Kutipan
Hirotake Yano dikenal dengan filosofi manajemennya yang unik dan sering kali tampak negatif, yang menjadi topik pembicaraan di internet. Ia dikenal dengan sikap "hidup untuk saat ini" yang berasal dari berbagai pengalaman dan kegagalannya, terutama kebangkrutan bisnis perikanan ayah mertuanya yang ia ambil alih di usia 20-an.
4.1. Gaya Manajemen
Yano memiliki pandangan yang tidak konvensional tentang bisnis dan dirinya sendiri. Ia sering mengatakan, "Saya telah gagal berkali-kali, dan saya pikir apa pun yang saya coba, tidak ada yang akan berhasil. [...] Tapi saya terus maju karena saya pikir tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan." Pada tahun 2001, ia juga menyatakan, "Saya bukan orang pintar. Saya tidak punya bakat. Saya hanya berusaha sebaik mungkin dan bekerja keras untuk menjual produk saya."
Pada tahun 2016, Yano mengatakan bahwa ia tidak melihat dirinya sebagai manajer yang "keren" atau "modern". Ia mengaku tidak memiliki visi atau strategi yang jelas, dan hanya suka mencoba berbagai hal serta membuat keputusan berdasarkan naluri. Kata-kata favoritnya adalah "kebahagiaan yang tidak beruntung," "tidak bisa dihindari," "sesuai dengan kedudukan," dan "penolakan diri." Ia sangat menyukai kata "penolakan diri" dan sering mengucapkannya, bahkan pernah menulis "Saya tidak berguna" di telapak tangannya. Para jurnalis memberinya julukan "miliarder dengan pakaian kemalangan."
Beberapa kutipan lain yang mencerminkan gaya manajemen dan pandangannya meliputi:
- "Saya adalah orang yang tidak punya bakat dan keberuntungan, jadi Tuhan tidak memberi saya pilihan lain selain bekerja keras seumur hidup. Itulah mengapa saya bisa sampai sejauh ini."
- "Saya bodoh dan jelek. Jika saya terlahir kembali, saya tidak ingin terlahir sebagai diri saya lagi."
- "Saya mencoba untuk tidak banyak bicara dalam wawancara."
- "Saya tidak mengerti internet, saya orang yang ketinggalan zaman."
- "Pengadaan adalah seni bela diri."
- "Pelanggan tidak terlalu mengerti."
- "Saya takut jumlah toko akan bertambah, jadi saya terus mengatakan 'jangan buka, jangan buka'."
- "Sampai sekitar enam tahun yang lalu, saya yakin Daiso akan bangkrut."
- "Apakah yang saya lakukan baik atau buruk, saya tidak akan tahu sampai Daiso bangkrut."
- "Rapat pagi hanya tiga kali setahun. Nol rapat selama 25 tahun sejak didirikan. Tidak ada target, anggaran, atau kuota. Tidak ada rencana manajemen. Hanya improvisasi."
- "Keberhasilan dengan toko peralatan rumah tangga dan toko serba ada hanyalah meniru. Keberhasilan dengan toko 100 yen hanyalah kebetulan. Kebetulan tidak terjadi berkali-kali."
- "Manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihat masa depan, jadi kami tidak memiliki rencana manajemen atau strategi. Tidak ada anggaran atau kuota, kami bahkan tidak mengadakan rapat pagi."
- "Saya pikir saya akan bunuh diri jika perusahaan bangkrut. Di usia 30-an, saya berpikir untuk membawa istri dan anak-anak saya ke pemandian air panas terpencil di Akita atau Hokkaido, istri saya menjadi kepala pelayan, dan saya membersihkan kamar mandi serta menggosok punggung pelanggan. Tetapi ketika saya berusia sekitar 45 tahun, jumlah yang ditangani menjadi terlalu besar, jadi saya berpikir saya harus mati saja. Bahkan saat bermain golf, saya berpikir, 'pohon pinus itu terlihat mudah untuk gantung diri'."
- "Sekarang ada undang-undang rehabilitasi perusahaan, tetapi di zaman saya, jika sebuah perusahaan bangkrut, presidennya meninggal dan membayar utang dengan asuransi jiwa. Pemikiran seperti itu adalah hal yang wajar saat itu."
- "Impian saya adalah mati di atas tatami. Saya mungkin akan bunuh diri, tetapi jika memungkinkan, saya ingin mati di atas tatami. Itulah impian saya."
