1. Kehidupan Awal dan Pendidikan
Shiro Makino menempuh pendidikan militer yang ketat sejak usia muda, mempersiapkannya untuk karier panjang di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
1.1. Kehidupan Awal
Shiro Makino lahir pada 18 April 1893, di Yunomoto, Higashiichiki-cho, Distrik Hioki, Prefektur Kagoshima, Jepang.
1.2. Pendidikan Militer
Makino memulai jalur pendidikannya di bidang militer dengan masuk ke Sekolah Kadet Angkatan Darat Kumamoto dan lulus pada Juli 1910 sebagai bagian dari angkatan ke-11. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kadet Angkatan Darat Pusat Tokyo, lulus pada Mei 1912. Pada Mei 1914, ia berhasil menyelesaikan studinya di Sekolah Perwira Angkatan Darat (Angkatan ke-26). Selanjutnya, Makino diterima di Sekolah Staf Angkatan Darat pada Desember 1918 dan lulus pada November 1922 sebagai bagian dari angkatan ke-34.
2. Karier Militer
Karier militer Shiro Makino ditandai dengan serangkaian penugasan yang beragam, mulai dari posisi lapangan hingga peran staf dan pendidikan, yang membawanya naik pangkat hingga menjadi letnan jenderal.
2.1. Dinas Awal dan Kenaikan Pangkat
Setelah lulus dari Sekolah Perwira Angkatan Darat, Makino ditugaskan sebagai Letnan Dua infanteri pada Desember 1914, bergabung dengan Resimen Infanteri ke-13 di Kumamoto. Ia kemudian dipromosikan menjadi Letnan Satu infanteri pada Juli 1918. Pada Agustus 1923, ia mencapai pangkat Kapten infanteri.
2.2. Jabatan Staf dan Pendidikan
Makino memiliki pengalaman yang luas dalam berbagai posisi staf dan pendidikan. Pada Desember 1923, ia ditugaskan di Departemen Inspektur Jenderal Pendidikan. Pada Juli 1925, ia menjabat sebagai staf di Benteng Pulau Penghu di Taiwan dan juga staf di Unit Penjaga Makong. Ia kemudian menjadi instruktur di Sekolah Perwira Angkatan Darat pada Juli 1928, dan pada Agustus 1933, ia dipromosikan menjadi Letnan Kolonel infanteri dan menjabat sebagai dosen taktik di Sekolah Staf Angkatan Darat.
Pada Desember 1935, Makino menjadi staf senior di Divisi ke-20 yang bermarkas di Gyeongseong (sekarang Seoul, Korea Selatan). Setelah dipromosikan menjadi Kolonel infanteri pada Desember 1937, ia menjabat sebagai kepala departemen pengajaran di Sekolah Perwira Angkatan Darat. Pada Mei 1941, ia menjadi kepala departemen pengajaran di Sekolah Perwira Angkatan Darat Persiapan sebelum kemudian menjabat sebagai sekretaris di sekolah yang sama. Akhirnya, pada Desember 1942, ia diangkat sebagai kepala Sekolah Perwira Angkatan Darat Persiapan.
2.3. Jabatan Komando
Selain peran staf dan pendidikan, Makino juga memegang beberapa posisi komando penting. Pada Desember 1931, ia menjabat sebagai komandan batalion di Resimen Infanteri Pengawal ke-4. Pada Agustus 1938, ia menjadi komandan Resimen Infanteri ke-29 yang ditempatkan di Yehe, Provinsi Mudanjiang. Pada Maret 1940, ia dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjabat sebagai kepala staf Angkatan Darat ke-5. Pada Juni 1943, ia mencapai pangkat Letnan Jenderal.
3. Komandan Divisi ke-16
Pada Maret 1944, Shiro Makino ditunjuk sebagai komandan Divisi ke-16 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Penunjukan ini terjadi pada tahap akhir Perang Dunia II, ketika situasi bagi Kekaisaran Jepang semakin memburuk. Sebagai komandan divisi, Makino bertanggung jawab atas persiapan dan pelaksanaan operasi militer di wilayah penempatannya, yang kemudian akan membawanya ke salah satu pertempuran paling brutal dalam sejarah perang.
