1. Biografi
Kehidupan Ratu Jeongsun ditandai oleh perannya yang berubah dari seorang permaisuri muda menjadi Ibu Suri yang berpengaruh, dan akhirnya menjadi wali raja yang memegang kendali kekuasaan politik yang besar di akhir hayatnya.
1.1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang Keluarga
Ratu Jeongsun, yang lahir sebagai Nona Kim, dilahirkan pada 2 Desember 1745 (kalender lunar 10 November 1745) di sektor kaya yang kini disebut Seosan, Provinsi Chungcheong Selatan, selama masa pemerintahan Raja Yeongjo, yang kelak akan menjadi suaminya. Kampung halamannya adalah Yeoju, Provinsi Gyeonggi. Ia adalah putri dari Kim Han-gu dari Klan Gyeongju Kim dan Nona Wonpung dari Klan Wonju Won. Ia memiliki dua kakak laki-laki, Kim Gwi-ju dan Kim In-ju. Kakek buyutnya adalah Kim Hong-uk, seorang sarjana dari faksi Seoin yang meninggal karena diasingkan selama masa Raja Hyojong. Kakeknya adalah Kim Seon-gyeong.
q=Seosan, South Korea|position=left
Melalui leluhur buyutnya yang kelima, Nona Kim adalah cicit ke-25 dari Raja Gyeongsun dari Silla dan Putri Nakrang melalui putra kedua mereka, Kim Eun-yeol. Ini menjadikannya kerabat jauh dari Ratu Jeongan, istri Raja Jeongjong dari Joseon, raja Joseon kedua, karena mereka berbagi Kim Jeong-gu (973-1057) sebagai leluhur terakhir. Melalui nenek buyutnya yang kelima, ia adalah cicit ke-8 dari Yi Je, Putra Mahkota Yangnyeong, putra tertua dari Ratu Wongyeong dan Raja Taejo dari Joseon, serta kakak laki-laki dari Raja Sejong yang Agung.
1.2. Pernikahan dan Menjadi Permaisuri
Setelah kematian permaisuri pertama Raja Yeongjo, Permaisuri Jeongseong, pada tahun 1757, Raja Yeongjo mengadakan pemilihan pengantin untuk memilih permaisuri keduanya. Ayahnya, Raja Sukjong, telah melarang selir-selir sebelumnya menjadi permaisuri, sehingga Raja Yeongjo tidak dapat mengangkat salah satu selirnya menjadi permaisuri, seperti yang telah dilakukan banyak raja sebelumnya.
Pada 9 Juni 1759, Nona Kim terpilih sebagai permaisuri. Pernikahan resmi dilangsungkan pada 22 Juni 1759, di Istana Changgyeonggung. Pernikahan ini dianggap sebagai pernikahan dengan perbedaan usia tertua dalam sejarah Dinasti Joseon, karena Raja Yeongjo berusia 66 tahun, sementara Ratu Jeongsun baru berusia 15 tahun pada saat itu. Ia juga 10 tahun lebih muda dari putra dan pewaris suaminya, Putra Mahkota Sado, dan menantu perempuannya, Lady Hyegyong. Ia bahkan 7 tahun lebih tua dari cucu tirinya, Putra Mahkota Yi San.
Selama pemilihan pengantin, Raja Yeongjo bertanya kepada para kandidat apa hal terdalam di dunia. Beberapa menjawab gunung, laut, atau cinta orang tua, namun ia menjawab "hati manusia", yang menarik perhatian Raja atas kebijaksanaannya. Ketika ditanya tentang bunga terindah, ia menjawab, "Bunga kapas adalah bunga terindah. Meskipun tidak memancarkan keindahan dan aroma, namun ia adalah bunga terindah yang menghangatkan rakyat dengan seratnya."
