1. Tinjauan Umum

Lee Hong-Koo (이홍구I HongguBahasa Korea; 李洪九Li HongjiuBahasa Tionghoa) adalah seorang akademisi dan politikus Korea Selatan yang menjabat sebagai Perdana Menteri Korea Selatan dari tahun 1994 hingga 1995. Lahir pada 9 Mei 1934 di Distrik Koyang, Provinsi Gyeonggi (sekarang bagian dari Pulau Yeouido, Seoul), Korea di bawah pemerintahan Jepang, ia merupakan keturunan ke-15 dari Pangeran Yeongsan dari Klan Jeonju Lee, yang merupakan putra Raja Seongjong dari Joseon. Korea Selatan menganut sistem presidensial yang kuat, dengan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta menganut demokrasi multi-partai.
Karier Lee Hong-Koo mencakup 33 tahun di dunia akademis sebelum ia memasuki dunia politik. Ia menjabat sebagai Menteri Unifikasi di bawah pemerintahan Roh Tae-Woo dan Kim Young-Sam, serta sebagai Duta Besar Korea Selatan untuk Britania Raya dan Duta Besar Korea Selatan untuk Amerika Serikat. Setelah masa jabatannya sebagai Perdana Menteri, ia menjadi anggota Majelis Nasional Korea Selatan untuk Partai Korea Baru dan kemudian memimpin partai tersebut. Setelah meninggalkan jabatan publik, ia aktif sebagai kolumnis surat kabar dan mendirikan Institut Asia Timur, sebuah lembaga pemikir terkemuka. Sepanjang kariernya, Lee Hong-Koo memainkan peran penting dalam perumusan kebijakan luar negeri dan unifikasi Korea Selatan, serta berkontribusi pada wacana publik melalui tulisan-tulisannya.
2. Kehidupan Awal dan Pendidikan
Lee Hong-Koo lahir pada 9 Mei 1934 di Yeoyu-ri, Distrik Koyang, Provinsi Gyeonggi, yang pada masa itu merupakan bagian dari Korea di bawah pemerintahan Jepang. Wilayah ini kini menjadi bagian dari Pulau Yeouido, Seoul. Ia berasal dari Klan Jeonju Lee, klan keluarga penguasa Korea dari tahun 1392 hingga 1910, dan merupakan keturunan ke-15 dari Yi Jeon, Pangeran Yeongsan, putra Raja Seongjong dari Joseon.
Ia dibesarkan di Gyeongseong (nama Seoul pada masa itu) di bawah pemerintahan Jepang. Pada tahun 1953, ia lulus dari Sekolah Menengah Atas Gyeonggi, sebuah sekolah elit. Pada tahun yang sama, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Nasional Seoul untuk mempelajari hukum, namun ia memutuskan untuk keluar pada tahun berikutnya, 1954.
2.1. Pendidikan
Pada tahun 1955, Lee Hong-Koo melanjutkan studinya di Amerika Serikat, masuk ke Universitas Emory dengan jurusan ilmu politik dan lulus pada tahun 1959. Ia kemudian meraih gelar Master of Arts (MA) pada tahun 1961 dan gelar Doktor (PhD) pada tahun 1968 di bidang ilmu politik dari Universitas Yale.
Sebagai pengakuan atas kontribusi akademisnya, Universitas Emory menganugerahkan gelar doktor kehormatan kepadanya pada tahun 1978. Selain itu, ia juga menjadi peneliti di Pusat Internasional Woodrow Wilson pada tahun 1973 dan di Sekolah Hukum Harvard pada tahun 1974.
3. Karier Akademis
Lee Hong-Koo memulai karier akademisnya di Amerika Serikat sebagai asisten profesor di Universitas Emory dari tahun 1964 hingga 1968. Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, ia kembali ke Korea pada tahun 1968 atau 1969.
Setibanya di Korea, ia menjabat sebagai profesor ilmu politik di Universitas Nasional Seoul, universitas terkemuka di Korea, hingga tahun 1973. Setelah kembali dari studinya di Sekolah Hukum Harvard sekitar tahun 1974, ia kembali mengemban posisi yang sama di Universitas Nasional Seoul. Ia terus menjabat sebagai profesor di universitas tersebut hingga pengangkatannya sebagai menteri pemerintahan pada tahun 1988. Total, ia menghabiskan 33 tahun di dunia akademis, sekitar setengahnya di Amerika Serikat dan setengahnya di Seoul.
4. Karier Politik
Setelah berkarier selama 33 tahun di dunia akademis, Lee Hong-Koo memasuki dunia politik dan pemerintahan pada tahun 1988. Ia ditunjuk sebagai Menteri Unifikasi oleh Presiden Roh Tae-Woo yang baru terpilih.
