1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Numa Pompilius diyakini lahir pada tanggal 21 April 753 SM, yang secara tradisional juga merupakan tanggal pendirian kota Roma. Ia adalah putra bungsu dari empat bersaudara dari seorang tokoh penting Sabini bernama Pomponius. Numa dikenal sejak muda sebagai pribadi yang sangat religius, bijaksana, dan menjalani kehidupan yang disiplin serta menjauhi kemewahan. Sebelum diangkat menjadi raja, ia tinggal di Cures, sebuah kota di wilayah Sabini.
1.1. Masa Kecil dan Pendidikan
Numa Pompilius dikenal sangat menyukai filsafat dan meditasi. Konon, ia menjadi beruban sebelum waktunya karena terlalu dalam merenungkan pemikiran filosofis. Meskipun ada cerita populer yang menyebutkan bahwa Numa diajari filsafat oleh Pythagoras, sejarawan seperti Livy dan Plutarkh meragukan keaslian klaim ini karena tidak sesuai secara kronologis maupun geografis (Pythagoras hidup jauh setelah Numa). Namun, kisah ini mencerminkan reputasinya sebagai seorang yang sangat bijaksana dan memiliki pemikiran mendalam sejak usia muda.
1.2. Pernikahan dan Kehidupan Pertapaan
Numa Pompilius menikah dengan Tatia, putri tunggal Titus Tatius, raja Sabini dan rekan Romulus. Mereka menjalani kehidupan yang sederhana dan bahagia di sebuah desa kecil di hutan. Setelah 13 tahun pernikahan, Tatia meninggal dunia. Kematian istrinya ini menjadi titik balik dalam hidup Numa, mendorongnya untuk menarik diri dari kehidupan publik dan menjalani masa pertapaan di pedesaan, khususnya di Cures, tempat ia lebih banyak merenung dan beribadah.
2. Masa Kepangeranan dan Pemerintahan

Setelah kematian Romulus, takhta Roma kosong selama satu tahun yang dikenal sebagai periode interregnum. Selama masa ini, anggota Senat Romawi secara bergilir menjalankan kekuasaan kerajaan, masing-masing selama lima hari. Periode ini diwarnai oleh perselisihan antara faksi Romulus (Romawi) dan faksi Tatius (Sabini). Namun, pada tahun 715 SM, sebuah kompromi tercapai, dan Senat memilih Numa Pompilius, yang saat itu berusia sekitar empat puluh tahun, sebagai raja kedua Roma.
Pada awalnya, Numa menolak tawaran kekuasaan tersebut. Ia berpendapat bahwa Roma, di bawah pengaruh pemerintahan Romulus, masih merupakan negara yang berorientasi pada perang, dan membutuhkan seorang pemimpin militer, bukan seseorang yang menjalani kehidupan kesalehan dan refleksi. Namun, ayahnya, kerabat Sabini, termasuk gurunya dan ayah dari menantunya, Marcus, bersama dengan delegasi dua senator dari Roma, berhasil membujuknya untuk menerima. Menurut catatan Plutarkh dan Livy, setelah dipanggil oleh Senat dari Cures, Numa ditawari simbol-simbol kekuasaan di tengah sambutan antusias dari rakyat Roma. Ia meminta agar seorang augur menanyakan pendapat para dewa mengenai prospek pemerintahannya sebelum ia menerima. Jupiter dikonsultasikan, dan tanda-tanda (omen) yang muncul sangat menguntungkan. Dengan demikian, setelah disetujui oleh rakyat Romawi dan Sabini serta direstui oleh langit, ia mengambil posisinya sebagai Raja Roma. Tindakan pertamanya adalah membubarkan pengawal pribadi Romulus yang terdiri dari 300 orang yang disebut celeres (yang "Cepat"), sebuah tindakan yang ditafsirkan sebagai tanda kerendahan hati Numa, simbol perdamaian dan moderasi, atau bahkan sebagai langkah perlindungan diri mengingat loyalitas mereka yang dipertanyakan.
