1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Jeong Yagyong dilahirkan dalam lingkungan keluarga terpelajar di tengah gejolak politik dan intelektual Korea pada abad ke-18, yang membentuk pandangan reformisnya sejak usia muda.
1.1. Kelahiran dan Pertumbuhan
Jeong Yagyong lahir pada tahun 1762 di Mahyeon (sekarang Namyangju), Gwangju, Provinsi Gyeonggi, tempat ia juga meninggal dunia. Ia adalah anak keempat dari enam bersaudara (empat putra dan dua putri) dari ayahnya, Jeong Chae-wŏn, dan ibu keduanya, Yun So'on. Pada tahun kelahirannya, Putra Mahkota Sado dieksekusi atas perintah ayahnya, Raja Yeongjo. Peristiwa tragis ini mendorong ayahnya untuk mengundurkan diri dari kehidupan resmi dan kembali ke kampung halaman. Karena itu, Jeong Yagyong diberi nama masa kecil Kwinong (귀농GwinongBahasa Korea, lit. "kembali ke pertanian"), yang melambangkan harapan ayahnya agar ia menjauhi intrik politik dan hidup sederhana di pedesaan.
Tasan menunjukkan kecerdasan luar biasa sejak dini. Pada usia 4 tahun, ia sudah belajar *Cheonjamun*, dan pada usia 7 tahun, ia menulis puisi tentang laut. Kumpulan puisi yang ia tulis sebelum usia 10 tahun dikumpulkan dalam buku berjudul 《삼미자집Sammija-jipBahasa Korea》 (Kumpulan Karya Tiga Alis), meskipun buku ini tidak lagi ada. Julukan "Sammi" (Tiga Alis) diberikan kepadanya karena bekas luka cacar air di masa kecilnya yang menyebabkan alisnya tampak terbagi tiga. Ibunya meninggal ketika ia berusia 9 tahun. Ia tumbuh di bawah kasih sayang kakak ipar tertuanya, Lady Jeong dari Gyeongju, dan ibu tirinya, Lady Kim.


1.2. Sejarah Keluarga
Jeong Yagyong berasal dari klan Jeong Naju. Leluhur keluarganya dapat ditelusuri kembali ke Jeong Cha-gŭp (1423-1487), yang pertama kali menjabat di pemerintahan pada tahun 1460 di bawah Raja Sejo. Delapan generasi berikutnya mengikuti jejaknya, dengan banyak anggota keluarga menjabat di posisi penting seperti Hongmungwan (Kantor Penasihat Khusus). Klan Jeong Naju sangat bangga dengan warisan akademis mereka, menyebut diri mereka "Paldok-okdang" (Delapan Generasi di Hongmungwan), yang merupakan simbol posisi terhormat dalam birokrasi Joseon.
Namun, kekuasaan klan Jeong, yang termasuk dalam faksi Namin (Southerners), merosot setelah faksi ini kehilangan kekuasaan pada tahun 1694 akibat Kapsul Hwangguk. Akibatnya, tiga generasi leluhur langsung Jeong Yagyong (kakek buyut, kakek buyut, dan kakek) tidak dapat menjabat di pemerintahan. Ayahnya, Jeong Chae-wŏn (1730-1792), kemudian diangkat sebagai hakim daerah Jinju berkat hubungan kuatnya dengan Chae Je-gong, seorang tokoh Namin berpengaruh yang menjadi konselor negara ketiga pada tahun 1788.
Ibu Jeong Yagyong, Yun So'on (1728-1770), berasal dari keluarga Haenam Yun, keturunan langsung dari sarjana-penyair terkenal Gosan Yun Seon-do (1587-1671) dan kakek buyutnya adalah Gongjae Yun Du-seo (1668-1715), seorang pelukis terkenal. Keluarga ibunya juga memiliki hubungan erat dengan sarjana Seongho Yi Ik, yang turut menghidupkan kembali studi Enam Klasik dan pemikiran Toegye. Latar belakang keluarga yang kaya akan tradisi akademis dan intelektual ini sangat memengaruhi perkembangan Jeong Yagyong.
1.3. Pendidikan dan Pengaruh Intelektual
Jeong Yagyong menerima pendidikan intensif dari ayahnya setelah ayahnya pensiun dari kehidupan resmi. Meskipun tidak memiliki guru formal selain ayahnya, ia belajar secara otodidak. Ia kemudian berinteraksi dengan sarjana-sarjana seperti Yi Ga-hwan dan Yi Seung-hun, yang merupakan keturunan dan pengikut Seongho Yi Ik. Melalui mereka, Jeong Yagyong diperkenalkan pada tulisan-tulisan Yi Ik dan sangat terkesan, bertekad untuk mendedikasikan hidupnya pada studi serupa. Ini menjadi dasar bagi pemikiran Silhak-nya.
Pada tahun 1783, Jeong Yagyong lulus ujian *chinsagwa* (ujian lisensi sastra), yang memungkinkannya masuk Sungkyunkwan, lembaga pendidikan tinggi Joseon. Di Sungkyunkwan, ia secara konsisten meraih nilai tinggi dalam ujian bulanan dan mingguan, mendapatkan hadiah buku, kertas, dan kuas, serta menarik perhatian Raja Jeongjo. Raja Jeongjo sangat terkesan dengan "objektivitas" jawaban Jeong Yagyong terhadap serangkaian pertanyaan yang ia ajukan, menandai dimulainya hubungan dekat antara raja dan sarjana muda ini.
