1. Overview
Itsuo Sonobe (園部逸夫Sonobe ItsuoBahasa Jepang, 1 April 1929 - 13 September 2024) adalah seorang yuris dan hakim asal Jepang yang terkenal karena kontribusinya dalam bidang hukum administrasi dan perannya sebagai Hakim Mahkamah Agung Jepang dari tahun 1989 hingga 1999. Lahir di Korea pada masa pendudukan Jepang, kehidupannya mencerminkan persimpangan sejarah dan perkembangan hukum Jepang pascaperang. Selama kariernya, Sonobe menunjukkan pendekatan yang progresif, terutama dalam diskusinya mengenai hak pilih lokal warga asing dan Undang-Undang Rumah Tangga Kekaisaran Jepang, di mana ia menyoroti perlunya pertimbangan terhadap dampak sejarah dan konteks sosial. Meskipun beberapa pernyataannya, khususnya tentang "pertimbangan politik" dalam putusan pengadilan, menuai kritik, ia secara konsisten memperjuangkan peninjauan kembali interpretasi hukum seiring perubahan zaman, mencerminkan pandangan yang berorientasi pada keadilan sosial dan hak asasi manusia. Ia wafat pada usia 95 tahun.
2. Kehidupan dan Latar Belakang
Itsuo Sonobe memiliki latar belakang pribadi yang unik, terbentuk dari pengalaman masa kecilnya di luar Jepang, pendidikan yang beragam, dan keterlibatannya dalam dinas militer selama Perang Pasifik, yang semuanya membentuk fondasi kariernya yang cemerlang di dunia hukum dan akademis.
2.1. Masa Kecil dan Pendidikan
Itsuo Sonobe lahir pada tanggal 1 April 1929, di Korea yang saat itu berada di bawah pendudukan Jepang. Keluarganya telah tinggal di Korea selama beberapa generasi, dengan kakeknya bekerja sebagai panitera pengadilan. Nama "Itsuo" diberikan karena kelahirannya terjadi saat ayahnya sedang belajar di Jerman. Pada tahun 1936, ia pindah ke Taipei ketika ayahnya, seorang ahli hukum administrasi, diangkat sebagai profesor di Universitas Kekaisaran Taipei.
Ia menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Taipei Pertama (旧制台北一中Kyūsei Taihoku Ichi-chūBahasa Jepang) dan Sekolah Menengah Atas Taipei (旧制台北高校Kyūsei Taihoku KōkōBahasa Jepang). Setelah berakhirnya Perang Dunia II, ia kembali ke Jepang dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Keempat (旧制第四高等学校Kyūsei Daiyon Kōtō GakkōBahasa Jepang) di Kanazawa, sebelum akhirnya lulus dari Fakultas Hukum Universitas Kyoto.
Sesaat sebelum masuk Sekolah Menengah Atas Taipei, pada tanggal 20 Maret 1945, ia menjalani wajib militer sebagai prajurit kelas dua di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang Angkatan Darat Wilayah ke-10 melalui mobilisasi keamanan. Meskipun ia selamat dari Pengeboman udara Taipei pada 31 Mei 1945, ia tidak mengalami pertempuran darat yang signifikan dan diberhentikan setelah perang berakhir. Di kemudian hari, sebagai seorang hakim, ia mencoba meneliti dasar hukum mobilisasi keamanan tersebut karena ia tidak ingat pernah mengajukan diri untuk wajib militer di bawah usia 17 tahun, namun ia tidak menemukan kejelasan. Pengalaman ini sangat memengaruhi pandangannya terhadap hak asasi manusia dan keadilan.
2.2. Karier Akademik dan Awal di Dunia Hukum
Sonobe mengkhususkan diri dalam hukum administrasi, mengikuti jejak ayahnya. Di Universitas Kyoto, ia belajar di bawah bimbingan Profesor Shuichi Sugai. Pada tahun 1954, setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Kyoto, ia menjadi lektor di fakultas tersebut dan naik menjadi lektor pada tahun 1956. Pada tahun 1959, ia melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Hukum Universitas Columbia di Amerika Serikat. Setelah kembali ke Jepang pada tahun 1967, ia memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum (法学博士Hōgaku HakushiBahasa Jepang) dari Universitas Kyoto dengan disertasi berjudul "Teori Hukum Prosedur Administratif" (行政手続の法理Gyōsei Tetsuzuki no HōriBahasa Jepang).