2.1. Gambaran Umum Masa Pemerintahan dan Pencapaian Utama
Numa Pompilius memerintah Roma selama 43 tahun, dari tahun 715 SM hingga 672 SM (atau 673 SM menurut beberapa sumber). Masa pemerintahannya sangat kontras dengan era pendirian Romulus yang penuh peperangan. Numa membawa kedamaian dan stabilitas yang luar biasa ke Roma, sebuah periode unik dalam sejarah Romawi di mana tidak ada perang yang terjadi. Ia mengubah Roma dari apa yang sebelumnya dianggap sebagai "gerombolan pencuri" oleh tetangga-tetangganya menjadi kota berbudaya yang terstruktur dengan hukum, adat istiadat, dan ritual keagamaan yang kuat.
Ia dianggap sebagai pendiri banyak institusi keagamaan dan sosial Romawi yang fundamental. Kontribusinya mencakup pembentukan jabatan Pontifex Maximus, pengenalan Perawan Vesta, reformasi kalender Romawi, dan pembangunan Kuil Janus yang pintunya tetap tertutup sepanjang masa pemerintahannya sebagai simbol perdamaian. Numa juga memperkenalkan reformasi sosial seperti pembentukan serikat pekerja (guild) dan pembagian tanah. Berbeda dengan para pendahulunya dan penerusnya, Numa meninggal karena usia tua, pada usia sekitar 81 tahun, dan kepergiannya ditangisi oleh rakyat Roma dan bahkan oleh orang-orang dari wilayah tetangga yang bersahabat. Kontras ini sering ditekankan oleh sejarawan: Romulus adalah raja perang, sementara Numa adalah raja perdamaian, sehingga Roma memiliki penguasaan yang baik dalam seni perang maupun perdamaian.
3. Pencapaian dan Aktivitas Utama
Numa Pompilius dikenal karena kontribusinya yang luas dalam membentuk fondasi agama, kalender, serta sistem sosial dan hukum Romawi.
3.1. Reformasi Keagamaan

Numa Pompilius dianggap sebagai arsitek utama sistem keagamaan Romawi. Ia mendirikan banyak institusi dan ritual yang menjadi inti praktik keagamaan selama berabad-abad.
Salah satu tindakan pertamanya adalah pembangunan Kuil Janus, yang terletak di kaki Argiletum, sebuah jalan di kota. Kuil ini memiliki pintu yang hanya ditutup pada masa damai. Sepanjang pemerintahan Numa, pintu kuil ini tetap tertutup, sebuah kasus unik dalam sejarah Romawi, yang menandakan perdamaian abadi di bawah pemerintahannya.
Numa juga mendirikan jabatan Pontifex Maximus, imam agung yang bertugas mengawasi semua urusan agama di Roma. Ia menunjuk Numa Marcius sebagai Pontif pertama. Jabatan ini bertanggung jawab atas berbagai aspek keagamaan, termasuk menentukan persembahan apa yang harus diberikan, pada hari apa, di kuil mana, serta mengelola dana untuk pengeluaran keagamaan. Pontif juga mengawasi semua institusi keagamaan, baik publik maupun privat, memberikan nasihat kepada rakyat mengenai hukum ilahi, dan memastikan bahwa tidak ada kekacauan dalam ibadah ilahi karena mengabaikan ritual asli atau mengadopsi ritual asing. Mereka juga mengajar rakyat tentang upacara pemakaman yang layak dan cara menenangkan roh orang mati, serta bagaimana menanggapi dan menebus prodigium (tanda-tanda ilahi) yang dikirim oleh petir atau fenomena lainnya.
Ia membawa Perawan Vesta, para pendeta wanita yang menjaga api suci dewi Vesta, ke Roma dari Alba Longa. Awalnya berjumlah dua orang, jumlah mereka kemudian bertambah menjadi empat oleh Servius Tullius dan tetap demikian selama berabad-abad. Numa juga mendirikan jabatan dan tugas flamen, termasuk flamen untuk Quirinus (untuk menghormati Romulus), di samping flamen untuk Jupiter dan Mars yang sudah ada. Ia menciptakan flamen residensial untuk Jupiter yang diberkahi dengan tanda kebesaran kerajaan, yang dapat melaksanakan fungsi sakral dari jabatan kerajaan, yang biasanya dilakukan Numa sendiri. Ini dilakukan untuk menghindari pengabaian ritual ketika raja pergi berperang, karena ia melihat sikap suka berperang dari bangsa Romawi.