Jeong Yagyong berupaya mengembalikan studi Konfusianisme Korea ke koneksi langsung dengan pemikiran asli Konfusius. Ia menyebut pendekatan ini sebagai pembelajaran "Susa" (수사SusaBahasa Korea), merujuk pada dua sungai yang mengalir melalui tanah kelahiran Konfusius. Ia mengkritik para filsuf pada masanya yang terlalu terpaku pada studi etimologi yang tidak bermanfaat dan teori filosofis demi kepentingan sendiri. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa studi harus difokuskan kembali pada masalah yang lebih penting seperti musik, ritual, dan hukum, dan bahwa ujian *gwageo* (ujian kenegaraan) harus direformasi untuk mencerminkan perhatian ini.
2. Karir Resmi dan Aktivitas Politik
Karir Jeong Yagyong dalam pemerintahan Joseon ditandai oleh dedikasinya pada reformasi dan hubungan dekatnya dengan Raja Jeongjo, meskipun ia juga menghadapi tantangan politik yang signifikan.
2.1. Lulus Ujian Negara dan Memulai Karir
Pada tahun 1789, di usia 27 tahun, Jeong Yagyong lulus ujian *daegwa* (ujian pegawai negeri sipil tingkat tinggi) dan memulai karirnya di pemerintahan. Ia ditawari posisi di Kantor Dekret Kerajaan bersama lima anggota faksi Namin lainnya. Kenaikan faksi Namin ini, yang dipengaruhi oleh Pembelajaran Praktis (Silhak) dari Tiongkok dan Eropa, serta oleh Katolik Roma, menimbulkan kekhawatiran di kalangan faksi oposisi, terutama faksi Noron (Old Doctrine).
2.2. Hubungan dengan Raja Jeongjo dan Pelayanan Kerajaan
Hubungan Jeong Yagyong dengan Raja Jeongjo semakin erat. Raja Jeongjo terkesan dengan kecerdasan dan ide-ide inovatif Jeong Yagyong. Pada tahun 1792, setelah terkesan dengan desain jembatan ponton yang dibuatnya, raja memintanya untuk merancang dan mengawasi pembangunan tembok Benteng Hwaseong di Suwon. Jeong Yagyong memperkenalkan teknik dan struktur yang radikal, mengambil inspirasi dari sumber-sumber Eropa, Tiongkok, dan Jepang. Ia merancang Geojunggi, sebuah alat pengangkat yang menggunakan prinsip katrol untuk memindahkan batu-batu besar, yang secara signifikan mengurangi biaya dan waktu pembangunan. Benteng Hwaseong, yang masih berdiri hingga kini, menjadi bukti nyata kontribusinya dalam bidang teknik sipil.

Pada tahun 1794, setelah beberapa promosi, raja mengangkatnya sebagai utusan rahasia ke Provinsi Gyeonggi untuk menyelidiki laporan korupsi. Tugas penting lainnya pada tahun 1795 adalah membantu raja memutuskan gelar kehormatan baru untuk ayahnya, Putra Mahkota Sado, sebuah tugas yang penuh risiko politik. Meskipun Jeong Yagyong adalah pendukung kuat keinginan raja untuk menghormati Sado, raja merasa lebih bijaksana untuk mengirimnya sementara waktu dari istana, menunjuknya sebagai pengawas stasiun pos di Geumjeong, Provinsi Pyeongan Selatan.
2.3. Pengalaman Administrasi dan Pemerintahan Lokal
Pengalaman Jeong Yagyong sebagai pejabat daerah, seperti di Koksan, membentuk pandangannya tentang pemerintahan yang baik, yang ia angkat dalam konsep *mokmin* (목민mokminBahasa Korea, "mengatur rakyat"). Ia menekankan pentingnya integritas dan keadilan bagi para hakim daerah. Sebagai bupati Koksan, ia menunjukkan kepeduliannya terhadap rakyat dengan tidak menghukum Yi Kyesim, seorang pekerja pertanian yang memimpin gerakan perlawanan pajak. Jeong Yagyong menyatakan bahwa mereka yang memprotes korupsi pejabat harus diberi hadiah, bukan dihukum, menunjukkan sikapnya yang pro-rakyat dan menentang penindasan. Ia menganjurkan bahwa ujian *gwageo* harus direformasi untuk fokus pada masalah-masalah praktis seperti musik, ritual, dan hukum, daripada hanya pada studi etimologi yang dianggapnya tidak relevan.
3. Keterlibatan dengan Katolik dan Penganiayaan
Ketertarikan Jeong Yagyong pada ajaran Katolik dan keterlibatannya dalam komunitas awal membawa konsekuensi berat baginya dan keluarganya, menyoroti isu hak sipil dan kebebasan beragama pada masa Joseon.
3.1. Pengantar Katolik dan Pertukaran Awal
Jeong Yagyong pertama kali bersentuhan dengan ajaran Katolik pada tahun 1776, ketika ia bertemu dengan Yi Ga-hwan dan Yi Seung-hun, yang merupakan kerabat dan pengikut Seongho Yi Ik. Mereka banyak mempelajari Katolik dan ilmu pengetahuan Barat. Jeong Yagyong berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan studi doktrin Katolik dan ilmu Barat yang diselenggarakan oleh Kwon Ch'ŏl-sin di Kuil Ju'eosa dan Cheonjinam pada tahun 1777 dan 1779, bersama dengan tokoh-tokoh awal Katolik lainnya seperti Yi Byeok dan saudara-saudaranya, Jeong Yak-jeon dan Jeong Yak-jong.