Pada tahun 1970, Sonobe diangkat sebagai hakim di Pengadilan Distrik Tokyo, menjadi salah satu dari sedikit hakim yang diangkat tanpa melalui ujian yudisial dan pelatihan hukum standar. Ini menunjukkan pengakuan atas keahlian akademis dan pemahaman mendalamnya terhadap hukum. Ia kemudian menjabat sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Tokyo pada tahun 1975, diikuti dengan jabatan di Pengadilan Distrik Maebashi. Pada tahun 1978, ia menjadi penyelidik di Mahkamah Agung Jepang, lalu naik menjadi penyelidik senior (urusan administrasi) pada tahun 1981, dan menjabat sebagai hakim ketua di Pengadilan Distrik Tokyo pada tahun 1983.
2.3. Kegiatan sebagai Profesor Universitas
Setelah masa jabatannya sebagai hakim, Itsuo Sonobe kembali ke dunia akademis. Pada tahun 1985, ia menjadi profesor di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Tsukuba, dan setahun kemudian, ia menjabat sebagai kepala fakultas pertamanya. Pada tahun 1987, ia kemudian diangkat sebagai profesor di Fakultas Hukum, Universitas Seikei. Selama masa jabatannya sebagai profesor, ia berkontribusi signifikan dalam pendidikan hukum dan pengembangan pemikiran hukum, khususnya di bidang hukum administrasi.
3. Masa Jabatan sebagai Hakim Mahkamah Agung
Masa jabatan Itsuo Sonobe sebagai Hakim Mahkamah Agung adalah periode penting dalam kariernya, ditandai dengan pengangkatannya yang bersejarah dan keterlibatannya dalam kasus-kasus signifikan yang memengaruhi sistem hukum Jepang.
3.1. Pengangkatan dan Masa Jabatan
Itsuo Sonobe diangkat sebagai Hakim Mahkamah Agung Jepang pada tanggal 21 September 1989. Pengangkatannya ini memiliki makna simbolis yang signifikan, karena ia adalah Hakim Mahkamah Agung pertama yang ditunjuk pada Era Heisei dan juga hakim pertama yang lahir pada Era Showa. Sepanjang masa jabatannya, ia dipercaya oleh publik, sebagaimana tercermin dalam Ulasan Nasional Hakim Mahkamah Agung Jepang tahun 1990 pada tanggal 18 Februari 1990, di mana hanya 6.882.349 suara (11,48%) yang mendukung pemecatannya, menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi. Ia menjabat sebagai Hakim Mahkamah Agung hingga tanggal 31 Maret 1999, ketika ia pensiun karena batas usia.
4. Aktivitas Pasca Pensiun
Setelah pensiun dari Mahkamah Agung, Itsuo Sonobe tetap aktif di berbagai bidang hukum dan publik, melanjutkan kontribusinya pada masyarakat dan sistem hukum Jepang.
4.1. Karier sebagai Pengacara dan Konsultan
Setelah pensiun sebagai Hakim Mahkamah Agung pada bulan Maret 1999, Itsuo Sonobe segera mendaftarkan diri sebagai pengacara pada bulan April 1999. Pada bulan Juni tahun yang sama, ia diangkat sebagai auditor di Sumitomo Corporation. Kontribusi penting lainnya adalah perannya sebagai penasihat (yang bertanggung jawab atas inspeksi dan audit) di Kementerian Luar Negeri Jepang mulai September 2001. Sejak tahun 2009, ia juga menjabat sebagai pengacara tamu di Kantor Hukum dan Ekonomi Toranomon. Pada tanggal 1 Juli 2014, ia menjadi konsultan di Kantor Hukum Umum Nagoya. Peran-peran ini menunjukkan komitmennya yang berkelanjutan terhadap bidang hukum dan layanan publik, melampaui karier yudisialnya.
