1. Nama dan Gelar
Nama lengkap Abu Hanifa adalah Abū Ḥanīfa al-Nuʿmān ibn Thābit ibn Zūṭā ibn Marzubān al-Taymī al-Kūfī.
Asal-usul julukan "Abu Hanifa" masih diperdebatkan. Menurut beberapa ahli bahasa, termasuk Muhyi al-Din, kata ḥanīfa dalam dialek Abu Hanifa mengacu pada "tempat tinta". Ia sering terlihat membawa tempat tinta, sehingga ia mendapatkan julukan tersebut, yang secara harfiah berarti "Bapak Tempat Tinta". Namun, beberapa sejarawan berpendapat bahwa ia mendapatkan julukan tersebut karena memiliki seorang putri bernama Hanifa, sehingga namanya berarti "Bapak Hanifa". Pihak yang menentang pandangan ini percaya bahwa ia tidak pernah memiliki putri dengan nama tersebut. Hanifa juga dapat berarti "cenderung agama".
Ia juga dikenal dengan gelar-gelar kehormatan seperti Shaykh al-Islam (Syekh Islam), al-Imam al-A'zam (Imam Teragung), dan Siraj al-A'imma (Pelita Para Imam).
2. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Abu Hanifa menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kufah, sebuah pusat intelektual Muslim yang penting pada masanya.
2.1. Kelahiran dan Keluarga
Para sejarawan umumnya sepakat bahwa Abu Hanifa lahir di Kufah pada masa Kekhalifahan Umayyah. Namun, terdapat perbedaan mengenai tahun kelahirannya: 699 Masehi / 80 Hijriah, 696 Masehi / 77 Hijriah, 689 Masehi / 70 Hijriah, atau 680 Masehi / 61 Hijriah. Banyak sejarawan memilih tanggal terakhir, yaitu 699 Masehi / 80 Hijriah, sebagai yang paling umum diterima. Namun, Muhammad Zahid al-Kawthari, seorang ulama terkemuka, meyakini bahwa tanggal 689 Masehi / 70 Hijriah didukung oleh dua pertimbangan: pertama, riwayat Hammad, putra Abu Hanifa, dari Malik ibn Anas dianggap sebagai narasi dari seorang yang lebih tua, bukan lebih muda; kedua, Abu Hanifa menunjukkan kekhawatiran tentang siapa yang akan menggantikan Ibrahim al-Nakha'i setelah kematiannya pada 96 Hijriah, kekhawatiran yang hanya akan muncul jika ia berusia lebih dari 19 tahun, karena ia baru serius dalam studi agamanya setelah usia tersebut. Jika Abu Hanifa lahir pada 80 Hijriah, ia akan berusia 16 tahun saat kematian al-Nakha'i.
Ayahnya, Thabit bin Zuta, adalah seorang pedagang sutra yang kaya raya, memiliki bengkel dengan banyak pekerja. Abu Hanifa sendiri kemudian mengikuti jejak ayahnya dalam profesi ini, dan ia memperoleh banyak keuntungan dari perdagangan sutra.
2.2. Leluhur dan Asal Usul
Abu Hanifa diyakini memiliki keturunan Persia. Namun, ia juga disebut-sebut sebagai keturunan Zutt atau Jat yang bermigrasi ke Irak selama Zaman Keemasan Islam. Kakeknya, Zuta, kemungkinan ditangkap oleh pasukan Muslim di Kabul dan dijual sebagai budak di Kufah, tempat ia dibeli dan dibebaskan oleh seorang anggota suku Arab dari Taym Allah, cabang dari Banu Bakr. Zuta dan keturunannya kemudian menjadi mawla (klien) dari Taym Allah, sehingga Abu Hanifa kadang-kadang disebut "al-Taymi".
