1. Pendahuluan
Choi Ja-shil (최자실Choe Ja-silBahasa Korea; 25 Agustus 1915 - 9 November 1989) adalah seorang pendeta Pentekosta asal Korea Selatan yang dikenal sebagai salah satu pendiri Gereja Injil Penuh Yoido (sekarang Gereja Injil Penuh Yoido), salah satu gereja terbesar di dunia, bersama dengan menantunya, David Yonggi Cho. Ia memulai pelayanannya sebagai perawat dan penginjil perempuan yang berdedikasi, memainkan peran krusial dalam pertumbuhan gereja dan penyebaran kekristenan Pentekosta di Korea dan secara internasional. Artikel ini akan membahas perjalanan hidupnya yang penuh tantangan, transformasi imannya, serta berbagai kontribusi signifikan yang ia berikan dalam pelayanan gereja dan misi global.
2. Biografi
Biografi Pastor Choi Ja-shil mencakup perjalanan hidupnya yang luar biasa, dari masa kecil yang sulit hingga menjadi seorang tokoh rohani yang berpengaruh, ditandai oleh ketekunan, cobaan, dan transformasi iman yang mendalam.
2.1. Masa Kecil dan Pendidikan
Choi Ja-shil lahir pada tanggal 25 Agustus 1915 di Provinsi Hwanghae, tepatnya di Haeju, Korea (saat itu di bawah pendudukan Jepang, sekarang bagian dari Korea Utara). Ayahnya meninggal karena penyakit ketika ia berusia enam tahun, meninggalkannya untuk dibesarkan oleh seorang ibu tunggal. Keluarganya hidup dalam kemiskinan, dan ibunya bekerja keras sebagai penjahit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk membantu perekonomian keluarga, Choi Ja-shil juga turut membantu ibunya dalam usaha menjahit.
Pada usia dua belas tahun, melalui ajakan seorang teman, Choi Ja-shil menghadiri kebaktian kebangunan rohani tenda yang dipimpin oleh pendeta Lee Sung-Bong dan mengalami pertobatan, menjadi seorang Kristen. Ia kemudian membimbing ibunya, yang sebelumnya seorang Buddhis, untuk juga menerima iman Kristen. Ibunya menjadi seorang pendoa yang saleh, selalu bangun pagi untuk berdoa (새벽기도saebyeok-gidoBahasa Korea) dan melayani para pendeta dengan setia, sebuah teladan yang sangat memengaruhi Choi Ja-shil dalam pelayanannya di kemudian hari.
Meskipun hidup dalam kemiskinan, Choi Ja-shil memiliki keinginan kuat untuk belajar dan meringankan beban ibunya. Ia dikenal rajin belajar, bahkan menjadi guru les bagi teman-teman sekelasnya. Beberapa bulan sebelum kelulusannya dari sekolah yang kemudian dikenal sebagai Myungshin Women's School, ia mengikuti ujian masuk Sekolah Keperawatan Rumah Sakit Provinsi Pyongyang, yang pada masa itu memiliki tingkat persaingan yang sangat tinggi. Ia berhasil lulus dalam ujian tersebut setelah banyak berdoa, dan akhirnya menjadi seorang perawat. Ia mengabdikan diri pada pekerjaannya, percaya bahwa merawat pasien adalah cara untuk memuliakan Allah.
2.2. Pernikahan dan Kegiatan Bisnis
Selama masa mudanya, Choi Ja-shil menjadi anggota gereja Shinuidu Kedua Presbiterian yang dilayani oleh pendeta Han Kyung-chik. Di gereja ini, ia bertemu dengan Kim Chang-gi, seorang anggota paduan suara gereja yang lulus dari Paejae Hakdang dan Fakultas Hukum Universitas Chuo di Jepang. Pada usia 26 tahun, ia menikah dengan Kim Chang-gi.