4.2. Keterlibatan dalam Diskusi Undang-Undang Rumah Tangga Kekaisaran
Salah satu peran paling menonjol Itsuo Sonobe setelah pensiun adalah keterlibatannya dalam diskusi mengenai Undang-Undang Rumah Tangga Kekaisaran Jepang. Pada bulan Desember 2004, ia diangkat sebagai wakil ketua panel ahli mengenai Undang-Undang Rumah Tangga Kekaisaran di bawah Kabinet Koizumi. Panel ini menyusun laporan pada bulan November 2005 yang mengizinkan Kaisar wanita dan suksesi matrilineal, sebuah langkah progresif yang mendukung modernisasi sistem kekaisaran. Kemudian, pada bulan Januari 2012, ia diangkat sebagai penasihat Kabinet yang bertanggung jawab atas peninjauan "Putri Kekaisaran Wanita" di bawah pemerintahan Kabinet Noda dari Partai Demokrat Jepang.
Meskipun ia adalah tokoh kunci di balik laporan yang mendukung kaisar wanita dan suksesi matrilineal, dalam wawancara pada tahun 2019 menjelang akhir hayatnya, ia menyatakan bahwa "akan lebih baik jika Putri Aiko menjadi Kaisar," namun menambahkan bahwa "mengangkat isu kaisar wanita sekarang tidaklah realistis. Sulit bagi Putri Aiko untuk menjadi Kaisar." Ia juga menyoroti masalah yang mungkin timbul terkait pasangan untuk kaisar wanita. Pandangan ini menunjukkan pemikiran yang matang dan pragmatis, yang mempertimbangkan tidak hanya prinsip hukum tetapi juga realitas sosial dan politik yang ada.
5. Kontroversi Pengadilan Hak Pilih Lokal Warga Asing dan 'Obiter Dictum'
Salah satu kontroversi paling menonjol selama masa jabatan Itsuo Sonobe sebagai Hakim Mahkamah Agung adalah terkait putusan pengadilan mengenai hak pilih lokal warga asing dan interpretasinya mengenai "obiter dictum". Kasus ini menyoroti kompleksitas hukum, politik, dan isu hak asasi manusia di Jepang.
5.1. Latar Belakang dan Isi Putusan Mahkamah Agung Tahun 1995
Pada tanggal 28 Februari 1995, Mahkamah Agung Jepang melalui Majelis Rendah Ketiga mengeluarkan putusan terkait hak pilih lokal warga asing. Mahkamah Agung menolak banding yang diajukan oleh para penggugat yang berargumen untuk hak pilih warga asing. Namun, dalam alasan putusan tersebut, terdapat sebuah bagian yang menjadi sangat kontroversial, yaitu paragraf kedua. Bagian ini menyatakan bahwa "Konstitusi tidak melarang pemberian hak pilih lokal kepada warga asing permanen yang telah memiliki hubungan yang sangat erat dengan entitas pemerintah daerah di wilayah tempat tinggal mereka melalui undang-undang."
Bagian ini kemudian dikenal sebagai "obiter dictum" (pernyataan sampingan) oleh para pendukung gerakan hak pilih warga asing dan pihak yang pro-pemberian hak pilih. Mereka menganggapnya sebagai landasan konstitusional untuk memberikan hak pilih tersebut. Teori yang diterapkan dalam putusan ini sering disebut sebagai "teori izin parsial," yang mengindikasikan bahwa Konstitusi tidak secara mutlak melarang hak pilih bagi warga asing dalam kondisi tertentu. Meskipun putusan pengadilan utama menolak klaim hak pilih, bagian "obiter dictum" ini dianggap memberikan harapan bagi perubahan legislatif di masa depan. Dalam sistem hukum, "preseden" memiliki kekuatan mengikat pada putusan-putusan berikutnya, sementara "obiter dictum" tidak memiliki kekuatan mengikat seperti preseden.
5.2. Pandangannya tentang Interpretasi 'Obiter Dictum'
Itsuo Sonobe sendiri memiliki pandangan yang berbeda mengenai status paragraf kedua dalam putusan tahun 1995 tersebut. Dalam esainya tahun 2001, ia menyatakan bahwa meskipun banyak yang memahami paragraf pertama sebagai prinsip preseden hukum dan paragraf kedua sebagai "obiter dictum", atau justru menekankan paragraf kedua, secara akurat, hanya paragraf ketiga yang merupakan prinsip preseden hukum. Menurut Sonobe, paragraf pertama dan kedua hanyalah penjelasan alasan untuk sampai pada prinsip preseden hukum dalam putusan tersebut. Ia mengkritik interpretasi yang secara tidak akurat menggambarkan teori dan cakupan preseden, terutama ketika digunakan oleh pihak yang ingin memanfaatkan atau mengkritik putusan.