Pada tahun 1784, ia bertemu dengan Yi Byeok, ipar dari kakak tertuanya, Jeong Yak-hyeon. Yi Byeok menjelaskan doktrin Katolik kepadanya, termasuk asal-usul penciptaan, jiwa dan raga, serta makna hidup dan mati. Jeong Yagyong sangat terkesima dan segera tenggelam dalam studi buku-buku Katolik. Ia bahkan menghadiri pertemuan-pertemuan komunitas iman awal yang disebut 'Komunitas Myeongnyebang' di rumah penerjemah Kim Beom-u di Myeong-dong, Seoul. Meskipun tidak ada bukti dokumenter yang menyatakan bahwa ia pernah dibaptis dengan nama Yohanes Pembaptis, keluarganya sangat terlibat dalam asal-usul komunitas Katolik Korea. Kakak perempuannya menikah dengan Yi Seung-hun, orang Korea pertama yang dibaptis sebagai Katolik di Beijing pada tahun 1784. Kakak tertuanya, Jeong Yak-jong (Augustinus), menjadi pemimpin komunitas Katolik pertama dan salah satu korban pertama penganiayaan.
3.2. Insiden Penganiayaan dan Konsekuensinya
Keterlibatan Jeong Yagyong dengan Katolik membawanya ke dalam serangkaian penganiayaan:
- Insiden Myeongnyebang (1785): Pertemuan rahasia komunitas Katolik di rumah Kim Beom-u terbongkar. Kim Beom-u dipenjara dan meninggal di pengasingan, sementara anggota Yangban lainnya, termasuk Jeong Yagyong, dibebaskan. Jeong Yagyong sempat menolak imannya untuk sementara waktu.
- Insiden Banhoe (1787): Jeong Yagyong, Yi Seung-hun, dan Kang I-won secara diam-diam mempelajari buku-buku Katolik. Ketika hal ini diketahui, terjadi protes dari sarjana anti-Katolik. Raja Jeongjo menyatakan Katolik sebagai "ajaran sesat" (사교sagyooBahasa Korea) dan mengeluarkan larangan, serta memerintahkan penyitaan dan pembakaran buku-buku Barat. Ayah Jeong Yagyong memerintahkan anak-anaknya untuk menjauhi Katolik. Jeong Yagyong dan Jeong Yak-jeon mematuhi, tetapi Jeong Yak-jong menolak dan pindah rumah.
- Penganiayaan Sinhae (1791): Insiden Jinsan terjadi ketika Yun Ji-ch'ung, sepupu Jeong Yagyong dari pihak ibu, menolak melakukan ritual leluhur setelah kematian ibunya sesuai ajaran Katolik. Ini dianggap sebagai penolakan terhadap "kesalehan berbakti" (효hyoBahasa Korea), fondasi ideologi Konfusianisme Joseon. Yun Ji-ch'ung dan sepupunya Kwon Sang-yeon dipenggal. Yi Seung-hun dicopot dari jabatannya. Jeong Yagyong sepenuhnya memutuskan hubungannya dengan Katolik setelah insiden ini, tetapi ia tetap menjadi target serangan dari faksi Noron karena hubungannya dengan para Katolik.
- Penganiayaan Eulmyo (1795): Ketika misionaris Tiongkok, Ju Mun-mo, masuk secara ilegal ke Korea dan bersembunyi, upaya penangkapannya gagal. Para Katolik yang ditangkap disiksa namun menolak mengungkapkan keberadaan Ju Mun-mo. Meskipun Jeong Yagyong telah menjauhkan diri dari Katolik, ia, Yi Ga-hwan, dan Yi Seung-hun dituduh terlibat dalam pelarian misionaris tersebut. Raja Jeongjo mengasingkan Yi Seung-hun ke Yesan, Yi Ga-hwan ke Chungju, dan Jeong Yagyong ke Geumjeong, Hongju, Provinsi Chungcheong Selatan. Di Geumjeong, Jeong Yagyong berusaha keras untuk menekan penyebaran Katolik, bahkan menangkap tokoh Katolik setempat, Yi Jon-chang.
- Penganiayaan Shinyu (1801): Kematian mendadak Raja Jeongjo pada tahun 1800 mengubah lanskap politik. Ratu Jeongsun, janda Raja Yeongjo dan anggota faksi Noron, menjadi bupati untuk Raja Sunjo yang masih muda. Ia melancarkan penumpasan besar-besaran terhadap faksi Namin dan Katolik. Kakak Jeong Yagyong, Jeong Yak-jong, dan iparnya, Yi Seung-hun, ditangkap dan dieksekusi. Insiden "Surat Sutra Hwang Sa-yŏng" (1801), yang ditulis oleh ipar Jeong Yagyong, Hwang Sa-yŏng, kepada uskup Beijing yang meminta intervensi militer Barat, semakin memperparah penganiayaan. Jeong Yagyong dan adiknya, Jeong Yak-jeon, juga ditangkap. Meskipun disiksa, Jeong Yagyong membela diri dengan menyatakan bahwa ia bukan penganut Katolik dan telah memutuskan hubungan dengan gereja sejak 1791. Berkat bukti-bukti penolakan imannya dan kesaksian beberapa Katolik yang lemah, ia dan Jeong Yak-jeon dijatuhi hukuman pengasingan, bukan eksekusi.