Numa juga memerintahkan pembuatan sebelas perisai yang persis sama dengan perisai suci Ancile yang jatuh dari langit, sehingga tidak ada yang bisa membedakan yang asli dari salinannya. Perisai-perisai ini, yang disebut Ancilia, adalah perisai suci Jupiter yang dibawa setiap tahun dalam prosesi oleh para pendeta Salii. Ia juga mendirikan dua belas pendeta Salii dari Mars Gradivus untuk merawat perisai-perisai suci ini.
Penciptaan lain yang diatribusikan kepada Numa adalah pemujaan terhadap Terminus, dewa batas. Melalui ritual ini, yang melibatkan pengorbanan di properti pribadi, batas, dan penanda, Numa dilaporkan berusaha menanamkan pada bangsa Romawi rasa hormat terhadap properti yang sah dan hubungan non-kekerasan dengan tetangga. Pemujaan Terminus, menurut Numa, melibatkan ketiadaan kekerasan dan pembunuhan. Dewa itu adalah kesaksian keadilan dan penjaga perdamaian. Numa juga menetapkan batas-batas resmi wilayah Roma, yang tidak pernah diinginkan Romulus, dengan tujuan yang sama untuk menjaga perdamaian.
Numa juga memperkenalkan Fetiales, para pendeta yang bertindak sebagai perantara dalam deklarasi perang dan perdamaian, memastikan setiap keputusan perang melewati pertimbangan moral dan keagamaan. Ia mendedikasikan sebuah altar untuk Jupiter Elicius sebagai sumber pengetahuan keagamaan, dan berkonsultasi dengan dewa melalui augury mengenai apa yang harus ditebus. Ia juga melembagakan festival tahunan untuk Fides (Iman) dan memerintahkan tiga flamen utama untuk dibawa ke kuilnya dengan kereta berkubah dan melakukan ibadah dengan tangan terbungkus hingga jari-jari, yang berarti Iman harus suci seperti di tangan kanan manusia. Di antara banyak ritual lain yang ia lembagakan, ia mendedikasikan tempat-tempat Argei.
Menurut Plutarkh, Numa melarang bangsa Romawi merepresentasikan dewa dalam bentuk manusia atau binatang. Selama 170 tahun pertama, tidak ada gambar atau patung makhluk ilahi di antara mereka; mereka membangun kuil dan kubah suci lainnya, tetapi tidak menempatkan figur apapun di dalamnya, yakin bahwa tidak saleh untuk merepresentasikan hal-hal ilahi dengan yang fana, dan bahwa manusia hanya dapat memiliki konsepsi tentang Tuhan melalui pemahaman. Numa juga lebih menyukai pengorbanan tanpa darah dan tidak mahal.
Legenda juga menyebutkan bahwa Numa mampu memaksa dua dewa minor, Picus dan Faunus, untuk menyampaikan beberapa nubuat tentang masa depan. Ia juga dilaporkan mengadakan "pertempuran kecerdasan" dengan Jupiter sendiri melalui penampakan, di mana Numa berusaha mendapatkan ritual perlindungan terhadap sambaran petir dan guntur. Suatu ketika, ketika wabah melanda penduduk, sebuah perisai kuningan (Ancile) jatuh dari langit dan dibawa kepada Numa. Ia menyatakan bahwa Egeria telah memberitahunya bahwa itu adalah hadiah dari Jupiter, untuk digunakan melindungi Roma. Ia memerintahkan upacara syukur atas hadiah tersebut, dan wabah pun segera berakhir. Ancile menjadi relik suci bagi bangsa Romawi dan ditempatkan di bawah perawatan Salii.
3.2. Reformasi Kalender
Secara tradisional, Numa Pompilius melakukan reformasi kalender Romawi, yang membagi tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan siklus bulan, tetapi disesuaikan agar sesuai dengan revolusi solstisial. Selama masa ini, bulan Januari dan Februari diperkenalkan. Numa juga membuat perbedaan antara hari-hari yang bersifat profan (biasa) dan sakral (suci).
