1. Kehidupan Awal dan Penobatan
Ratu Jinseong lahir sebagai putri Raja Gyeongmun dan naik takhta setelah kematian kedua kakandanya tanpa keturunan, menjadi penguasa wanita terakhir Silla.
1.1. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Ratu Jinseong adalah putri dari Raja Gyeongmun dari Silla dan Ratu Munui dari klan Kim. Ia merupakan adik perempuan dari Raja Heongang dari Silla dan Raja Jeonggang dari Silla. Berdasarkan catatan bahwa ibunya, Ratu Munui, meninggal pada tahun 870, Ratu Jinseong diperkirakan lahir antara pertengahan hingga akhir tahun 860-an atau sekitar tahun 870. Ia memiliki nama pribadi Kim Man atau Kim Won.
Dalam silsilah keluarga klan Kim Gyeongju, tercatat bahwa Ratu Jinseong menikah dengan pamannya dari pihak ayah, Kim Wi-hong (혜성왕경주김씨; 845-888), yang merupakan putra kedua Kim Kye-myŏng dan Nyonya Gwanghwa. Mereka memiliki tiga putra: Kim Yang-jeong (lahir 882), Kim Jun (lahir 883), dan Kim Cheo-hoe (lahir 885).
1.2. Proses Penobatan
Ratu Jinseong naik takhta pada bulan Juli 887 setelah kedua kakandanya, Raja Heongang dan Raja Jeonggang, meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan langsung. Raja Jeonggang yang sedang sekarat pada tahun 887, menunjuk adiknya, Jinseong, sebagai pewarisnya. Keputusan untuk menunjuk seorang penguasa wanita dibenarkan dengan merujuk pada keberhasilan pemerintahan dua ratu pendahulunya, Ratu Seondeok dari Silla dan Ratu Jindeok dari Silla. Namun, meskipun pemerintahan sukses Seondeok dan Jindeok dijadikan contoh untuk mengamankan takhta Jinseong, ratu ketiga Silla ini pada akhirnya tidak dapat memenuhi harapan para pendahulunya.
2. Masa Pemerintahan
Masa pemerintahan Ratu Jinseong ditandai oleh kekacauan domestik yang meluas dan kebangkitan kekuatan-kekuatan regional yang pada akhirnya mengarah pada periode Tiga Kerajaan Akhir Korea.

2.1. Politik dan Kekacauan Sosial
Selama masa pemerintahan Ratu Jinseong, ketertiban umum di Silla runtuh secara drastis. Pemerintahannya digambarkan tidak berdaya, dan istana banyak dicampuri oleh anggota kerajaan Silla. Penegakan hukum menjadi longgar, sistem pengumpulan pajak tidak dapat berfungsi dengan baik, dan sistem wajib militer mengalami kegagalan. Ini menyebabkan keuangan negara kosong karena Raja dan ratu sebelumnya terlalu sering menghambur-hamburkan uang. Korupsi dan penyuapan merajalela, dan praktik jual beli jabatan menjadi hal yang umum, menyebabkan otoritas pemerintah pusat melemah.
2.2. Sistem Perpajakan dan Pemberontakan Rakyat
Krisis fiskal yang parah memaksa Ratu Jinseong untuk memperketat aturan pembayaran pajak demi membiayai keuangan pemerintahannya. Namun, keputusan ini justru menjadi bumerang. Rakyat, terutama para petani, telah rajin membayar pajak, tetapi dana tersebut tidak pernah sampai ke istana karena dikorupsi oleh para menteri dan pejabat. Akibatnya, rakyat harus membayar pajak ganda, yang memperparah penderitaan mereka.
Kondisi ini memicu munculnya Pemberontakan Wonjong dan Aeno pada tahun 889, yang merupakan salah satu pemberontakan petani pertama yang tercatat dalam periode akhir Silla. Di berbagai wilayah, pencurian dan banditisme semakin merajalela, dan kelompok-kelompok bandit ini, yang dipimpin oleh para pemberontak, berkembang menjadi kekuatan anti-pemerintah yang signifikan. Niat Ratu Jinseong untuk mendanai kerajaannya justru memperbesar kelompok pemberontakan akibat korupsi yang tidak terselesaikan.
