1. Overview
Naitō Takaharu (内藤高治Naitō TakaharuBahasa Jepang) (16 Desember 1862 - 9 April 1929) adalah seorang seniman bela diri dan praktisi kendo terkemuka dari Jepang. Berasal dari aliran pedang Hokushin Ittō-ryū (北辰一刀流Hokushin Ittō-ryūBahasa Jepang), Naitō memberikan kontribusi besar pada standardisasi dan penyebaran kendo di Jepang. Ia menjabat sebagai instruktur kendo untuk pasukan Kepolisian Jepang dan merupakan salah satu profesor pertama di Budo Senmon Gakko (武道専門学校Budo Senmon GakkoBahasa Jepang), sebuah institusi pelatihan bergengsi di bawah naungan Dai Nippon Butoku Kai (大日本武徳会Dai Nippon Butoku KaiBahasa Jepang).
Naitō berperan penting dalam pembentukan Dai Nihon Teikoku Kendo Kata (大日本帝国剣道形Dai Nihon Teikoku Kendo KataBahasa Jepang), yang bertujuan untuk mempromosikan praktik kendo di sekolah dan universitas di seluruh Jepang. Ia dikenal luas atas keahliannya dalam menggunakan teknik `kiai` (気合kiaiBahasa Jepang) dalam kendo. Keterampilan ini terlihat jelas dalam pertandingannya yang terkenal dengan Takano Sazaburo (高野佐三郎Takano SazaburoBahasa Jepang), di mana ia menunjukkan tingkat keahlian pedang yang superior meskipun berulang kali menerima serangan. Bersama Takano Sazaburo, Naitō memiliki pengaruh besar dalam dunia kendo dan secara luas dikenal dengan julukan "Naitō dari Barat, Takano dari Timur". Ia kemudian dianugerahi gelar `Hanshi` (範士HanshiBahasa Jepang), sebuah kehormatan tertinggi dalam seni bela diri.
2. Kehidupan
Naitō Takaharu menjalani kehidupan yang didedikasikan untuk seni bela diri, dengan fokus pada pengembangan dan penyebaran kendo. Kehidupannya ditandai dengan latihan keras, pengabdian pada pengajaran, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip kendo tradisional.
2.1. Kelahiran dan Masa Kecil
Naitō Takaharu lahir pada tanggal 25 Oktober tahun kedua era Bunkyū (16 Desember 1862) di Mito, sebagai putra keenam dari keluarga Ichige. Ayahnya, Ichige Takanori, adalah instruktur memanah untuk Domain Mito (水戸藩Mito hanBahasa Jepang), sementara ibunya adalah putri dari Watanabe Seizaemon, seorang instruktur seni pedang Hokushin Ittō-ryū. Berasal dari keluarga yang kaya akan tradisi bela diri, Naitō mulai belajar Sastra Tiongkok klasik (漢籍kansekiBahasa Jepang), berenang gaya Jepang (水練suirenBahasa Jepang), dan seni pedang (剣術kenjutsuBahasa Jepang) sejak usia tujuh tahun pada tahun kedua era Meiji (1869). Pada usia 12 tahun, ia memasuki `dojo` (道場dojoBahasa Jepang) Toobukan (東武館ToobukanBahasa Jepang) yang dipimpin oleh Ozawa Torakichi (小澤寅吉Ozawa TorakichiBahasa Jepang), seorang master Hokushin Ittō-ryū, di mana ia menjalin persahabatan erat dengan Monna Tadashi (門奈正Monna TadashiBahasa Jepang).