Namun, menurut cucunya, Isma'il, garis keturunannya berasal dari Persia merdeka yang tidak pernah menjadi budak. Ia menyebut kakek buyut Abu Hanifa sebagai "Marzuban", yang merupakan bentuk arabisasi dari jabatan militer Sasanian marzban, yang dipegang oleh gubernur provinsi perbatasan kekuasaan Sasanian. Terdapat pula laporan yang menyebutkan bahwa leluhurnya berasal dari Anbar, sebuah kota di sepanjang Sungai Efrat yang pernah menjadi garnisun Sasanian dan menyerah tanpa pertumpahan darah kepada Muslim, sehingga tidak ada tawanan perang yang diambil. Skenario ini menunjukkan bahwa kakeknya, Zuta, mungkin bermigrasi ke Kufah sebagai Muslim merdeka dari Anbar. Nama "Zuta" adalah nama Persia, dan kakek buyutnya, "Marzuban", juga merupakan nama Persia yang menunjukkan status bangsawan.
3. Pendidikan dan Aktivitas Keilmuan
Abu Hanifa adalah seorang yang sangat cerdas dan memiliki hafalan yang kuat. Ia mampu menghafal Al-Qur'an serta ribuan hadis.
3.1. Guru dan Proses Belajar
Pada masa mudanya, Abu Hanifa sering mendampingi ayahnya berdagang sutra, tetapi ia juga memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah untuk menghadiri majelis ilmu. Beberapa ulama melihat potensinya dan mendorongnya untuk lebih serius dalam menuntut ilmu.
Kufah pada masa itu adalah pusat kegiatan intelektual Muslim, khususnya dalam bidang syariah. Abu Hanifa memilih fikih sebagai konsentrasi utamanya dan berguru kepada Hammad ibn Abi Sulayman (wafat 737 M), salah satu syekh terkemuka di Kufah. Ia belajar dari Hammad selama 18 hingga 20 tahun, dan dikenal sebagai murid yang sangat aktif bertanya, berdebat, dan mempertahankan pendapatnya. Kegigihannya terkadang membuat gurunya kesal, tetapi Hammad sangat menyayanginya dan bahkan menjulukinya "Al-Watad" (Tiang) karena kegigihannya dalam belajar dan ibadahnya.
Selain Hammad, Abu Hanifa juga belajar dari banyak ulama lain selama perjalanannya ke Mekah dan Madinah. Di antara guru-gurunya yang penting adalah Ata ibn Abi Rabah (wafat sekitar 733 M) di Mekah, dan ia juga bertemu dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad seperti Anas ibn Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Abi Saad, Abdullah bin Al-Harith, dan Abdullah bin Anas. Ia juga belajar dari Zayd ibn Ali dan Ja'far al-Sadiq, yang merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad dan memiliki perhatian besar terhadap masalah fikih dan hadis. Abu Hanifa pernah menyatakan, "Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih berilmu daripada Ja'far ibn Muhammad." Ia juga berkata tentang Zayd ibn Ali, "Saya bertemu dengan Zayd (paman Ja'far) dan saya tidak pernah melihat di generasinya orang yang lebih berilmu, secepat pemikirannya, atau lebih fasih daripada dia."
Ketika Hammad ibn Abi Sulayman pergi ke Basrah, ia menunjuk Abu Hanifa untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar dan pemberi fatwa. Saat itu, Abu Hanifa menerima banyak pertanyaan, beberapa di antaranya belum pernah ia dengar sebelumnya. Setelah Hammad kembali, Abu Hanifa mengajukan 60 pertanyaan kepadanya, dan 40 di antaranya memiliki jawaban yang sama dengan Abu Hanifa, sementara 20 lainnya berbeda. Pengalaman ini membuatnya merasa masih banyak yang harus dipelajari, sehingga ia terus belajar hingga gurunya wafat.
3.2. Bidang Keilmuan
Abu Hanifa memiliki penguasaan yang luas dalam berbagai bidang keilmuan Islam:
- Fikih (Hukum Islam): Ia adalah tokoh pertama yang menyusun kitab fikih secara sistematis, mengelompokkan masalah-masalah hukum berdasarkan bab-bab seperti kesucian (taharah), salat, dan seterusnya. Pendekatan ini kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, dan Imam Bukhari. Ia dikenal karena kebijaksanaannya dalam membedakan hadis sahih dan sangat berhati-hati dalam menentukan hukum.
