1. Kehidupan Awal dan Pendidikan
Hani Motoko lahir pada tahun 1873 dari keluarga samurai kaya di Prefektur Aomori. Sejak kecil ia menunjukkan semangat belajar yang tinggi, berbeda dengan perempuan lain di lingkungannya, dan berhasil melanjutkan pendidikan di sekolah Kristen di Tokyo, di mana ia dibaptis sebagai seorang Kristen non-gereja.
1.1. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Hani Motoko, yang lahir dengan nama Matsuoka Motoko, lahir pada tanggal 8 September 1873, di Hachinohe, Prefektur Aomori, Jepang. Kelahirannya terjadi setahun setelah sistem sekolah umum modern Jepang didirikan. Ia berasal dari keluarga samurai yang kaya dan dibesarkan oleh kakeknya, Matsuoka Tadataka, yang merupakan mantan samurai, serta ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pengacara. Motoko menganggap perempuan lain di rumah tangganya, seperti nenek dan ibunya, sebagai pribadi yang naif karena mereka buta huruf, sebuah pandangan yang mungkin dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Ia memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya, namun hubungan tersebut renggang setelah perceraian orang tuanya, yang sangat menyakitkan baginya dan menjadi krisis emosional kedua yang paling menyakitkan dalam hidupnya, setelah perceraiannya sendiri di kemudian hari.
Pemerintah Meiji (1868-1912) pada masa itu sangat menekankan pendidikan sebagai prioritas utama untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara Barat dalam modernisasi. Pendidikan dasar umum diwajibkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Jepang pada tahun 1872. Penekanan pada pendidikan ini terus diperluas selama periode Taisho (1912-1926), yang membuat pendidikan bagi perempuan di luar sekolah dasar menjadi lebih mudah diakses sebagai respons umum terhadap tren global menuju liberalisme dan internasionalisme pasca Perang Dunia I.
1.2. Pendidikan dan Pembaptisan Kristen
Hani Motoko menempuh pendidikan dasar di sekolah dasar di Hachinohe, Prefektur Aomori. Ia termasuk dalam generasi baru anak perempuan yang diizinkan melanjutkan pendidikan di luar jenjang dasar. Meskipun pemerintah Meiji mengidealkan cita-cita Konfusianisme sebelumnya yang berpusat pada laki-laki, dengan slogan "istri yang baik, ibu yang bijaksana" (良妻賢母ryōsai kenboBahasa Jepang) yang menekankan peran perempuan sebagai pengasuh dan istri yang patuh, serta fokus pendidikan perempuan pada "kewanitaan" dan persiapan pernikahan, Motoko memiliki pandangan yang lebih luas.
Ia mengalami kesulitan bergaul dengan teman-teman sekelasnya dan merasa sulit untuk bertindak sesuai dengan keyakinan moral yang berlaku saat itu. Sebagai seorang anak, ia menempatkan dirinya setara dengan anak laki-laki. Pada tahun 1884, ia meraih penghargaan atas keunggulan akademis yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan. Berkat hubungan dekatnya dengan kakeknya, ia diizinkan untuk melanjutkan studi di Sekolah Perempuan Tinggi Pertama Tokyo (Kōtō Jogakkō). Pada masa itu, belum ada perguruan tinggi di Jepang yang menerima perempuan.
Sekolah Kristen mulai membuka pintu bagi perempuan, dan Hani Motoko dapat melanjutkan pendidikannya di Sekolah Perempuan Meiji (Meiji Jogakkō). Berbeda dengan sekolah-sekolah Jepang pada masa itu, Sekolah Kristen mempromosikan modernitas dan kemajuan status sosial perempuan, mempersiapkan mereka untuk peran kepemimpinan dalam masyarakat. Pada tahun 1889, ia pindah ke Tokyo dan masuk Sekolah Perempuan Tinggi Pertama Tokyo sebagai siswa tahun kedua. Selama di sekolah inilah ia dibaptis sebagai seorang Kristen pada tahun 1890 dan tetap menganut iman ini sepanjang hidupnya. Namun, ia mengambil posisi sebagai pengikut Kristen non-gereja (mukyoukai), yang berarti ia tidak terikat pada gereja atau denominasi tertentu.