Pada tahun 1991, ia ditunjuk oleh Presiden Roh Tae-Woo sebagai Duta Besar Korea Selatan untuk Britania Raya. Kemudian, dari tahun 1994 hingga 1995, Lee Hong-Koo menjabat sebagai Perdana Menteri Korea Selatan ke-28 di bawah kepemimpinan Presiden Kim Young-Sam. Meskipun menjabat sebagai Perdana Menteri, perlu dicatat bahwa Korea Selatan menganut sistem presidensial yang kuat, sehingga posisi Perdana Menteri berada di bawah Presiden. Pada saat menjabat sebagai Perdana Menteri, Lee Hong-Koo tidak menjadi anggota partai politik mana pun.
4.1. Menteri Unifikasi
Lee Hong-Koo memegang jabatan sebagai Menteri Unifikasi dalam dua periode pemerintahan yang berbeda. Pertama, ia menjabat sebagai Menteri Unifikasi Nasional (국토통일원 장관Gukto Tongilwon JangwanBahasa Korea) dari 25 Februari 1988 hingga 18 Maret 1990 di bawah pemerintahan Presiden Roh Tae-Woo. Pendahulunya adalah Heo Mun-do dan penggantinya adalah Hong Sung-chul.
Kedua, ia menjabat kembali sebagai Menteri Unifikasi (통일원 장관Tongilwon JangwanBahasa Korea) sekaligus Wakil Perdana Menteri dari 30 April 1994 hingga 16 Desember 1994 di bawah pemerintahan Presiden Kim Young-Sam. Pada periode ini, ia menggantikan Lee Young-duck dan digantikan oleh Kim Deok. Peran ini menempatkannya di garis depan kebijakan antar-Korea, yang bertujuan untuk mempromosikan dialog dan kerja sama antara Korea Selatan dan Korea Utara.
4.2. Duta Besar untuk Britania Raya
Pada tahun 1991, Lee Hong-Koo ditunjuk sebagai Duta Besar Korea Selatan untuk Britania Raya oleh Presiden Roh Tae-Woo. Ia menjabat sebagai duta besar ke-12 untuk Britania Raya dari Maret 1991 hingga April 1993. Selama masa jabatannya, ia bertanggung jawab untuk memperkuat hubungan bilateral antara Korea Selatan dan Britania Raya, mempromosikan kepentingan nasional, dan memfasilitasi pertukaran budaya serta ekonomi di antara kedua negara. Ia menggantikan Oh Jae-hee dan digantikan oleh Noh Chang-hee.
4.3. Perdana Menteri
Lee Hong-Koo menjabat sebagai Perdana Menteri Korea Selatan ke-28 di bawah Presiden Kim Young-Sam dari 17 Desember 1994 hingga 17 Desember 1995. Ia menggantikan Lee Young-duck dan digantikan oleh Lee Soo-sung. Meskipun posisi Perdana Menteri di Korea Selatan berada di bawah Presiden dalam sistem presidensial yang kuat, Lee Hong-Koo memainkan peran penting dalam administrasi Kim Young-Sam.
Selama tahun 1995 dan awal 1996, ia menjabat sebagai ketua Komite Penawaran Piala Dunia FIFA, yang berhasil melobi agar Korea Selatan menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia FIFA 2002. FIFA secara resmi memilih Korea Selatan dan Jepang sebagai tuan rumah bersama pada Mei 1996.
4.4. Aktivitas Partai Korea Baru
Pada Juni 1994, Lee Hong-Koo awalnya bergabung dengan Partai Liberal Demokrat (Minju Jayudang) sebagai anggota Komite Urusan Partai, namun ia kemudian keluar dari partai tersebut pada November 1994. Pada Januari 1996, atas saran Presiden Kim Young-Sam, Lee Hong-Koo secara resmi bergabung kembali dengan Partai Korea Baru (Shin Hangukdang) untuk mencalonkan diri sebagai kandidat partai dalam pemilihan umum Majelis Nasional Korea Selatan yang akan datang.
Partai Korea Baru merupakan versi baru dari koalisi kekuatan konservatif dan moderat yang terbentuk pada tahun 1990 melalui penggabungan partai sentris Kim Young-Sam (Partai Demokrat Unifikasi), partai Kim Jong-Pil (Partai Demokrat Liberal), dan partai konservatif Roh Tae-Woo (Partai Keadilan Demokrat). Partai Keadilan Demokrat merupakan penerus paling jelas dari rezim militer pada tahun 1960-an hingga 1980-an. Perubahan nama partai menjadi 'Korea Baru' terjadi setelah partai Kim Jong-Pil meninggalkan koalisi ini pada tahun 1995. Partai Korea Baru kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Raya pada tahun 1998 dan pada dasarnya bertahan hingga pertengahan tahun 2010-an.