Pada tahun ke-14 era Meiji (1881), ia diadopsi oleh pamannya, Naitō Giemon Masatoshi, seorang samurai dari Domain Mito yang memiliki pendapatan sebesar 750 koku dan telah meninggal pada tahun ketiga era Keiō (1867) selama konflik internal di Domain Mito. Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama Naitō Takaharu. - *`koku` is not an allowed unit for `{{cvt}}`. Changed to plain text.*
2.2. Latihan di Tokyo dan Aktivitas Awal
Pada April tahun ke-16 era Meiji (1883), Naitō Takaharu pindah ke Tokyo untuk melanjutkan latihannya. Ia berlatih selama satu tahun di `dojo` Sakakibara Kenkichi (榊原鍵吉Sakakibara KenkichiBahasa Jepang) di Shitaya Kurumazaka. Setahun kemudian, ia memulai perjalanan latihan melintasi berbagai wilayah Jepang, termasuk melakukan praktik asketis di pegunungan (`yamagomori`). Setelah kembali ke Tokyo, ia menantang beberapa instruktur `gekken` (seni pedang) kepolisian seperti Kawasaki Zenzaburo (川崎善三郎Kawasaki ZenzaburoBahasa Jepang) dan Takano Sazaburo, dan berhasil memenangkan serangkaian pertandingan tersebut.
Pada tanggal 9 Mei tahun ke-21 era Meiji (1888), Naitō sendiri bergabung dengan kepolisian sebagai `junsa` (巡査junsaBahasa Jepang, petugas patroli) kelas satu. Atas bantuan Shimoe Shutarō (下江秀太郎Shimoe ShutarōBahasa Jepang), ia ditempatkan di kantor polisi yang sama dengan Monna Tadashi, teman seperguruan dari Toobukan. Sekitar waktu ini, keponakannya, Ichige Tani, datang ke Tokyo mencari bantuan Naitō. Naitō menyarankan keponakannya untuk menjadi pegulat sumo profesional dan berhasil meyakinkan kerabatnya yang menentang keputusan tersebut. Ichige Tani kemudian dikenal sebagai Yokozuna Hitachiyama Taniemon (常陸山谷右エ門Hitachiyama TaniemonBahasa Jepang), mencapai pangkat tertinggi dalam sumo.
Selain tugasnya di kepolisian, Naitō juga membuka `dojo` sendiri bernama Yōshinkan (養真館YōshinkanBahasa Jepang) di Ushigomeharamachi. Ia juga menjabat sebagai instruktur kendo untuk klub `gekken` di Tokyo Senmon Gakko (sekarang Universitas Waseda).
2.3. Partisipasi dalam Perang Tiongkok-Jepang
Ketika Perang Tiongkok-Jepang Pertama meletus pada tahun ke-27 era Meiji (1894), Kepolisian Jepang memerintahkan instruktur `gekken` untuk ditempatkan di Semenanjung Korea guna melindungi warga negara Jepang yang tinggal di sana. Naitō dan Monna Tadashi termasuk di antara mereka yang ditugaskan ke Korea. Saat berlayar dari Pelabuhan Kobe, Naitō menulis sebuah puisi yang mengungkapkan semangat kesatrianya, "Hari ini aku akan menguraikan hati kesatria, yang telah lama kupendam dalam panah dan busurku." Namun, ia menderita `pleurisy` akut (radang selaput dada) di Korea dan terpaksa kembali ke Jepang.
3. Aktivitas dan Pencapaian Utama
Naitō Takaharu mencapai banyak hal penting yang membentuk praktik kendo modern dan melatih generasi penerus.
3.1. Aktivitas di Dai Nippon Butoku Kai

Pada tahun ke-30 era Meiji (1897), Naitō dianugerahi `seirenshō` (精錬証seirenshōBahasa Jepang, sertifikat pelatihan) oleh Dai Nippon Butoku Kai, sebuah pengakuan atas kemajuan dan dedikasinya dalam seni bela diri. Pada bulan Maret tahun ke-32 era Meiji (1899), Butokuden, gedung utama Dai Nippon Butoku Kai, selesai dibangun di Kyoto. Untuk memperkuat staf pengajar, Butoku Kai menunjuk lima master: Okumura Sakontarou (奥村左近太Okumura SakontarouBahasa Jepang), Mihashi Kanjuro (三橋鑑一郎Mihashi KanjuroBahasa Jepang), Naitō Takaharu, Sasaki Masayoshi (佐々木正宜Sasaki MasayoshiBahasa Jepang), dan Koseki Kyorin (小関教政Koseki KyorinBahasa Jepang). Naitō sangat tergerak oleh telegram dari Kusunoki Masashige (楠正位Kusunoki MasashigeBahasa Jepang) yang berbunyi, "Datanglah demi Jalan (Kebajikan)" (ミチノタメキタレmichi no tame kitareBahasa Jepang). Pada September tahun yang sama, ia meninggalkan semua fondasi yang telah ia bangun di Tokyo dan mengabdikan dirinya untuk markas besar Dai Nippon Butoku Kai.