Pada tahun 1890, ia mencoba untuk masuk Tokyo Joshi Koto Shihan Gakko (Sekolah Tinggi Keguruan Perempuan Tokyo) namun tidak berhasil. Pada tahun 1891, ia diterima di Sekolah Perempuan Meiji, yang kepala sekolahnya adalah Iwamoto Yoshiharu, seorang editor majalah perempuan Jogaku Zasshi. Iwamoto menjadi mentor pertamanya. Dalam sebuah wawancara, Motoko berhasil meyakinkan Iwamoto untuk memberinya pekerjaan sebagai penyunting naskah untuk majalah tersebut, yang membuka banyak pintu baginya dalam karier jurnalisme. Ia belajar dasar-dasar pembuatan majalah dengan membantu menyunting naskah untuk Jogaku Zasshi. Motoko kemudian menarik diri dari Sekolah Perempuan Meiji pada tahun 1892.
1.3. Karier Awal
Sebelum menjadi jurnalis, Hani Motoko menjalani karier sebagai seorang guru. Setelah meninggalkan sekolah pada tahun 1892, ia kembali ke kampung halamannya dan mengajar di sekolah dasar di Hachinohe serta di Sekolah Perempuan Morioka. Pada masa itu, sebagian besar perempuan yang bekerja di sektor upah menjadi operator pabrik tekstil atau pembantu rumah tangga. Hanya sekitar 5,9% guru di Jepang yang adalah perempuan. Bagi seorang perempuan, mengajar dianggap sebagai karier yang paling bergengsi dan menguntungkan yang tersedia.
2. Kegiatan Jurnalisme
Sebagai jurnalis perempuan pertama di Jepang, Hani Motoko bergabung dengan Hochi Shinbun pada tahun 1897 dan dengan cepat meraih reputasi melalui liputan isu-isu sosial yang terabaikan. Ia memediasi pandangan tentang kesetaraan gender, mempopulerkan nilai-nilai ibu rumah tangga ala Barat, dan memanfaatkan kesempatan masa perang untuk mengangkat posisi perempuan di Jepang.
2.1. Bergabung dengan Hochi Shinbun dan Jurnalisme Perintis
Setelah kegagalan pernikahan pertamanya pada tahun 1895, Hani Motoko pindah ke Tokyo dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk seorang dokter perempuan. Pada tahun 1897, ia bergabung dengan Hochi Shinbun (kini Hochi Shimbun), awalnya sebagai penyunting naskah, dan kemudian menjadi seorang reporter. Ini adalah terobosan besar pertamanya. Ia diberi kolom surat kabar berjudul "Fujin no Sugao" (Potret Perempuan Terkenal), yang menampilkan profil perempuan-perempuan menikah yang terkenal di Jepang.
Motoko mengambil inisiatif untuk meliput cerita ini meskipun tidak ditugaskan secara langsung. Ia mewawancarai Nyonya Tani, istri dari Viscount Tani Kanjo, dan artikelnya segera meraih sukses besar. Setelah menerima banyak respons positif dari pembaca, Miki Zenpachi, presiden surat kabar tersebut, mempromosikannya menjadi reporter. Pada usia 24 tahun di tahun 1897, Hani Motoko menjadi jurnalis perempuan pertama di Jepang. Reputasinya sebagai reporter berkembang pesat karena ia meliput isu-isu sosial yang sering diabaikan, seperti perawatan anak dan panti asuhan. Dalam otobiografinya, ia menyebut dirinya sebagai "reporter surat kabar perempuan pertama".
2.2. Penekanan pada Peran Perempuan dan Gerakan Sosial
Sebagai seorang jurnalis pada tahun 1920-an, Hani Motoko berperan sebagai mediator antara dua gagasan yang saling berlawanan: satu mengklaim bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam segala aspek, sementara yang lain percaya bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ia berpendapat bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam lingkup domestik.