4. Pengasingan dan Pendalaman Keilmuan
Periode pengasingan Jeong Yagyong, meskipun penuh kesulitan, menjadi masa paling produktif dalam hidupnya, di mana ia menghasilkan karya-karya monumental yang membentuk inti pemikirannya.
4.1. Kehidupan dan Tulisan di Pengasingan
Jeong Yagyong menghabiskan 18 tahun dalam pengasingan, dari tahun 1801 hingga 1818. Awalnya ia diasingkan ke Benteng Janggi di Pohang, Provinsi Gyeongsang, kemudian ke Gangjin, Provinsi Jeolla Selatan. Ia tiba di Gangjin pada 28 Desember 1801. Tanpa uang dan teman, ia awalnya berlindung di sebuah kedai minum kumuh yang dikelola oleh seorang janda, di luar Gerbang Timur kota berbenteng Gangjin. Ia menamai kamarnya "Sauijae" (사의재SauijaeBahasa Korea, ruangan empat kewajiban: berpikir jernih, penampilan serius, berbicara tenang, tindakan tulus).
Pada tahun 1805, setelah Ratu Jeongsun meninggal dan Raja Sunjo mencapai usia dewasa, kekerasan terhadap umat Katolik mereda. Jeong Yagyong bebas bergerak di sekitar Gangjin. Ia bertemu dengan Biksu Hyejang dari Kuil Baeknyeon-sa, yang menjadi teman dekatnya. Hyejang membantunya pindah ke Boeun Sanbang, sebuah pertapaan kecil di kuil Goseong-sa. Akhirnya, pada musim semi 1808, ia pindah ke sebuah rumah sederhana beratap jerami milik kerabat jauh ibunya di lereng bukit yang menghadap Gangjin dan teluknya. Tempat ini sekarang dikenal sebagai "Tasan Chodang" (Gubuk Teh Tasan), dinamai dari bukit di belakang rumah yang dikenal sebagai Tasan (gunung teh). Di sinilah ia menghabiskan sisa sepuluh tahun pengasingannya, mengajar siswa dan menulis. Ia mengumpulkan lebih dari seribu buku di perpustakaannya.
Selama pengasingan, Jeong Yagyong dikatakan telah menulis sekitar 500 volume, atau sekitar 14.000 halaman, yang sebagian besar bertujuan untuk menyusun program reformasi fundamental untuk memerintah negara sesuai dengan cita-cita Konfusianisme. Ia berkonsentrasi pada *Kitab Perubahan* (I Ching), menulis 《주역사전ChuyeoksajeonBahasa Korea》 pada tahun 1805, dan refleksi tentang *Klasik Puisi* pada tahun 1809. Ia menulis tentang politik, etika, ekonomi, ilmu alam, kedokteran, dan musik. Karya-karya terpentingnya yang diterbitkan setelah kembali dari pengasingan meliputi:
- 《흠흠신서Heumheum SinseoBahasa Korea》 (1819) tentang yurisprudensi.
- 《아언각비AeongakbiBahasa Korea》 (1819) tentang linguistik.
- 《사대고례산보SadekoryesanboBahasa Korea》 (1820) tentang diplomasi.
- 《목민심서Mokmin SimseoBahasa Korea》 tentang seni pemerintahan.
- 《경세유표Gyeongse YupyoBahasa Korea》 (1822) tentang administrasi.
Selama periode ini, ia juga menghadapi kesedihan pribadi. Putranya, Nong-a, meninggal di usia muda karena penyakit. Jeong Yagyong menulis epitaf untuk putranya dan mengungkapkan kesedihannya dalam surat-surat kepada anak-anaknya yang lain, menekankan pentingnya menjaga ibu mereka.
5. Pemikiran dan Filsafat
Sistem pemikiran Jeong Yagyong berpusat pada reformasi sosial dan pemerintahan yang adil, mencerminkan perannya sebagai salah satu tokoh utama Silhak yang berorientasi pada rakyat.
5.1. Silhak dan Teori Tata Kelola Negara
Jeong Yagyong adalah salah satu tokoh utama Silhak (Pembelajaran Praktis), yang mengkritik Neo-Konfusianisme ortodoks pada masanya yang dianggap terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah nyata masyarakat. Ia berupaya mensintesis pemikiran Neo-Konfusianisme periode Joseon pertengahan dan mengembalikan studi Konfusianisme Korea ke hubungan langsung dengan pemikiran asli Konfusius. Ia menyebut pendekatan ini sebagai pembelajaran "Susa" (수사SusaBahasa Korea), merujuk pada sungai-sungai di tanah kelahiran Konfusius.
Ia mengkritik para filsuf pada masanya yang terlibat dalam studi etimologi yang tidak bermanfaat dan mengejar teori filosofis demi kepentingan sendiri. Jeong Yagyong berpendapat bahwa studi harus difokuskan kembali pada masalah yang lebih penting seperti musik, ritual, dan hukum. Ini bukan hanya penegasan intelektual tetapi juga politik, karena ia mengusulkan reformasi ujian *gwageo* (ujian kenegaraan) untuk mencerminkan perhatian ini, sehingga menghasilkan pejabat yang lebih kompeten dan praktis.