Setelah Ratu Jeongsun diangkat, ayahnya, Kim Han-gu, diberi gelar kebangsawanan "Pangeran Internal Oheung" (오흥부원군Oheung BuwongunBahasa Korea), dan ibunya diberi gelar "Putri Internal Permaisuri Wonpung" (원풍부부인Wonpung BubuinBahasa Korea). Ratu dikenal agak tegas terhadap suaminya. Ketika seorang pelayan istana dengan sopan meminta Raja untuk membalikkan badan saat mengukur pakaian, Ratu dengan nada tegas justru bertanya kepada suaminya, "Bisakah Anda berbalik?". Meskipun ia dan suaminya saling mencintai, mereka tidak memiliki anak. Tidak ada catatan tentang kehamilan atau keguguran Ratu muda.
1.3. Masa Pemerintahan Jeongjo
Pada tahun 1762, Putra Mahkota Sado meninggal dunia. Kemudian, Raja Yeongjo meninggal pada 22 April 1776, dan Yi San naik takhta sebagai penguasa Joseon ke-22 dengan nama Jeongjo. Sebagai janda seorang raja, Permaisuri yang saat itu berusia 31 tahun dihormati sebagai Ibu Suri Yesun. Namun, Hong Bong-han, kakek dari pihak ibu Raja Jeongjo, dan Jeong Hu-gyeom, putra angkat Putri Hwawan, memprotes keputusan ini.
Kakak laki-laki Ratu Jeongsun, Kim Gwi-ju, menasihati adiknya untuk menunggu saat yang tepat. Namun, Raja Jeongjo bertindak lebih dulu. Ia memecat Hong Bong-han dan Jeong Hu-gyeom dari jabatan mereka. Namun, Jeongjo kemudian mengasingkan Kim Gwi-ju ke Pulau Heuksan dengan alasan tidak menghormati ibu Raja, Lady Hyegyong. Alasan sebenarnya adalah karena keterlibatan Kim Gwi-ju dalam pemecatan Hong Bong-han selama pemerintahan Yeongjo. Tindakan ini menyebabkan ketegangan yang tidak terucapkan dan konfrontasi ekstrem antara Ibu Suri Yesun dan Raja Jeongjo. Meskipun demikian, dalam catatan resmi seperti *Myeonguirok* yang disusun oleh Jeongjo, disebutkan bahwa Ibu Suri Yesun turut membantu Jeongjo dalam krisis suksesi. Selain itu, dalam *Chijemun* (doa pemakaman) yang ditulis oleh Jeongjo untuk ayah Ratu Jeongsun, ia memuji Ratu karena telah melindungi dirinya. Beberapa catatan lain, seperti *Ilgeungnok*, juga menunjukkan hubungan yang lebih dekat antara Jeongjo dan Ratu Jeongsun dibandingkan yang digambarkan dalam kisah populer.
1.4. Masa Perwalian Sunjo
Pada tahun 1800, Raja Jeongjo meninggal dunia pada usia 49 tahun karena abses di punggungnya. Ia meninggal 15 hari setelah pertama kali diobati. Kata-kata terakhirnya adalah 'Aula Sujeongjeon', yang merupakan kediaman Ibu Suri Yesun, sehingga menimbulkan spekulasi hingga hari ini bahwa Ibu Suri Agung meracuni Jeongjo.
Ia digantikan oleh putranya yang berusia 10 atau 11 tahun, Yi Gong, yang naik takhta sebagai Raja Sunjo. Ibu Suri Yesun kemudian diangkat ke status Ibu Suri Agung. Sebagai anggota keluarga kerajaan generasi tertua, Ibu Suri Agung Yesun bertindak sebagai wali raja untuk Raja muda dan memegang kekuasaan hingga ia secara sukarela melepaskannya pada tahun 1803. Ia menyimpang dari kebijakan mendiang Raja Jeongjo, dengan memberlakukan Penganiayaan Katolik pada tahun 1801 dan mendukung faksi Noron Byeokpa.
Ibu Suri Yesun membersihkan sejumlah besar faksi Soron yang berkonflik, mengeksekusi saudara tiri Jeongjo, Pangeran Euneon, dan paman dari pihak ibu Hong Nak-im. Ia juga menghapuskan Jang Yong-young, sebuah institusi yang didirikan oleh Jeongjo, dan secara besar-besaran menekan Gereja Katolik yang telah ditoleransi oleh Jeongjo. Ia memecat dan mengusir orang-orang dari faksi Soron dan Namin Sipa.