Plutarkh dalam karyanya Parallel Lives menyebutkan bahwa Numa Pompilius menjadikan Januari sebagai bulan pertama dalam kalender, bukan Maret, dengan alasan bahwa ia ingin pengaruh militer selalu mengalah pada pengaruh sipil dan politik. Ini karena Janus, di zaman kuno, baik ia dewa atau raja, adalah pelindung tatanan sipil dan sosial, dan dikatakan telah mengangkat kehidupan manusia dari keadaan buas dan biadab. Karena alasan ini, ia digambarkan dengan dua wajah, menyiratkan bahwa ia membawa kehidupan manusia dari satu jenis dan kondisi ke kondisi lain.
3.3. Reformasi Sosial dan Hukum
Numa Pompilius memperkenalkan sejumlah reformasi sosial dan hukum yang bertujuan untuk menstabilkan masyarakat Roma dan mengurangi konflik internal, serta mempromosikan perdamaian.
Salah satu reformasi penting adalah pembentukan serikat pekerja (guild) berdasarkan keahlian dan perdagangan. Ia membedakan seluruh rakyat berdasarkan seni dan perdagangan mereka, membentuk perkumpulan musisi, tukang emas, tukang kayu, tukang celup, pembuat sepatu, penyamak kulit, tukang tembaga, dan pembuat tembikar. Semua pengrajin lainnya ia susun dan gabungkan menjadi satu perkumpulan, menetapkan pengadilan, dewan, dan aturan mereka sendiri. William Blackstone bahkan menganggap Numa sebagai penemu awal "korporasi," yang bertujuan untuk memecah faksi-faksi rival Sabini dan Romawi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil berdasarkan profesi.
Numa juga dikreditkan dengan membagi wilayah langsung Roma menjadi pagi (desa-desa). Menurut Plutarkh, ia membagi tanah yang ada di antara orang-orang miskin di Roma dan membujuk mereka untuk bekerja di bidang pertanian. Ia percaya bahwa ini akan mengurangi agresivitas dan menghilangkan kemiskinan serta kejahatan. Ia menganggap pertanian sebagai pekerjaan yang "memupuk karakter daripada kekayaan." Plutarkh juga menyarankan bahwa larangan Numa untuk melakukan pengorbanan tanpa makanan dan dari anggur yang berasal dari tanaman yang tidak dipangkas dimaksudkan untuk mendorong orang bekerja di bidang pertanian.
Dalam hal perbudakan, Numa melarang ayah menjual putra mereka ke dalam perbudakan jika putra tersebut telah menikah sesuai dengan kehendak ayah. Ia juga mengizinkan budak untuk berpesta bersama majikan mereka selama Saturnalia, sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi mereka dalam menghasilkan buah-buahan tahunan bumi. Plutarkh menyarankan bahwa waktu perayaan ini mungkin untuk mengenang "Zaman Saturnus" ketika tidak ada budak maupun majikan, melainkan semua dianggap sebagai kerabat dan setara.
4. Filsafat dan Pemikiran

Numa Pompilius secara tradisional dihormati oleh bangsa Romawi karena kebijaksanaan dan kesalehannya. Ia menekankan nilai-nilai inti seperti penghormatan terhadap dewa-dewa, kepatuhan terhadap hukum, perilaku manusiawi terhadap musuh, dan menjalani kehidupan yang pantas serta terhormat. Banyak tindakan dan institusi yang diatribusikan kepadanya mencerminkan filosofi perdamaian dan moderasi.
Meskipun sejarawan seperti Livy dan Plutarkh meragukan klaim bahwa Numa adalah murid Pythagoras karena ketidaksesuaian kronologis, kisah ini tetap populer dan menunjukkan reputasi Numa sebagai seorang pemikir filosofis yang mendalam. Beberapa sarjana modern, seperti A. Delatte dan J. Carcopino, bahkan percaya bahwa insiden penemuan dan pembakaran "buku-buku suci" Numa ratusan tahun setelah kematiannya mungkin merupakan hasil dari inisiatif sekte Pythagorean di Roma. Mereka berpendapat bahwa buku-buku tersebut mungkin berisi semacam physikòs lógos, yaitu interpretasi keyakinan agama yang sebagian bersifat moral dan sebagian kosmologis, yang merupakan ciri khas Pythagoreanisme kuno, dan mungkin bertentangan dengan beberapa kepercayaan Romawi.
