1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
1.1. Keluarga dan Masa Kecil
Lucius Aemilius Paullus lahir sekitar 229 SM ke dalam keluarga Aemilii Paulli, sebuah cabang dari keluarga bangsawan patrisian kuno dan terkemuka di Republik Romawi. Ayahnya adalah Lucius Aemilius Paullus yang juga seorang konsul dan tewas dalam Pertempuran Cannae pada 216 SM, saat Paullus masih kecil. Keluarga Aemilii Paulli memiliki pengaruh yang sangat besar di Roma, terutama karena kekayaan mereka dan aliansi strategis melalui perkawinan dengan Cornelii Scipiones, salah satu dinasti politik paling berpengaruh di Roma.
Meskipun peran spesifik mereka dalam pengasuhannya tidak jelas setelah kematian ayahnya, Paullus tetap terhubung dengan keluarga Scipio melalui ikatan perkawinan dan kepentingan politik. Ia kemudian dikenal sebagai seorang intelektual yang menghargai pendidikan, dan putra-putranya, Scipio Aemilianus dan Fabius, diketahui diajar oleh sahabat Paullus, sejarawan Yunani Polibios.
2. Karier Awal
Lucius Aemilius Paullus memulai jalur kehormatan (cursus honorum) yang khas bagi bangsawan Romawi, mengukir jalannya dalam politik dan militer Republik.
2.1. Cursus Honorum
Setelah menyelesaikan wajib dinas militer, Lucius Aemilius Paullus terpilih sebagai tribun militer. Berdasarkan prasasti, ia diyakini telah menjabat sebagai quaestor paling lambat pada 195 SM. Pada tahun berikutnya, sebagai salah satu dari tiga komisaris untuk pembangunan kota koloni, ia mengawasi pendirian pemukiman di Crotone.
Pada 193 SM, ia terpilih sebagai aedile kurule. Selama masa jabatannya, ia berhasil mengumpulkan denda besar dari banyak peternak. Dana tersebut digunakan untuk persembahan di Kuil Yupiter dan membiayai proyek-proyek penting lainnya, termasuk pengelolaan Sungai Tiber serta pembangunan lorong di dekat Porta Trigemina dan Porta Fontinalis. Sebelum menjabat sebagai praetor, ia juga terpilih sebagai augur, kemungkinan besar pada 192 SM.
Ia menjabat sebagai praetor pada 191 SM. Selama masa jabatannya, ia dikirim ke provinsi Hispania, di mana ia melancarkan kampanye militer melawan suku Lusitania dari tahun 191 SM hingga 189 SM. Namun, setelah itu, ia menghadapi beberapa kegagalan dalam pemilihan konsul selama beberapa tahun.
Akhirnya, pada 182 SM, Paullus terpilih sebagai konsul untuk pertama kalinya, berpasangan dengan Gnaeus Baebius Tamphilus. Bersama-sama, mereka bertanggung jawab atas wilayah Liguria. Setelah berhasil meraih kemenangan di sana, suku Liguria menyerah kepada Marcellus yang berada di Galatia, namun Senat Romawi memerintahkan kedua konsul untuk melucuti senjata mereka. Tamphilus kemudian dipanggil kembali ke Roma untuk mengawasi pemilihan, sementara Paullus menghabiskan sisa tahunnya di Pisae.
Pada tahun berikutnya, 181 SM, ia kembali menjabat sebagai prokonsul di Liguria bersama Tamphilus. Di sana, mereka berhadapan dengan suku Ingauni. Meskipun sempat menyepakati gencatan senjata, Paullus dan pasukannya diserang mendadak dan terdesak ke dalam kamp mereka. Karena Tamphilus dan Marcellus sedang memindahkan pasukan mereka ke lokasi lain dan tidak dapat membantu, Quintus Petillius Spurinus dan praetor lainnya segera membentuk pasukan darurat, sementara Gaius Matienus dan Gaius Lucretius Gallus ditunjuk sebagai duumvir angkatan laut untuk memberikan bantuan. Menyadari bantuan yang lambat, Paullus memutuskan untuk menyerang terlebih dahulu. Ia memotivasi pasukannya dengan mengatakan bahwa musuh-musuh seperti Hannibal, Filipus V, dan Antiokhus III jauh lebih tangguh dibandingkan dengan "para perampok yang bersembunyi" ini. Serangan Paullus berhasil mengalahkan musuh yang lengah, memaksa mereka menyerah, dan memadamkan kegiatan bajak laut. Sebagai pengakuan atas kemenangannya, Roma mengadakan perayaan ucapan syukur selama tiga hari, dan pasukan Paullus diizinkan untuk dibubarkan.