2.3. Bangkitnya Hojok dan Munculnya Periode Tiga Kerajaan Akhir
Dengan otoritas kerajaan yang semakin melemah, kendali pemerintah pusat atas provinsi-provinsi hilang. Para pemimpin lokal, yang dikenal sebagai Hojok (호족hojokBahasa Korea), mulai membangun kekuatan mandiri di wilayah mereka masing-masing. Mereka bertindak sebagai penguasa de facto dan tidak lagi menunjukkan kesetiaan yang kuat kepada pemerintah pusat di Seorabeol (ibu kota Silla).
Mengambil keuntungan dari kekacauan domestik ini, Gyeon Hwon di wilayah barat daya dan Yang Gil di wilayah barat laut memberontak dan mendirikan kerajaan mereka sendiri, menghidupkan kembali negara-negara lama Goguryeo dan Baekje sebagai Hubaekje (Baekje Akhir) dan Hugoguryeo (Goguryeo Akhir).
Pada tahun 891, Ajagae, ayah dari Gyeon Hwon, memimpin pemberontakan petani lokal dan mendirikan basisnya di Sangju. Sementara itu, Gyeon Hwon juga mengorganisir pemberontakannya sendiri dan dengan cepat mengumpulkan banyak pengikut. Pada tahun 892, Gyeon Hwon merebut kota Wansanju (sekarang Jeonju) dan Mujinju (sekarang Gwangju), yang merupakan wilayah bekas Baekje, mendapatkan dukungan dari penduduk yang membenci pemerintahan Silla.
Pada tahun 891, seorang pangeran Silla yang menjadi biksu, Gung Ye, bergabung dengan pasukan pemberontak Gyeon Hwon, tetapi segera pergi karena Gyeon Hwon tidak sepenuhnya mempercayainya. Gung Ye kemudian bergabung dengan pasukan pemberontak Yang Gil pada tahun 892. Gung Ye berhasil menjadi pemimpin utama pasukan pemberontak setelah mengalahkan pasukan Silla lokal dan kelompok pemberontak lainnya. Pada tahun 895, Gung Ye menyerang wilayah barat laut Silla, termasuk Songdo (tempat tinggal Wang Ryung dan Wang Geon, pendiri Goryeo). Wang Ryung dan Wang Geon segera menyerah dan Wang Geon bersumpah setia kepada Gung Ye. Gung Ye berhasil menguasai banyak wilayah dan mendirikan basis di Myeongju (sekarang Gangneung) pada tahun 895, dengan dukungan dari para pemimpin lokal. Sebagian besar bangsawan lokal di Myeongju dan Paeseo juga bergabung dengan pasukan Gung Ye, membuatnya lebih kuat daripada Yang Gil. Gung Ye akhirnya mengalahkan dan membunuh Yang Gil pada tahun 897, mengambil alih kepemimpinan pasukan pemberontak.
Pergolakan ini secara efektif menandai dimulainya periode Tiga Kerajaan Akhir Korea, dengan Silla yang berkuasa hanya di wilayah sekitar ibu kotanya, Gyeongju.
2.4. Upaya Reformasi Negara dan Simu 10-jo Choe Chi-won
Di tengah kekacauan ini, Ratu Jinseong berusaha untuk memperbaiki keadaan negara. Pada tahun 894, ia menunjuk Choe Chi-won, seorang cendekiawan terkemuka dan pejabat berpengalaman, sebagai Achan. Choe Chi-won kemudian menyampaikan "Simu 10-jo" (시무10조Simu SipjoBahasa Korea, Sepuluh Butir Rekomendasi untuk Reformasi), sebuah dokumen yang berisi sebelas butir saran untuk reformasi pemerintahan Silla dan penerapan kebijakan yang lebih manusiawi demi menyelamatkan negara yang terancam.
Pada tahun 895, Ratu Jinseong mendirikan Wonbongseong (원봉성), sebuah badan baru dalam pemerintahan Silla. Namun, meskipun ada upaya ini, catatan menunjukkan bahwa banyak dari proposal reformasi Choe Chi-won diabaikan atau tidak dilaksanakan oleh Ratu Jinseong. Choe Chi-won sendiri merasa frustrasi dengan ketidakmampuan istana untuk mengatasi masalah-masalah ini. Ia mengkritik korupsi di istana dan mencatat bahwa artikel-artikel yang mengkritik pemerintahan dipasang di jalanan, menunjukkan gejolak opini publik. Akibat ketidakpuasannya, Choe Chi-won akhirnya memilih untuk mundur dari jabatannya dan mengundurkan diri ke pegunungan Gasan pada tahun 897 di usia 41 tahun.
