1. Overview

Mark Joseph Inglis Mark Joseph InglisBahasa Inggris (lahir 27 September 1959) adalah seorang pendaki gunung, peneliti, pembuat anggur, dan pembicara motivasi berkebangsaan Selandia Baru. Kisahnya adalah bukti nyata ketahanan dan semangat manusia yang luar biasa dalam menghadapi kesulitan. Meskipun mengalami amputasi ganda pada kedua kakinya, Inglis tidak hanya melanjutkan hidupnya tetapi juga mencapai prestasi yang menginspirasi dalam olahraga dan pendakian gunung, termasuk menjadi orang pertama dengan amputasi ganda yang berhasil mencapai puncak Gunung Everest. Ia juga dikenal karena keterlibatannya dalam aktivitas filantropi dan perannya sebagai duta niat baik untuk beberapa organisasi amal. Namun, perjalanan hidupnya juga diwarnai oleh kontroversi etika yang signifikan, terutama terkait dengan insiden di Gunung Everest pada tahun 2006, yang memicu diskusi luas mengenai tanggung jawab moral di lingkungan ekstrem. Artikel ini akan menjelajahi berbagai aspek kehidupan dan karier Mark Inglis, dari masa-masa awal hingga warisannya yang kompleks, dengan refleksi mendalam pada tantangan yang dihadapinya dan dampak sosial dari keputusannya.
2. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Mark Inglis memulai kehidupannya di Selandia Baru, di mana ia mengembangkan minat awalnya pada alam dan petualangan yang kemudian membentuk jalur kariernya yang luar biasa.
2.1. Masa Kecil dan Pendidikan
Mark Joseph Inglis lahir pada tanggal 27 September 1959 di Geraldine, Selandia Baru. Sejak usia muda, ia menunjukkan ketertarikan pada pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Lincoln University, tempat ia mendalami biokimia manusia dan berhasil meraih gelar sarjana. Setelah menyelesaikan studinya, Inglis juga terlibat dalam penelitian yang berfokus pada leukemia, menunjukkan komitmen awalnya terhadap bidang ilmiah.
2.2. Karier Awal dalam Pendakian Gunung
Pada tahun 1979, Mark Inglis memulai kariernya sebagai seorang pendaki gunung profesional. Ia bergabung dengan tim pencarian dan penyelamatan di Aoraki/Mount Cook National Park, sebuah taman nasional yang terkenal dengan pemandangan pegunungannya yang menakjubkan dan kondisi yang menantang. Peran ini mengasah keterampilan pendakiannya dan memberinya pengalaman berharga dalam menghadapi situasi darurat di lingkungan pegunungan yang keras.
3. Insiden Aoraki/Gunung Cook 1982
Pada tahun 1982, kehidupan Mark Inglis mengalami perubahan drastis akibat insiden serius di Aoraki/Gunung Cook, gunung tertinggi di Selandia Baru.
Pada bulan November 1982, saat mendaki Aoraki/Gunung Cook, Inglis dan rekan pendakiannya, Philip Doole, terjebak dalam sebuah gua salju akibat badai salju yang sangat hebat. Mereka harus bertahan hidup di dalam gua tersebut selama 13 hari, menghadapi suhu ekstrem dan kondisi yang mengancam jiwa. Upaya penyelamatan mereka menjadi perhatian media utama di Selandia Baru. Meskipun akhirnya berhasil diselamatkan, kedua kaki Inglis dan Doole mengalami radang dingin yang parah. Setelah penyelamatan, kedua kaki Inglis harus diamputasi sekitar 14 cm di bawah lututnya. Insiden ini menandai titik balik penting dalam hidupnya, mengubah secara fundamental kondisi fisiknya, tetapi tidak memadamkan semangatnya untuk berpetualang dan berprestasi.
4. Karier dan Prestasi Pasca-Amputasi
Setelah mengalami amputasi ganda, Mark Inglis menunjukkan ketahanan yang luar biasa, beradaptasi dengan keterbatasan fisiknya dan meraih pencapaian signifikan di berbagai bidang, dari olahraga hingga pendakian gunung.
4.1. Karier Bersepeda Paralimpiade
Meskipun kehilangan kedua kakinya, Mark Inglis tidak menyerah pada olahraga. Ia beralih ke bersepeda dan menjadi atlet Paralimpiade yang ulung. Puncaknya terjadi pada Paralimpiade Musim Panas 2000 di Sydney, Australia, di mana ia berhasil meraih medali perak dalam balap sepeda nomor uji waktu 1 km di lintasan. Pencapaian ini menunjukkan dedikasi dan kemampuannya yang luar biasa dalam atletik kompetitif, meskipun dengan kondisi fisik yang berbeda.
