1. Kehidupan dan Karier
Ulrich von Jungingen memulai perjalanannya dari latar belakang bangsawan Swabia, naik melalui jajaran Ordo Teutonik hingga mencapai posisi tertinggi sebagai Grand Master. Kariernya ditandai oleh perannya dalam menegosiasikan perjanjian penting dan memimpin kampanye militer, yang akhirnya mengarah pada konflik besar yang menentukan nasibnya dan Ordo.
1.1. Kehidupan Awal dan Bergabung dengan Ordo
Ulrich von Jungingen lahir sekitar tahun 1360, kemungkinan di Benteng Hohenfels dekat Stockach, karena tanah leluhur keluarganya di Jungingen telah hancur pada tahun 1311. Ia berasal dari keluarga bangsawan Swabia yang terkemuka. Sebagai anak bungsu, Ulrich dan kakak laki-lakinya, Konrad von Jungingen, tidak memiliki hak atas warisan tanah keluarga. Kondisi ini mendorong mereka untuk mengambil sumpah sebagai Ksatria Teutonik dan pindah ke Prusia, yang merupakan wilayah Negara Ordo Teutonik.
1.2. Kenaikan Pangkat dalam Ordo
Ulrich von Jungingen dengan cepat naik pangkat di dalam Ordo. Ia awalnya bermukim di Człuchów (Schlochau) dan kemudian menjabat sebagai Komtur Balga dari tahun 1396 hingga 1404. Kariernya sangat diuntungkan oleh dukungan dari kakak laki-lakinya, Konrad, yang terpilih sebagai Grand Master pada tahun 1393. Setelah Ordo Teutonik mengusir Saudara Viktual dari Gotland pada tahun 1398, Ulrich menunjukkan keunggulan dalam negosiasi untuk penguasaan pulau tersebut dengan Ratu Margaret I dari Denmark. Ia juga terlibat dalam misi diplomatik penting ke Polandia dan Lituania terkait dengan penandatanganan Perjanjian Salynas pada tahun 1398, yang membahas masalah Kadipaten Samogitia. Pada tahun 1404, Ulrich diangkat sebagai Marsekal Ordo, yang berarti ia adalah pemimpin militer utama, dan sekaligus Komtur Königsberg. Dalam perannya ini, ia harus menghadapi beberapa pemberontakan di Samogitia, yang ia lawan baik melalui penindasan yang ketat maupun dengan menyuap bangsawan lokal.
1.3. Masa Jabatan sebagai Grand Master Ordo Teutonik dan Kebijakan
Pada tanggal 26 Juni 1407, setelah kematian mendadak Grand Master Konrad von Jungingen, Ulrich terpilih sebagai penggantinya. Berbeda dengan kakaknya, kemampuan diplomatik Ulrich terbatas. Situasi di Samogitia tetap tegang, didorong oleh Vytautas Agung, Adipati Agung Lituania, yang bermaksud memanfaatkan kekacauan untuk merebut kembali tanah yang telah diserahkan. Selain itu, Grand Master yang baru ini mewarisi konflik yang meningkat dengan Raja Władysław II Jagiełło dari Polandia, sepupu Vytautas, terkait Tanah Dobrzyń dan wilayah Neumark yang digadaikan. Duta besar Polandia, Uskup Agung Mikołaj Kurowski, menyatakan bahwa setiap serangan terhadap Lituania pasti akan melibatkan konflik bersenjata dengan Polandia.
Meskipun menghadapi ancaman Perang dua front, Ulrich bersiap untuk melancarkan perang preventif. Ia menjalin aliansi dengan Raja Sigismund, Kaisar Romawi Suci dari Hongaria dan mengumpulkan tentara bayaran di Kekaisaran Romawi Suci. Pada tanggal 6 Agustus 1409, ia secara resmi menyatakan perang terhadap Polandia, yang memulai Perang Polandia-Lituania-Teutonik. Keputusan ini mencerminkan sikap Ulrich yang agresif dan kurangnya kehati-hatian diplomatik, yang pada akhirnya akan membawa Ordo Teutonik ke ambang kehancuran.
1.4. Pertempuran Grunwald dan Kematian
Meskipun Ulrich tidak menerima bantuan dari sekutunya, Raja Sigismund, yang terlibat dalam konflik dengan sepupunya, Jobst dari Moravia, atas pemilihan sebagai Raja Romawi, pasukan Ordo pada awalnya berhasil melancarkan kampanye di Dobrzyń dan Kuyavia, serta mengepung Bydgoszcz. Saudara Sigismund, Raja Wenceslaus IV dari Bohemia, mengatur gencatan senjata sementara dan menengahi antara pihak-pihak yang bertikai, namun tanpa hasil yang signifikan.
Pada tanggal 2 Juli 1410, Grand Master Ulrich von Jungingen memimpin pasukannya meninggalkan Benteng Malbork untuk menghadapi pertempuran terakhir melawan pasukan gabungan Polandia dan Lituania. Kedua belah pihak bertemu pada tanggal 15 Juli di antara desa Grunwald (dikenal sebagai Grünfelde dalam bahasa Jerman) dan Stębark (Tannenberg dalam bahasa Jerman). Saat tengah hari tiba, tidak ada pasukan yang bergerak, hingga Ulrich, menurut catatan Jan Długosz, mengirimkan dua pedang kepada Raja Jagiełło dengan pernyataan bahwa ia dan Vytautas dapat hidup atau mati oleh pedang-pedang tersebut.