- Hadis: Meskipun lebih dikenal sebagai ahli fikih, Abu Hanifa juga memiliki andil besar dalam bidang hadis. Ia meriwayatkan hadis dari banyak guru dan sahabat Nabi.
- Teologi (Ilmu Kalam dan Tauhid): Abu Hanifa terlibat dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid, dan metafisika. Pemikiran teologisnya kemudian memengaruhi pembentukan Mazhab Maturidi dalam teologi Sunni.
- Sastra: Ia juga mahir dalam bidang sastra.
Abu Hanifa dikenal sebagai ahli pikir dalam Islam karena menggunakan akal pikirannya (ra'i) dalam memutuskan suatu hukum apabila hukum tersebut tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur'an atau Hadis. Ia dilaporkan telah menyelesaikan 600.000 perkara dalam bidang fikih dan dijuluki Imam Al-A'dzhom karena keluasan ilmunya. Ia menjadi rujukan para ulama pada masanya dan merupakan guru bagi banyak ulama besar di masa itu dan masa selanjutnya.
4. Pendirian Mazhab Hanafi dan Metodologi Hukum
Abu Hanifa dianggap sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sejarah pemikiran Islam karena perannya dalam meletakkan dasar-dasar fikih yang sistematis.
4.1. Pendirian Mazhab Hanafi
Abu Hanifa adalah pendiri Mazhab Hanafi, mazhab fikih pertama yang disusun secara sistematis. Ia tidak hanya mengumpulkan dan menafsirkan hukum-hukum Islam, tetapi juga mengembangkan metodologi yang komprehensif untuk menyimpulkan hukum dari sumber-sumber syariat. Mazhab ini kemudian menjadi yang paling banyak diikuti di dunia Muslim, mencakup sekitar 45% dari seluruh umat Muslim Sunni.
4.2. Metodologi Hukum dan Sumber
Dalam menetapkan hukum Islam, Abu Hanifa dan mazhabnya menggunakan sumber-sumber berikut, diurutkan berdasarkan prioritas:
1. Al-Qur'an: Kitab suci Islam sebagai sumber utama.
2. Hadis: Riwayat-riwayat otentik dari Nabi Muhammad.
3. Ijma (Konsensus): Kesepakatan komunitas Muslim.
4. Qiyas (Analogi): Penalaran analogis untuk menerapkan hukum dari kasus yang sudah ada kepada kasus baru yang serupa. Pengembangan penalaran analogis dan batasan penggunaannya diakui oleh mayoritas yuris Muslim, tetapi pengukuhannya sebagai alat hukum adalah hasil dari Mazhab Hanafi. Abu Hanifa diakui sebagai yang pertama secara formal mengadopsi dan melembagakan penalaran analogis sebagai bagian dari hukum Islam.
5. Istihsan (Diskresi Yuridis): Pertimbangan yuris untuk mengesampingkan qiyas demi hukum yang lebih baik atau lebih adil dalam kasus tertentu. Konsep ini juga dikaitkan dengan Abu Hanifa.
6. Urf (Adat Istiadat): Adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Mazhab Hanafi juga dikenal sebagai mazhab Kufah atau Irak karena banyak putusannya didasarkan pada tradisi kenabian yang ditransmisikan oleh generasi pertama Muslim yang menetap di Irak, terutama setelah Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, memindahkan ibu kota Islam ke Kufah. Tokoh-tokoh seperti Ali dan Abdullah bin Mas'ud banyak membantu membentuk dasar mazhab ini, serta kerabat langsung Nabi Muhammad dari mana Abu Hanifa belajar, seperti Muhammad al-Baqir.
5. Pandangan Teologis
Abu Hanifa memiliki pandangan teologis yang jelas, khususnya dalam menolak antropomorfisme.
5.1. Penolakan terhadap Antropomorfisme
Abu Hanifa menentang keras pandangan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (Tashbih). Ia mengkritik dua kelompok ekstrem dalam teologi:
- Jahmiyyah: Pengikut Jahm ibn Safwan (wafat 745 M) yang terlalu jauh dalam penolakan antropomorfisme hingga menyatakan bahwa 'Allah bukanlah sesuatu' (Allah laysa bi shay).