Namun, setelah menikah, suaminya cenderung mengabaikan kehidupan gereja dan lebih fokus pada urusan duniawi. Awalnya, Choi Ja-shil berusaha membujuk suaminya untuk kembali bersekutu, tetapi seiring waktu, ia sendiri mulai menjauh dari kehidupan rohani, sibuk membesarkan kedua putri dan kedua putranya.
Belakangan, Choi Ja-shil pindah ke Seoul dan terjun ke dunia bisnis. Ia meraih kesuksesan besar dengan mendirikan pabrik korek api dan pabrik sabun, menghasilkan banyak uang dan memperluas bisnisnya hingga mencapai skala nasional. Namun, karena terlalu fokus pada pencarian keuntungan dan kembali menjauh dari imannya, ibunya, yang sangat saleh, sering berpuasa dan menangis dalam doa untuknya setiap malam.
2.3. Masa Pencobaan dan Perubahan Iman
Ketika Choi Ja-shil berada di puncak kesuksesan bisnisnya, serangkaian cobaan berat mulai menimpanya. Pada tahun 1953, ibunya, yang selama ini menjadi pilar doanya, meninggal dunia pada usia 69 tahun. Hanya sepuluh hari kemudian, putri sulungnya juga meninggal dunia akibat komplikasi setelah kecelakaan lalu lintas. Tak lama setelah itu, seluruh kekayaannya lenyap karena kegagalan bisnis, dan ia juga menderita penyakit jantung. Kehidupannya dipenuhi dengan keputusasaan, konflik keluarga, dan tekanan dari para penagih utang.
Setelah bertahun-tahun hidup dalam penderitaan yang tak terlukiskan, Choi Ja-shil mencapai titik terendah dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ia membeli racun mematikan dan pergi ke Gunung Samgak, yang saat itu merupakan bagian dari Gunung Bukhansan. Namun, saat ia hendak meminum racun tersebut, tiba-tiba angin puting beliung menerbangkan bungkusan racun itu, menggagalkan niatnya. Meskipun ia mencoba bunuh diri berkali-kali setelah itu, semua usahanya gagal.
Dalam kondisi yang sangat terdesak, secara kebetulan ia menemukan bahwa pendeta Lee Sung-Bong, pembicara dalam kebaktian kebangunan rohani yang pernah ia hadiri saat kecil, mengadakan kebaktian di dekat lokasi tempat ia mencoba bunuh diri, sekitar 30 tahun setelah pertemuan pertamanya. Di sanalah ia mengalami perjumpaan rohani yang mendalam dengan Yesus. Tempat yang semula ia pilih untuk mengakhiri hidup justru menjadi titik balik yang mengarahkan pada kehidupan baru yang penuh harapan.
2.4. Memasuki Pelayanan dan Periode Seminari
Setelah pengalaman dramatisnya di Gunung Samgak, Choi Ja-shil segera mencari pendeta Lee Sung-Bong. Atas rekomendasi Lee Sung-Bong, ia mendaftar di Sekolah Tinggi Teologi Injil Penuh (yang kini telah berkembang menjadi Universitas Hansei). Di sinilah ia bertemu dengan David Yonggi Cho, yang kelak menjadi menantunya dan rekan pelayanannya.
Selama masa studi di seminari, Choi Ja-shil dan Cho Yong-gi membentuk sebuah tim yang solid, berkolaborasi dalam penginjilan dan doa, membuka jalan bagi pelayanan pastoral mereka di masa depan. Pada saat itu, para mahasiswa seminari tidak hanya berfokus pada studi akademis, tetapi juga secara aktif terlibat dalam praktik pelayanan. Mereka seringkali menghabiskan malam dalam doa semalam suntuk di asrama dan rutin melakukan penginjilan jalanan setiap kali ada kesempatan. Kehidupan Choi Ja-shil di seminari dipenuhi dengan semangat seorang penginjil yang tak kenal lelah, selalu bertekun dalam doa dan misi.