Motoko mempopulerkan nilai-nilai "ibu rumah tangga" ala Barat. Ia berkolaborasi dengan birokrat dalam mensponsori pameran peningkatan kehidupan sehari-hari dan juga memberikan ceramah. Karyanya menekankan cita-cita Kristen, kemandirian, harga diri, dan kebebasan pribadi.
Hani Motoko termasuk di antara beberapa pemimpin perempuan terkemuka, seperti Ichikawa Fusae, Yoshioka Yayoi, dan Takeuchi Shigeyo, yang bekerja sama dengan pemerintah Meiji untuk meningkatkan kehidupan perempuan di negara mereka. Seperti banyak aktivis lainnya, Hani memanfaatkan perang dengan Tiongkok pada tahun 1937 sebagai kesempatan untuk mengangkat posisi perempuan Jepang di dalam negara. Ia menggunakan dunia Barat sebagai kerangka acuan. Pengikut Hani Motoko, yang dipimpin oleh putrinya Setsuko, juga secara aktif membantu pemerintah pada masa perang dalam mendesak perempuan untuk berhemat dan "merasionalisasi" kehidupan sehari-hari mereka.
3. Kegiatan Penerbitan dan Pendidikan
Bersama suaminya, Hani Motoko mendirikan majalah Fujin no Tomo pada tahun 1908, yang berfokus pada kehidupan praktis perempuan dan mempopulerkan buku kas rumah tangga. Pasangan ini juga mendirikan Jiyu Gakuen pada tahun 1921, sebuah sekolah swasta inovatif untuk perempuan yang berlandaskan nilai-nilai kebebasan dan pendidikan kekeluargaan.

3.1. Majalah Fujin no Tomo dan Popularisasi Buku Kas Rumah Tangga
Pada tahun 1901, Hani Motoko menikah dengan Hani Yoshikazu, seorang rekan kerjanya. Tak lama setelah itu, ia mengundurkan diri dari Hochi Shinbun dan pindah ke Niigata mengikuti suaminya yang bekerja di Takada Shinbunsha. Pada tahun 1903, mereka bersama-sama meluncurkan majalah perempuan baru bernama Katei no Tomo (Sahabat Rumah Tangga). Majalah ini berisikan artikel-artikel mengenai kehidupan rumah tangga dan pendidikan anak.
Pada tahun 1904, Motoko menerbitkan buku kas rumah tangga (kakeibo) yang pertama. Kemudian, pada tahun 1908, mereka mengubah nama majalah Katei no Tomo menjadi Fujin no Tomo (Sahabat Perempuan) dan mendirikan Fujin no Tomosha sebagai penerbitnya. Majalah ini berfokus pada topik-topik praktis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari perempuan, seperti penganggaran rumah tangga, pendidikan anak, dan masalah sosial.
Pada tahun 1914, Fujin no Tomosha juga menerbitkan majalah anak-anak, Kodomo no Tomo, sebagai majalah saudari dari Fujin no Tomo. Namun, di bawah Undang-Undang Mobilisasi Nasional dan kendali Asosiasi Penerbit Jepang selama masa perang, Kodomo no Tomo terpaksa dihentikan publikasinya, hanya menyisakan Fujin no Tomo. Setelah perang, nama majalah ini kemudian dialihkan dan digunakan oleh Fukuinkan Shoten untuk majalah anak-anak mereka yang berjudul Kodomo no Tomo.
3.2. Pendirian Jiyu Gakuen
Pada tahun 1921, pasangan Hani mendirikan sebuah sekolah swasta untuk anak perempuan bernama Jiyu Gakuen di Mejiro, Tokyo (sekarang Nishi-Ikebukuro). Tujuan pendirian sekolah ini adalah untuk menyediakan pendidikan yang bersifat kekeluargaan bagi anak-anak pembaca majalah Fujin no Tomo. Nama sekolah, Jiyu Gakuen, berasal dari Perjanjian Baru, tepatnya Injil Yohanes 8:32 yang berbunyi: "Kebenaran akan memerdekakan kamu."