Numa digambarkan sebagai pembawa perdamaian yang kuat. Menjadikan bangsa Romawi lebih damai adalah salah satu tujuan utamanya sejak awal pemerintahannya, dan banyak tindakannya secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan ini. Ia berhasil sedemikian rupa sehingga situasi menjadi lebih baik daripada yang digambarkan dalam lagu-lagu kuno, yang menceritakan bagaimana sarang laba-laba menutupi perisai dan senjata, dan suara terompet perang tidak lagi terdengar.
5. Kehidupan Pribadi
Numa Pompilius menikah dengan Tatia, putri tunggal Titus Tatius. Setelah Tatia meninggal, Numa menjalani kehidupan yang lebih menyendiri.
Legenda yang paling terkenal mengenai kehidupan pribadinya adalah hubungannya dengan nimfa Egeria. Numa dikatakan memiliki hubungan langsung dan pribadi dengan beberapa dewa, yang paling terkenal adalah Egeria, yang menurut legenda, mengajarinya untuk menjadi legislator yang bijaksana. Menurut Livy, Numa mengklaim bahwa ia mengadakan konsultasi malam hari dengan Egeria mengenai cara yang tepat untuk melembagakan ritus-ritus suci bagi kota. Egeria diyakini tinggal di hutan dekat Roma, dan Numa sering mengunjungi tempat itu untuk berkonsultasi dengannya. Plutarkh menyarankan bahwa Numa memanfaatkan takhayul ini untuk memberikan dirinya aura kekaguman dan daya tarik ilahi, guna menumbuhkan perilaku yang lebih lembut di antara bangsa Romawi awal yang suka berperang: menghormati dewa-dewa, mematuhi hukum, berperilaku manusiawi terhadap musuh, dan menjalani kehidupan yang layak dan terhormat.
Mengenai keturunannya, Plutarkh melaporkan bahwa beberapa penulis menganggap Numa hanya memiliki satu putri, Pompilia. Ibu Pompilia diidentifikasi secara beragam sebagai istri pertama Numa, Tatia, atau istri keduanya, Lucretia. Pompilia dikatakan menikah dengan putra Pontifex Maximus pertama, Numa Marcius, yang juga bernama Numa Marcius, dan darinya melahirkan raja masa depan, Ancus Marcius. Penulis lain, menurut Plutarkh, juga memberikan Numa lima putra: Pompo (atau Pomponius), Pinus, Calpus, Mamercus, dan Numa, dari mana keluarga bangsawan (gentes) Pomponii, Pinarii, Calpurnii, Aemilii, dan Pompilii masing-masing menelusuri keturunan mereka. Namun, penulis lain yang lebih skeptis, masih menurut Plutarkh, percaya bahwa ini adalah silsilah fiktif untuk meningkatkan status keluarga-keluarga tersebut.
6. Kematian
Numa Pompilius meninggal karena usia tua pada tahun 672 SM (atau 673 SM menurut beberapa sumber), setelah memerintah selama 43 tahun. Ia diperkirakan berusia sekitar 81 tahun saat meninggal. Atas permintaannya, ia tidak dikremasi, melainkan dimakamkan dalam peti batu di Bukit Janiculum, dekat altar Fons. Setelah kematiannya, Tullus Hostilius menggantikannya sebagai raja Roma. Kepergian Numa ditangisi tidak hanya oleh rakyat Roma tetapi juga oleh orang-orang dari berbagai tempat yang bersahabat dengan Roma, sebuah bukti warisannya sebagai pembawa perdamaian.
7. Warisan dan Evaluasi

Numa Pompilius dinilai sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sejarah awal Roma, dihormati sebagai pendiri perdamaian, agama, dan institusi-institusi Romawi yang fundamental. Pemerintahannya yang damai selama 43 tahun sangat kontras dengan era pendirian Romulus yang militeristik dan raja-raja berikutnya yang sering terlibat dalam konflik.