Pada 189 SM, ia terpilih sebagai salah satu dari sepuluh duta besar yang bertanggung jawab untuk merundingkan perjanjian damai antara Antiokhus III dari Kekaisaran Seleukia dan Gnaeus Manlius Vulso dalam fase akhir Perang Romawi-Suriah. Selanjutnya, ia sempat kalah dalam beberapa pemilihan konsul, seperti yang dicatat oleh Valerius Maximus.
Pada 171 SM, ketika penduduk provinsi Hispania Citerior dan Hispania Ulterior mengeluh kepada Senat tentang eksploitasi oleh para pejabat yang bertanggung jawab, Paullus, bersama dengan Cato Agung dan Publius Cornelius Scipio Nasica, membela para penduduk tersebut. Meskipun beberapa pejabat dibebaskan, yang lain memilih untuk mengasingkan diri.
2.2. Aktivitas Militer Awal
Sebelum kemasyhurannya di Perang Makedonia Ketiga, Lucius Aemilius Paullus telah membuktikan kemampuannya sebagai komandan militer dalam berbagai kampanye awal. Salah satu kampanye pentingnya adalah di provinsi Hispania, di mana ia memimpin pasukan Romawi melawan suku Lusitania dari tahun 191 SM hingga 189 SM. Meskipun awalnya mengalami kekalahan, ia kemudian berhasil meraih kemenangan atas Lusitania.
Selain itu, ia juga memimpin ekspedisi militer penting di Liguria pada 181 SM melawan suku Ingauni. Dalam kampanye ini, ia menghadapi penyergapan musuh tetapi berhasil mengatasi situasi tersebut, mengalahkan suku Ingauni, dan menumpas para perampok. Kemenangan-kemenangan awal ini membangun reputasinya sebagai seorang jenderal yang kompeten dan berpengalaman, mempersiapkannya untuk peran yang lebih besar dalam konflik-konflik Romawi di masa depan.
3. Perang Makedonia Ketiga dan Kegiatan Pasca-Perang
Keterlibatan Lucius Aemilius Paullus dalam Perang Makedonia Ketiga merupakan puncak karier militernya, yang mengukuhkan reputasinya sebagai salah satu jenderal terbesar Roma. Setelah kemenangan gemilang di Pertempuran Pydna, ia memainkan peran kunci dalam penyelesaian pasca-perang yang, meskipun membawa keuntungan besar bagi Roma, juga diwarnai oleh tindakan brutal dan kontroversial.
3.1. Masa Jabatan Konsul (168 SM) dan Pertempuran Pydna

Perang Makedonia Ketiga pecah pada 171 SM ketika Raja Perseus dari Makedonia berhasil mengalahkan pasukan Romawi yang dipimpin oleh konsul Publius Licinius Crassus dalam Pertempuran Callinicus. Setelah dua tahun hasil yang tidak pasti bagi kedua belah pihak, Paullus kembali terpilih sebagai konsul pada 168 SM, dengan Gaius Licinius Crassus sebagai rekannya. Sebagai konsul, ia ditunjuk oleh Senat Romawi untuk menangani perang di Makedonia.
Tak lama setelah itu, pada 22 Juni 168 SM, ia meraih kemenangan yang menentukan dalam Pertempuran Pydna. Pertempuran ini sangat krusial; Paullus menggunakan taktik cerdik, termasuk penarikan diri palsu untuk memancing musuh dan manuver kavaleri yang melewati bagian depan phalanx musuh untuk mematahkan sarissa mereka, yang menghancurkan moral pasukan Makedonia. Ia berhasil menangkap Raja Perseus, mengakhiri perang Makedonia Ketiga dan menuntaskan Dinasti Antigonid yang telah berkuasa. Sebuah anekdot menyebutkan bahwa Perseus sendiri memohon agar tidak diarak dalam pawai kemenangan, tetapi Paullus menolaknya dengan dingin, meskipun ia sempat menerima Perseus dengan hormat setelah penyerahan diri.