Pada saat pendiriannya, Frank Lloyd Wright, seorang arsitek terkenal, sedang berada di Jepang. Ia menunjukkan simpati terhadap konsep "sekolah keluarga" yang diusung oleh Hani dan secara aktif terlibat dalam merancang bangunan sekolah. Bangunan-bangunan hasil rancangannya ini kemudian ditetapkan sebagai Properti Budaya Penting Nasional dan dikenal sebagai Jiyu Gakuen Myonichikan, yang kini terbuka untuk umum.
Pada tahun 1925, karena peningkatan skala sekolah, Hani dan suaminya membeli lahan di Higashikurume, Tokyo, sebagai lokasi pembangunan sekolah baru. Mereka menjual tanah di sekitar lokasi tersebut kepada pihak-pihak terkait untuk membiayai pembangunan fasilitas sekolah baru dan kemudian memindahkan Jiyu Gakuen ke lokasi tersebut.
3.3. Pendirian Zenkoku Tomo no Kai
Pada tahun 1930, sebuah asosiasi pembaca majalah Fujin no Tomo didirikan secara nasional, bernama "Zenkoku Tomo no Kai" (Asosiasi Sahabat Nasional). Asosiasi ini bertujuan untuk mempertemukan para pembaca majalah, mempromosikan nilai-nilai yang diusung oleh Fujin no Tomo, dan mengadakan berbagai kegiatan sukarela di seluruh Jepang. Asosiasi ini masih aktif hingga tahun 1999.
4. Pemikiran dan Filosofi
Pemikiran dan filosofi Hani Motoko sangat dipengaruhi oleh iman Kristen non-gerejawi, yang membentuk pandangan progresifnya tentang perempuan dan pendidikan. Ia mengadvokasi kesetaraan perempuan dalam lingkup domestik dan mendirikan Jiyu Gakuen sebagai wujud komitmennya terhadap pendidikan yang memberdayakan individu dengan kemandirian dan kebebasan berpikir.
4.1. Iman Kristen dan Non-Gereja
Iman Kristen memiliki pengaruh yang mendalam terhadap kehidupan dan pemikiran Hani Motoko. Ia dibaptis sebagai seorang Kristen pada tahun 1890 dan tetap mempertahankan keyakinannya sepanjang hidupnya. Namun, ia mengambil posisi sebagai pengikut Kristen non-gereja (mukyoukai), yang berarti ia tidak berafiliasi dengan gereja atau denominasi tertentu. Meskipun demikian, nilai-nilai Kristen sangat ditekankan dalam karyanya, termasuk prinsip-prinsip kemandirian, harga diri, dan kebebasan pribadi.
4.2. Pandangan tentang Perempuan dan Filosofi Pendidikan
Hani Motoko memiliki pandangan yang unik dan seringkali bernuansa mengenai peran perempuan dalam masyarakat. Meskipun pemerintah Meiji mempromosikan ideal "istri yang baik, ibu yang bijaksana" (ryōsai kenbo) yang berfokus pada peran domestik perempuan, Motoko mencoba menjembatani antara gagasan kesetaraan perempuan dengan pandangan yang menganggap perempuan lebih rendah. Ia berargumen bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam lingkup domestik, dan ia mempopulerkan nilai-nilai "ibu rumah tangga" ala Barat yang efisien dan mandiri.
Filosofi pendidikannya, yang terwujud dalam pendirian Jiyu Gakuen, sangat mencerminkan keyakinannya pada kemandirian dan kebebasan. Sekolah-sekolah Kristen, tempat ia menempuh pendidikan tinggi, mempromosikan modernitas dan kemajuan status sosial perempuan, mempersiapkan mereka untuk peran kepemimpinan dalam masyarakat. Nama Jiyu Gakuen sendiri, yang berarti "Sekolah Kebebasan," diambil dari kutipan Injil Yohanes 8:32: "Kebenaran akan memerdekakan kamu." Ini menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan yang memberdayakan individu, khususnya perempuan, dengan pengetahuan dan kebebasan berpikir.