Ia mengklasifikasikan surga (*cheon*) menjadi surga yang berwujud (*yuhyeongcheon*), surga yang berkuasa (*jujaecheon*), dan surga prinsip perubahan (*yeokricheon*), menekankan keyakinan pada surga yang berkuasa. Ia melihat mandat surga secara politis sebagai kehendak rakyat dan secara etis sebagai takdir yang benar (*jeongmyeong*), menekankan misi para sarjana-pejabat untuk rakyat.
5.2. Pemikiran Mokmin dan Filsafat Pemerintahan
Jeong Yagyong mengembangkan pemikiran *Mokmin* (목민mokminBahasa Korea), yang berfokus pada peran pejabat daerah (*mokmin*) sebagai pelayan rakyat. Ia menguraikan idealisme pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, menekankan prinsip-prinsip integritas, transparansi, dan kasih sayang kepada rakyat (애민aeminBahasa Korea). Dalam karyanya 《목민심서Mokmin SimseoBahasa Korea》, ia memberikan panduan komprehensif bagi pejabat mengenai tugas, integritas, dan kesejahteraan rakyat. Ia percaya bahwa pemerintah harus memainkan peran utama dalam memecahkan masalah kemiskinan, dan untuk itu, ia menekankan pentingnya para hakim daerah bertindak dengan integritas dan keadilan.
5.3. Sistem Tanah dan Pemikiran Ekonomi
Reformasi tanah adalah isu penting bagi para reformis Silhak, dan Jeong Yagyong mengembangkan proposal reformasi tanah Yu Hyeong-won. Ia mengusulkan "sistem tanah desa" (*yeojeon* atau *jeongjeon*), di mana desa akan memiliki tanah secara komunal dan mengolahnya secara keseluruhan, sementara hasil panen akan dibagi berdasarkan jumlah tenaga kerja yang disumbangkan. Sistem ini bertujuan untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial-ekonomi dan kemiskinan, serta melindungi kelompok rentan dalam masyarakat.
Pada masanya, sebagian besar tanah pertanian dimonopoli oleh kelas *sadaebu* (bangsawan), yang menyebabkan sebagian besar petani menjadi penyewa. Jeong Yagyong memperkirakan bahwa pada saat itu, seorang *sadaebu* rata-rata memiliki tanah yang cukup untuk 990 orang, dan beberapa keluarga bahkan memonopoli tanah untuk ribuan orang. Ia mengkritik praktik tuan tanah yang membebankan pajak kepada penyewa dan membebankan sewa yang tinggi (hingga 30% dari hasil panen). Pemikiran Jeong Yagyong tentang reformasi tanah, seperti sistem *Jeongjeon* (정전JeongjeonBahasa Korea, "sistem sumur-lapang") dan *Yeojeon* (여전YeojeonBahasa Korea, "sistem tanah desa"), dianggap sebagai kebijakan tanah yang berbau sosialisme, yang bertujuan untuk distribusi tanah yang adil dan kerja sama komunal.
Selain itu, Jeong Yagyong menganjurkan ekonomi yang jujur dan adil (*gongnyeom*). Ia percaya pada konsep "mengurangi kekayaan orang kaya untuk menolong orang miskin" (*sonbuikbin*). Ia mengklasifikasikan kelompok-kelompok rentan seperti duda, janda, yatim piatu, lansia, anak-anak, korban bencana, dan pasien sakit, dan menyerukan agar masyarakat dan negara memberikan perhatian khusus kepada mereka, berharap Joseon menjadi negara kesejahteraan.
5.4. Teori Ritual dan Budaya Leluhur
Filsafat *Ye* (예YeBahasa Korea, ritual) menempati porsi besar dalam tulisan-tulisan Jeong Yagyong. Judul asli karyanya 《경세유표Gyeongse YupyoBahasa Korea》, yang menyajikan cetak biru manajemen negara, adalah 《방례초본Pangnye ch'obonBahasa Korea》 (Draf untuk Ritual Negara). Ini menunjukkan bagaimana ia menggunakan konsep *Ye* untuk mewakili apa yang ingin ia capai dengan pemikirannya, terutama dalam konteks pemerintahan yang baik.
Teori Jeong Yagyong tentang ritual pengorbanan ala Korea (jesa) menunjukkan keprihatinan sosio-politik untuk mencapai pemerintahan yang berbudi luhur dan adil. Ia bertujuan untuk memotivasi orang agar mempraktikkan imperatif manusia sehari-hari dan untuk merevitalisasi masyarakat tradisional Joseon akhir yang didasarkan pada *Ye* (tatanan Konfusianisme). Ia juga berupaya mengatur praktik ritual yang berlebihan dari para literati dan membatasi kultus yang tidak senonoh (음사eumsaBahasa Korea) sesuai dengan formula kognitifnya. Ia mendefinisikan ulang konsep keseriusan Zhu Xi menjadi "penghormatan kehati-hatian" sebagai pietisme intensional, yang lebih condong ke aktivisme kontemplatif daripada mistisisme apofatik.
5.5. Sains, Teknologi, dan Pembelajaran Praktis
Jeong Yagyong memiliki minat yang mendalam pada ilmu pengetahuan dan teknologi praktis yang bermanfaat bagi masyarakat dan kemajuan negara. Kontribusinya yang paling terkenal adalah dalam bidang teknik sipil, seperti perancangan Geojunggi (alat pengangkat) untuk pembangunan Benteng Hwaseong di Suwon. Alat ini secara signifikan meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya konstruksi.
