1. Awal Kehidupan dan Pengenalan Budo
Noriaki Inoue memiliki latar belakang keluarga yang kaya namun sering sakit di masa kecilnya. Kondisi ini mendorongnya untuk memulai pelatihan seni bela diri, termasuk Judo dan Daito-ryu Aiki-Jutsu, meskipun ia memiliki keraguan terhadap beberapa metode tradisional.
1.1. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Noriaki Inoue lahir pada tanggal 3 Desember 1902, di Tanabe, Wakayama, Jepang. Ia merupakan anak keempat dari Zenso Inoue, seorang kepala keluarga kaya dari keluarga Inoue di Tanabe yang bergerak dalam bidang perdagangan, dan Tame Ueshiba, kakak tertua dari Morihei Ueshiba. Meskipun tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan dan tidak kekurangan dalam hidup, Inoue memiliki tubuh yang lemah di masa kecilnya dan sering sakit, bahkan mudah terkena flu. Karena kekhawatiran orang tuanya dan pamannya, Morihei Ueshiba, ia didorong untuk mempelajari seni bela diri guna memperkuat fisiknya.
Sepanjang hidupnya, Inoue menggunakan berbagai nama. Nama aslinya adalah Yoichiro (要一郎Bahasa Jepang). Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Kitamatsumaru (sejak 1902), Yoshiharu (祥治Bahasa Jepang, sejak 1920), Seisho (聖祥Bahasa Jepang, sejak 1940), Hoken (方軒Bahasa Jepang, sejak 1948), Teruyoshi (照祥Bahasa Jepang, sejak 1971), dan akhirnya Noriaki (鑑昭Bahasa Jepang, sejak 1973).
1.2. Latihan Budo Awal
Pada usia 10 tahun, Noriaki Inoue mulai mempelajari Judo di bawah bimbingan Kiyoochi Takagi dari Kodokan. Pengalaman awal ini menandai dimulainya perjalanan Inoue dalam dunia seni bela diri.
Pada tahun 1915, ia mengunjungi pamannya, Ueshiba, yang saat itu telah bermigrasi ke Hokkaidō untuk tujuan pemukiman. Selama ekspedisi pemukiman di utara pulau Hokkaido antara tahun 1912 dan 1919, Inoue dan Ueshiba mempelajari Daito-ryu Aiki-Jutsu di bawah bimbingan Sokaku Takeda. Namun, Inoue sendiri mulai meragukan metode latihan Daito-ryu yang ia pelajari. Meskipun Takeda berulang kali mendesaknya untuk menjadi muridnya, Inoue tidak pernah secara resmi bergabung dengan Daito-ryu karena keraguan yang mendalam terhadap pendekatan latihannya. Keraguan ini mencerminkan pemikirannya yang independen dan pencariannya akan pemahaman yang lebih dalam tentang kekuatan manusia, melampaui sekadar teknik bertarung.
2. Pertemuan dengan Oomoto dan Onisaburo Deguchi
Noriaki Inoue menghadapi pertanyaan esensial tentang "apa itu kekuatan dan kelemahan manusia" saat ia terus berlatih jujutsu. Pada usia 18 tahun, melalui pengenalan dari pamannya, Morihei Ueshiba, ia bertemu dengan Onisaburo Deguchi (出口王仁三郎Bahasa Jepang), pemimpin spiritual sekte Oomoto (大本教Bahasa Jepang) di Ayabe.
Perjumpaan dengan Deguchi memiliki pengaruh yang sangat krusial dan menentukan dalam pengembangan filosofi spiritual dan seni bela diri Inoue. Melalui pertemuan ini, Inoue menegaskan kebenaran gagasannya yang telah lama ia yakini, yaitu bahwa Budo harus berdasarkan pada konsep 'Shinwaryoku' (親和力Bahasa Jepang). Di bawah bimbingan Deguchi, Inoue, bersama Ueshiba yang kemudian juga bergabung, mulai mengajarkan Aiki-bujutsu yang didasarkan pada jujutsu keluarga mereka. Meskipun Inoue sendiri memiliki penilaian kritis terhadap keahlian bela diri Ueshiba, ia mengakui pentingnya pengembangan seni bela diri yang baru ini.
3. Aktivitas Budo dan Perkembangan Shin'ei Taidō
Noriaki Inoue terlibat aktif dalam penyebaran Aikibudo bersama pamannya, Morihei Ueshiba, sebelum akhirnya mengembangkan seni bela diri independennya sendiri, Shin'ei Taidō, yang mencerminkan filosofi uniknya.
