1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Al-Juwaini lahir pada 17 Februari 1028 M (18 Muharram 419 H) di Bushtaniqan, sebuah desa di pinggiran Naisabur (Nishapur), Khurasan, yang kini berada di Provinsi Razavi Khurasan, Iran. Ia tumbuh dalam keluarga yang sangat berkecimpung dalam studi hukum Islam.
Pada abad ke-11, Khurasan dengan ibu kota Naisabur mengalami kekacauan politik, sosial, dan keagamaan yang parah, serupa dengan banyak wilayah Islam lainnya. Karena kesuburan wilayahnya, Khurasan menjadi rebutan berbagai dinasti, dimulai dari Safariyah (254 H) hingga jatuhnya wilayah tersebut ke tangan Dinasti Samaniyah (290 H). Dinasti lain seperti Dinasti Ghaznawiyah, Buwaihiyah, dan Saljukiyah juga secara bergantian menguasai daerah ini. Pergantian penguasa ini seringkali diikuti dengan pergantian ideologi, yang menciptakan lingkungan yang bergejolak bagi para ulama. Meskipun demikian, Naisabur merupakan daerah yang berkembang secara intelektual dan menarik banyak ulama.
Ayahnya, Abu Muhammad 'Abdullah bin Yusuf bin 'Abdillah bin Yusuf Al-Juwaini, adalah seorang ulama besar pada masanya, imam dalam bidang tafsir, fikih, adab, dan bahasa Arab. Ia lahir di desa Juwain dan wafat pada bulan Zulkaidah 438 H. Banyak ulama besar, termasuk putranya sendiri, Imam Al-Haramain, berguru kepadanya. Ibunya adalah seorang budak salihah yang dikenal baik hati, dibeli oleh sang ayah dari hasil kerja keras yang halal.
Selain orang tuanya, Al-Juwaini juga memiliki paman yang berpengaruh, yaitu Abul Hasan 'Ali bin Yusuf bin 'Abdillah bin Yusuf, seorang ulama besar yang dikenal sebagai Syekh Hijaz dan wafat pada bulan Zulkaidah 463 H. Paman lainnya adalah Abu Sa'id 'Abdush Shamad Al-Juwaini, seorang ulama yang wara', rajin tahajjud, dan rajin membaca Al-Qur'an. Al-Juwaini juga memiliki seorang putra bernama Abul Qasim Mudhaffar bin Imam Al-Haramain 'Abdul Malik Al-Juwaini, yang kelak juga terkenal dengan integritas diri dan keilmuannya yang luas. Putranya ini wafat pada bulan Sya'ban 493 H karena diracun.
2. Pendidikan dan Guru
Al-Juwaini dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarganya, terutama oleh ayahnya, Abu Muhammad Al-Juwaini, serta oleh para ulama besar di Naisabur. Ia mempelajari berbagai subjek agama fundamental, termasuk tata bahasa Arab dan balaghah, Al-Qur'an, hadits, fikih (hukum Islam), khilaf (seni perbedaan pendapat), dan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam. Ia bahkan membaca dan mempelajari semua buku ayahnya, seperti Sharh al-Muzani, Sharh usul al-Shafi'i, Mukhtasar al-Mukhtasar, al-Tafsir al-Kabir, dan al-Tabsirah. Ini memberinya fondasi yang kuat dalam hukum Syafi'i.
Setelah ayahnya wafat pada tahun 438 H, ketika Al-Juwaini belum genap 20 tahun, ia menggantikan posisi ayahnya untuk mengajar di majelis ilmiah, namun tidak berhenti untuk terus menggali ilmu dari para ulama saat itu. Ia belajar teologi Islam dan teori hukum di bawah bimbingan Abu al-Qasim al-Isfarayini, putra Abu Ishaq al-Isfarayini. Ia juga belajar hadits dari Al-Baihaqi. Untuk pengajaran tata bahasa Arab lebih lanjut, ia belajar dari Abu al-Hassan 'Ali b. Fadl b. 'Ali al-Majashi, sementara Abu 'Abdullah al-Khabbazi memberinya eksegesis Al-Qur'an.