5. Kehidupan Pribadi
Kehidupan pribadi Hani Motoko ditandai oleh dua pernikahannya; yang pertama berakhir dengan perceraian yang menyakitkan namun membebaskan, dan yang kedua dengan Hani Yoshikazu menjadi fondasi kemitraan profesional yang sukses dalam bidang penerbitan dan pendidikan.
5.1. Kehidupan Pernikahan dan Keluarga
Hani Motoko menikah untuk pertama kalinya pada tahun 1892, namun pernikahan ini tidak berlangsung lama dan segera berakhir dengan perceraian. Menurut otobiografinya, ia menikah dengan tujuan menyelamatkan pria yang ia cintai dari gaya hidup yang dianggapnya vulgar; ia menikahinya untuk mengubahnya, tetapi upaya tersebut tidak berhasil. Ia merahasiakan perceraiannya dari keluarganya. Kegagalan pernikahannya sendiri adalah krisis emosional paling menyakitkan kedua dalam hidupnya, setelah perceraian orang tuanya yang juga menyakitkannya. Meskipun demikian, ia merasa terbebaskan oleh keputusannya untuk melepaskan diri dari ikatan emosi yang membelenggu, yang menurutnya telah membuat hidupnya tidak berarti oleh cinta yang egois dan profan dari orang lain.
Pada tahun 1901, ia menikah lagi dengan Hani Yoshikazu, seorang rekan kerjanya di Hochi Shinbun. Pernikahan kedua ini menjadi fondasi bagi kemitraan profesional yang sukses, di mana mereka bersama-sama mendirikan berbagai inisiatif penerbitan dan pendidikan yang penting, termasuk majalah Fujin no Tomo dan Jiyu Gakuen.
6. Karya-karya
Hani Motoko adalah seorang penulis produktif yang menghasilkan berbagai karya tulis sepanjang kariernya, mencakup topik-topik mulai dari kehidupan rumah tangga hingga pendidikan. Berikut adalah daftar beberapa karyanya yang terkenal:
- Katei Kowabana (Kisah-kisah Kecil Rumah Tangga) (1903)
- Ikuji no Shiori (Pedoman Membesarkan Anak) (1905)
- Ikani Kakei o Seiri Subeki ka (Bagaimana Seharusnya Mengatur Anggaran Rumah Tangga) (1906) - Ini adalah karya yang memperkenalkan buku kas rumah tangga (kakeibo).
- Neru no Yuuki (Keberanian Nell) (1907)
- Katei Mondai Meiryu Zadan (Diskusi Meja Bundar Tokoh Terkenal tentang Masalah Rumah Tangga) (1907)
- Katei Kyouiku no Jikken (Percobaan Pendidikan Rumah Tangga) (1908)
- Jochu Kun (Petunjuk untuk Pelayan Wanita) (1912)
- Akabo o Nakasezu ni Sodateru Hiketsu (Rahasia Membesarkan Bayi Tanpa Menangis) (1912)
Pada tahun 1928, ia menulis otobiografinya yang berjudul Speaking of Myself (Berbicara tentang Diriku). Penerbitan kumpulan karya Hani Motoko, Hani Motoko Sakuhin-shu, dimulai pada tahun 1927 oleh Fujin no Tomosha. Setelah perang, edisi revisi baru diterbitkan, terdiri dari 20 volume, dan kemudian ditambah satu volume sehingga menjadi 21 volume.
7. Kematian
Hani Motoko meninggal dunia pada tanggal 7 April 1957. Penyebab kematiannya adalah trombosis serebral yang kemudian diikuti oleh gagal jantung. Ia dimakamkan di Zoshigaya Reien (Pemakaman Zoshigaya).
8. Warisan dan Penilaian
Hani Motoko meninggalkan warisan yang signifikan bagi masyarakat Jepang, terutama dalam bidang jurnalisme dan pendidikan perempuan. Penilaian terhadap dirinya umumnya positif, meskipun ada beberapa kritik.