3.1. Kerjasama dan Perpisahan dengan Morihei Ueshiba
Inoue aktif berkolaborasi dengan Morihei Ueshiba dalam menyebarkan Aikibudo, seni yang berasal dari Daito-ryu dan telah disempurnakan oleh Ueshiba. Pada tahun 1927, mereka berdua pindah dan menetap di Tokyo, mengajar di berbagai lokasi sebelum pembangunan dojo permanen pertama Ueshiba, Kobukan, pada tahun 1931. Kobukan Dojo menjadi pusat penyebaran Aikibudo pada masa itu.
Namun, setelah Insiden Oomoto Kedua pada tahun 1935, ketika pemerintah militer menekan dan membubarkan sekte Oomoto, terjadi keretakan besar antara Ueshiba dan keponakannya. Inoue menuduh Ueshiba telah mengkhianati perjuangan sekte tersebut karena tidak berbagi nasib dengan para pemimpinnya yang ditangkap. Akibat tuduhan dan kebencian timbal balik ini, hubungan mereka terputus, dan keduanya akhirnya berpisah. Setelah perpecahan ini, Inoue memilih untuk tetap berada di Oomoto, sementara Ueshiba meninggalkan sekte tersebut dan membangun jalur independennya sendiri.
3.2. Pendirian Shin'ei Taidō dan Kegiatan Independen
Setelah berpisah dari Ueshiba, Inoue melanjutkan pengajaran seni bela dirinya secara mandiri di Tokyo setelah perang. Ia bahkan melatih perwira Angkatan Udara Amerika Serikat, menunjukkan cakupan pengajarannya yang luas. Pada tahun 1946, atas rekomendasi dan penamaan dari Onisaburo Deguchi, Inoue mengubah nama seni bela dirinya dari 'Aikibujutsu' menjadi 'Shinwa Taidō' (親和体道Bahasa Jepang). Pada suatu waktu, seni bela dirinya juga sempat disebut 'Inoue Sokaku-ryu'. Akhirnya, pada tahun 1956, ia kembali mengubah namanya menjadi 'Shin'ei Taidō' (親英体道Bahasa Jepang).
Inoue memiliki sedikit interaksi dengan organisasi Aikikai yang dibentuk setelah kematian Ueshiba. Ia terus mengajar secara aktif hingga akhir hayatnya, membangun Shin'ei Taidō sebagai aliran seni bela diri yang independen dan unik.
4. Filsafat Budo
Filsafat seni bela diri Noriaki Inoue sangat menekankan pada konsep 'Shinwaryoku', yang menjadi inti dari pendekatannya terhadap Budo.
4.1. Konsep 'Shinwaryoku'
Konsep 'Shinwaryoku' (親和力Bahasa Jepang) merupakan gagasan sentral dalam filosofi seni bela diri Noriaki Inoue. Kata 'Shinwa' (親和) berarti "afinitas" atau "harmoni", sementara 'ryoku' (力) berarti "kekuatan". Secara harfiah, 'Shinwaryoku' dapat diartikan sebagai "kekuatan harmoni" atau "kekuatan afinitas". Inoue telah lama mengembangkan ide bahwa seni bela diri harus didasarkan pada konsep ini, dan pertemuannya dengan Onisaburo Deguchi dari sekte Oomoto memperkuat keyakinan ini.
'Shinwaryoku' mencerminkan pandangan bahwa kekuatan sejati dalam seni bela diri bukan hanya tentang kekuatan fisik atau dominasi, melainkan juga tentang kemampuan untuk beradaptasi, menyelaraskan diri, dan bahkan memengaruhi lawan melalui koneksi atau "afinitas". Konsep ini menekankan pentingnya respons yang lembut namun efektif terhadap serangan, dan kemampuan untuk membimbing atau mengendalikan energi lawan tanpa konfrontasi langsung. Dalam praktiknya, 'Shinwaryoku' mendorong gerakan yang fluid, penggunaan momen yang tepat, dan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip universal yang mendasari interaksi fisik dan spiritual. Ini adalah cerminan dari pendekatan Inoue yang lebih filosofis dan non-agresif terhadap seni bela diri, yang membedakannya dari aliran lain yang lebih menekankan kekuatan langsung.
5. Anekdot
Noriaki Inoue meninggalkan sejumlah anekdot menarik yang menyoroti keterampilan seni bela dirinya yang luar biasa dan karakternya yang unik.