3. Pelayanan dan Kegiatan Utama
Pelayanan Pastor Choi Ja-shil ditandai dengan dedikasi luar biasa, inovasi, dan dampak yang transformatif, khususnya dalam mendirikan dan mengembangkan Gereja Injil Penuh Yoido menjadi salah satu gereja terbesar di dunia.
3.1. Perintisan Gereja Tenda
Pelayanan pertama Choi Ja-shil berfokus pada anak-anak. Ia berkeliling desa, mengumpulkan anak-anak, memberi mereka permen, mengajari lagu-lagu pujian, dan firman Tuhan, serta mendoakan mereka secara pribadi. Melalui upaya ini, ia berhasil mengumpulkan 60 hingga 70 anak. Dengan jumlah yang terus bertambah ini, pada 18 Mei 1958, ia mendirikan sebuah gereja tenda di Daejo-dong, Eunpyeong-gu.
Awalnya, kebaktian dewasa di gereja tenda ini dimulai hanya dengan lima orang: Penginjil Choi Ja-shil, Penginjil David Yonggi Cho, putri Choi Ja-shil (Kim Sung-hye), putranya (Kim Sung-gwang), dan seorang nenek yang mencari tempat berteduh dari hujan. Namun, kabar tentang pelayanan Penginjil Choi Ja-shil, yang penuh kasih sayang dan kuasa, mulai menyebar, menarik satu per satu orang untuk bergabung.
Pada masa itu, banyak orang yang hidup dalam kemiskinan, sakit, dan tanpa harapan. Choi Ja-shil dan timnya memberikan perhatian khusus kepada mereka, membagikan makanan, dan melalui doa, mukjizat kesembuhan mulai terjadi. Orang-orang yang sakit disembuhkan, para dukun bertobat, dan peminum alkohol mengalami perubahan hidup yang drastis. Kebangunan rohani yang luar biasa ini membuat Choi Ja-shil merasa tidak mampu menanganinya sendirian, sehingga ia meminta Penginjil Cho Yong-gi untuk bergabung dan berkolaborasi dalam pelayanan ini. Setelah itu, khotbah-khotbah Penginjil Cho Yong-gi juga membawa banyak orang pada pertobatan.
3.2. Era Gereja Pusat Injil Penuh Seodaemun
Gereja tenda di Bulgwang-dong mengalami pertumbuhan yang eksplosif. Dari hanya lima anggota pada Juni 1958, jumlah jemaat terus bertambah hingga mencapai 500 orang pada November 1961. Karena pertumbuhan yang pesat ini, pada tahun 1961, gereja tenda yang telah berdiri selama tiga tahun ini dipindahkan dan diperluas menjadi Gereja Pusat Injil Penuh Seodaemun di Uiju-ro, Seodaemun-gu.
Di lokasi baru ini, kebangunan rohani yang lebih besar dan terus-menerus terjadi. Khotbah-khotbah pendeta David Yonggi Cho yang kuat dan pelayanan penyembuhan Choi Ja-shil yang penuh kuasa menghasilkan kebangunan rohani yang luar biasa. Gereja ini juga mulai mengorganisir pertemuan-pertemuan doa berskala internasional, seperti Konferensi Misi Dunia Asia Timur Laut, menandai dimulainya pelayanan global Choi Ja-shil. Pada 13 Mei 1962, nama gereja diubah menjadi Gereja Pusat Injil Penuh. Bangunan Gereja Pusat Injil Penuh Seodaemun ini saat ini terletak di Pyeong-dong, Jongno-gu, Seoul, dan digunakan sebagai Gedung Pertemuan Umum Gereja Sidang Jemaat Allah di Korea serta Gereja Bawi Saem.
3.3. Pendirian Gunung Doa Osanri
Pastor Choi Ja-shil memiliki visi dan impian untuk mendirikan sebuah "Gunung Doa". Visi ini terwujud ketika ia membangun altar doa semalam suntuk di sebuah gudang yang merupakan perpanjangan dari area pemakaman gereja, yang terletak di Osanri, Jori-eup, Paju-si, Gyeonggi-do. Setelah tiga bulan bertekun dalam doa, ia menerima jawaban dan akhirnya memulai pembangunan pusat doa tersebut.