- Muqatiliyyah: Pengikut Muqatil ibn Sulayman (wafat 767 M) yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dalam Tarikh Baghdad (Sejarah Baghdad) bahwa Imam Abu Hanifa berkata: "Dua kelompok orang terburuk berasal dari Khurasan: Jahmiyyah (pengikut Jahm ibn Safwan) dan Mushabbihah (antropomorfis), dan dia mungkin mengatakan (alih-alih Mushabbihah) 'Muqatiliyyah' (pengikut Muqatil ibn Sulayman)." Ini menunjukkan posisinya yang moderat dan menolak ekstremisme dalam penafsiran sifat-sifat Allah.
6. Keterlibatan Politik dan Pemenjaraan
Abu Hanifa dikenal karena sikapnya yang independen dan penolakannya terhadap tekanan politik dari penguasa.
6.1. Sikap Politik dan Dukungan
Abu Hanifa menunjukkan sikap kritis terhadap rezim yang berkuasa, baik Kekhalifahan Umayyah maupun Kekhalifahan Abbasiyah. Ia mendukung gerakan perlawanan yang ia anggap memperjuangkan keadilan, seperti pemberontakan Zayd ibn Ali (wafat 740 M) terhadap Umayyah di Kufah pada tahun 738 M. Ia juga mendukung pemberontakan Muhammad al-Nafs al-Zakiyya dan saudaranya, Ibrahim, yang merupakan keturunan Ali, terhadap Khalifah Al-Mansur dari Abbasiyah pada tahun 762 M. Dukungannya terhadap gerakan-gerakan ini menunjukkan komitmennya pada prinsip-prinsip keadilan, bahkan jika itu berarti menentang kekuasaan yang ada.
6.2. Penolakan Jabatan Hakim dan Pemenjaraan
Pada tahun 763 M, Khalifah Al-Mansur dari Abbasiyah menawarkan Abu Hanifa jabatan qadi al-qudat (hakim agung negara), posisi tertinggi dalam peradilan. Namun, Abu Hanifa dengan tegas menolak tawaran tersebut, memilih untuk tetap independen dari kekuasaan negara.
Ketika ditanya oleh Al-Mansur mengapa ia menolak, Abu Hanifa menjawab bahwa ia tidak cocok untuk jabatan tersebut. Al-Mansur, yang memiliki alasan dan gagasan sendiri untuk menawarkan posisi itu, menuduh Abu Hanifa berbohong. Abu Hanifa membalas dengan cerdik, "Jika saya berbohong, maka pernyataan saya dua kali lipat benar. Bagaimana Anda bisa menunjuk seorang pembohong ke jabatan qadi yang mulia?"
Jawaban ini membuat Al-Mansur murka. Akibat penolakannya, Abu Hanifa ditangkap, dipenjara, dan disiksa. Dikatakan bahwa di penjara ia tidak pernah diberi makan atau dirawat. Meskipun demikian, ia tetap melanjutkan mengajar para muridnya yang diizinkan mengunjunginya. Penolakan Abu Hanifa terhadap jabatan hakim dan penderitaannya di penjara menjadi simbol integritas dan keberaniannya dalam mempertahankan kebenaran di hadapan kekuasaan.
7. Murid dan Kelanjutan Mazhab
Abu Hanifa memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka dan berperan penting dalam melestarikan serta mengembangkan ajaran Mazhab Hanafi.
7.1. Murid Utama
Yusuf ibn Abd al-Rahman al-Mizzi mencatat 97 ahli hadis yang merupakan murid Abu Hanifa. Sebagian besar dari mereka kemudian menjadi ahli hadis terkemuka, dan hadis-hadis yang mereka riwayatkan dikumpulkan dalam kitab-kitab hadis utama seperti Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Imam Badr al-Din al-Ayni menambahkan bahwa ada 260 murid lain yang belajar hadis dan fikih dari Abu Hanifa.
Murid-muridnya yang paling terkenal adalah:
- Abu Yusuf (wafat 798 M): Ia menjabat sebagai hakim agung pertama di dunia Muslim di bawah Khalifah Harun al-Rashid. Kontribusinya sangat besar dalam kodifikasi dan penyebaran fikih Hanafi.