Kemenangan ini juga diwarnai oleh tindakan keras, seperti pembantaian 500 tokoh oposisi Makedonia dan eksekusi tentara bayaran asing yang membelot, yang kabarnya diinjak-injak oleh gajah sebagai pelajaran, mirip dengan tindakan Scipio Africanus. Putranya Masinissa, Misagenes, juga berpartisipasi dalam pertempuran ini dan mendapatkan bantuan dari Senat setelah kapal mereka dihantam badai dalam perjalanan pulang. Kemenangan tersebut, menurut sebuah legenda, bahkan dikabarkan kepada seorang pemuda di Reate oleh Dioscuri (dua dewa berkuda putih) sebelum berita resmi sampai.
3.2. Penanganan Pasca-Perang dan Penjarahan Epirus
Setelah kemenangannya yang gemilang di Makedonia, Paullus menerima instruksi dari Senat untuk kembali ke Roma, namun tidak sebelum menjarah Epirus, sebuah kerajaan yang dicurigai bersimpati dengan tujuan Makedonia. Ini adalah bagian yang sangat kontroversial dalam kariernya. Bahkan, meskipun keluhan pasukannya tentang kurangnya rampasan perang telah mereda, Paullus tetap memerintahkan penjarahan ini. Menurut Plutarkhos, Paullus, meskipun merasa enggan, memerintahkan pasukannya untuk melakukan penjarahan.

Penjarahan ini dilakukan dengan sangat brutal. Pasukan Romawi menyerbu dan menghancurkan 70 kota di Epirus dalam waktu satu jam, yang mengakibatkan perbudakan paksa 150.000 penduduk. Tindakan ini menimbulkan dampak sosial yang sangat besar dan memicu kritik keras di kalangan sejarawan. Meskipun Paullus disebut-sebut tidak mengumpulkan banyak harta untuk dirinya sendiri dari penjarahan ini, dampaknya terhadap penduduk Epirus sangat menghancurkan.
Sebelum penjarahan Epirus, Paullus sempat berkeliling Yunani untuk melihat-lihat. Ia mengembalikan otonomi kepada berbagai kota dan mengganti patung Perseus di Delphi dengan patungnya sendiri. Ia juga mengunjungi Patung Zeus di Olympia karya Fidias. Ketika komite sepuluh orang tiba dari Roma untuk mengatur penyelesaian pasca-perang, diputuskan bahwa Makedonia akan mendapatkan kembali otonominya dan membayar setengah dari upeti sebelumnya. Untuk menyenangkan rakyat, Paullus menyelenggarakan festival yang megah, yang membuat banyak orang terkejut dengan perhatiannya terhadap detail. Paullus menyatakan bahwa memimpin pertempuran dan menyelenggarakan festival adalah hal yang sama. Ia juga dikatakan tidak tertarik pada harta benda Perseus, melainkan hanya pada buku-buku.
Setelah penjarahan, Paullus membawa harta benda dari istana kerajaan Makedonia dan Epirus ke Roma. Ia menaiki galleon kerajaan Makedonia saat menyusuri Sungai Tiber, menarik banyak penonton yang ingin menyaksikan kembalinya sang jenderal.
3.3. Pawai Kemenangan Romawi dan Perolehan Gelar 'Macedonicus'
Kembalinya Lucius Aemilius Paullus ke Roma adalah peristiwa yang sangat gemilang dan dirayakan dengan pawai kemenangan yang spektakuler. Dengan jumlah harta rampasan yang sangat besar yang dikumpulkan dari Makedonia dan Epirus, pawai ini menampilkan kemewahan yang luar biasa, termasuk Raja Perseus dari Makedonia yang tertangkap dan putra-putranya, yang diarak sebagai tawanan, secara simbolis mengakhiri Dinasti Antigonid. Meskipun begitu, pawai tersebut diwarnai oleh kontroversi; banyak tentara tidak puas dengan bagian rampasan yang kecil, yang menyebabkan Servius Sulpicius Galba, seorang Tribun Militer, memimpin penentangan terhadap perayaan tersebut. Pemungutan suara diadakan di Majelis Plebeian, dan meskipun suku pertama yang memberikan suara menentang pawai tersebut, anggota Senat turun tangan. Dengan persuasi dari Marcus Servilius Plecus Geminus, para prajurit akhirnya setuju, dan pawai kemenangan pun dilanjutkan.