Mengenai perusahaan lain, ia pernah berkata, "Saya kalah dari Seria baik dalam hal toko maupun produk." Ia juga menceritakan, "Ketika saya makan malam dengan presiden Mizuho Bank, saya memberitahunya, 'Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami, kami mungkin akan menimbulkan masalah bagi Anda'."
Mengenai pembangunan toko, ia menyatakan, "Toko-toko baru diputuskan dan dibangun oleh karyawan. Saya tidak mungkin bisa membuat toko seperti ini." Ia juga mengakui, "Berkat pertumbuhan pesat Seria dan Can Do, saya merasa 'kami mungkin akan bangkrut'. Rasa krisis itulah yang memungkinkan kami pulih."
Yano tidak bergabung dengan organisasi ekonomi dan jarang muncul di media massa hingga sekitar tahun 2000-an. Namun, sejak tahun 2010-an, ia mulai menerima wawancara media, memberikan banyak ceramah, dan wawancara di surat kabar serta majalah. Di reuni alumni sekolah menengahnya, Kokutaiji High School, ia menyimpulkan bahwa di abad ke-21 yang disebut "abad penyusutan," perusahaan harus berkontribusi kepada masyarakat dan mengumpulkan kebajikan untuk bertahan hidup, dan itulah satu-satunya cara bagi perusahaan untuk bertahan di masa depan. Ia juga tidak pernah mempertimbangkan untuk memindahkan kantor pusat Daiso dari Hiroshima ke Tokyo, meskipun sering diminta oleh para pengusaha di Tokyo.
5. Akhir Hayat dan Evaluasi
Tahun-tahun terakhir Hirotake Yano ditandai oleh masalah kesehatan dan transisi kepemimpinan, namun ia tetap dikenang atas warisan dan kontribusinya yang signifikan terhadap industri ritel global.
5.1. Masalah Kesehatan dan Suksesi
Gaya hidup Yano yang sibuk menyebabkan ia menderita stroke pada tahun 2018. Pada Maret 2018, Yano menunjuk putra bungsunya, Seiji Yano, sebagai presiden Daiso. Ia menyatakan bahwa ia sudah terlalu tua dan "zaman dan saya tidak cocok," mengakui bahwa ia tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola industri ritel yang semakin bergantung pada teknologi dan komputasi.
5.2. Penghargaan dan Pengakuan
Pada tahun 2000, Yano menerima "Penghargaan Pengusaha Terbaik Tahunan" yang diselenggarakan oleh Entrepreneur Network dan Entrepreneur Club. Pada tahun 2019, ia memenangkan penghargaan nasional EY Entrepreneur of the Year untuk Jepang.
Selain itu, pada 30 Maret 2001, ia menjadi subjek fitur khusus di NHK-BS1 berjudul "Pria 100 Yen - Hirotake Yano, Revolusioner Distribusi." Nikkei Business memuji Yano sebagai "inovator toko 100 yen."
5.3. Kematian dan Warisan
Hirotake Yano meninggal dunia pada 12 Februari 2024, di usia 80 tahun, karena gagal jantung. Berita kematiannya diumumkan pada 19 Februari 2024. Ia secara anumerta dianugerahi Order of the Rising Sun, Gold Rays with Neck Ribbon dan Junior Fifth Rank.
Yano dinilai sebagai "pelopor toko 1 dolar" karena ekspansi global Daiso. Kematiannya diliput oleh media internasional terkemuka seperti CNN (Amerika Serikat), BBC (Britania Raya), dan Chosun Ilbo (Korea Selatan). Warisan utamanya adalah menciptakan budaya di mana konsumen dapat berbelanja tanpa perlu khawatir tentang harga, sebuah konsep yang telah mengubah lanskap ritel dan budaya belanja di seluruh dunia.
6. Kehidupan Pribadi
Hirotake Yano memiliki kehidupan pribadi yang relatif tertutup, namun beberapa detail mengenai keluarganya telah diungkapkan.
6.1. Keluarga
Hirotake Yano menikah dengan Katsuyo Yano, yang kemudian menjadi sosok penting dalam pengembangan bisnis Daiso, terutama dalam hal pengadaan barang.
Ia memiliki dua putra:
- Putra sulungnya, Juichi Yano, adalah seorang profesor di Universitas Kedokteran Prefektur Nara, yang mengkhususkan diri dalam mikrobiologi dan penyakit menular.
- Putra bungsunya, Seiji Yano, mengambil alih posisi presiden Daiso Industries pada Maret 2018, melanjutkan warisan ayahnya dalam memimpin perusahaan ritel raksasa tersebut.