2.5. Kontroversi dan Masalah dalam Catatan Sejarah
Citra Ratu Jinseong dalam catatan sejarah sangat kontroversial, terutama dalam Samguk Sagi dan Samguk Yusa, yang memberikan gambaran yang sangat negatif.
Menurut Samguk Sagi, Ratu Jinseong digambarkan memiliki perilaku amoral dan "mesum". Dicatat bahwa ia membawa banyak pemuda tampan ke istana dan melakukan tindakan tidak senonoh dengan mereka. Selain itu, ia dituduh memiliki hubungan gelap dengan komandan tinggi (Gakgan) Kim Wi-hong. Setelah kematian Kim Wi-hong, Ratu Jinseong bahkan memberinya gelar kehormatan "Hyesong Daewang" (Raja Agung Hyesong). Ia juga dituduh memberikan posisi-posisi penting kepada pemuda-pemuda tersebut dan menyerahkan urusan negara kepada mereka, yang mengakibatkan kemerosotan disiplin dan tatanan di istana.
Samguk Yusa juga mencatat bahwa Ratu Jinseong, di bawah pengaruh ibu asuhnya, Buho Buin, dan suaminya, Kim Wi-hong, serta beberapa "kesayangan" lainnya, membiarkan mereka menyalahgunakan kekuasaan dan mengacaukan negara.
Namun, penting untuk dicatat bahwa Samguk Sagi ditulis oleh para sejarawan Konfusianisme yang cenderung memiliki pandangan negatif terhadap pemerintahan wanita. Bias ini mirip dengan bagaimana permaisuri Wu Zetian dari Dinasti Tang di Tiongkok sering digambarkan secara negatif. Catatan-catatan tersebut sering kali menyalahkan semua masalah di Silla pada keberadaan seorang ratu sebagai penguasa, alih-alih pada korupsi pejabat istana yang mendzalimi rakyat dan petani.
Sebaliknya, catatan dari cendekiawan Choe Chi-won, yang menjabat selama masa pemerintahan Ratu Jinseong, menyajikan pandangan yang berbeda. Dalam "Sasawi Pyo" (표) miliknya, Choe Chi-won menggambarkan Ratu Jinseong sebagai seorang penguasa yang berhati baik, tidak tamak, dan memiliki sedikit nafsu. Ia juga dicatat sebagai seseorang yang sering sakit, menyukai ketenangan, berbicara hanya ketika diperlukan, dan memiliki kemauan yang kuat dalam mencapai tujuannya. Catatan-catatan Choe Chi-won lainnya, seperti prasasti Nanghye Hwasangtapbi di Boryeong, juga menggambarkan Ratu Jinseong sebagai seorang penguasa yang bijaksana.
Meskipun Samguk Sagi menyebutkan bahwa Ratu Jinseong membubarkan Yeoseong Susagwan, sebuah lembaga yang telah berdiri selama 160 tahun, karena anggotanya berusaha untuk memecatnya dengan mencari-cari kesalahannya, informasi ini tidak ditemukan dalam sumber lain dan mungkin merupakan bagian dari narasi negatif yang bias.
Perbedaan tajam dalam catatan sejarah ini menimbulkan perdebatan historiografi seputar pemerintahannya, menyoroti pentingnya mempertimbangkan bias penulis dalam menafsirkan sejarah.
3. Akhir Hayat
Masa akhir pemerintahan Ratu Jinseong ditandai dengan kemunduran kesehatannya dan penyerahan takhta kepada Putra Mahkota Kim Yo sebelum kematiannya.
3.1. Penunjukan Putra Mahkota dan Penyerahan Takhta
Pada tahun 895, Ratu Jinseong melantik Kim Yo, putra tidak sah dari kakandanya, Raja Heongang, sebagai Putra Mahkota. Hal ini terjadi di tengah kondisi kesehatan Ratu yang memburuk dan kekacauan politik yang semakin parah.
Pada tanggal 4 Juli 897 (tanggal 1 bulan ke-6 kalender lunar 897), Ratu Jinseong turun takhta karena sakit. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Putra Mahkota Kim Yo, yang kemudian naik takhta sebagai Raja Hyogong dari Silla.
3.2. Kematian dan Makam
Setelah turun takhta, Ratu Jinseong meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 897 (tanggal 4 bulan ke-12 kalender lunar 897). Ia dimakamkan di sebelah utara Kuil Sajasa di Gyeongju.
4. Warisan dan Penilaian
Ratu Jinseong meninggalkan dampak yang signifikan meskipun masa pemerintahannya singkat dan penuh gejolak.