Plutarkhos menggambarkan pawai kemenangan ini dengan detail yang megah, mencatat bahwa pemandangan anak-anak Perseus yang ikut diarak menimbulkan rasa kasihan di antara orang banyak. Meskipun Perseus memohon agar tidak diarak, Paullus dengan dingin menolak permohonan tersebut. Namun, Paullus dikatakan telah menerima Perseus dengan hormat dan mendorongnya dalam bahasa Yunani segera setelah penyerahannya.
Sebagai pengakuan atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam menaklukkan Makedonia, Senat menganugerahinya gelar kehormatan (agnomen) Macedonicus. Ini menandai puncak kariernya. Kemenangan Paullus juga secara signifikan memperkaya kas negara Roma, yang menyebabkan penghapusan tributum (pajak perang) hingga tahun 43 SM. Meskipun demikian, harta pribadi Paullus tidak bertambah secara signifikan, karena ia hanya menyimpan sedikit untuk dirinya sendiri dari kampanye Makedonia yang sukses, sebagaimana dicatat oleh Livy dan Polibios.
Tragisnya, dua putra kandung Paullus yang lebih muda meninggal dunia tak lama setelah kemenangan dan perayaan pawai kemenangan ini, masing-masing pada usia 14 dan 9 tahun. Kisah ini sering dikutip untuk menggambarkan kontras antara keberhasilan publik dan kesedihan pribadi. Sebuah legenda menyebutkan bahwa sebelum pertempuran dengan Perseus, putrinya Tertia menceritakan tentang kematian anjing peliharaannya yang bernama "Persa", yang dianggap sebagai pertanda kekalahan Perseus.
4. Karier Politik Lanjut
Setelah masa jabatannya sebagai konsul dan kemenangannya di Makedonia, Lucius Aemilius Paullus terus memainkan peran politik yang signifikan di Republik Romawi.
4.1. Masa Jabatan Censor (164 SM)
Pada 164 SM, Lucius Aemilius Paullus terpilih sebagai sensor Romawi, berpasangan dengan Quintus Marcius Philippus. Selama masa jabatannya, ia melakukan sensus penduduk yang berhasil diselesaikan, mencatat jumlah 337.022 warga. Ia juga menunjuk kembali Marcus Aemilius Lepidus sebagai Princeps Senatus, pemimpin Senat yang paling dihormati. Paullus juga diyakini menjabat sebagai interrex pada 162 SM. Ini merupakan posisi penting yang melibatkan pengawasan nilai-nilai moral dan pendaftaran warga negara, menunjukkan kepercayaan yang tinggi kepadanya dalam urusan sipil dan administratif, setelah sebelumnya membuktikan kemampuannya dalam bidang militer.
5. Kehidupan Pribadi dan Keluarga
Kehidupan pribadi Lucius Aemilius Paullus, terutama dalam hal pernikahan dan keturunan, diwarnai oleh keputusan yang tidak biasa dan tragedi pribadi, yang mencerminkan praktik adopsi dan pentingnya suksesi keluarga dalam masyarakat Romawi.
5.1. Pernikahan dan Keturunan
Paullus menikah dua kali. Pernikahan pertamanya adalah dengan Papiria Masonis (atau Papiria Masonia), putri dari konsul Gaius Papirius Maso (konsul pada 231 SM). Namun, ia menceraikan Papiria Masonis, konon tanpa alasan khusus, sebagaimana dicatat oleh Plutarkhos. Dari pernikahan ini, ia memiliki empat anak: dua putra dan dua putri. Perceraiannya terjadi sekitar 183 SM-182 SM, saat putra bungsunya masih bayi. Meskipun demikian, ia tetap terpilih sebagai konsul pada 182 SM.
Setelah perceraiannya, Paullus menikah untuk kedua kalinya. Nama istri keduanya tidak diketahui, tetapi dari pernikahan ini, ia memiliki dua putra lagi-yang tertua lahir sekitar 181 SM dan yang termuda sekitar 176 SM-serta satu putri lain bernama Aemilia Tertia, yang masih kecil ketika Paullus terpilih sebagai konsul untuk kedua kalinya. Dengan demikian, secara keseluruhan, Paullus memiliki enam anak kandung: empat putra dan dua putri.
5.2. Adopsi Anak Laki-laki
Dengan empat putra kandung, Paullus menghadapi tantangan untuk mendukung mereka semua melalui jalur kehormatan (cursus honorum) yang mahal dan kompetitif. Oleh karena itu, ia membuat keputusan yang signifikan untuk menyerahkan dua putra tertuanya untuk diadopsi ke dalam keluarga bangsawan Romawi lainnya, kemungkinan besar antara 175 SM dan 170 SM.