Ia kemudian menjabat sebagai profesor kepala kendo di Institut Pelatihan Instruktur Seni Bela Diri, yang kemudian berganti nama menjadi Budo Senmon Gakko. Di sana, ia melatih banyak praktisi kendo terkemuka, termasuk dua orang yang kemudian meraih gelar Kendo 10th dan, Mochida Moriiji (持田盛二Mochida MoriijiBahasa Jepang) dan Saimura Goro (斎村五郎Saimura GoroBahasa Jepang).
3.2. Penyebaran dan Standardisasi Kendo
Naitō terus aktif sebagai instruktur kendo untuk klub `gekken` di Tokyo Senmon Gakko (Universitas Waseda). Pada tahun ke-44 era Meiji (1911), ia diangkat sebagai ketua komite penguji untuk pembentukan Dai Nihon Teikoku Kendo Kata, sebuah inisiatif penting untuk menstandarkan bentuk-bentuk kendo di seluruh Jepang.
Filosofi pengajarannya sangat menekankan latihan dasar yang menyeluruh, seperti `kirikaeshi` (切り返しkirikaeshiBahasa Jepang, latihan pemotongan berulang) dan `kakari geiko` (掛かり稽古kakari geikoBahasa Jepang, latihan serangan berulang). Ia percaya bahwa penguasaan dasar-dasar ini adalah kunci untuk mengembangkan kendo yang kuat dan otentik, serta menentang komersialisasi kendo dan fokus pada kompetisi.
3.3. Kemampuan dan Evaluasi Kendo
Naitō Takaharu adalah seorang praktisi Hokushin Ittō-ryū yang sangat terampil. Ia dikenal karena kemampuannya dalam menggunakan `kiai`, yang secara signifikan memengaruhi lawan-lawannya. Pertandingan terkenalnya melawan Takano Sazaburo pada Mei 1901, selama Turnamen Besar Butoku Sai ke-6, berakhir imbang 1-1. Mihashi Kanjuro, salah satu juri, kemudian menyatakan bahwa ia belum pernah melihat pertandingan yang lebih baik dari itu. Meskipun Naitō tidak melakukan satu pun serangan dalam kontes tersebut dan berulang kali dipukul pada `kote` (pelindung pergelangan tangan) dan `men` (pelindung kepala), ia dinilai menunjukkan tingkat keahlian pedang yang superior. Ini karena ia mampu menerima serangan Takano tanpa menunjukkan sedikit pun kekhawatiran, sebuah bukti dari kemampuannya dalam `kiai` dan ketenangan batinnya.
Naitō Takaharu dan Takano Sazaburo memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia kendo dan secara luas dikenal dengan julukan "Naitō dari Barat, Takano dari Timur," yang mencerminkan posisi mereka sebagai dua tokoh paling berpengaruh di wilayah masing-masing. Naitō mencapai gelar `Hanshi`, sebuah gelar bergengsi yang menandakan penguasaan mendalam dan kepakaran dalam seni bela diri.
4. Pemikiran dan Filosofi
Naitō Takaharu memiliki pandangan yang kuat tentang arah dan integritas kendo, sering kali menentang tren yang ia anggap menyimpang dari esensi tradisionalnya.
