1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Theophylactus, nama lahir Benediktus IX, berasal dari Keluarga Tusculum, sebuah keluarga bangsawan Romawi yang sangat berpengaruh dalam politik dan Gereja pada abad ke-11. Ia lahir di Roma sekitar tahun 1012.
1.1. Hubungan Keluarga dan Pemilihan Paus
Benediktus IX memiliki silsilah keluarga yang sangat terhubung dengan kepausan. Ia adalah keponakan dari pendahulunya langsung, Paus Yohanes XIX, serta keponakan Paus Benediktus VIII. Selain itu, ia juga merupakan cucu keponakan Paus Yohanes XII, cicit keponakan Paus Yohanes XI, sepupu pertama dua kali dipindahkan dari Paus Benediktus VII, dan kemungkinan kerabat jauh Paus Sergius III.
Ayahnya, Alberic III dari Tusculum, seorang bangsawan yang berkuasa, secara aktif menggunakan pengaruh dan kekayaannya untuk memastikan pemilihan putranya sebagai Paus pada Oktober 1032 melalui penyuapan. Saat itu, usianya menjadi bahan perdebatan. Meskipun umumnya diyakini sekitar 20 tahun, beberapa sumber kontemporer, berdasarkan kesaksian yang tidak berdasar dari Rupert Glaber, seorang biarawan dari St. Germanus di Auxerre, mengklaim bahwa ia mungkin baru berusia 11 atau 12 tahun. Usia yang luar biasa muda ini menambah kontroversi pada pemilihannya.
2. Kepausan Pertama (1032-1044)
Masa kepausan pertama Benediktus IX, yang dimulai pada Oktober 1032 setelah menggantikan pamannya, Paus Yohanes XIX, dikenal sangat skandal dan terus-menerus diliputi oleh perselisihan faksional. Banyak sejarawan kontemporer dan selanjutnya menggambarkan kepausannya sebagai periode kemerosotan moral yang ekstrem.
Ferdinand Gregorovius, seorang sejarawan anti-kepausan, menulis bahwa dalam diri Benediktus IX, "Seolah-olah iblis dari neraka, dengan menyamar sebagai seorang imam, menduduki Takhta Petrus dan mencemarkan misteri suci agama dengan tindakan-tindakan tak senonohnya." Horace K. Mann menyebutnya sebagai "aib bagi Takhta Petrus". Bahkan Paus Viktor III, dalam buku ketiganya yang berjudul Dialogues, merujuk pada "perkosaan, pembunuhan, dan tindakan kekerasan serta sodomi lainnya yang tak terucapkan. Hidupnya sebagai Paus sangat keji, kotor, dan terkutuk, sehingga saya gemetar memikirkannya." (Cuius vita quam turpis, quam freda, quamque execranda extiterit, horresco referreBahasa Latin).

Selain itu, Uskup Benno dari Piacenza menuduh Benediktus IX melakukan "banyak perzinahan keji dan pembunuhan" (Post multa turpia adulteria et homicidia manibus suis perpetrata, postremo, etc.Bahasa Latin). Petrus Damianus, dalam karyanya Liber Gomorrhianus, menuduhnya melakukan sodomi dan bestialitas secara rutin serta menjadi sponsor pesta pora. Ia bahkan menjuluki Benediktus IX sebagai "iblis dari neraka yang menyamar sebagai imam" dan menuduhnya menyelenggarakan pesta pora di Istana Lateran, kediaman kepausan.
Meskipun demikian, sejarawan Reginald Lane Poole mengemukakan bahwa tuduhan-tuduhan semacam itu seringkali muncul dan dipercaya dalam masa permusuhan politik yang akut, yang mungkin tidak akan disarankan di masa yang lebih tenang. Ia menyatakan bahwa kredibilitas tuduhan tersebut lebih didasarkan pada kemungkinan daripada bukti, dan merupakan reaksi terhadap hegemoni Keluarga Tusculum dalam kepausan. Poole mencatat bahwa "kita harus menunggu sampai dia mendiskreditkan dirinya sendiri dengan penjualan kepausan sebelum kita mendengar sesuatu yang pasti tentang kesalahannya; dan semakin jauh kita melangkah dalam waktu dan tempat, semakin buruk karakternya." Poole menganggap Benediktus IX sebagai "Paus yang lalai, kemungkinan besar seorang pria yang suka berfoya-foya," tetapi menekankan bahwa gambaran ini dilukiskan pada saat pihak oposisi berkuasa, dan ia tidak memiliki teman maupun pendukung.
Pada tahun 1036, Paus Benediktus IX sempat dipaksa keluar dari Roma, tetapi berhasil kembali dengan bantuan Kaisar Konrad II, yang telah mengusir para uskup Piacenza dan Cremona dari takhta mereka. Namun, karena gaya hidupnya yang tidak terkendali dan oposisi yang terus-menerus, ia kembali diusir dari kota pada September 1044. Setelah pengusirannya, Silvester III terpilih sebagai penggantinya, menandai berakhirnya periode kepausan pertamanya.