Dalam studi hadits dan penyebarannya, Imam Al-Haramain memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber. Ia menerima hadits dari ulama seperti Abu Bakar Ahmad b. Muhammad al-Tamimi, Abu Sa'd 'Abd al-Rahman b. Hamdan al-Nadrawi, Abu Hassan Muhammad b. Ahmad al-Muzakki, Abu Abdullah Muhammad b. Ibrahim al-Tarrazi, dan Abu Muhammad al-Jawharri, selain dari ayahnya dan Al-Baihaqi. Setelah memperoleh fondasi yang kuat dalam disiplin ilmu-ilmu dasar Islam, Imam Al-Haramain mulai memperluas cakrawala intelektualnya untuk membentuk kredensial keagamaan yang lebih besar dalam mazhab teologi Asy'ari dan mazhab hukum Syafi'i. Ia juga menerima pengajaran hukum dari para pemimpin Syafi'i di Marw, yaitu al-Qadi Abu Ali Husayn b. Muhammad b. Ahmad al-Marw al-Rudhi dan al-Qasim al-Furani.
Selain guru-guru yang telah disebutkan, beberapa ulama besar lain yang menjadi guru Imam Al-Haramain antara lain: Fadlullah bin Ahmad bin Muhammad Al-Mihani, Al-Qadli Husain bin Muhammad bin Ahmad, Abul Qasim Al-Faurani, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Al-Harits Al-Ashbahani At-Tamimi, Manshur bin Ramisy, dan Abu 'Abdurrahman bin 'Abdil 'Aziz An-Nili.
3. Pengasingan dan Perjalanan
Pada sekitar tahun 443-447 H, Imam Al-Haramain terpaksa meninggalkan Naisabur secara paksa karena fitnah Al-Kunduri. Gubernur Karramiyah saat itu, Al-Kundduri, mengeluarkan putusan untuk mengutuk Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam salat Jumat mingguan dan memenjarakan para pengikutnya. Di antara mereka yang terpaksa melarikan diri secara diam-diam adalah Abu Sahl al-Bastami, Al-Furati, Al-Qushayri, dan Al-Baihaqi, serta banyak ulama Syafi'i lainnya.
Al-Juwaini kemudian melarikan diri ke Mekkah dan Madinah di Hijaz untuk mencari tempat tinggal baru. Ia mengajar ilmu dan menulis buku di sana selama empat tahun. Selama periode ini, ia menerima sambutan hangat, sebagian karena reputasi ayahnya sebagai ulama terkemuka dan juga karena pengasingannya sendiri. Keilmuannya begitu diakui di kalangan ulama Hijaz sehingga ia memperoleh gelar Imam al-Haramayn, yang berarti "pemimpin utama dua kota suci".

Ia pergi ke Mu'askar, Baghdad, dan Isfahan sebelum tiba di Hijaz. Di Baghdad, ia belajar kepada Abu Muhamamd Al-Jauhari dan banyak menelaah buku karya Al-Baqillani tentang teologi. Di Isfahan, ia belajar pada Abu Nu'aim Al-Isfahani, penulis kitab terkenal Hilyatul Auliya. Sekitar tahun 450 H (1058 M), ia pergi ke Hijaz dan menetap di Mekkah dan Madinah selama kurang lebih 4-5 tahun.
Setelah mengumpulkan banyak pengikut, ia diundang kembali ke Naisabur sebagai mufti besar yang tak terbantahkan ketika Nizam al-Mulk mengambil alih kekuasaan dan menstabilkan situasi. Ia memutuskan untuk kembali ke Naisabur pada tahun 455 H (1063 M).
4. Mengajar di Madrasah Nizamiyah
Setibanya di Naisabur, Al-Juwaini diangkat sebagai kepala sekolah di Madrasah Nizamiyah yang baru dibangun. Madrasah ini didirikan oleh Khwaja Nizam al-Mulk, seorang wazir Seljuk yang juga mendirikan madrasah Syafi'i di Naisabur. Al-Juwaini mengajar di Madrasah Nizamiyah selama sekitar 26 hingga 30 tahun, hingga akhir hayatnya pada tahun 1085 M. Sebagian besar karya-karyanya yang berpengaruh diyakini ditulis selama periode ini, setelah kepulangannya dari Mekkah dan Madinah. Madrasah Nizamiyah di bawah kepemimpinannya menjadi pusat intelektual penting pada masanya, mempersiapkan generasi berikutnya dari juris Syafi'i dan teolog Asy'ari.