Tindakan ini, yang dianggap sebagai provokasi berani, memicu serangan Polandia-Lituania. Serangan awal berhasil ditolak oleh Ksatria, namun segera diikuti oleh serangan kedua oleh pasukan Jagiełło. Keberuntungan pertempuran berubah setelah Ulrich, yang yakin akan kemenangan, memutuskan untuk secara pribadi memimpin resimennya yang tersisa melawan pasukan Polandia. Ia hampir saja berhasil menangkap raja, namun pada saat yang sama kehilangan kendali atas operasi militer Ordo. Setelah pasukan Prusia yang bersekutu dari Persatuan Kadal di bawah Nicholas von Renys memisahkan diri, Grand Master harus menghadapi jumlah yang superior dari persatuan Polandia-Lituania. Ketika pasukan Lituania menyerangnya dari belakang, pasukan Ulrich dikalahkan dan ia sendiri gugur dalam tugas. Menurut kronik Polandia Jan Długosz, ia berhadapan dan dikalahkan oleh kesatria Polandia Mszczuj dari Skrzynno. Raja Jagiełło mengatur pengangkutan jenazahnya ke Benteng Malbork sebelum ia memulai Pengepungan Marienburg.
2. Penilaian Sejarah dan Warisan
Kehidupan dan kematian Ulrich von Jungingen telah diinterpretasikan secara beragam sepanjang sejarah, terutama karena perannya dalam Pertempuran Grunwald. Warisannya terwujud dalam berbagai monumen dan peringatan, serta dalam narasi budaya yang berbeda dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
2.1. Penilaian dan Interpretasi dari Berbagai Perspektif
Berdasarkan deskripsi Jan Długosz, generasi-generasi selanjutnya menyematkan sifat-sifat seperti tergesa-gesa dan arogan pada Ulrich von Jungingen. Hal ini tercermin dalam lukisan Pertempuran Grunwald karya Jan Matejko, yang konon menggambarkan saat Ulrich, mengenakan pakaian putih dengan salib hitam, mencoba menyerang Adipati Agung Vytautas, namun akhirnya terbunuh oleh dua prajurit infanteri Polandia yang dilengkapi dengan kapak algojo dan replika Tombak Suci, yang mengingatkan pada Kongres Gniezno. Tradisi ini dilanjutkan oleh Henryk Sienkiewicz dalam novelnya tahun 1900, The Knights of the Cross, yang awalnya meniru tindakan pasukan pendudukan Kekaisaran Rusia di Tanah Vistula, menggambarkan Ulrich sebagai komandan yang impulsif dan agresif. Novel ini kemudian diadaptasi menjadi film oleh Aleksander Ford pada tahun 1960.
Di sisi lain, historiografi Jerman pada abad ke-19 menggambarkan Ulrich sebagai seorang pria dengan kebajikan ksatria, yang menyerah pada kelicikan musuh-musuhnya. Pandangan ini direfleksikan oleh penulis Ernst Wichert dalam novelnya Heinrich von Plauen. Perspektif Korea menekankan bahwa Ulrich sebagian besar dikenang karena kesalahan taktisnya di Grunwald dan bahwa kekalahan tersebut menjadi titik balik penting yang membawa kemunduran bagi Ordo Teutonik. Ini menunjukkan bagaimana Ulrich dipandang secara berbeda oleh pihak-pihak yang terlibat dalam Pertempuran Grunwald, dengan narasi Polandia-Lituania dan yang lebih modern cenderung kritis terhadap kepemimpinannya dan dampaknya terhadap Ordo, sementara pandangan Jerman sebelumnya berusaha menggambarkan dia dalam cahaya yang lebih positif.
2.2. Monumen dan Peringatan
Pengganti Ulrich, Heinrich von Plauen, mendirikan sebuah kapel wanita di bekas medan perang pada tahun 1413, yang kemungkinan dihancurkan oleh pasukan Tatar Lipka atau Tatar Krimea yang berkampanye di wilayah tersebut pada tahun 1656. Pada tahun 1901, sebuah batu glasial (Jungingenstein), yang memperingati "kematian seorang pahlawan dalam perjuangan demi semangat dan hukum Jerman", didirikan atas perintah otoritas Jerman di Prusia Timur. Batu tersebut masih berada di tempatnya, namun telah roboh sehingga tulisannya tidak lagi terbaca. Sebuah batu peringatan kedua yang lebih baru di dekatnya menandai tempat kematian Jungingen (tertulis "Miejsce śmierci Wielkiego Mistrza Ulricha von Jungingena", yang berarti "Tempat Kematian Grand Master Ulrich von Jungingen"). Area di sekitarnya saat ini menjadi lokasi reenactment sejarah tahunan yang menarik banyak pengunjung.