Ia juga berkontribusi dalam bidang kedokteran. Setelah menderita cacar air di masa kecilnya dan disembuhkan oleh tabib istana Yi Heon-gil, Jeong Yagyong kemudian menulis 《마과회통Magwa HoetongBahasa Korea》, sebuah risalah tentang pengobatan campak dan cacar air, yang didasarkan pada karya Yi Heon-gil, 《마진기방Majin GibangBahasa Korea》. Karya ini menyelamatkan banyak nyawa di Joseon hingga masuknya kedokteran modern. Selain itu, ia menulis 《몽수전MongsujeonBahasa Korea》, yang membahas kehidupan Yi Heon-gil.
Jeong Yagyong juga berperan dalam kebangkitan kembali budaya teh pada abad ke-19. Selama pengasingannya di Gangjin, ia bertemu dengan Biksu Hyejang dan Biksu Cho-ui. Meskipun sering diklaim bahwa Jeong Yagyong belajar tentang teh dari para biksu, pertukaran puisi antara mereka menunjukkan bahwa Jeong Yagyong justru mengajarkan kepada Hyejang dan biksu lainnya cara membuat teh kue. Ia menjelaskan metode spesifiknya: "Penting untuk mengukus daun yang dipetik tiga kali dan mengeringkannya tiga kali, sebelum menggilingnya dengan sangat halus. Selanjutnya, itu harus dicampur secara menyeluruh dengan air dari mata air berbatu dan ditumbuk seperti tanah liat menjadi pasta padat yang dibentuk menjadi kue-kue kecil. Hanya setelah itu baru enak diminum." Ini menjadikan Jeong Yagyong sebagai salah satu tokoh utama di balik penyebaran minat terhadap teh di Korea.
6. Karya Tulis Utama


Jeong Yagyong adalah seorang penulis yang sangat produktif, meninggalkan lebih dari 500 volume karya tulis, sebagian besar ditulis selama masa pengasingannya. Karya-karya ini mencakup berbagai bidang dan menjadi fondasi bagi pemikiran reformisnya. Tiga karyanya yang paling terkenal adalah:
6.1. Mokmin Simseo
《목민심서Mokmin SimseoBahasa Korea》 (Nasihat tentang Pemerintahan Rakyat) adalah salah satu karya paling terkenal dan berpengaruh dari Jeong Yagyong. Ditulis pada tahun 1818, karya ini adalah panduan komprehensif bagi para pejabat daerah (*mokmin*) mengenai tugas, integritas, dan kesejahteraan rakyat. Buku ini dibagi menjadi 12 bab, mencakup berbagai aspek administrasi lokal, mulai dari penunjukan pejabat, pengelolaan pajak, penegakan hukum, hingga pendidikan dan kesejahteraan sosial. Tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan pemerintahan yang adil, efisien, dan berorientasi pada rakyat, serta untuk memberantas korupsi dan penindasan.
6.2. Gyeongse Yupyo
《경세유표Gyeongse YupyoBahasa Korea》 (Rancangan untuk Pemerintahan yang Baik) adalah cetak biru reformasi sistem negara yang lebih luas. Karya ini membahas berbagai aspek tata kelola negara, termasuk reformasi birokrasi, sistem perpajakan, militer, dan ekonomi. Jeong Yagyong mengusulkan perubahan mendasar dalam struktur pemerintahan untuk menciptakan sistem yang lebih efisien dan adil. Judul aslinya adalah 《방례초본Pangnye ch'obonBahasa Korea》 (Draf untuk Ritual Negara), yang menunjukkan fokusnya pada pentingnya ritual dan tatanan sosial sebagai dasar pemerintahan yang baik.

6.3. Heumheum Sinseo
《흠흠신서Heumheum SinseoBahasa Korea》 (Buku Larangan yang Berulang) adalah karya yang berfokus pada keadilan dan proses peradilan. Ditulis pada tahun 1819, buku ini membahas pentingnya ketelitian dalam penegakan hukum, investigasi kejahatan, dan penjatuhan hukuman. Jeong Yagyong menekankan bahwa kehidupan manusia tidak boleh diperlakukan sembarangan dan bahwa keadilan harus ditegakkan dengan cermat untuk menghindari kesalahan fatal. Karya ini didasarkan pada pengalamannya sendiri sebagai pejabat dan pengamat sistem peradilan.
6.4. Karya Lainnya
Selain tiga karya monumental tersebut, Jeong Yagyong menulis banyak buku lain yang menunjukkan keluasan intelektualnya:
- 《주역사전ChuyeoksajeonBahasa Korea》 (1805) dan 《역학서언YeokhakseoeonBahasa Korea》 tentang *Kitab Perubahan* (I Ching).
- 《시경강의SigyeongganguiBahasa Korea》 (1809) tentang *Klasik Puisi*.
- 《아언각비AeongakbiBahasa Korea》 (1819) dan 《이담속찬IdamsokchanBahasa Korea》 tentang linguistik dan etimologi.
- 《사대고례산보SadekoryesanboBahasa Korea》 (1820) tentang diplomasi.
- 《아방강역고A-bang GangyeokgoBahasa Korea》 dan 《대동수경Daedong SugyeongBahasa Korea》 tentang geografi.
- 《마과회통Magwa HoetongBahasa Korea》 tentang kedokteran, khususnya campak dan cacar air.
- 《삼미자집Sammija-jipBahasa Korea》, kumpulan puisi masa kecilnya (tidak ada lagi).