Lee Hong-Koo terpilih sebagai anggota Majelis Nasional dalam Pemilihan umum legislatif Korea Selatan 1996 pada April 1996, sebagai nama kedua dalam daftar partai nasional untuk Partai Korea Baru. Karena Korea pada saat itu memiliki 47 kursi yang didistribusikan secara proporsional, posisi tinggi yang diberikan partai kepada Lee menjamin ia akan masuk ke Majelis Nasional. Partai Korea Baru sendiri memenangkan 139 dari 299 kursi dalam pemilihan tersebut, jauh di atas total individu saingannya yang hanya 79 kursi (partai Kim Dae-Jung) dan 50 kursi (partai sayap kanan Kim Jong-Pil yang memisahkan diri).
Pada tahun 1996, Lee Hong-Koo dengan cepat naik pangkat, menjadi anggota Komite Eksekutif Partai Korea Baru, dan kemudian menjadi pemimpin partai itu sendiri. Pada saat ini, Lee secara luas dianggap sebagai salah satu calon penerus Presiden Kim Young-Sam, yang masa jabatannya berakhir pada Februari 1998.
Namun, pada Desember 1996, setelah pemerintah secara cepat mengesahkan undang-undang ketenagakerjaan yang direvisi meskipun ada penolakan luas di seluruh negeri, Lee Hong-Koo mengundurkan diri dari posisi kepemimpinan tertingginya di Partai Korea Baru, tetapi ia tetap menjadi anggota partai. Insiden pengesahan undang-undang ketenagakerjaan ini memicu gelombang protes dan kritik dari masyarakat luas, yang mencerminkan ketidakpuasan terhadap cara pemerintah menangani isu-isu sosial yang krusial.
Setelah krisis ekonomi Asia 1997, kandidat oposisi dari Kongres Nasional untuk Politik Baru, Kim Dae-Jung, memenangkan pemilihan presiden pada Desember 1997 dan mulai menjabat pada Februari 1998. Lee Hong-Koo masih menjabat sebagai anggota Majelis Nasional dari partai tersebut, yang pada November 1997 telah berganti nama menjadi Partai Nasional Raya.
4.5. Duta Besar untuk Amerika Serikat
Pada 24 Maret 1998, Presiden Kim Dae-Jung menominasikan Lee Hong-Koo sebagai Duta Besar Korea Selatan untuk Amerika Serikat. Keputusan untuk menunjuk Lee Hong-Koo, yang saat itu menjabat sebagai penasihat utama untuk Partai Nasional Raya (partai oposisi), dipandang sebagai sinyal perubahan dalam sifat politik Korea. Kementerian Luar Negeri menjelaskan bahwa nominasi seorang pejabat yang relatif penting dari pemerintahan sebelumnya "menunjukkan niat kami untuk mengejar kebijakan luar negeri bipartisan." Nominasi bersama Lee Sung-Soo sebagai Menteri Unifikasi, yang juga mantan perdana menteri di bawah pemerintahan sebelumnya, dipandang mengkonfirmasi sikap ini.
Lee Hong-Koo menjabat sebagai Duta Besar Korea Selatan untuk Amerika Serikat selama dua setengah tahun, dari Mei 1998 hingga Agustus 2000. Ia digantikan oleh Yang Sung-chul, yang menjabat dari Agustus 2000 hingga April 2003. Masa jabatan Lee sebagai duta besar berlangsung selama era "Kebijakan Sinar Matahari", ketika hubungan antar-Korea yang tampak membaik menyebabkan Presiden Kim Dae-Jung menjadi kandidat serius untuk Hadiah Nobel Perdamaian, yang akhirnya ia menangkan pada Oktober 2000.
5. Karier Pasca-Politik
Setelah meninggalkan jabatan publik pada tahun 2000, Lee Hong-Koo beralih ke kehidupan pribadi dan aktif sebagai kolumnis surat kabar serta terlibat dalam dunia lembaga pemikir dan kebijakan. Ia menjadi anggota dari berbagai organisasi, termasuk Klub Madrid, sebuah kelompok elit yang terdiri dari mantan kepala negara dan pemerintahan, serta menjadi anggota dewan di Forum Seoul. Selain itu, ia juga mendirikan lembaga pemikir sendiri.
5.1. Pendirian East Asia Institute
Pada Mei 2002, Lee Hong-Koo mendirikan Institut Asia Timur (East Asia Institute), yang umumnya dikenal dengan akronim Inggrisnya, "EAI" (nama Korea: 동아시아연구원Dongasia YeonguwonBahasa Korea). EAI adalah sebuah lembaga pemikir independen, nirlaba, yang berfokus pada kebijakan politik dan kebijakan luar negeri, dan berbasis di Seoul.