7.1. Evaluasi Positif
Numa Pompilius dipuji atas kebijaksanaan, kesalehan, dan pemerintahannya yang damai. Ia berhasil membawa perdamaian tidak hanya ke Roma tetapi juga ke seluruh Italia, menciptakan periode di mana jalan-jalan aman dan perayaan serta festival berlangsung. Tidak ada yang mencoba menyakitinya atau merebut posisinya. Plutarkh membandingkan ini dengan nasib para pendahulu dan penerusnya: Romulus digambarkan sebagai raja perang, dan dari lima raja setelah Numa, empat dibunuh dan satu digulingkan serta diusir dari Roma.
Kontribusinya dalam membentuk institusi keagamaan dan hukum sangat dihargai. Ia meletakkan dasar bagi sistem keagamaan Romawi yang kompleks, termasuk jabatan Pontifex Maximus, Perawan Vesta, dan berbagai ritual serta kuil. Reformasi kalendernya juga menjadi dasar bagi kalender Romawi yang kemudian berkembang menjadi kalender Julian. Para kaisar Romawi kemudian, seperti Antoninus Pius, Justinianus I, dan Michael Psellos, memuji Numa sebagai teladan raja yang saleh, damai, dan bijaksana, yang meletakkan dasar hukum dan ketertiban bagi negara Romawi. Justinianus I, misalnya, mengingat Numa bersama Romulus sebagai dua pendiri negara Romawi, dengan Numa sebagai orang yang pertama "mengorganisir dan meningkatkan [kota Roma], melalui hukum."
7.2. Kontroversi dan Kritik
Meskipun Numa sangat dihormati, ada beberapa kontroversi dan perdebatan sejarah terkait dengan kisahnya. Salah satu yang paling menonjol adalah klaim bahwa Numa diajari filsafat oleh Pythagoras. Sejarawan kuno seperti Livy dan Plutarkh sendiri meragukan keaslian klaim ini karena ketidaksesuaian kronologis dan geografis; Pythagoras hidup jauh setelah masa Numa. Namun, cerita ini tetap populer karena berusaha menjelaskan kebijaksanaan luar biasa Numa.
Kontroversi lain terkait dengan "buku-buku suci" Numa. Livy menceritakan bahwa pada tahun 181 SM, hampir lima ratus tahun setelah kematian Numa, dua peti batu ditemukan di kaki Bukit Janiculum. Salah satunya kosong, sementara yang lain berisi empat belas buku (tujuh dalam bahasa Latin tentang hukum pontifikal dan tujuh dalam bahasa Yunani tentang filsafat). Senat Romawi, setelah memeriksanya, menganggap buku-buku tersebut tidak pantas untuk diungkapkan kepada rakyat dan memerintahkan agar dibakar di Comitium. Praetor Q. Petilius, yang meminta buku-buku itu, bersumpah bahwa membaca atau menyimpan buku-buku itu tidak baik bagi agama. Meskipun ada tawaran ganti rugi kepada pemiliknya, L. Petilius menolak menerimanya. Insiden ini telah dianalisis secara kritis oleh para filolog, dengan beberapa sarjana seperti E. Peruzzi berpendapat tentang keaslian buku-buku tersebut, sementara yang lain seperti M.J. Pena lebih skeptis. Beberapa sarjana Prancis, A. Delatte dan J. Carcopino, percaya bahwa insiden tersebut adalah hasil dari inisiatif nyata sekte Pythagorean di Roma, dan bahwa buku-buku tersebut mungkin berisi doktrin Pythagorean yang bertentangan dengan kepercayaan Romawi tertentu.
Selain itu, klaim bahwa Numa memiliki lima putra yang menjadi nenek moyang keluarga bangsawan Romawi (gentes) juga dianggap fiktif oleh beberapa penulis kuno, yang melihatnya sebagai upaya untuk meningkatkan status keluarga-keluarga tersebut. Filsuf Kristen Klemens dari Aleksandria mengklaim bahwa Numa Pompilius dipengaruhi oleh Hukum Musa dan karena itu menahan diri untuk tidak membuat patung manusia, namun klaim ini tidak diterima oleh sarjana modern karena tidak ada kontak yang diketahui antara raja-raja awal Roma dan bangsa Ibrani kuno.
Terlepas dari kontroversi ini, warisan Numa Pompilius sebagai pembawa perdamaian dan pembentuk institusi Romawi yang fundamental tetap tak tergoyahkan dalam sejarah dan mitologi Romawi.