4.1. Pencapaian Kebudayaan
Pada tahun kedua pemerintahannya, 888 M, Ratu Jinseong memerintahkan Kim Wi-hong dan Biksu Agung Daegu untuk menyusun Samdaemok (삼대목SamdaemokBahasa Korea), sebuah antologi atau kompilasi pertama dari karya-karya hyangga (lagu atau puisi tradisional Silla). Meskipun demikian, koleksi ini tidak bertahan hingga saat ini, tetapi perintah penyusunannya menunjukkan upaya untuk melestarikan warisan budaya Silla di tengah krisis.
4.2. Penilaian Historis
Penilaian historis terhadap Ratu Jinseong sangat bervariasi, menciptakan perdebatan di kalangan sejarawan. Sebagian besar catatan awal, seperti yang ditemukan dalam Samguk Sagi dan Samguk Yusa, menggambarkan dirinya secara sangat negatif. Ia dituduh terlibat dalam perilaku amoral, menyerahkan kekuasaan kepada favorit, dan menyebabkan kemerosotan moral serta politik yang mempercepat jatuhnya Silla. Perspektif ini sering kali dikaitkan dengan bias Konfusianisme pada masa penulisan catatan sejarah tersebut, yang cenderung kritis terhadap penguasa wanita.
Namun, di sisi lain, catatan dari cendekiawan kontemporer Choe Chi-won, yang menjadi salah satu pejabat utamanya, menyajikan pandangan yang kontras dan lebih positif. Choe Chi-won menggambarkan Ratu Jinseong sebagai seorang penguasa yang tulus, tanpa keserakahan, dan bersedia menerima rekomendasi untuk reformasi. Pandangan ini menunjukkan bahwa mungkin ada aspek-aspek positif dari pemerintahannya atau karakternya yang tidak terekam dalam narasi utama.
Perbedaan pandang ini menyoroti kompleksitas dalam menafsirkan sejarah, terutama ketika sumber-sumbernya memiliki agenda atau bias tertentu. Ratu Jinseong sering dilihat sebagai simbol dari kemunduran akhir Silla, di mana kegagalan pemerintah pusat untuk mengendalikan kekacauan sosial dan bangkitnya kekuatan regional akhirnya mengarah pada runtuhnya kerajaan dan dimulainya periode Tiga Kerajaan Akhir.
5. Silsilah Keluarga
Hubungan | Nama | Detail |
---|---|---|
Ayah | Raja Gyeongmun dari Silla | (景文王, 841/846-875, memerintah: 861-875) |
Kakek dari pihak ayah | Kim Kye-myŏng | |
Nenek dari pihak ayah | Nyonya Gwanghwa (광화부인Gwanghwa BuinBahasa Korea) | |
Ibu | Ratu Munui dari klan Kim | (문의왕후 김씨Munui Wanghu GimssiBahasa Korea) |
Kakek dari pihak ibu | Raja Heonan dari Silla | (헌안왕Heonan WangBahasa Korea) |
Nenek dari pihak ibu | Tidak diketahui | |
Suami | Kim Wi-hong | (金魏弘, 845-888), seorang Gakgan, juga pamannya dari pihak ayah. |
Anak | Nama | Catatan |
Putra | Kim Yang-jeong | (김양정; lahir 882) |
Putra | Kim Jun | (김준; lahir 883) |
Putra | Kim Cheo-hoe | (김처회; lahir 885) |
6. Ratu Jinseong dalam Budaya Populer
Ratu Jinseong telah digambarkan dalam berbagai media populer di Korea Selatan, yang mencerminkan ketertarikan publik terhadap sosoknya yang kontroversial dan masa pemerintahannya yang bergejolak.
- Dalam serial televisi KBS1 Taejo Wang Geon (2000-2002), ia diperankan oleh aktris Noh Hyun-hee.
- Dalam film Jinseong Yeowang yang dirilis pada tahun 1964, ia diperankan oleh aktris Do Geum-bong.
- Dalam film Cheonnyeonho (1969), ia diperankan oleh aktris Kim Hye-jeong.
- Dalam film The Legend of the Evil Lake (2003), ia diperankan oleh aktris Kim Hye-ri.
7. Lihat Pula
- Silla Bersatu
- Tiga Kerajaan Akhir Korea
- Daftar Penguasa Korea
- Sejarah Korea
- Ratu Seondeok dari Silla
- Ratu Jindeok dari Silla