Ia dikenal memiliki kemampuan yang mendekati mistis. Salah satu anekdot yang terkenal menceritakan bagaimana ia "melompat dari jembatan ke sungai, kemudian melompat kembali dari permukaan air ke atas jembatan". Cerita lain menyebutkan bahwa ia "mengayunkan konnyaku (sejenis jelly Jepang) dan berhasil memotong pelat besi", menunjukkan kekuatannya yang tidak biasa dan penguasaan tekniknya yang melampaui batas fisik biasa.
Selain itu, Inoue juga dikenal karena kemurahan hatinya dalam mengajar. Ketika Shigeru Egami, seorang praktisi Karate yang mencari konsep 'Karate lembut' atau 'Karate tanpa sentuhan pukulan' yang ia inginkan, mendengar desas-desus tentang Shin'ei Taidō, ia mendatangi Inoue untuk meminta bimbingan. Pada saat itu, Egami hidup dalam kemiskinan ekstrem. Meskipun demikian, Inoue terkesan dengan kesungguhan Egami dan dengan murah hati memberikan ajaran teknik-teknik Aiki tanpa memungut biaya pelatihan. Tindakan ini menunjukkan dedikasi Inoue terhadap penyebaran pengetahuan seni bela diri kepada mereka yang sungguh-sungguh ingin belajar, tanpa terhalang oleh kondisi finansial, mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dalam pendekatannya terhadap seni bela diri.
6. Akhir Hayat dan Kematian
Noriaki Inoue terus aktif mengajar seni bela diri Shin'ei Taidō hingga akhir hayatnya. Ia meninggal dunia pada tanggal 13 April 1994, di rumahnya di Kunitachi, Tokyo, Jepang. Ia meninggal pada usia 91 tahun. Kehidupannya yang panjang dan dedikasinya yang tak putus-putus terhadap pengembangan dan pengajaran seni bela diri telah meninggalkan jejak penting dalam sejarah Budo.
7. Penilaian dan Warisan
Noriaki Inoue meninggalkan warisan yang kompleks dalam dunia seni bela diri, terutama terkait dengan peran dan klaimnya dalam pendirian Aikido, serta kelanjutan dari aliran seni bela diri yang ia kembangkan sendiri, Shin'ei Taidō.
7.1. Kontroversi Mengenai Pendiri Bersama Aikido
Noriaki Inoue menganggap dirinya sebagai salah satu pendiri Aikido bersama pamannya, Morihei Ueshiba. Ia berpendapat bahwa kontribusinya pada tahap awal pengembangan teknik dan filosofi seni tersebut sangat signifikan. Namun, klaim ini telah diperdebatkan oleh keluarga Ueshiba dan organisasi Aikikai, yang secara umum menganggap Morihei Ueshiba sebagai satu-satunya pendiri Aikido. Kontroversi ini menyoroti kompleksitas sejarah awal Aikido dan perbedaan perspektif mengenai siapa saja yang seharusnya diakui atas peran sentral dalam pembentukannya. Meskipun demikian, keterlibatan Inoue yang mendalam pada masa-masa awal pengembangan Aikido tidak dapat diabaikan.
7.2. Penerusan dan Pengaruh Shin'ei Taidō
Setelah berpisah dari Morihei Ueshiba, Noriaki Inoue terus mengembangkan seni bela dirinya sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Shin'ei Taidō. Seni bela diri ini telah diteruskan dan berkembang sebagai aliran independen. Shin'ei Taidō menjadi manifestasi nyata dari filosofi dan prinsip yang diyakini Inoue, terutama konsep 'Shinwaryoku' (kekuatan harmoni), yang membedakannya dari aliran lain.
Pengaruh Shin'ei Taidō, meskipun mungkin tidak sebesar Aikido, tetap signifikan di kalangan praktisi yang mencari pendekatan seni bela diri yang lebih mendalam dan filosofis. Kisah Noriaki Inoue dalam mengajar Shigeru Egami tanpa biaya, terutama ketika Egami berada dalam kesulitan finansial, juga menyoroti etos berbagi pengetahuan tanpa pamrih yang menjadi bagian dari warisannya. Ini menunjukkan bahwa dampak Inoue tidak hanya terbatas pada pengembangan teknik, tetapi juga pada penyebaran nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas dalam Budo, yang menekankan pada karakter dan ketulusan murid. Shin'ei Taidō terus diwarisi oleh generasi penerus yang berkomitmen untuk menjaga dan mengembangkan ajaran-ajaran Inoue.