- 《아학편AhakpyeonBahasa Korea》, buku teks untuk anak-anak.
- 《자찬묘지명Jachan MyojimyeongBahasa Korea》, otobiografinya yang ia tulis sendiri.
- Kumpulan surat-suratnya kepada keluarga, terutama kepada kedua putranya, yang diterbitkan sebagai 《유배지에서 보낸 편지Yubaejieseo Bonaen PyeonjiBahasa Korea》 (Surat dari Tempat Pengasingan).
Ia juga menulis tentang teori tanah (*Jeonnon*, 전론Bahasa Korea), ritual (*Sangnye Sajon*, 상례사전Bahasa Korea), musik (*Akseo Gojon*, 악서고존Bahasa Korea), dan banyak lagi. Total karyanya mencapai lebih dari 500 volume, atau sekitar 14.000 halaman, menjadikannya salah satu penulis paling produktif dalam sejarah Korea.
7. Kehidupan Pribadi dan Keluarga
Kehidupan pribadi Jeong Yagyong, termasuk pernikahan dan keturunannya, sangat dipengaruhi oleh karir politik dan pengasingannya.
7.1. Pernikahan dan Anak
Pada tahun 1776, Jeong Yagyong menikah dengan Lady Hong Hwabo dari klan Pungsan Hong (1761-1839), putri dari seorang sekretaris kerajaan. Dari pernikahan ini, ia memiliki sepuluh anak, tetapi sebagian besar meninggal di usia muda, terutama karena cacar air. Hanya dua putranya, Jeong Hak-yŏn (1783-1859) dan Jeong Hak-yu (1786-1855), serta satu putri yang mencapai usia dewasa. Ia juga memiliki seorang putri, Jeong Hong-im, dari seorang selir bernama Namdang-ne, yang tinggal bersamanya di Tasan Chodang selama pengasingan.
Kematian anak-anaknya di usia muda, terutama putranya Nong-a yang meninggal saat ia di pengasingan, sangat menyakitkan baginya. Ia menulis surat-surat yang menyentuh hati kepada putra-putranya yang masih hidup, mengungkapkan kesedihannya dan meminta mereka untuk menjaga ibu mereka.
7.2. Keturunan dan Kelanjutan Garis Keturunan
Meskipun Jeong Yagyong dan keluarganya menghadapi status "paejok" (폐족paejokBahasa Korea, keluarga yang dilarang menjabat di pemerintahan) akibat penganiayaan Katolik, keturunannya kemudian berhasil mengembalikan kehormatan keluarga. Cucu-cucunya, seperti Jeong Dae-rim (yang menjadi *jinsa* dan bupati Danyang) dan Jeong Dae-mu (yang menjadi *chambong* dan bupati Samcheok), serta cicitnya, Jeong Mun-seop (yang lulus ujian *mun-gwa* dan menjabat sebagai sekretaris kerajaan), berhasil menjabat di pemerintahan. Ini menunjukkan kelanjutan warisan intelektual dan sosial keluarga Jeong Yagyong.
Salah satu keturunan Jeong Yagyong yang terkenal di era modern adalah aktor Jung Hae-in, yang merupakan keturunan langsung generasi keenamnya.
8. Akhir Hayat dan Kematian
Jeong Yagyong diizinkan kembali dari pengasingan di Gangjin pada tahun 1818, setelah 18 tahun. Ia kembali ke rumah keluarganya di dekat Seoul. Meskipun ada upaya untuk mengembalikannya ke pemerintahan, intrik faksi politik menghalangi hal tersebut. Ia menggunakan Yeoyudang (여유당YeoyudangBahasa Korea, nama rumahnya) sebagai nama penanya yang terakhir. Ia hidup tenang di sana, dekat Sungai Han, hingga meninggal pada tahun 1836, tepat pada ulang tahun pernikahannya yang ke-60. Epitafnya sendiri, 《자찬묘지명Jachan MyojimyeongBahasa Korea》, dan biografi kronologis 《사암선생연보Saam Seonsaeng YeonboBahasa Korea》 yang disusun oleh cicitnya, Jeong Kyu-yŏng, adalah sumber utama biografinya. Pesan terakhirnya kepada anak-anaknya adalah untuk bertahan di Hanyang (Seoul) dengan segala cara, karena peluang akan hilang jika mereka meninggalkan ibu kota.
Pada 18 Juli 1910, ia secara anumerta diangkat menjadi Jeongheondaebu Gyujanggak Jehak dan diberi gelar kehormatan "Mundo" (문도MundoBahasa Korea).
9. Evaluasi dan Pengaruh
Jeong Yagyong diakui sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah Korea, yang pemikirannya terus relevan hingga kini.
9.1. Evaluasi Akademik dan Pencapaian
Jeong Yagyong memberikan kontribusi monumental terhadap perkembangan intelektual Korea dan memegang posisi sebagai salah satu pemikir terkemuka dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan Korea. Ia berhasil mensintesis pemikiran Silhak yang diwarisi dari Yu Hyeong-won dan Seongho Yi Ik. Berbeda dengan beberapa sarjana Namin lainnya yang cenderung tidak realistis secara politik, Jeong Yagyong memiliki pengalaman praktis yang luas sebagai pejabat pusat dan administrator lokal. Pengalaman ini, ditambah dengan pengamatan dan studinya selama pengasingan di Tasan Chodang di Gangjin, memungkinkannya untuk mensistematisasi dan menyempurnakan pemikiran dan ilmunya.