3. Kepausan Kedua (1045) dan Penjualan Kepausan
Setelah pengusirannya dari Roma pada September 1044, pasukan Benediktus IX berhasil merebut kembali kota itu pada April 1045, memaksakan pengusiran rivalnya, Silvester III, dan memungkinkan Benediktus untuk kembali menjabat sebagai Paus. Namun, masa kepausan keduanya ini berlangsung sangat singkat.
Meragukan kemampuannya sendiri untuk mempertahankan posisinya, dan dengan keinginan untuk menikahi sepupunya, Benediktus IX memutuskan untuk mengundurkan diri pada Mei 1045. Ia berunding dengan bapak baptisnya, seorang imam yang saleh bernama Yohanes Gratianus, mengenai kemungkinan pengunduran dirinya. Benediktus IX menawarkan untuk menyerahkan jabatan kepausan kepada bapak baptisnya dengan syarat ia akan diganti rugi atas biaya pemilihannya. Yohanes Gratianus menyetujui dan membayarnya sejumlah uang, yang menurut sumber Jepang setara dengan lebih dari 650 kg emas. Setelah kesepakatan ini, Yohanes Gratianus diakui sebagai Paus penggantinya, dengan nama Paus Gregorius VI.
Perubahan ini disambut dengan gembira oleh Petrus Damianus, yang segera menulis surat kepada Paus baru, mendesaknya untuk mengatasi skandal-skandal yang terjadi di Gereja di Italia, terutama menyoroti uskup-uskup yang jahat di Pesaro, Città di Castello, dan Fano. Penjualan jabatan kepausan ini dianggap sebagai salah satu tindakan simoni paling mencolok dalam sejarah kepausan.
4. Kepausan Ketiga (1047-1048) dan Penggulingan Akhir
Benediktus IX tidak lama menyesali pengunduran dirinya. Ketika Klemens II meninggal pada Oktober 1047, Benediktus IX segera kembali ke Roma pada November tahun itu dan berhasil merebut Istana Lateran, sekali lagi menyatakan dirinya sebagai Paus. Meskipun demikian, Gregorius VI dan Silvester III juga masih mengklaim Takhta Petrus, menciptakan situasi yang sangat kacau dengan tiga Paus yang saling bersaing.
Melihat kekacauan ini, sejumlah rohaniwan dan bangsawan terkemuka memohon kepada Kaisar Romawi Suci Heinrich III untuk turun tangan dan memulihkan ketertiban. Heinrich III melakukan intervensi dengan melintasi Brenner Pass ke Italia dan memanggil Konsili Sutri pada Desember 1046 untuk memutuskan masalah ini.

Pada Konsili Sutri, Paus Benediktus IX dan Silvester III dinyatakan digulingkan dari jabatan kepausan. Sementara itu, Gregorius VI didorong untuk mengundurkan diri karena kesepakatan yang ia buat dengan Benediktus IX dianggap sebagai tindakan simoni yang tidak sah. Setelah ketiga Paus tersebut digulingkan, Heinrich III menunjuk seorang Jerman, Suidger dari Bamberg, yang kemudian terpilih sebagai Klemens II pada Desember 1046.
Benediktus IX sendiri tidak menghadiri konsili tersebut dan menolak untuk menerima penggulingannya. Ia tetap di Roma hingga Juli 1046, namun kembali merebut Istana Lateran pada November 1047 setelah kematian Klemens II. Namun, masa kepausan ketiganya ini tidak bertahan lama. Pada Juli 1048, ia kembali diusir oleh pasukan Jerman. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Damasus II, seorang Uskup Jerman lainnya, terpilih sebagai Paus dan diakui secara universal.
Benediktus IX menolak untuk hadir dalam persidangan atas tuduhan simoni pada tahun 1049 dan akibatnya ia diekskomunikasi. Ini menandai berakhirnya keterlibatannya dalam kekuasaan kepausan.
5. Kritik dan Kontroversi
Kepausan Benediktus IX merupakan salah satu masa paling kontroversial dalam sejarah Gereja Katolik, diwarnai oleh serangkaian kritik dan tuduhan serius baik dari sumber-sumber kontemporer maupun sejarawan selanjutnya. Kritik ini mencakup kemerosotan moral, simoni, kekerasan, dan dampaknya terhadap reputasi kepausan.
Tuduhan utama yang dilayangkan kepadanya meliputi:
- Kemerosotan Moral dan Kekerasan: Berbagai sumber menuduh Benediktus IX menjalani gaya hidup yang sangat tidak bermoral dan penuh kekerasan. Paus Viktor III menyebutnya melakukan "perkosaan, pembunuhan, dan tindakan kekerasan serta sodomi yang tak terucapkan." Uskup Benno dari Piacenza secara spesifik menuduhnya melakukan "banyak perzinahan keji dan pembunuhan."
- Simoni: Tindakan paling mencolok dan tercela adalah penjualan jabatan kepausannya sendiri kepada Yohanes Gratianus (yang menjadi Paus Gregorius VI) seharga sejumlah besar uang, yang secara luas dianggap sebagai tindakan simoni yang terang-terangan dan memalukan. Penyuapan juga diduga berperan dalam pemilihan pertamanya.