4.2. Kembali ke Pendakian Gunung
Setelah amputasinya, Mark Inglis menunjukkan semangat yang tak terpatahkan dengan memutuskan untuk kembali ke dunia pendakian gunung.
4.2.1. Pendakian Kembali Aoraki/Gunung Cook
Pada tanggal 7 Januari 2002, Mark Inglis kembali ke Aoraki/Gunung Cook dan berhasil mencapai puncaknya, kali ini dengan menggunakan kaki palsu. Pendakian ini merupakan keberhasilan setelah percobaan sebelumnya yang gagal karena masalah dengan kaki palsunya. Kisah pendakiannya kembali ke gunung yang hampir merenggut nyawanya itu didokumentasikan dalam film berjudul No Mean Feat: The Mark Inglis Story, yang menceritakan perjuangan dan ketekunannya.
4.2.2. Pendakian Cho Oyu
Pada tanggal 27 September 2004, Mark Inglis kembali mencetak sejarah dalam dunia pendakian gunung. Bersama tiga orang rekan lainnya, ia berhasil mendaki Cho Oyu, gunung tertinggi keenam di dunia, yang memiliki ketinggian lebih dari 8.00 K m. Pencapaian ini menjadikannya orang kedua dengan amputasi ganda yang berhasil mencapai puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 8.00 K m.
4.2.3. Pendakian Puncak Gunung Everest
Prestasi terbesar Mark Inglis dalam pendakian gunung terjadi pada tanggal 15 Mei 2006, setelah 40 hari pendakian. Ia menjadi orang pertama dalam sejarah dengan amputasi ganda yang berhasil mencapai puncak Gunung Everest, gunung tertinggi di dunia di atas permukaan laut. Pendakian ini penuh dengan tantangan ekstrem. Saat aklimatisasi di ketinggian sekitar 6.40 K m, sebuah jangkar pada tali tetap putus, menyebabkan Inglis terjatuh dan salah satu kaki palsu serat karbonnya patah menjadi dua. Kerusakan ini diperbaiki sementara dengan lakban, sambil menunggu kaki palsu cadangan dibawa dari base camp. Ekspedisi Everest Inglis ini didokumentasikan dalam serial Discovery Channel yang berjudul Everest: Beyond the Limit, yang mengabadikan setiap momen perjuangan dan kemenangannya.
5. Kontroversi David Sharp
Perjalanan Mark Inglis ke puncak Gunung Everest, meskipun bersejarah, juga diwarnai oleh kontroversi serius terkait kematian seorang pendaki Inggris, David Sharp. Peristiwa ini memicu debat etika yang luas di kalangan komunitas pendaki gunung dan menarik perhatian internasional.
5.1. Insiden di Everest
Saat melakukan pendakian ke puncak Gunung Everest, Mark Inglis dan rombongan yang terdiri dari 18 pendaki lainnya berpapasan dengan pendaki Inggris David Sharp, yang berada dalam kondisi sangat kritis dan membutuhkan bantuan. Meskipun menyadari kondisi Sharp yang parah, Inglis dan timnya memutuskan untuk melanjutkan pendakian menuju puncak. Keputusan ini secara efektif menyebabkan Sharp meninggal dunia di Zona Kematian Everest. Inglis kemudian menghadapi kritik keras atas keputusan ini, termasuk dari Sir Edmund Hillary, legenda pendakian Everest, yang menyatakan bahwa ia seharusnya mengabaikan upaya summit demi membantu sesama pendaki. Inglis sempat menampik kritik tersebut dengan mengklaim secara keliru bahwa keputusan untuk tidak membantu Sharp dibuat oleh pemimpin ekspedisi Russell Brice, yang saat itu berada di base camp. Ia juga menyatakan bahwa pada ketinggian 8.50 K m, sangat sulit untuk mempertahankan hidup sendiri, apalagi menolong orang lain. Beberapa pendaki lain setuju dengan penilaian ini, berargumen bahwa ada sedikit yang bisa dilakukan untuk orang yang sakit parah di ketinggian sedekat itu dengan puncak. Namun, Phil Ainslie, seorang pendaki gunung dan ilmuwan dari University of Otago, berpendapat bahwa mungkin saja Sharp bisa dihidupkan kembali dengan oksigen tabung dan dibawa ke tempat aman.