Ia juga mengangkat banyak pejabat Noron Bukpa, seperti Kim Gwan-ju dan Kim Yong-ju, yang sebelumnya telah diasingkan oleh Jeongjo. Pada tahun 1802, sesuai dengan hukum Jeongjo, ia menjadikan putri Kim Jo-sun, calon Ratu Sunwon, sebagai permaisuri Raja Sunjo. Kim Jo-sun kemudian diangkat sebagai Pangeran Internal Yeongan (영안부원군Yeongan BuwongunBahasa Korea), dan Ibu Suri Yesun secara sukarela mengundurkan diri dari perwaliannya pada 9 Februari 1804 (kalender lunar 28 Desember 1803) setelah serangkaian kebakaran besar melanda Pyongyang, Hamheung, dan Istana Changdeokgung. Setelah Raja Sunjo mulai memerintah sendiri, sebagian besar birokrat Noron Byeokpa disingkirkan oleh Kim Jo-sun, ayah dari Ratu Sunwon, yang merupakan kekuatan pendorong di balik Raja Jeongjo. Pengaruh Ibu Suri Agung Yesun melemah.
1.5. Kematian
Ratu Jeongsun menghabiskan tahun terakhir pemerintahannya dengan pengaruh yang berkurang. Setahun kemudian, pada 11 Februari 1805 (kalender lunar 12 Januari 1805), ia meninggal di Aula Gyeongbokjeon, Istana Changdeokgung. Ia meninggal pada usia 61 tahun. Ia dianugerahi gelar anumerta Ratu Jeongsun.
Ia dimakamkan bersama suaminya, Raja Yeongjo, di Wonneung (원릉WonneungBahasa Korea), bagian dari Donggureung di kota Guri, Provinsi Gyeonggi. Meskipun terdapat perbedaan antara Jeongjo dan Ibu Suri Agung Yesun, Raja Jeongjo sendiri, sebelum kematiannya, telah mempertimbangkan untuk memakamkan kakeknya (Yeongjo) di samping Ibu Suri Agung yang telah meninggal dalam makam dinasti tersebut.
2. Dampak Sejarah dan Politik
Masa perwalian Ratu Jeongsun meninggalkan jejak mendalam pada lanskap politik dan sosial Joseon, mengalihkan arah kebijakan dan struktur kekuasaan.
2.1. Pengaruh pada Kebijakan
Dampak kebijakan Ratu Jeongsun, terutama selama masa perwaliannya, sangat signifikan terhadap stabilitas politik dan kelompok sosial di Joseon. Dengan mengambil alih kekuasaan setelah kematian mendadak Raja Jeongjo, ia secara drastis membalikkan banyak kebijakan yang telah ditetapkan oleh mendiang raja. Dukungannya yang kuat terhadap faksi Noron Byeokpa secara efektif menyingkirkan faksi-faksi yang bertentangan, seperti Soron dan Namin Sipa, dari pengaruh di istana.
Kebijakan paling kontroversial dan berdampak luas adalah penindasan Katolik pada tahun 1801, yang dikenal sebagai Sinnyu Paghae. Penindasan ini tidak hanya menargetkan umat Katolik, tetapi juga digunakan sebagai alat politik untuk membersihkan lawan-lawan politik Noron Byeokpa, terutama para sarjana Namin yang banyak menganut Katolik atau bersimpati padanya. Kebijakan ini menciptakan gelombang ketakutan dan ketidakstabilan, serta merusak kemajuan dalam kebijakan toleransi yang telah dibangun oleh Jeongjo.
2.2. Perubahan Politik Pasca-Pemerintahan
Masa kekuasaan Ratu Jeongsun, meskipun relatif singkat, membuka jalan bagi perubahan mendasar dalam lanskap politik Joseon. Setelah ia melepaskan perwaliannya dan kemudian meninggal, kekuasaan secara bertahap bergeser dari dominasi faksi-faksi politik ke dominasi klan mertua raja. Ayah dari Ratu Sunwon, Kim Jo-sun dari Klan Andong Kim, yang diangkat sebagai Pangeran Internal Yeongan, dengan cepat mengkonsolidasikan kekuasaannya.