- Tuduhan terhadap Kehidupan Pribadi: Petrus Damianus, dalam Liber Gomorrhianus, mengecam Benediktus IX atas praktik sodomi, bestialitas, dan sponsor pesta pora. Ia menjuluki Paus sebagai "iblis dari neraka yang menyamar sebagai imam."

Meskipun kritik-kritik ini sangat kuat, beberapa sejarawan modern, seperti Reginald Lane Poole, berupaya mengkontekstualisasikan tuduhan tersebut. Poole menunjukkan bahwa banyak tuduhan muncul dalam konteks permusuhan politik yang akut dan dapat dipercaya lebih karena probabilitas politik daripada bukti konkret. Ia berpendapat bahwa karakter Benediktus IX digambarkan semakin buruk seiring berjalannya waktu dan jarak dari peristiwa, terutama setelah ia mendiskreditkan dirinya dengan menjual kepausan. Poole menggambarkan Benediktus IX sebagai "Paus yang lalai, kemungkinan besar seorang pria yang suka berfoya-foya," namun mengakui bahwa gambaran ini datang dari pihak oposisi yang berkuasa dan pada saat itu Benediktus IX tidak memiliki teman maupun pendukung. Ia menyarankan bahwa tuduhan ekstrem juga bisa menjadi reaksi terhadap hegemoni politik Keluarga Tusculum di dalam Gereja.
Terlepas dari konteks ini, konsensus historis menempatkan Benediktus IX sebagai salah satu Paus terburuk dalam sejarah, yang kepausannya secara signifikan merusak integritas dan otoritas moral Tahta Petrus, memicu seruan mendesak untuk reformasi gerejawi.
6. Akhir Hayat dan Kematian
Nasib akhir Benediktus IX setelah penggulingan terakhirnya pada tahun 1048 sebagian besar tidak jelas, tetapi ia tampaknya telah melepaskan klaimnya atas takhta kepausan. Beberapa catatan mengklaim bahwa ia bertobat dari dosa-dosanya dan menjalani kehidupan monastik. Menurut Abbot Santo Bartolomeus dari Grottaferrata, ia menghabiskan sisa hidupnya di Biara Grottaferrata dan menjadi seorang pertapa yang bertobat.
Ia diperkirakan meninggal sekitar tahun 1056. Meskipun ada berbagai klaim mengenai tanggal kematiannya, termasuk tahun 1055, 1065, atau bahkan 1085, konsensus umum mengindikasikan bahwa ia wafat antara September 1055 dan Januari 1056. Ia kemudian dimakamkan di Biara Grottaferrata. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa Paus Leo IX mungkin telah mencabut ekskomunikasi yang dijatuhkan kepadanya.
7. Penilaian Sejarah dan Warisan
Penilaian sejarah terhadap Paus Benediktus IX didominasi oleh pandangan negatif, menjadikannya salah satu Paus yang paling dikritik dan paling buruk dalam sejarah Gereja Katolik. Ia sering disebut sebagai "aib bagi Takhta Petrus" atau "iblis dari neraka yang menyamar sebagai imam" karena gaya hidupnya yang reputasinya buruk dan tindakannya yang kontroversial, terutama simoni dan penjualan jabatan kepausan.
Ia menjadi simbol korupsi dan kekacauan yang melanda kepausan pada abad ke-11, suatu periode yang dikenal sebagai "Saeculum Obscurum" bagi Gereja. Perilakunya, termasuk serangkaian penggulingan dan pengangkatan kembali, serta keputusannya untuk menjual jabatan kepausan, secara serius merusak otoritas moral dan spiritual kepausan. Tindakannya memperkuat persepsi bahwa kepausan telah menjadi alat politik yang dikendalikan oleh keluarga bangsawan Romawi, seperti Keluarga Tusculum.
Namun, ada upaya untuk meninjau kembali atau mengkontekstualisasikan tindakannya dalam latar belakang kekacauan politik dan gerejawi abad ke-11. Sejarawan seperti Reginald Lane Poole berpendapat bahwa banyak tuduhan ekstrem mungkin diperburuk oleh permusuhan politik dan oposisi terhadap hegemoninya. Meskipun demikian, fakta bahwa ia adalah satu-satunya Paus yang menjabat tiga kali secara terpisah dan satu-satunya yang dituduh menjual jabatan kepausan, memastikan warisannya sebagai figur yang sangat problematis.
Pada akhirnya, masa kepausan Benediktus IX menjadi katalisator bagi gerakan reformasi kepausan yang lebih besar, yang akan dipimpin oleh Paus-paus reformis berikutnya seperti Paus Leo IX dan Paus Gregorius VII. Para reformis ini berupaya membebaskan Gereja dari pengaruh sekuler dan memulihkan integritas moral kepausan, sebuah upaya yang sebagian besar didorong oleh skandal yang melingkupi Benediktus IX.