Dalam sebuah pernyataan email kepada Associated Press pada 10 Juni, Russell Brice membantah pernyataan Inglis, mengatakan bahwa ia baru mengetahui David Sharp dalam kesulitan ketika timnya menghubunginya melalui radio saat mereka sedang turun. Brice menerima banyak pesan radio malam itu dan sebuah log lengkap disimpan. Tidak ada catatan panggilan dari Mark Inglis. Hal ini juga didukung oleh rekaman video lengkap dari periode waktu tersebut yang direkam oleh kru Discovery Channel. Kelompok Inglis melanjutkan ke puncak, melewati David Sharp yang mereka tahu masih hidup, tanpa menawarkan bantuan apapun, padahal Sharp berada dalam kondisi yang sangat serius. Saat mereka turun, melewati gua yang sama beberapa jam kemudian, kelompok tersebut menemukan Sharp hampir meninggal. Rekan pendaki Inglis, Maxime Chaya (atau Max), dan Sherpa rekannya mencoba membantu David Sharp, tetapi tidak berhasil. Inglis sendiri tidak memberikan bantuan selama penurunan.
5.2. Reaksi Publik dan Para Ahli
Insiden yang melibatkan David Sharp memicu reaksi publik yang luas dan debat etika yang intens di seluruh dunia. Kritik terhadap Mark Inglis dan timnya sangat gencar, dengan banyak pihak mempertanyakan moralitas dan tanggung jawab para pendaki di Zona Kematian. Sir Edmund Hillary, seorang ikon pendakian Everest, secara terbuka menyatakan bahwa ia akan meninggalkan upaya puncak demi menyelamatkan nyawa sesama pendaki. Pernyataan Hillary ini memperkuat pandangan bahwa etika kemanusiaan harus lebih diutamakan daripada ambisi pribadi, terutama di lingkungan ekstrem di mana kehidupan seringkali bergantung pada solidaritas. Di sisi lain, beberapa pendaki dan ahli berpendapat bahwa kondisi di ketinggian ekstrem memang membuat upaya penyelamatan hampir tidak mungkin dan sangat berbahaya bagi penolong itu sendiri. Namun, Phil Ainslie menyajikan perspektif yang berbeda, menunjukkan bahwa ada potensi untuk menyelamatkan Sharp jika oksigen dan bantuan segera diberikan. Perdebatan ini menyoroti dilema kompleks yang dihadapi para pendaki di ketinggian ekstrem, di mana sumber daya terbatas dan setiap keputusan dapat memiliki konsekuensi hidup atau mati.
6. Aktivitas Lain dan Peran Publik
Di luar pendakian gunung dan olahraga, Mark Inglis juga terlibat dalam berbagai aktivitas lain, memanfaatkan latar belakang pendidikannya dan pengalaman hidupnya yang unik untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat.
6.1. Penelitian dan Pembuatan Anggur
Dengan gelar dalam biokimia manusia dari Lincoln University, Mark Inglis telah melakukan penelitian di bidang leukemia, menunjukkan komitmen awalnya pada ilmu pengetahuan. Selain itu, ia juga memiliki keterlibatan yang signifikan dalam industri pembuatan anggur sebagai seorang pembuat anggur. Ia bahkan telah menciptakan berbagai produk minuman olahraga dan gel energi dengan merek PeakFuel, menggabungkan pengetahuan ilmiahnya dengan minatnya pada olahraga dan nutrisi.
6.2. Pembicara Motivasi dan Filantropi
Mark Inglis adalah seorang pembicara motivasi yang sangat dicari, berbagi kisahnya yang menginspirasi tentang ketahanan, penentuan diri, dan mengatasi rintangan kepada audiens di seluruh dunia. Melalui cerita pengalaman hidupnya, ia mendorong banyak orang untuk menghadapi tantangan mereka sendiri dengan optimisme dan semangat. Selain kariernya sebagai pembicara, Inglis juga aktif dalam aktivitas filantropi. Ia mendirikan sebuah yayasan amal yang berbasis di Selandia Baru bernama Limbs4All, yang bertujuan untuk memberikan dukungan kepada orang-orang dengan disabilitas fisik. Ia juga berperan sebagai duta niat baik untuk Everest Rescue Trust, sebuah organisasi yang berfokus pada penyelamatan dan keamanan di Gunung Everest.