- Muhammad al-Shaybani (wafat 805 M): Ia adalah guru dari Imam Syafi'i, pendiri Mazhab Syafi'i. Al-Shaybani juga berperan penting dalam mencatat dan mengembangkan ajaran Abu Hanifa.
Murid-murid penting lainnya termasuk Abdullah ibn Mubarak dan Al-Fudayl ibn 'Iyad. Melalui murid-murid inilah, pemikiran dan metodologi hukum Abu Hanifa disebarkan ke berbagai wilayah dan menjadi dasar bagi perkembangan Mazhab Hanafi yang luas.
8. Karakter dan Penampilan
Catatan sejarah dari murid-murid dan sumber lain menggambarkan Abu Hanifa sebagai sosok yang memiliki karakter mulia dan penampilan yang menarik.
Al-Nadr ibn Muhammad mengenang Abu Hanifa memiliki "wajah yang indah, pakaian yang indah, dan aroma yang harum." Muridnya, Abu Yusuf, menggambarkannya sebagai "berbentuk baik, dari orang-orang terbaik dalam penampilan, paling fasih dalam berbicara, paling manis dalam nada suara, dan paling jelas dalam mengungkapkan pemikirannya."
Putranya, Hammad, menggambarkan ayahnya sebagai "sangat tampan, berkulit gelap, memiliki postur tubuh yang baik, memakai banyak parfum, tinggi, tidak berbicara kecuali sebagai jawaban kepada orang lain, dan tidak melibatkan diri dalam hal yang tidak menjadi urusannya."
Ibn al-Mubarak menyatakan bahwa ia "tidak pernah melihat seorang pria yang lebih dihormati dalam pertemuan, atau lebih baik dalam karakter dan kesabaran, daripada Abu Hanifa." Ia dikenal karena sifatnya yang suka membantu siapa pun yang membutuhkan, rajin berusaha, dan memiliki cita-cita tinggi. Ia juga sangat menghormati guru-gurunya, sering memberi hadiah kepada mereka dan guru-guru yang mengajar putranya.
9. Penerimaan dan Kritik
Abu Hanifa telah menerima pujian dan kritik sepanjang sejarah Islam, mencerminkan kompleksitas pemikiran dan pengaruhnya.
9.1. Penerimaan Positif
Abu Hanifa sangat dihormati di berbagai bidang ilmu pengetahuan suci dan secara signifikan memengaruhi perkembangan teologi Muslim. Sepanjang hidupnya, ia diakui sebagai seorang yuris kaliber tertinggi. Al-Dhahabi menyebutnya sebagai "salah satu jenius putra Adam" yang "menggabungkan fikih, ibadah, ketelitian, dan kedermawanan."
Ibn Hajar al-Asqalani, seorang ulama Syafi'i dan ahli hadis terkemuka, menyatakan bahwa kritik terhadap Abu Hanifa tidak memiliki signifikansi, karena tokoh-tokoh seperti Abu Hanifa berada "pada derajat yang telah Allah - Yang Maha Tinggi - angkat mereka, sehingga mereka diikuti dan ditiru."
Ibn Taymiyya memuji Abu Hanifa atas pengetahuannya dan menanggapi tuduhan terhadapnya, menyatakan, "Tidak ada keraguan mengenai pengetahuan Imam Abu Hanifa. Orang-orang kemudian mengaitkan banyak kebohongan kepada Imam Abu Hanifa, yang semuanya tidak benar. Tujuan dari tulisan-tulisan semacam itu adalah untuk mencoreng Imam Abu Hanifa." Murid-muridnya, Ibn Kathir dan Al-Dhahabi, memiliki pendapat serupa, secara ekstensif membantah tuduhan terhadapnya dan memuji kontribusinya.
Ia menerima gelar kehormatan al-Imam al-A'zam ("Imam yang sangat dihormati"), dan makamnya, yang di atasnya terdapat kubah yang didirikan oleh para pengagumnya pada tahun 1066, masih menjadi tempat ziarah bagi para peziarah.