5. Gelar Kehormatan
Sebagai seorang ulama besar yang diakui keilmuannya secara luas, Al-Juwaini dianugerahi beberapa gelar kehormatan oleh para ulama sezaman dan generasi berikutnya:
- Abul Ma'ali: Gelar ini diberikan kepadanya karena integritasnya yang tinggi, kepribadiannya yang luhur, dan keilmuannya yang luas.
- Imam al-Haramayn: Gelar ini diperolehnya karena ia mengajar, memberikan fatwa, dan berkarya di Mekkah dan Madinah selama 4-5 tahun, serta menjadi imam masjid di sana. Ini berarti "imam dua tanah suci".
- Fakhrul Islam (Kemuliaan Islam): Gelar ini diberikan karena ia adalah sosok yang dibanggakan oleh seluruh umat Islam, dinilai sebagai kebanggaan bagi Islam.
- Syekh al-Islam: Gelar kehormatan yang menunjukkan posisinya sebagai otoritas tertinggi dalam ilmu keislaman.
- Imam Mutlak dari Semua Imam: Sebuah pengakuan atas keilmuannya yang tak tertandingi dan kepemimpinannya dalam bidang keilmuan.
6. Murid dan Warisan Intelektual
Al-Juwaini memiliki lebih dari 400 siswa, dan banyak di antaranya kemudian menjadi ulama terkenal di dunia pada masanya. Murid-muridnya yang paling terkenal antara lain:
- Imam Al-Ghazali
- Al-Kiya al-Harrasi
- Abu al-Qasim al-Ansari
- Abd al-Ghafir al-Farsi
- Abu al-Hasan al-Tabari
- Abu al-Hasan al-Bakhirzi
- Ibn al-Qushayri (putra Al-Qushayri)
- Ahmad bin Muhammad bin Al-Mudhaffar
- Abul Ma'ali Mas'ud bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Mudhaffar
- Abul Hasan Ath-Tha'i
- Abu Hafsh As-Sarkhasi Asy-Syirazi
Imam Al-Ghazali adalah murid utama Al-Juwaini dan kemudian menjadi salah satu ulama paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Al-Juwaini sendiri pernah melontarkan pujian terkenal kepada Al-Ghazali, seperti:
- "Al-Ghazali adalah lautan yang memuaskan di mana kamu bisa tenggelam di dalamnya."
- "Kamu menguburku selagi aku masih hidup. Tidak bisakah kamu menunggu sampai aku mati?" (Dengan ini, Al-Juwaini bermaksud bahwa karya-karya Al-Ghazali melampaui karyanya).
Pengaruh Al-Juwaini sangat terasa dalam tradisi Islam, terutama melalui murid-muridnya. Pemikiran Al-Ghazali, khususnya dalam sufisme, banyak dipengaruhi oleh ajaran Al-Juwaini.
7. Kontribusi Keilmuan
Imam Al-Haramain adalah seorang ulama yang sangat produktif. Ia menulis banyak karya dalam berbagai bidang keilmuan Islam, yang mencerminkan kedalaman dan keluasan pengetahuannya.
7.1. Bidang Kalam (Teologi)
Dalam bidang Akidah, Ushuluddin, atau Ilmu Kalam, Al-Juwaini menghasilkan beberapa karya monumental yang menjadi klasik dalam teologi Islam:
- Al-Irshad ila Qawa'idil Adillah fi Ushulil I'tiqad (Panduan Bukti Konklusif untuk Prinsip-prinsip Keyakinan), yang merupakan salah satu karya klasik utama dalam teologi Islam.
- الشامل في أصول الدينAsy-Syamil fi UshuliddinBahasa Arab (Ringkasan Prinsip-prinsip Agama).
- العقيدة النظامية في الأركan IslamiyahAl-'Aqidatun NidhamiyahBahasa Arab (Akidah Nizamiyah), yang mungkin ditulis selama masa pengajarannya di Madrasah Nizamiyah.
- لمع الأدلة في قواعد عقائد أهل السنة والجماعةLuma' al-Adilla fi Qawa'id 'Aqā'id Ahl al-SunnaBahasa Arab (Kilasan Bukti Mengenai Prinsip-prinsip Doktrin Ahlussunnah).
- Kitabu Asma'illahil Husna.
- Risalah fi Ushuliddin.
- Syifa'ul Ghalil.
- Al-Karamat.
- Mukhtasharul Isrsyad.