Fenomena ini dikenal sebagai Sedo Jeongchi (politik Sedo atau politik kekerabatan), di mana kekuasaan negara dipegang oleh klan-klan bangsawan tertentu yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan melalui pernikahan. Pengaruh Ratu Jeongsun yang melemah pada tahun-tahun terakhirnya dan kebangkitan Kim Jo-sun menandai awal era politik Sedo, yang akan mendominasi politik Joseon selama beberapa dekade berikutnya, seringkali dengan dampak negatif pada administrasi pemerintahan dan kesejahteraan rakyat.
3. Kritik dan Kontroversi
Masa pemerintahan dan tindakan Ratu Jeongsun tidak luput dari kritik dan kontroversi, terutama terkait hubungannya dengan Raja Jeongjo, penindasan terhadap umat Katolik, dan penggunaan gelarnya.
3.1. Hubungan dengan Jeongjo
Hubungan antara Ratu Jeongsun dan Raja Jeongjo sering kali digambarkan sebagai tegang dan penuh konflik, terutama dalam narasi populer. Ketegangan ini diperparah oleh pengasingan kakak laki-laki Ratu, Kim Gwi-ju, oleh Jeongjo. Meskipun Raja Jeongjo beralasan bahwa pengasingan itu disebabkan oleh ketidakhormatan Kim Gwi-ju terhadap Lady Hyegyong, alasan sebenarnya diyakini adalah keterlibatan Nya dalam pemecatan Hong Bong-han, yang menunjukkan konflik faksi yang mendalam. Spekulasi populer mengenai keterlibatan Ratu Jeongsun dalam kematian mendadak Raja Jeongjo pada tahun 1800 juga menyoroti persepsi tentang konflik di antara mereka.
Namun, catatan sejarah resmi Joseon tidak secara eksplisit mencatat konflik ekstrem antara Jeongjo dan Ratu Jeongsun. Bahkan, beberapa catatan menunjukkan dukungan Ratu terhadap Jeongjo dan kedekatan hubungan mereka. Dalam *Myeonguirok*, sebuah buku yang disusun oleh Jeongjo untuk menjelaskan situasi politik, disebutkan bahwa Ratu Jeongsun membantu Jeongjo melewati krisis suksesi. Selain itu, Jeongjo sendiri menulis sebuah doa pemakaman untuk ayah Ratu Jeongsun, Kim Han-gu, di mana ia memuji Ratu karena telah melindunginya. Catatan lain, seperti *Ilgeungnok*, juga menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara Raja Jeongjo dan Ratu Jeongsun.
3.2. Penganiayaan Katolik
Salah satu tindakan paling kontroversial Ratu Jeongsun adalah penindasan besar-besaran terhadap umat Katolik pada tahun 1801, yang dikenal sebagai Sinnyu Paghae (신유박해Sinnyu PaghaeBahasa Korea). Berbeda dengan Raja Jeongjo yang cenderung menoleransi Katolik dengan alasan bahwa "jika ajaran yang benar bercahaya, ajaran sesat akan layu dengan sendirinya," Ratu Jeongsun mengambil sikap yang sangat keras.
Pada 22 Februari 1801 (kalender lunar 10 Januari), ia mengeluarkan dekret keras yang melarang Katolik, menyatakan bahwa "ajaran sesat ini tidak memiliki orang tua dan tidak ada raja, menghancurkan tatanan moral dan bertentangan dengan peradaban, secara otomatis kembali ke keadaan barbar dan binatang buas." Dekret ini memerintahkan para gubernur dan hakim untuk mengedukasi masyarakat agar meninggalkan Katolik, dan bagi mereka yang tidak bertobat, mereka akan dihukum dengan "hukum pengkhianatan." Dekret ini juga menginstruksikan penerapan Oga Jakttongbeop (sistem tanggung jawab kolektif lima keluarga) untuk mengidentifikasi dan menghukum umat Katolik.