Ia juga menjelaskan bahwa di pengadilan Jepang, putusan dapat dibagi menjadi ringkasan putusan dan bagian lainnya, tetapi tidak ada pembagian antara "prinsip preseden hukum" dan "obiter dictum". Dalam pengalaman Sonobe, di Mahkamah Agung, opini yang bersifat "obiter dictum" biasanya diserahkan kepada opini individu hakim atau komentar penyidik Mahkamah Agung. Pandangan ini bertentangan dengan banyak ahli hukum yang menganggap paragraf kedua tersebut sebagai "obiter dictum", termasuk dalam komentar penyidik Mahkamah Agung pada putusan terpisah tahun 2005 dan berbagai jurnal hukum.
Dalam esainya tahun 2007, Sonobe lebih lanjut menguraikan bahwa putusan tahun 1995 terbagi menjadi tiga bagian:
- Pertama, Konstitusi Jepang Pasal 93 tidak menjamin hak memilih bagi warga asing.
- Kedua, meskipun Konstitusi tidak melarang pemberian hak memilih kepada warga asing permanen yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah daerah tempat tinggal mereka, ini adalah masalah kebijakan legislatif negara, dan ketiadaan tindakan tidak menimbulkan masalah inkonstitusionalitas.
- Ketiga, ketentuan Hukum Otonomi Daerah Pasal 11, 18, dan Hukum Pemilihan Umum Pasal 9 ayat 2 yang membatasi hak memilih hanya untuk warga negara Jepang tidaklah inkonstitusional.
Sonobe menegaskan bahwa hanya bagian ketiga yang merupakan preseden hukum, sementara bagian pertama dan kedua hanyalah alasan untuk mencapai preseden tersebut. Ia menyebut bahwa pandangan yang menganggap bagian pertama sebagai preseden, atau bagian kedua sebagai "obiter dictum" atau opini minoritas, atau bahkan yang menekankan bagian kedua, hanyalah "kritik subjektif" dan "pendapat awam" yang terpisah dari dunia hukum dalam hal evaluasi preseden.
5.3. Wawancara Pers dan Pernyataan 'Pertimbangan Politik'
Itsuo Sonobe memberikan wawasan lebih lanjut mengenai motif di balik penyertaan bagian "obiter dictum" yang kontroversial dalam beberapa wawancara.
Dalam wawancara dengan Asahi Shimbun pada tahun 1999, ia menjelaskan bahwa motif untuk menyertakan bagian "obiter dictum" (paragraf kedua) adalah untuk merujuk pada situasi di mana "Jepang dulunya menjajah dan mendiskriminasi orang-orang, dan situasi diskriminasi tersebut masih terjadi hingga kini." Ia mengacu pada kasus pengadilan kompensasi bagi penduduk Taiwan dan ahli waris mereka yang terluka atau meninggal sebagai prajurit atau personel militer Jepang, namun ditolak kompensasi karena tidak memiliki kewarganegaraan Jepang. Sonobe merasa sangat terketuk oleh kasus tersebut berdasarkan pengalamannya sendiri. Oleh karena itu, dalam putusan Mahkamah Agung tahun 1995, ia merasa "harus menuliskan bahwa situasi yang timbul akibat penerapan klausul kewarganegaraan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum, dan bahwa solusi fundamental hanya dapat dicapai melalui upaya lebih lanjut dari pihak-pihak yang terlibat dalam urusan negara."
Ia melanjutkan bahwa "perasaan ini" juga tercermin dalam putusan pengadilan hak pilih, yang menyatakan bahwa "pemberian hak memilih kepada warga asing permanen untuk kepala daerah dan anggota dewan pemerintah daerah tidak dilarang secara konstitusional." Sonobe juga menjelaskan bahwa banyak orang Korea di Jepang yang dibawa secara paksa selama perang dan tidak bisa kembali ke tanah air mereka, dan permintaan untuk "naturalisasi saja" adalah kata-kata yang keras bagi mereka. Ia merasa bahwa kini ada waktu untuk secara perlahan mengakui masalah ini, di mana bahkan di parlemen pun muncul pendapat untuk memberikan hak pilih lokal kepada mereka. Ia juga menegaskan bahwa sebagai pengadilan, ada batasan untuk tidak dapat mengambil keputusan kebijakan yang proaktif hingga membatalkan perjanjian antarpemerintah yang sudah ada. Namun, melalui "obiter dictum", pengadilan dapat menyatakan harapan untuk respons yang cepat dari pemerintah dan legislatif.