4.1. Pandangan tentang Kendo
Naitō Takaharu sangat menentang komersialisasi dan aspek kompetitif kendo. Ia menekankan pentingnya menjaga metode pelatihan tradisional dan penguasaan dasar-dasar kendo, seperti `kirikaeshi` dan `kakari geiko`, yang ia yakini sebagai fondasi sejati seni ini. Ia menganggap bahwa fokus yang berlebihan pada turnamen dan kemenangan akan merusak nilai-nilai sejati kendo sebagai jalan spiritual dan disiplin diri.
Penolakan kerasnya terhadap penyelenggaraan Showa Tenran Shiai (昭和天覧試合Showa Tenran ShiaiBahasa Jepang, Turnamen Kekaisaran Showa) merupakan manifestasi paling jelas dari filosofinya. Ia menyatakan dengan sedih, "Dengan ini, kendo Jepang akan binasa" (これで日本剣道は滅びたKore de Nihon kendō wa horobitaBahasa Jepang), karena ia khawatir turnamen semacam itu akan mendorong kendo menuju olahraga semata, mengikis akar-akar filosofisnya. Meskipun demikian, ia akhirnya terpaksa mematuhi setelah pejabat Kementerian Rumah Tangga Kekaisaran Saionji Hachiro (西園寺八郎Saionji HachiroBahasa Jepang) menyatakan bahwa itu adalah perintah kekaisaran (勅命chokumeiBahasa Jepang).
5. Kehidupan Pribadi
Naitō Takaharu diadopsi oleh pamannya, Naitō Giemon Masatoshi, pada tahun 1881, dan sejak itu ia menggunakan nama Naitō Takaharu. Salah satu anekdot penting dalam kehidupan pribadinya adalah perannya dalam karier sumo keponakannya. Ia berhasil meyakinkan keponakannya, Ichige Tani, untuk menjadi pegulat sumo profesional, meskipun ada keberatan dari anggota keluarga lainnya. Ichige Tani kemudian meraih pangkat tertinggi dalam sumo, menjadi Yokozuna Hitachiyama Taniemon.
6. Kematian
Naitō Takaharu meninggal secara mendadak pada tanggal 9 April tahun keempat era Showa (1929) karena pendarahan otak. Kematiannya terjadi tak lama sebelum Showa Tenran Shiai, turnamen yang sangat ia tentang.
7. Dampak dan Evaluasi
Dampak Naitō Takaharu pada dunia kendo sangat mendalam dan berkelanjutan, membentuk praktik dan filosofi kendo untuk generasi mendatang.
7.1. Pelatihan Murid dan Pengaruhnya
Naitō Takaharu melatih banyak murid yang kemudian menjadi tokoh berpengaruh dalam dunia kendo, termasuk dua di antaranya yang mencapai gelar Kendo 10th dan: Mochida Moriiji dan Saimura Goro. Melalui pengajaran yang menekankan dasar-dasar yang kuat dan menolak komersialisasi, ia menanamkan nilai-nilai tradisional kendo pada murid-muridnya, memastikan warisannya terus hidup. Bersama Takano Sazaburo, Naitō adalah salah satu figur paling berpengaruh yang membentuk perkembangan kendo di Jepang.
7.2. Peringatan dan Representasi dalam Budaya Populer

Untuk memperingati kontribusi Naitō Takaharu, sebuah monumen yang dikenal sebagai "Kensei Naitō Takaharu Sensei Kenshō Hi" (剣聖内藤高治先生顕彰碑Kensei Naitō Takaharu Sensei Kenshō HiBahasa Jepang, Monumen Kendo Master Naitō Takaharu Sensei) didirikan di Distrik Sakyo, Kyoto, di dalam kompleks Budo Center.
Selain itu, Naitō Takaharu juga telah direpresentasikan dalam budaya populer:
- Dalam manga: Ia muncul dalam seri manga Ryu-RON- karya Murakami Motoka.
- Dalam drama televisi: Ia juga muncul dalam adaptasi drama televisi dari Ryu-RON- pada tahun 1995 yang diproduksi oleh NHK, di mana ia diperankan oleh Kinnosuke Yorozuya (萬屋錦之介Yorozuya KinnosukeBahasa Jepang).