Penindasan ini mengakibatkan eksekusi banyak pemeluk Katolik, termasuk cendekiawan Namin terkemuka seperti Jeong Yak-jong (kakak tertua Jeong Yak-yong) dan Yi Seung-hun. Yi Ga-hwan, meskipun telah melepaskan keyakinannya, juga meninggal karena penyiksaan, sementara Jeong Yak-yong diasingkan. Penindasan ini tidak hanya merupakan tindakan keagamaan tetapi juga alat politik untuk membersihkan faksi-faksi Namin dan Sipa yang merupakan lawan dari faksi Noron Byeokpa yang didukung Ratu. Insiden Surat Hwang Sa-yeong (황사영 백서 사건) setelah penindasan ini semakin memperburuk situasi bagi umat Katolik di Joseon.
3.3. Kontroversi Gelar
Selama masa perwaliannya, Ratu Jeongsun dilaporkan menggunakan gelar "Yeogun" (여군YeogunBahasa Korea, 女君Bahasa Tionghoa) atau "Yeoju" (여주YeojuBahasa Korea, 女主Bahasa Tionghoa). Hal ini sempat menimbulkan perdebatan dan interpretasi yang berbeda, dengan beberapa pihak mengklaim bahwa ia menganggap dirinya sebagai "raja wanita" atau "penguasa wanita" yang setara dengan raja.
Namun, analisis lebih lanjut terhadap catatan sejarah menunjukkan bahwa interpretasi ini kemungkinan besar keliru. Istilah "Yeogun" dan "Yeoju" adalah istilah umum yang digunakan di lingkungan istana Joseon untuk merujuk kepada permaisuri atau ibu suri. Catatan menunjukkan bahwa beberapa ibu suri lainnya di Joseon, termasuk Ratu Insu dan Ratu Inmok, juga menggunakan istilah-istilah ini. Ratu Jeongsun sendiri tercatat menggunakan istilah "Yeogun" bahkan selama pemerintahan Raja Jeongjo (pada 1 Desember tahun ke-10 pemerintahan Jeongjo), ketika ia belum menjadi wali raja. Oleh karena itu, penggunaan gelar ini tidak berarti ia mengklaim menjadi "raja wanita," melainkan hanya merujuk pada posisinya sebagai penguasa tertinggi di dalam istana, sebuah peran yang biasa bagi seorang ibu suri yang bertindak sebagai wali raja.
4. Dalam Budaya Populer
Ratu Jeongsun telah diadaptasi dalam berbagai media budaya populer, termasuk drama televisi, film, dan teater, menunjukkan daya tarik sejarahnya.
Berikut adalah daftar adaptasi Ratu Jeongsun:
- Diperankan oleh Kim Yong-sun dalam serial TV MBC 1988-1989, The Memoirs of Lady Hyegyeong.
- Diperankan oleh Kim Ja-ok dalam serial TV KBS1 1991, The Royal Way.
- Diperankan oleh Lee In-hye dalam serial TV MBC 1998, The King's Road.
- Diperankan oleh Kim Yeong-ran dalam serial TV KBS2 2000, Novel: Admonitions on Governing the People.
- Diperankan oleh Yeom Ji-yoon dalam serial TV MBC 2001, Hong Guk-yeong.
- Diperankan oleh Kim Ae-ri dalam serial TV KBS 2007, Conspiracy in the Court.
- Diperankan oleh Kim Hee-jong dalam serial TV CGV 2007, Eight Days, Assassination Attempts against King Jeongjo.
- Diperankan oleh Kim Yeo-jin dalam serial TV MBC 2007-2008, Lee San, Wind of the Palace.
- Diperankan oleh Yoon Min-ju dalam musikal 2007, King Jeongjo.
- Diperankan oleh Im Ji-eun dalam serial TV SBS 2008, Painter of the Wind.
- Diperankan oleh Geum Dan-bi dalam serial TV SBS 2011, Warrior Baek Dong-soo.
- Diperankan oleh Ha Seung-ri dalam serial TV SBS 2014, Secret Door.
- Diperankan oleh Han Ji-min dalam film 2014, The Fatal Encounter.
- Diperankan oleh Seo Yea-ji dalam film 2015, The Throne.
- Diperankan oleh Jang Hee-jin dalam serial TV MBC 2021, The Red Sleeve.
5. Pranala Luar
- [https://www.guide2womenleaders.com/korea_heads.htm Korea Heads]