7. Karya Tulis
Mark Inglis adalah seorang penulis yang produktif, dengan karya-karyanya yang mencerminkan pengalaman hidupnya yang luar biasa dan filosofinya dalam menghadapi tantangan. Ia telah menulis empat buku yang menceritakan perjalanan hidupnya:
- No Mean Feat (2002): Buku ini mendokumentasikan pengalamannya terjebak dan diselamatkan dari Gunung Cook, pendakiannya yang sukses ke gunung yang sama pada tahun 2002, serta upayanya dalam Paralimpiade.
- To the Max: a Teen Reader's Version of No Mean Feat (2003): Versi ini diadaptasi khusus untuk pembaca remaja, menyajikan kisah inspiratifnya dalam format yang lebih mudah diakses oleh generasi muda.
- Off the Front Foot (2003): Buku ini menawarkan pandangan dan strategi tentang bagaimana menghadapi aspek positif dan negatif dalam kehidupan, memberikan motivasi dan refleksi yang mendalam.
- No Legs on Everest (2006): Buku ini memberikan kisah rinci tentang pendakiannya ke Gunung Everest, termasuk pendakiannya ke Cho Oyu, menyoroti tantangan dan kemenangan dalam perjalanan monumental tersebut.
8. Kehidupan Pribadi
Mark Inglis saat ini tinggal di Hanmer Springs, Selandia Baru, bersama istrinya, Anne, dan ketiga anak mereka. Kehidupan pribadinya yang sederhana dan fokus pada keluarga menjadi landasan bagi perjalanannya yang penuh tantangan dan inspirasi. Ia juga pernah dihormati dalam acara televisi TVNZ berjudul This Is Your Life pada tahun 2007. Pada tahun 2024, ia tampil dalam acara panel televisi Selandia Baru 7 Days.
9. Penghargaan dan Kehormatan
Atas kontribusi dan prestasinya yang luar biasa, Mark Inglis telah menerima sejumlah penghargaan dan kehormatan penting:
- Pada 2002 Queen's Birthday and Golden Jubilee Honours, Inglis diangkat sebagai Officer of the New Zealand Order of Merit (ONZM) atas jasanya kepada penyandang disabilitas.
- Pada bulan April 2009, ia dianugerahi gelar doktor kehormatan di bidang Sumber Daya Alam oleh Lincoln University, almamaternya, sebagai pengakuan atas kontribusi dan inspirasi yang diberikannya.
10. Warisan dan Persepsi Publik
Mark Inglis meninggalkan warisan yang kompleks dan multifaset, yang melibatkan baik pencapaian yang menginspirasi maupun kontroversi etika yang mendalam. Ia dinilai sebagai tokoh yang memicu diskusi penting tentang batas ambisi manusia dan tanggung jawab moral di lingkungan ekstrem.
10.1. Pencapaian Pendakian dan Inspirasi
Secara objektif, pencapaian pendakian Mark Inglis, terutama sebagai orang pertama dengan amputasi ganda yang mencapai puncak Gunung Everest, adalah sumber inspirasi yang tak terbantahkan. Ia menunjukkan kepada dunia bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk mencapai impian terbesar. Keberhasilannya dalam Paralimpiade dan pendakian gunung-gunung tinggi lainnya menegaskan ketahanan mental dan fisiknya yang luar biasa. Warisannya dalam konteks ini adalah semangat kepeloporan dan motivasi bagi individu dengan disabilitas di seluruh dunia untuk mengatasi tantangan dan mencapai potensi mereka sepenuhnya. Ia menjadi simbol bahwa keberanian dan tekad dapat mengalahkan rintangan yang tampaknya mustahil.
10.2. Kontroversi Etika dan Evaluasi Historis
Meskipun pencapaiannya menginspirasi, warisan Mark Inglis akan selalu terkait erat dengan kontroversi seputar kematian David Sharp di Gunung Everest. Insiden ini memicu debat etika yang serius tentang tanggung jawab seorang pendaki terhadap nyawa sesama di Zona Kematian. Kritik dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Sir Edmund Hillary dan perbedaan keterangan antara Inglis dan pemimpin ekspedisi Russell Brice menggarisbawahi dilema moral yang mendalam. Secara historis, insiden ini tidak hanya memengaruhi citra publik Inglis, tetapi juga mendorong komunitas pendaki gunung untuk merefleksikan kembali nilai-nilai solidaritas, altruisme, dan batas ambisi pribadi dalam menghadapi bahaya ekstrem. Kontroversi ini tetap menjadi pengingat penting akan kompleksitas etika di lingkungan yang paling ekstrem di dunia, dan bagaimana keputusan yang dibuat di bawah tekanan dapat membentuk warisan seseorang.