Putra tertua diadopsi ke dalam keluarga Fabia dan menjadi Quintus Fabius Maximus Aemilianus. Dengan adopsi ini, ia mengikatkan nasibnya dengan keluarga Quintus Fabius Maximus Verrucosus, seorang pahlawan nasional Romawi. Putra yang lebih muda, yang kemungkinan bernama Lucius, diadopsi oleh sepupunya sendiri, Publius Cornelius Scipio, putra tertua dan pewaris Scipio Africanus. Dengan adopsi ini, putra Paullus menjadi Publius Cornelius Scipio Aemilianus, mewarisi warisan salah satu dinasti politik paling berpengaruh di Roma.
Praktik adopsi ini, meskipun umum di antara keluarga bangsawan Romawi untuk memastikan kelangsungan garis keturunan dan warisan politik, menunjukkan prioritas Paullus dalam mengamankan masa depan putra-putranya dan memperkuat aliansi keluarganya.
5.3. Nasib Keturunan dan Penerus
Setelah kedua putra tertuanya aman diadopsi ke dalam dua keluarga patrisian paling berkuasa, Paullus mengandalkan dua putra bungsunya untuk melanjutkan namanya sendiri. Namun, takdir menimpa mereka. Kedua putra termuda ini meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan, saat Paullus merayakan pawai kemenangannya. Menurut Polibios, putra tertua yang tersisa berusia 14 tahun, dan yang termuda berusia 9 tahun; nama mereka tidak diketahui. Tragedi ini menyebabkan terputusnya garis keturunan langsungnya, yang menurut Valerius Maximus, membuat Paullus berkata: "Saya berdoa kepada para dewa bahwa jika mereka akan mencelakai rakyat Roma, mereka akan melakukannya kepada saya sebagai gantinya. Sekarang hal itu telah terwujud." Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan karier politik dan militernya tidak diiringi dengan kebahagiaan dalam kehidupan keluarga.
Saat kematian Paullus, kedua putra angkatnya, Quintus Fabius Maximus Aemilianus dan Publius Cornelius Scipio Africanus Aemilianus, menerima harta warisannya melalui wasiat, meskipun secara hukum mereka bukan lagi anggota keluarga Aemilii Paulli. Scipio bahkan memberikan bagiannya kepada kakaknya yang kurang kaya. Istri kedua Paullus, yang namanya tidak diketahui, menerima kembali mas kawinnya dari hasil penjualan sebagian properti suaminya. Livy dan Polibios mengklaim bahwa Paullus meninggal dalam keadaan relatif miskin dan hanya menyimpan sedikit harta dari kampanye Makedonia yang sukses.
Meskipun Paullus memiliki dua putra yang masih hidup melalui adopsi, garis keturunan Aemilii Paulli secara langsung punah setelah kematiannya. Putra tertuanya yang masih hidup, Fabius Aemilianus, akhirnya menjadi konsul dan memiliki setidaknya satu putra yang juga menjadi konsul sebagai Fabius Allobrigicus pada 121 SM. Pria ini, pada gilirannya, mungkin menjadi leluhur dari keluarga Fabii di kemudian hari yang mengikatkan nasib mereka dengan Julius Caesar dan Augustus. Putra bungsunya yang masih hidup, Scipio Aemilianus, lebih terkenal tetapi meninggal tanpa diketahui memiliki keturunan.
Mantan istri pertama Paullus, Papiria Masonia, hidup lebih lama dari mantan suaminya dan menikmati properti mantan iparnya yang diberikan oleh putranya yang lebih muda (menurut Polibios). Saat kematiannya, propertinya dibagi antara kedua putranya, tetapi Scipio memberikannya kepada saudara perempuannya.
Salah satu dari dua putri tertua Paullus menikah dengan Quintus Aelius Tubero dari keluarga plebeian yang relatif miskin; ia adalah ibu dari Quintus Aelius Tubero. Putri bungsunya, Aemilia Paulla Tertia, menikah dengan putra tertua Marcus Porcius Cato dan menjadi ibu dari konsul Marcus Porcius Cato dan Gaius Porcius Cato.
6. Kematian
Lucius Aemilius Paullus jatuh sakit, kemudian tampaknya pulih, tetapi mengalami kambuh dalam waktu tiga hari dan meninggal pada 160 SM saat masih menjabat sebagai sensor. Kematiannya yang tiba-tiba terjadi pada puncak kariernya, dan ia dikenal telah menjalani gaya hidup yang sederhana.