Dalam wawancara dengan Sankei Shimbun pada tanggal 19 Februari 2010, Sonobe lebih jauh menyatakan tentang putusan paragraf kedua yang disebut "obiter dictum" tersebut: "Bahkan orang Korea yang meninggalkan tanah air mereka dan hidup bersama orang Jepang, belajar bahasa, dan membayar pajak. Tidaklah buruk untuk memberikan hak pilih yang sangat terbatas kepada penduduk tetap yang memiliki hubungan sangat erat dengan suatu wilayah tertentu. Tidak dapat dikatakan sama sekali inkonstitusional dari sudut pandang asas otonomi daerah."
Ia kemudian mengakui adanya "pertimbangan politik" (政治的配慮seijiteki hairyoBahasa Jepang) dalam putusan tersebut: "Ada masa di mana kebencian dan kepahitan dari orang-orang yang dibawa secara paksa dari Korea dan Joseon sangat kuat. Ini memiliki arti menenangkan mereka. Akan sulit jika Mahkamah Agung Jepang dikatakan sama sekali tidak memikirkan Korea. Di sana ada pertimbangan politik." Pernyataan ini menuai kritik tajam dari Yukio Edano, Menteri Penanggung Jawab Reformasi Administratif saat itu, yang menyatakan bahwa "seorang Hakim Mahkamah Agung memutuskan berdasarkan hukum, fakta, dan hati nurani, bukan berdasarkan pertimbangan politik, yang merupakan tindakan yang tidak pantas bagi seorang Hakim Mahkamah Agung."
Sonobe juga menyatakan bahwa meskipun putusan tersebut tidak secara eksplisit menyebut "warga Korea di Jepang", ia tidak dapat menulisnya demikian dalam putusan Mahkamah Agung. Ia menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk "menyoroti bagian yang sangat terbatas, yang dipenuhi dendam sejarah, meskipun itu tidak berlaku di tempat lain." Ia percaya bahwa "penting untuk menjaga hal itu sangat terbatas." Ia juga menyatakan bahwa "Mahkamah Agung tidak menganggap putusan sebagai sesuatu yang mutlak dan tidak dapat diubah." Ia menyiratkan bahwa putusan dapat ditinjau kembali seiring perubahan zaman.
Mengenai rancangan undang-undang Partai Demokrat Jepang yang mengusulkan pemberian hak pilih lokal tidak hanya kepada penduduk tetap khusus tetapi juga kepada penduduk tetap umum, Sonobe dengan tegas menyatakan: "Tidak mungkin." Ia menambahkan: "Saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk segera memberikan hak pilih. Putusan itu hal yang menakutkan, ia berjalan sendiri atau digerakkan oleh orang lain." Ia juga mengatakan bahwa jika "obiter dictum" ini di masa depan mengarah pada pengakuan hak pilih warga asing permanen karena situasi politik, "itu harus sangat terbatas, dalam situasi sejarah tertentu. Jika dibuka secara luas, itu akan berakhir." Ia juga tidak setuju jika pemerintah yang mengajukan RUU tersebut, bukan legislatif, karena "ini adalah kebijakan nasional, masalah diplomasi, dan masalah hubungan internasional."
6. Karya Utama
Itsuo Sonobe telah menulis sejumlah buku dan esai hukum yang signifikan, terutama dalam bidang hukum administrasi dan sistem kekaisaran.