8.1. Penilaian Positif dan Kontribusi
Hani Motoko secara luas diakui sebagai jurnalis perempuan pertama di Jepang, sebuah peran pionir yang membuka jalan bagi perempuan lain di bidang media. Sebagai pendiri Fujin no Tomo, ia memberikan platform bagi perempuan untuk mendiskusikan isu-isu penting yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka dan mendorong peningkatan kualitas hidup. Kontribusinya dalam menemukan dan mempopulerkan buku kas rumah tangga (kakeibo) pertama di Jepang sangat monumental, memberdayakan perempuan dalam mengelola keuangan keluarga secara mandiri.
Bersama suaminya, ia mendirikan Jiyu Gakuen, sebuah institusi pendidikan swasta yang inovatif yang menekankan pendidikan holistik dan mandiri, serta diilhami oleh nilai-nilai Kristen. Ia juga mempromosikan konsep "ibu rumah tangga" ala Barat yang mandiri dan efisien, serta secara aktif berkolaborasi dalam pameran-pameran yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup sehari-hari. Karyanya selalu menekankan cita-cita Kristen, kemandirian, harga diri, dan kebebasan pribadi, yang secara signifikan berkontribusi pada pengembangan gerakan peningkatan kualitas hidup bagi perempuan di Jepang.
8.2. Kritik dan Kontroversi
Meskipun kontribusinya sangat besar, beberapa kritik muncul terkait aktivitas Hani Motoko, terutama yang berkaitan dengan masa perang. Selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua (1937), Hani Motoko menggunakan konflik tersebut sebagai kesempatan untuk mengangkat posisi perempuan Jepang dalam negara, dengan menggunakan dunia Barat sebagai kerangka acuan. Dalam konteks ini, ia dan para pengikutnya, yang dipimpin oleh putrinya Setsuko, secara aktif membantu pemerintah pada masa perang dalam mendesak perempuan untuk berhemat dan "merasionalisasi" kehidupan sehari-hari mereka. Kolaborasi ini, meskipun mungkin bermaksud baik untuk pemberdayaan perempuan, pada akhirnya mendukung upaya perang pemerintah, yang kemudian menjadi titik kontroversi dalam penilaian sejarah terhadapnya.
9. Keluarga dan Kerabat
Hani Motoko memiliki jaringan keluarga yang juga aktif dalam berbagai bidang, terutama di bidang pendidikan dan media.
- Suami: Hani Yoshikazu - Ia adalah editor-in-chief Hochi Shinbun, kemudian editor-in-chief Takada Shinbunsha, sebelum akhirnya bersama Motoko mendirikan Fujin no Tomosha. Di Jiyu Gakuen, ia menjabat sebagai kepala sekolah.
- Adik Perempuan: Chiba Kura - Pendiri Chiba Gakuen di Hachinohe, Prefektur Aomori.
- Adik Laki-laki: Matsuoka Masao - Ia menjabat sebagai presiden Keijo Nippo, Mainichi Shinpo, dan Jiji Shinpo. Putrinya adalah Matsuoka Yoko, seorang kritikus terkenal.
- Putri Sulung: Hani Setsuko - Ia menikah dengan Hani Goro, seorang sejarawan dan anggota Senat yang terlibat dalam pendirian Perpustakaan Diet Nasional.
- Putri Kedua: Hani Ryoko - Meninggal dunia pada usia muda karena sakit.
- Putri Ketiga: Hani Keiko - Ia tidak menikah sepanjang hidupnya. Setelah kematian orang tuanya, ia menjabat sebagai kepala sekolah kedua Jiyu Gakuen.
- Cucu: Hani Ritsuko (meninggal dunia pada masa kanak-kanak karena sakit). Tiga cucu lainnya yang tumbuh dewasa adalah Hani Susumu, Hani Kyoko, dan Hani Yuiko.
- Cicit: Hani Mio (seorang jurnalis) dan Hani Kanta (seorang aktivis lingkungan).