9.2. Kritik dan Kontroversi
Abu Hanifa juga menghadapi kritik dari beberapa tokoh, seperti Ahmad ibn Hanbal, Abdullah ibn al-Mubarak, Sufyan al-Thawri, Sufyan ibn 'Uyaynah, dan Abd al-Rahman al-Awza'i. Menurut beberapa sumber kemudian, ia dianggap oleh Ibn Abi Shaybah dan Ibn Sa'd sebagai bid'ah dan menentang ajaran Nabi Muhammad. Guru al-Bukhari, Abdallah ibn al-Zubayr al-Humaydi, adalah salah satu yang pertama menulis sanggahan terhadap pemikiran Abu Hanifa.
Ulama Zahiri, Ibn Hazm, mengutip Sufyan ibn 'Uyaynah: "Urusan manusia harmonis sampai diubah oleh Abu Hanifa di Kufah, al-Batti di Basra, dan Malik di Madinah." Yuris Muslim awal Hammad ibn Salamah pernah menceritakan kisah tentang seorang perampok jalan raya yang menyamar sebagai orang tua untuk menyembunyikan identitasnya; ia kemudian berkomentar bahwa jika perampok itu masih hidup, ia akan menjadi pengikut Abu Hanifa.
Imam Ahmad ibn Hanbal dilaporkan berkata, "Dan diriwayatkan kepadaku dari Ishaq ibn Mansur Al-Kawsaj yang berkata: Aku berkata kepada Ahmad ibn Hanbal: 'Apakah seorang pria diberi pahala karena membenci Abu Hanifa dan para sahabatnya?' Dia berkata: 'Ya, demi Allah.'" Muhannah ibn Yahya Ash-Shami meriwayatkan kepadaku (dan berkata): Aku mendengar Ahmad ibn Hanbal berkata: "Bagiku pendapat Abu Hanifa dan kotoran, adalah sama."
Kritik ini sebagian besar berpusat pada metodologi hukumnya, khususnya penekanannya pada penggunaan akal (ra'i) dan istihsan, yang dianggap oleh beberapa ahli hadis sebagai penyimpangan dari tradisi kenabian yang ketat. Namun, terlepas dari kritik ini, Mazhab Hanafi tetap menjadi mazhab yang paling banyak diikuti, dan Abu Hanifa dipandang oleh sebagian besar Muslim Sunni sebagai seorang pria dengan kualitas pribadi tertinggi: seorang pelaku kebaikan, luar biasa dalam penyangkalan diri, kerendahan hati, pengabdian, dan ketakwaan yang saleh kepada Tuhan.
10. Status Generasi (Tabi'in)
Terdapat perdebatan mengenai klasifikasi Abu Hanifa sebagai bagian dari generasi Tabi'in, yaitu generasi setelah sahabat Nabi Muhammad. Pendapat ini didasarkan pada laporan bahwa ia bertemu setidaknya empat sahabat, termasuk Anas ibn Malik. Beberapa laporan bahkan menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadis dari Anas ibn Malik dan sahabat-sahabat Nabi Muhammad lainnya.
Namun, ada pandangan lain yang menyatakan bahwa Abu Hanifa hanya melihat sekitar setengah lusin sahabat, kemungkinan pada usia muda, dan tidak secara langsung meriwayatkan hadis dari mereka. Abu Hanifa lahir setidaknya 60 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, tetapi pada masa generasi pertama Muslim, beberapa di antaranya hidup hingga masa muda Abu Hanifa. Anas ibn Malik, pelayan pribadi Nabi Muhammad, wafat pada 93 Hijriah, dan sahabat lain, Abul Tufail Amir bin Wathilah, wafat pada 100 Hijriah, ketika Abu Hanifa berusia setidaknya 20 tahun. Penulis al-Khairat al-Hisan mengumpulkan informasi dari kitab-kitab biografi dan menyebutkan nama-nama Muslim dari generasi pertama yang darinya dilaporkan bahwa Abu Hanifa telah meriwayatkan hadis. Ia menghitung 16 dari mereka, termasuk Anas ibn Malik, Jabir ibn Abd-Allah, dan Sahl ibn Sa'd.