Meskipun menghadapi berbagai rintangan, yang diyakini sebagai "gangguan setan", ia berhasil mendirikan Gunung Doa terbesar di dunia melalui kekuatan doa. Pusat doa ini menjadi tempat di mana banyak orang mencari perjumpaan pribadi dengan Allah dan mengalami transformasi rohani melalui doa dan puasa. Setelah kematian Pastor Choi Ja-shil, untuk mengenang doa-doa dan pengabdiannya yang penuh air mata, nama resmi pusat doa ini diubah menjadi 'Gunung Doa Puasa Peringatan Choi Ja-shil Osanri'.
3.4. Pembangunan Bait Suci Yeouido
Gereja Pusat Injil Penuh Seodaemun terus mengalami pertumbuhan yang pesat dan luar biasa. Jumlah anggota gereja melonjak hingga melampaui 10.000 orang, membuat gedung gereja di Seodaemun tidak lagi mampu menampung seluruh jemaat. Oleh karena itu, gereja mulai mencari lokasi baru untuk membangun gedung gereja yang lebih besar. Beberapa lokasi dipertimbangkan, tetapi menemukan tempat yang cocok untuk menampung ribuan jemaat bukanlah hal yang mudah.
Pada saat itulah, Yeouido direkomendasikan sebagai lokasi potensial. Namun, pada masa itu, Yeouido hanyalah sebuah pulau terpencil yang sebagian besar digunakan sebagai landasan pacu pesawat terbang. Pulau tersebut gersang dan belum terhubung dengan daratan utama oleh jembatan, sehingga masalah transportasi menjadi kendala terbesar. Meskipun demikian, pendeta David Yonggi Cho, setelah menerima jawaban doa dari Allah, dengan kuat mendorong rencana pembangunan gereja di Yeouido.
Akhirnya, gereja berhasil membeli sebidang tanah di Yeouido pada tahun 1969. Namun, biaya pembangunan yang sangat besar menimbulkan keraguan apakah gereja mampu menanggung beban finansial yang begitu besar. Meski demikian, pendeta Cho Yong-gi dan Pastor Choi Ja-shil, dengan keyakinan pada mukjizat Allah, tetap melanjutkan proyek tersebut dengan harapan yang membara di hati mereka.
Sejak awal pembangunan, berbagai masalah mulai muncul. Gereja langsung dihadapkan pada masalah keuangan. Dampak dari goncangan minyak di Timur Tengah menyebabkan nilai won anjlok terhadap dolar AS, mengakibatkan kenaikan harga bahan bangunan. Selain itu, pemasukan persembahan gereja juga menurun. Namun, dengan iman dan doa, mereka terus berupaya mengatasi setiap tantangan yang ada.
3.5. Kegiatan Misi Internasional
Pelayanan Pastor Choi Ja-shil meluas hingga ke tingkat internasional. Pada tahun 1964, ia memulai perjalanan misi ke Jepang, yang menjadi titik awal aktivitasnya di luar negeri. Kemudian, pada tahun 1966, ia melakukan perjalanan misi ke Taiwan, dan selanjutnya ke Amerika Serikat. Ia secara aktif memimpin kebaktian kebangunan rohani di berbagai negara, berkontribusi signifikan terhadap penyebaran gerakan Pentekosta secara global.
Perjalanan misinya berlanjut hingga akhir hayatnya. Pada 3 November 1989, ia memimpin sebuah kebaktian kebangunan rohani di Gereja Injil Penuh Washington D.C. yang berafiliasi dengan Gereja Injil Penuh Yoido. Kemudian, pada 8 November 1989, ia memimpin kebaktian peletakan batu pertama gereja baru dan perayaan ulang tahun keempat Gunung Doa Puasa Internasional Los Angeles di Los Angeles, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan pelayanan tersebut, ia meninggal dunia di Los Angeles.