Karya-karyanya yang luas, termasuk 《경세유표Gyeongse YupyoBahasa Korea》, 《목민심서Mokmin SimseoBahasa Korea》, dan 《흠흠신서Heumheum SinseoBahasa Korea》, dianggap sebagai puncak "Dasan-hak" (다산학Dasan-hakBahasa Korea), sebuah kompendium yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan ideologi. Pemikirannya dicirikan oleh kedalaman, kejelasan, dan pandangan yang tajam. Meskipun ide-idenya tidak dapat diterapkan secara langsung pada masyarakat Joseon yang sedang runtuh, Jeong Yagyong diakui sebagai perwakilan utama aliran Silhak yang mengumpulkan dan mensistematisasi pemikiran progresif pada masanya. Sarjana Jeong In-bo bahkan menyatakan bahwa "penelitian tentang Guru Tasan sendiri adalah penelitian tentang sejarah Joseon, penelitian tentang pemikiran modern Joseon, penelitian tentang kejelasan jiwa Joseon, dan penelitian tentang naik turunnya dan kelangsungan hidup seluruh Joseon."
9.2. Pengaruh Sosial dan Budaya
Pemikiran Jeong Yagyong memiliki dampak signifikan di berbagai bidang. Profesor Don Baker dari University of British Columbia, Kanada, menyebut pemikirannya sebagai "pragmatisme moral," di mana Jeong Yagyong berupaya memecahkan masalah praktis sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Ia menginginkan kemajuan material yang menciptakan masyarakat yang lebih bermoral.
Profesor Peng Lin dari Universitas Qinghua, Beijing, memuji studi Jeong Yagyong tentang ritual, yang dianggapnya sangat unik karena mencakup ketiga bidang studi ritual, sesuatu yang jarang dicapai bahkan oleh sarjana Tiongkok. Jeong Yagyong bertujuan untuk menciptakan masyarakat ideal dengan memulai dari apa yang sudah ada, menunjukkan minat humanistiknya.
Selain itu, Jeong Yagyong juga memberikan pandangan yang menarik tentang sarjana Konfusianisme Jepang seperti Ito Jinsai, Ogyū Sorai, dan Dazai Shundai. Meskipun ia menemukan beberapa kekurangan dalam argumen mereka, ia mengakui keunggulan sastra mereka dan menyatakan bahwa Jepang telah melampaui Korea dalam bidang sastra karena kemampuannya untuk memperoleh buku-buku bagus langsung dari Tiongkok dan tidak terbebani oleh sistem ujian *gwageo*.
Jeong Yagyong juga memiliki peran penting dalam kebangkitan kembali budaya teh pada abad ke-19, mengajarkan cara membuat teh kue kepada para biksu seperti Hyejang dan Cho-ui, yang kemudian menyebarkan minat ini kepada sarjana lain.
9.3. Kritik dan Kontroversi
Meskipun diakui sebagai seorang jenius, Jeong Yagyong juga menghadapi kritik. Salah satu kritik utama adalah bahwa sebagian besar karyanya ditulis dalam Hanmun (aksara Tiongkok) dan ia cenderung mengabaikan penggunaan Hangul. Hal ini dianggap sebagai keterbatasan latar belakangnya sebagai seorang *Yangban sadaebu* (bangsawan-sarjana) yang tidak sepenuhnya melepaskan diri dari tradisi lama.
Selain itu, selama hidupnya dan bahkan hingga awal abad ke-20, ia menjadi sasaran kebencian dan permusuhan dari faksi Noron. Meskipun buku-bukunya tersedia di toko buku setelah tahun 1890-an, anggota faksi Noron menolak untuk membaca atau membelinya hanya karena Jeong Yagyong adalah anggota faksi Namin. Ini menunjukkan betapa kuatnya politik faksi dan prasangka ideologis pada masa itu.
10. Peringatan dan Warisan
Warisan Jeong Yagyong terus dihormati dan diperingati di Korea Selatan.
Situs-situs bersejarah yang terkait dengannya meliputi:
- Rumah Kelahiran Jeong Yagyong di Namyangju, Provinsi Gyeonggi, yang kini menjadi bagian dari kompleks Situs Sejarah Jeong Yagyong, termasuk Museum Silhak.
- Tasan Chodang (Gubuk Teh Tasan) di Gangjin, Provinsi Jeolla Selatan, tempat ia menghabiskan sebagian besar masa pengasingannya dan menulis karya-karya terpentingnya.
Pada tahun 2012, bertepatan dengan ulang tahun ke-250 kelahirannya, Jeong Yagyong terpilih sebagai "Tokoh Peringatan Dunia UNESCO" bersama Jean-Jacques Rousseau dan Hermann Hesse. UNESCO memilih tokoh-tokoh yang nilai-nilai dan ide-idenya sejalan dengan tujuan organisasi. Ini menegaskan pengakuan internasional atas kontribusi Jeong Yagyong terhadap filsafat, sains, dan kemajuan sosial.
11. Topik Terkait
- Benteng Hwaseong
- Jeongjo dari Joseon
- Chŏng Yakjong
- Konfusianisme Korea
- Filsafat Korea
- Silhak
- Katolik Roma di Korea Selatan
- Hwang Sa-yŏng
- Yi Byeok
- Kwon Ch'ŏl-sin
- Kim Beom-u
- Yi Seung-hun
- Sim Hwan-ji
- Jung Hae-in