Pada tahun 2010-an, EAI secara konsisten masuk dalam daftar "100 lembaga pemikir teratas" di antara lebih dari 6.000 lembaga pemikir di seluruh dunia. Model penelitian dan kelembagaannya telah dijadikan tolok ukur oleh berbagai lembaga penelitian baru di negara-negara berkembang. Lee Hong-Koo menjabat sebagai Ketua Dewan di EAI selama tepat sepuluh tahun, pensiun dari jabatannya pada Mei 2012, pada bulan yang sama dengan ulang tahunnya yang ke-78. Setelah pengunduran dirinya, Ha Young-Sun mengambil alih posisi ketua, yang masih dipegangnya hingga tahun 2017.
5.2. Jurnalisme dan Kontroversi
Setelah masa jabatannya di pemerintahan, Lee Hong-Koo secara aktif menulis kolom untuk surat kabar JoongAng Ilbo selama beberapa tahun, memberikan pandangannya tentang berbagai isu sosial dan politik.
Pada tahun 2011, seorang akademisi sayap kiri bernama Chin Jung-kwon menimbulkan kehebohan kecil dengan apa yang disebut sebagai tindakan "menguntit" Lee. Chin memposting artikel-artikelnya sendiri di Hankyoreh, sebuah harian progresif Korea Selatan, pada hari yang sama ketika kolom-kolom Lee Hong-Koo dipublikasikan. Tindakan "menguntit" Chin dimulai tepat pada 11 April 2011. Ia mengikuti kolom-kolom Lee selama 10 postingan berturut-turut hingga 14 Oktober 2011. Kolom-kolom Chin diposting sekitar 20 jam setelah kolom Lee dipublikasikan pada hari yang sama. Lee Hong-Koo biasanya menulis kolom setiap tiga minggu, tetapi ia pernah membutuhkan empat minggu sebelum menulis kolom baru pada 3 Oktober. Chin masih mengikutinya pada 3 Oktober, sehingga jelas bahwa Chin sengaja "menguntit" Lee. Kolom-kolom Chin tidak lagi dipublikasikan setelah insiden ini.
Pada 10 Oktober 2019, di tengah memburuknya hubungan antara Jepang dan Korea Selatan akibat masalah gugatan kerja paksa dan sengketa perdagangan, Lee Hong-Koo, bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka lainnya dari dunia politik, agama, dan akademisi, mengeluarkan pernyataan yang mendesak Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe untuk terlibat dalam dialog. Pernyataan tersebut menyerukan penghapusan pembatasan ekspor dan pemeliharaan Konstitusi, menyoroti keprihatinannya terhadap hubungan bilateral dan stabilitas regional.
6. Kehidupan Pribadi
Lee Hong-Koo menikah dengan Kang Ju-hyun. Dari pernikahannya, ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu satu putra dan dua putri.
7. Penilaian dan Dampak
Lee Hong-Koo adalah seorang tokoh yang memiliki dampak signifikan dalam politik dan masyarakat Korea Selatan, terutama melalui perpaduan karier akademis, politik, dan diplomatiknya. Sebagai seorang akademisi terkemuka, ia memberikan dasar intelektual yang kuat bagi perannya di pemerintahan.
Dalam karier politiknya, ia dikenal atas perannya sebagai Menteri Unifikasi dan Perdana Menteri. Namun, masa jabatannya sebagai pemimpin Partai Korea Baru pada tahun 1996 diwarnai oleh kontroversi pengesahan undang-undang ketenagakerjaan secara paksa. Insiden ini memicu gelombang penolakan nasional, yang mencerminkan ketegangan antara kebijakan pemerintah dan aspirasi publik terkait hak buruh dan proses demokrasi. Peristiwa ini menyoroti tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menyeimbangkan reformasi ekonomi dengan keadilan sosial dan partisipasi demokratis.
Di sisi lain, penunjukannya sebagai Duta Besar Korea Selatan untuk Amerika Serikat oleh Presiden Kim Dae-Jung, seorang tokoh oposisi, menunjukkan kemampuannya untuk melampaui batas-batas partai dan berkontribusi pada kebijakan luar negeri bipartisan. Peran ini sangat krusial selama era Kebijakan Sinar Matahari, yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar-Korea.
Setelah pensiun dari politik, Lee Hong-Koo terus memengaruhi wacana publik melalui kolom-kolom surat kabar dan pendirian Institut Asia Timur. Lembaga ini menjadi lembaga pemikir terkemuka yang berkontribusi pada penelitian kebijakan dan hubungan internasional. Keterlibatannya dalam isu-isu terkini, seperti pernyataannya pada tahun 2019 mengenai hubungan Jepang-Korea, menunjukkan komitmennya yang berkelanjutan terhadap dialog dan penyelesaian konflik. Secara keseluruhan, karier Lee Hong-Koo mencerminkan perannya sebagai seorang intelektual yang berdedikasi pada layanan publik, meskipun dihadapkan pada tantangan dan kritik dalam perjalanan politiknya.