7.2. Bidang Ushul Fiqh (Prinsip Fiqh)
Dalam bidang Ushul Fiqh, Al-Juwaini juga memberikan kontribusi signifikan dengan karya-karyanya yang menjadi rujukan penting:
- Al-Burhan, yang dianggap sebagai salah satu dari empat buku utama dalam ilmu ini.
- Al-Talkhis.
- Al-Waraqat, sebuah manual klasik dalam ushul fiqh.
- Al-Irsyad fi Ushulil Fiqh (berbeda dengan Al-Irshad di bidang kalam).
- Kitabul Mujtahidin.
- Risalatun fit-Taqlid wal Ijtihad.
- At-Tuhfah.
7.3. Bidang Fiqh (Hukum Islam)
Al-Juwaini juga menulis banyak karya penting dalam bidang Fiqh:
- Nihayatul Mathlab fi Dirasatil Madzhab (نهاية المطلب في دراية المذهبBahasa Arab, "Akhir Pencarian dalam Pengetahuan Mazhab Syafi'i"), yang merupakan magnum opusnya. Ibn Asakir menyatakan bahwa kitab ini tidak memiliki preseden dalam sejarah Islam.
- As-Silsilah fi Ma'rifatil Qaulain wal Wajhain 'ala Madzhabisy Syafi'i.
- Risalatun fil Fiqh.
- Mukhtasharun Nihayah.
- غياث الأممGhiyath al-UmamBahasa Arab.
- مغيث الخلقMughith al-KhalqBahasa Arab.
7.4. Bidang Lain dan Perbandingan
Al-Juwaini juga memiliki karya dalam bidang perbandingan mazhab dan disiplin ilmu Islam lainnya:
- Dalam bidang perbandingan mazhab:
- Ad-Durratul Madliyah fima Waqa'a min Khilafin bainasy Syafi'iyah wal Hanafiyah.
- Mughitsul Khalq fi Tarjihil Qaulil Haq (Penolong Makhluk dalam Menguatkan Pendapat yang Benar).
- Al-Asalibu fil Khilafiyat.
- Ghanyatul Mustarsyidin fil Khilaf.
- Dalam bidang keilmuan lain:
- Kitabun fin Nafs.
- Kitabul Arba'in fil Hadits.
Perlu dicatat bahwa kitab Fara'id al-Simtayn, sebuah kumpulan hadits mengenai keluarga Nabi Muhammad, kadang-kadang secara keliru dianggap sebagai karyanya. Namun, kitab ini sebenarnya ditulis oleh ulama Sunni lain bernama Ibrahim bin Muhammad bin Himaway al-Juwaini, yang wafat pada tahun 1322 M (722 H).
8. Pemikiran dan Doktrin
Al-Juwaini dikenal memiliki beberapa pemikiran yang menarik perhatian para pengkaji Islam untuk ditelusuri lebih jauh, termasuk mengenai posisinya dalam dunia teologi, apakah ia penganut paham Sunni atau yang lainnya. Ia dikenal sebagai seorang yang teguh dan tidak menerima spekulasi hukum. Prinsip dasarnya adalah bahwa hukum tidak boleh diserahkan pada spekulasi apapun; sebaliknya, teks-teks suci (Al-Qur'an dan Hadits) memegang jawaban untuk setiap perdebatan hukum yang mungkin terjadi. Ia tidak hanya menguasai teks-teks suci, tetapi juga mampu mengajarkan teori hukum Syafi'i dan teologi Asy'ari.
8.1. Pandangan tentang Tuhan dan Sifat-Nya
Mengenai alam, Al-Juwaini berpandangan bahwa ia bersifat nisbi, yang berarti keberadaannya tergantung pada keberadaan Tuhan. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pandangan beberapa ulama Mu'tazilah, seperti Abdul Jabbar dan Abul Huzail. Mengenai firman Tuhan, Al-Juwaini sependapat dengan Abu al-Hasan al-Asy'ari, salah seorang tokoh Ahlussunnah wal Jama'ah. Begitu pula mengenai konsep melihat Tuhan, Al-Juwaini memiliki pandangan yang sama dengan Abu al-Hasan al-Asy'ari bahwa Tuhan bisa dilihat pada hari kiamat, dan bahwasanya melihat Tuhan merupakan kenikmatan yang paling besar. Ia juga menekankan bahwa manusia seringkali terbuai oleh hal-hal yang fana, namun harus selalu mengingat kekuasaan Tuhan yang dapat menghentikan keterlibatan dalam hal-hal fana tersebut kapan saja.