11. Kematian dan Pemakaman

Abu Hanifa wafat di penjara pada 15 Rajab 150 Hijriah, bertepatan dengan 15 Agustus 767 Masehi, pada usia 68 tahun. Penyebab kematiannya tidak jelas; beberapa sumber mengatakan bahwa ia mengeluarkan fatwa yang mengizinkan perlawanan bersenjata terhadap Khalifah Al-Mansur, sehingga Al-Mansur meracuninya.
Berita kematiannya segera menyebar. Ketika Khalifah Al-Mansur mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?" Seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak telah tiada."
Dikatakan bahwa begitu banyak orang menghadiri pemakamannya sehingga upacara pemakaman diulang enam kali untuk lebih dari 50.000 orang yang berkumpul sebelum ia benar-benar dimakamkan. Sejarawan Al-Khatib al-Baghdadi mengatakan bahwa selama 20 hari penuh orang-orang melakukan salat jenazah untuknya. Jenazahnya dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan oleh lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran, salat terakhir dipimpin oleh putranya, Hammad. Ia tidak dapat dikuburkan kecuali setelah salat Asar karena padatnya pelayat dan banyaknya tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah curian.
12. Warisan dan Pengaruh
Mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Abu Hanifa, tetap menjadi mazhab fikih yang paling banyak diikuti di dunia Muslim hingga saat ini, dengan sekitar 45% dari seluruh Muslim Sunni mengikutinya. Mazhab ini dominan di wilayah-wilayah seperti Asia Tengah, Asia Selatan, Turki, Balkan, Rusia, dan beberapa bagian Dunia Arab seperti Mesir, Lebanon, dan Suriah.
Pengaruh Abu Hanifa melampaui bidang fikih dan juga memengaruhi perkembangan teologi Muslim. Pemikiran teologisnya, khususnya penolakannya terhadap antropomorfisme, memengaruhi pembentukan Mazhab Maturidi yang kemudian menjadi salah satu mazhab teologi Sunni utama.
Meskipun Abu Hanifa sendiri tidak banyak menulis karya secara langsung, ajaran dan pemikirannya dicatat dan dikembangkan oleh murid-muridnya yang terkemuka, terutama Abu Yusuf dan Muhammad al-Shaybani. Karya-karya yang dikaitkan dengannya, seperti Fiqh al-Akbar (Prinsip-prinsip Akidah Islam), Kitab al-Athar (kumpulan 70.000 riwayat dari Abu Hanifa), Fiqh al-Abasat, Al-Wasiyyah, dan Aalim wa'l-muta'allim, menjadi dasar bagi studi fikih dan teologi Hanafi. Meskipun ada perdebatan mengenai kepengarangan beberapa karya ini, isinya mencerminkan pemikiran Abu Hanifa.
Abu Hanifa juga menyusun kitab "Al-Faraid" (harta pusaka) secara lengkap. Cara pemikirannya memengaruhi murid-muridnya yang menyebarkan ilmunya melalui kuliah dan tulisan. Ia sering melarang murid-muridnya untuk taklid (mengikuti tanpa penalaran) dan mendorong mereka untuk menggunakan akal pikiran dalam memahami hukum, serta melarang umat Islam untuk beramal dengan perkara-perkara bid'ah dalam ibadah. Warisannya adalah sistem hukum yang komprehensif dan fleksibel, yang terus memengaruhi jutaan Muslim di seluruh dunia.
13. Peringatan dan Makam

Makam Abu Hanifa terletak di lingkungan Adhamiyah di Baghdad, Irak. Di atas makamnya, sebuah kubah didirikan oleh para pengagumnya pada tahun 1066, yang kemudian menjadi Masjid Abu Hanifa. Masjid ini menjadi pusat keagamaan dan tempat ziarah yang penting.
Pada tahun 1508, struktur makam Abu Hanifa dan Abdul Qadir Gilani dihancurkan oleh Shah Ismail dari Kekaisaran Safawi. Namun, pada tahun 1533, setelah Kesultanan Utsmaniyah menaklukkan Baghdad, Suleiman Agung memerintahkan pembangunan kembali makam Abu Hanifa dan situs-situs Sunni lainnya. Saat ini, makam Abu Hanifa berada di pusat kompleks keagamaan Masjid Abu Hanifa.