Sebuah anekdot menarik terkait kematiannya: seorang pejabat Makedonia yang kebetulan berada di Roma untuk urusan diplomatik pada saat itu, dengan sukarela menanggung biaya kereta jenazah untuk Paullus. Tindakan ini dianggap sangat terhormat, terutama karena kereta tersebut dihiasi dengan simbol-simbol kemenangan Paullus atas Makedonia, menunjukkan pengakuan atas kehebatannya bahkan dari pihak yang pernah ia taklukkan.
7. Warisan dan Penilaian
Lucius Aemilius Paullus Macedonicus meninggalkan warisan yang kompleks di Republik Romawi, yang di satu sisi mencakup pencapaian militer yang tak terbantahkan, tetapi di sisi lain juga diwarnai oleh tindakan kontroversial yang memicu kritik.
7.1. Signifikansi Historis dan Penilaian Positif
Sebagai seorang jenderal, Lucius Aemilius Paullus diakui secara luas atas kecakapan strategis dan kepemimpinannya dalam Perang Makedonia Ketiga. Kemenangannya yang menentukan dalam Pertempuran Pydna adalah titik balik dalam sejarah Romawi, secara definitif menyingkirkan Dinasti Antigonid dari Makedonia dan memperluas dominasi Romawi di Mediterania Timur. Keberhasilannya ini tidak hanya mengamankan perbatasan Romawi, tetapi juga secara signifikan memperkaya kas negara. Harta rampasan yang sangat besar dari Makedonia memungkinkan Senat untuk menghapuskan tributum (pajak perang), yang tidak pernah lagi diberlakukan hingga 43 SM, sebuah indikator langsung dari kemakmuran baru yang dibawa oleh Paullus.
Di luar medan perang, ia juga menunjukkan keahlian dalam administrasi sipil sebagai konsul dan censor. Perannya dalam sensus 164 SM dan pengawasan nilai-nilai moral Roma menyoroti kontribusinya terhadap stabilitas dan organisasi internal Republik. Ia dipandang sebagai tokoh yang menjunjung tinggi integritas pribadi, hidup sederhana, dan tidak memperkaya diri dari penaklukannya, yang semakin memperkuat citra positifnya di mata sebagian sejarawan.
7.2. Kritik dan Kontroversi
Meskipun pencapaian militernya tidak dapat disangkal, tindakan Lucius Aemilius Paullus dalam penanganan wilayah taklukan pasca-perang telah menjadi subjek kritik dan kontroversi yang signifikan, terutama dari sudut pandang hak asasi manusia. Salah satu insiden yang paling disorot adalah penjarahan brutal di Epirus pada 167 SM. Meskipun wilayah tersebut dicurigai bersimpati dengan Makedonia, Paullus memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan 70 kota dan memperbudak 150.000 penduduknya. Tindakan ini, yang dilakukan dalam waktu singkat, menimbulkan kehancuran yang meluas dan menyebabkan penderitaan massal, mencerminkan kebijakan Romawi yang keras terhadap oposisi dan dampaknya yang menghancurkan terhadap masyarakat sipil.
Selain itu, laporan mengenai pembantaian 500 tokoh oposisi Makedonia setelah Pertempuran Pydna dan parade Raja Perseus yang tertangkap bersama anak-anaknya dalam pawai kemenangan di Roma, meskipun merupakan simbol dominasi Romawi, juga menunjukkan kekejaman yang melekat pada praktik perang kuno. Plutarkhos bahkan mencatat bahwa pemandangan anak-anak Perseus yang diarak menimbulkan rasa kasihan di kalangan penonton, menunjukkan adanya kesadaran akan kekejaman tindakan tersebut. Penolakan dingin Paullus terhadap permohonan Perseus untuk tidak diarak dalam pawai kemenangan juga menambah citra dirinya sebagai jenderal yang kejam.
Kontroversi seputar penjarahan Epirus dan perlakuan terhadap tawanan menyoroti sisi gelap ekspansi Romawi dan kebijakan mereka terhadap masyarakat yang ditaklukkan. Meskipun tindakan ini sah menurut hukum perang Romawi saat itu, dari perspektif modern, hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan menjadi titik kritis dalam penilaian historis terhadap warisan Paullus.