4. Pertempuran Leyte
Pertempuran Leyte adalah salah satu pertempuran kunci dalam Perang Dunia II di teater Pasifik, yang berlangsung di Pulau Leyte, Filipina. Pada 20 Oktober 1944, pasukan Amerika Serikat mendarat di Leyte, memulai kampanye untuk merebut kembali Filipina dari kendali Jepang.
Divisi ke-16 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, di bawah komando Letnan Jenderal Shiro Makino, ditugaskan untuk mempertahankan Leyte. Pasukan Jepang, yang telah melemah dan kekurangan persediaan, menghadapi kekuatan Sekutu yang jauh lebih unggul dalam jumlah dan persenjataan. Pertempuran yang terjadi sangat sengit dan brutal, dengan pasukan Jepang yang bertahan mati-matian di tengah kondisi yang semakin memburuk.
Meskipun perlawanan gigih, Divisi ke-16 mengalami kerugian yang sangat besar. Makino memimpin pasukannya dalam pertempuran yang putus asa, menghadapi serangan tanpa henti dan kekurangan logistik. Pada akhirnya, divisi tersebut hampir sepenuhnya hancur. Dari ribuan prajurit yang memulai pertempuran, hanya sekitar 620 orang yang dilaporkan selamat dari kehancuran total Divisi ke-16.
5. Kematian
Setelah kehancuran total Divisi ke-16 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dalam Pertempuran Leyte, Letnan Jenderal Shiro Makino mengambil keputusan tragis untuk melakukan bunuh diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas nasib pasukannya. Ia diyakini melakukan bunuh diri sekitar 10 Agustus 1945, pada usia 52 tahun.
Sebelum kematiannya, Makino menyampaikan pidato yang terkenal, berjanji untuk "Bertahanlah di Leyte sampai prajurit terakhir." Pidato ini mencerminkan tekadnya untuk berjuang hingga akhir dan kesediaannya untuk mengorbankan diri demi kehormatan dan tugas. Tindakannya merupakan representasi dari etos militer Jepang pada masa itu, di mana tanggung jawab atas kegagalan militer sering kali diakhiri dengan pengorbanan diri.
6. Evaluasi dan Warisan
Karier militer Shiro Makino dan tindakannya selama Pertempuran Leyte menjadi subjek evaluasi historis yang kompleks. Sebagai seorang jenderal di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, ia adalah bagian dari rezim yang terlibat dalam konflik yang menyebabkan penderitaan besar. Namun, tindakan terakhirnya, yaitu bunuh diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kehancuran divisinya, sering kali dilihat sebagai manifestasi dari rasa tanggung jawab militer yang mendalam.
Makino dikenal karena pidato-pidatonya yang menginspirasi dan mencerminkan nilai-nilai militeristik pada masanya. Salah satu kutipan terkenalnya saat meninggalkan Sekolah Perwira Angkatan Darat pada 2 Maret 1944, adalah: "Jadilah prajurit yang memiliki bunga, buah, darah, dan air mata." Kutipan ini menekankan pentingnya menjadi prajurit yang tidak hanya kuat dan efektif, tetapi juga memiliki empati dan pengorbanan. Pidato lainnya yang sangat terkenal adalah pernyataannya sebelum kematiannya di Leyte: "Jika saya gugur oleh peluru musuh, makanlah daging saya dan minumlah darah saya sebagai bekal, dan pertahankanlah Pulau Leyte sampai prajurit terakhir untuk membalas budi Kaisar." Kedua kutipan ini menyoroti dedikasi ekstrem Makino terhadap tugas dan negaranya.
Meskipun tanggal kematiannya secara umum diterima sebagai 10 Agustus 1945, ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Putra Makino, Hiromichi Makino, seorang mantan editor di Sankei Shimbun, menyatakan bahwa tanggal kematian ayahnya tidak pernah dikonfirmasi secara faktual. Menurutnya, laporan kematian resmi ayahnya mencatat tanggal 15 Juli 1945, sebagai tanggal kematiannya, yang didasarkan pada "integrasi berbagai informasi." Perbedaan ini menunjukkan adanya ambiguitas dalam catatan sejarah mengenai akhir hidup Shiro Makino.