4. Karya
Pastor Choi Ja-shil dikenal sebagai seorang penulis yang menghasilkan beberapa karya penting, yang mencerminkan kekayaan pengalaman spiritual dan pelayanannya. Buku-buku utamanya meliputi:
- Mukjizat Korea (Korean miraclesBahasa Inggris), diterbitkan pada tahun 1978.
- Wanita Haleluya (Hallelujah LadyBahasa Inggris), diterbitkan pada tahun 2009.
5. Kematian
Bagian ini merinci informasi mengenai akhir kehidupan Pastor Choi Ja-shil.
Pastor Choi Ja-shil meninggal dunia pada tanggal 9 November 1989 di Los Angeles, Amerika Serikat, pada usia 74 tahun (75 tahun menurut perhitungan usia Korea). Penyebab kematiannya adalah serangan jantung, yang terjadi setelah ia menghadiri serangkaian kebaktian kebangunan rohani dan pelayanan misi di Amerika Serikat, termasuk memimpin kebaktian peletakan batu pertama Gunung Doa Puasa Internasional Los Angeles.
Jenazahnya kemudian dipulangkan ke Korea Selatan dan dimakamkan pada tanggal 15 November 1989. Ia dikebumikan di Gunung Doa Puasa Peringatan Choi Ja-shil Osanri, yang merupakan pusat doa yang ia dirikan dengan penuh dedikasi.
6. Penilaian dan Warisan
Pastor Choi Ja-shil meninggalkan warisan yang tak terhapuskan dalam sejarah kekristenan Korea dan gerakan Pentekosta global. Kehidupannya yang penuh pengabdian dan iman telah memengaruhi jutaan orang, dan berbagai proyek terus dilakukan untuk mengenang serta melestarikan semangat pelayanannya.
6.1. Pengaruh dan Kontribusi
Choi Ja-shil memiliki dampak yang sangat besar pada kekristenan di Korea, khususnya dalam gerakan Pentekosta. Sebagai seorang perintis penginjil perempuan di tengah masyarakat yang didominasi laki-laki, ia memecah batasan tradisional dan menunjukkan kepemimpinan rohani yang kuat. Pelayanannya yang penuh belas kasihan kepada kaum miskin, yang sakit, dan yang terpinggirkan menjadikannya sosok yang dicintai dan dihormati. Ia dikenal karena pelayanan doa dan puasanya yang mendalam, serta banyak kesaksian mukjizat kesembuhan yang terjadi melalui doanya.
Kontribusinya terhadap pertumbuhan Gereja Injil Penuh Yoido sangat instrumental. Bersama dengan David Yonggi Cho, ia membantu membangun gereja tersebut dari sebuah gereja tenda kecil menjadi kongregasi terbesar di dunia. Dedikasinya dalam membangun Gunung Doa Osanri juga menegaskan pentingnya doa dalam kebangunan rohani dan pertumbuhan gereja. Warisannya mencakup tidak hanya pertumbuhan kuantitas gereja, tetapi juga pembentukan budaya doa yang mendalam dan perhatian sosial yang kuat dalam gerakan Pentekosta di Korea.
6.2. Proyek Peringatan
Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa serta semangat pelayanannya, salah satu fasilitas penting Gereja Injil Penuh Yoido didedikasikan atas namanya: Gunung Doa Puasa Peringatan Choi Ja-shil Osanri. Pusat doa ini menjadi simbol pengabdiannya terhadap doa dan misi, dan terus menjadi tempat di mana ribuan orang datang untuk mencari persekutuan dengan Allah. Proyek ini memastikan bahwa visi dan semangat Pastor Choi Ja-shil dalam pelayanan doa dan kebangunan rohani akan terus hidup dan menginspirasi generasi mendatang.