8.2. Pandangan tentang Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia, Al-Juwaini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia hanya memiliki kebebasan mengarahkan daya yang diberikan Tuhan kepadanya sesuai dengan kehendak dan kemauannya. Namun, secara hakikat, manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya daya Tuhan. Pandangan ini menempatkan posisinya di antara paham Jabariyah (yang menolak kehendak bebas manusia) dan Qadariyah (yang menekankan kehendak bebas manusia sepenuhnya).
8.3. Keadilan Tuhan dan Kontroversi
Menurut Al-Juwaini, keadilan Tuhan adalah kebijaksanaan-Nya untuk menyiksa orang-orang yang berdosa. Dalam konteks ini, Al-Juwaini memiliki konsep yang berbeda dengan Mu'tazilah yang menegaskan bahwa keadilan Tuhan adalah perbuatan-perbuatan-Nya yang bertujuan untuk kepentingan dan kebaikan manusia. Ia juga berbeda dengan Ahlussunnah wal Jama'ah yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan adil adalah bahwa Tuhan boleh melakukan apapun sekehendak-Nya karena kehendak-Nya adalah mutlak. Pandangan-pandangannya ini, terutama yang terkait dengan keadilan Tuhan dan perbuatan manusia, menimbulkan perdebatan dan menjadi alasan mengapa ia dianggap sebagai tokoh kontroversial.
9. Penilaian dan Warisan
Al-Juwaini menerima banyak pujian dari para ulama sezaman dan generasi berikutnya, namun juga menghadapi kritik dan perdebatan terkait pandangan teologisnya.
9.1. Pujian dan Pengakuan
Ibn Asakir memuji Al-Juwaini dengan mengatakan: "Kemuliaan Islam, Imam mutlak dari semua imam, otoritas utama dalam Hukum, yang kepemimpinannya disepakati di Timur dan Barat, yang jasa besarnya adalah konsensus Arab dan non-Arab, yang sepertinya tidak pernah ada sebelumnya atau sesudahnya." Al-Kawthari menyatakan: "Karyanya membentuk mata rantai penghubung antara metode Salaf dan Khalaf masing-masing."
Al-Bakhirzi membandingkan Al-Juwaini dengan Imam Syafi'i dan Al-Muzani dalam yurisprudensi, Al-Asma'i dalam adab, Al-Hasan al-Basri dalam kefasihan berkhotbah, dan Al-Asy'ari dalam teologi spekulatif. Ibn Asakir menanggapi dengan mengatakan: "Sungguh ia jauh di atas itu." Ibn al-Subki berkata: "Siapa pun yang berpikir bahwa ada seseorang di antara Empat Mazhab yang mendekati kejelasan ucapannya, ia tidak memiliki pengetahuan tentangnya."
9.2. Kritik dan Perdebatan
Meskipun banyak pujian, Al-Juwaini juga menghadapi kritik dan perdebatan terkait pandangan teologis dan filosofisnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beberapa ulama mengklasifikasikan pahamnya sebagai Asy'ariyah, sementara yang lain melihat pengaruh Mu'tazilah yang kuat dalam pemikirannya, bahkan ada yang menempatkannya di jalan tengah antara keduanya. Ia sendiri di akhir hayatnya menyesali waktu yang dihabiskannya dalam perdebatan teologis.
10. Wafat
Setelah mengajar selama sekitar 23 tahun di Madrasah Nizamiyah di Naisabur, kesehatan Imam Al-Haramain mulai menurun. Ia beberapa kali jatuh sakit dan pada akhirnya dibawa ke Busytanikan, desa kelahirannya. Tidak lama kemudian, ia menghembuskan napas terakhirnya pada hari Selasa malam Rabu, 25 Rabi'ul Akhir 478 H, bertepatan dengan 20 Agustus 1085 M.
Pemakamannya dihadiri oleh kerumunan besar. Demonstrasi kesedihan yang tak terkendali oleh empat ratus muridnya yang sangat bersemangat berlangsung selama berhari-hari di Khurasan. Ibn Asakir berkata: "Saya percaya bahwa tanda-tanda kerja keras dan perjuangannya dalam agama Allah akan tetap ada sampai datangnya Hari Kiamat."