- Teori Hukum Prosedur Administratif (行政手続の法理Gyōsei Tetsuzuki no HōriBahasa Jepang), Yuhikaku, 1969
- Prospek Hukum Administrasi Kontemporer (現代行政法の展望Gendai Gyōsei Hō no TenbōBahasa Jepang), Nihon Hyoron-sha, 1969
- Pengembangan Hukum Hubungan Buruh-Manajemen Pegawai Negeri Sipil: Situasi di Amerika dan Kanada (公務員労使関係法の展開 アメリカとカナダの現状Kōmuin Rōshi Kankei Hō no Tenkai Amerika to Kanada no GenjōBahasa Jepang), bersama Masahiro Kuwahara, Yushindo, 1973
- Administrasi Kontemporer dan Litigasi Administratif (現代行政と行政訴訟Gendai Gyōsei to Gyōsei SoshōBahasa Jepang), Gyosei Sosho Kenkyu Sosho, Kobundo, 1987
- Kuliah Hukum Administrasi Yudisial (裁判行政法講話Saiban Gyōsei Hō KōwaBahasa Jepang), Nihon Hyoron-sha, 1988
- Hukum Ombudsman (オンブズマン法Onbuzuman HōBahasa Jepang), Gyoseiho Kenkyu Sosho, Kobundo, 1989 (Edisi tambahan 1992, Edisi baru bersama Shigeru Edane, 1997)
- Hukum Administrasi Jepang (日本の行政法Nihon no Gyōsei HōBahasa Jepang), bersama Shuichi Sugai, Gyosei, 1999
- Pesan untuk Dunia Peradilan Abad ke-21! Masa Depan Peradilan (21世紀の司法界に告ぐ! 司法の近未来Nijūisseiki no Shihōkai ni Tsugu! Shihō no KinmiraiBahasa Jepang), bersama Kaoru Yamashita dan Masaaki Maeda, Gyosei, 2000
- Sepuluh Tahun di Mahkamah Agung: Apa yang Saya Lihat dan Pikirkan (最高裁判所十年 私の見たこと考えたことSaikō Saibansho Jūnen Watashi no Mita Koto Kangaeta KotoBahasa Jepang), Yuhikaku, 2001
- Garis Besar Hukum Kekaisaran: Teori dan Penerapan Sistem Kekaisaran (皇室法概論 皇室制度の法理と運用Kōshitsu Hō Gairon Kōshitsu Seido no Hōri to Un'yōBahasa Jepang), Daiichi Hoki Shuppan, 2002 (Edisi cetak ulang baru 2016)
- Memikirkan Sistem Kekaisaran (皇室制度を考えるKōshitsu Seido o KangaeruBahasa Jepang), Chuokoron-Shinsha, 2007
- Pengantar Hukum Kekaisaran (皇室法入門Kōshitsu Hō NyūmonBahasa Jepang), Chikuma Shobo "Chikuma Shinsho", 2020 (juga diterbitkan dalam bentuk elektronik)
6.1. Karya Kolektif untuk Menghormati Dirinya
- Peradilan Konstitusional dan Litigasi Administratif: Peringatan Ulang Tahun ke-70 Profesor Itsuo Sonobe (憲法裁判と行政訴訟 園部逸夫先生古稀記念Kenpō Saiban to Gyōsei Soshō Sonobe Itsuo Sensei Koki KinenBahasa Jepang), diedit oleh Koji Sato dan Keiji Kiyonaga, Yuhikaku, 1999.
7. Jabatan Publik Lain dan Penghargaan
Di luar karier utamanya sebagai hakim dan profesor, Itsuo Sonobe juga memegang berbagai jabatan publik dan swasta, serta menerima penghargaan atas kontribusinya yang luar biasa.
7.1. Jabatan Lainnya
Selain jabatannya di Mahkamah Agung dan peran akademisnya, Itsuo Sonobe juga aktif dalam berbagai organisasi dan yayasan. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Gout (公益財団法人痛風財団Kōeki Zaidan Hōjin Tsūfū ZaidanBahasa Jepang), Ketua Asosiasi Taiwan (財団法人台湾協会Zaidan Hōjin Taiwan KyōkaiBahasa Jepang), Wakil Ketua Yayasan Beasiswa Hukum Senga (公益財団法人千賀法曹育英会Kōeki Zaidan Hōjin Senga Hōsō IkueikaiBahasa Jepang), dan Ketua Asosiasi Promosi Ryoka Jepang (日本寮歌振興会Nihon Ryōka ShinkōkaiBahasa Jepang). Keterlibatannya dalam berbagai peran ini menunjukkan jangkauan luas minat dan kontribusinya di berbagai sektor masyarakat.
7.2. Penghargaan
Pada bulan November 2001, Itsuo Sonobe menerima penghargaan bergengsi, yaitu Grand Cordon of the Order of the Sacred Treasure (勲一等瑞宝章Kun'ittō ZuihōshōBahasa Jepang). Penghargaan ini adalah salah satu kehormatan tertinggi di Jepang yang diberikan kepada individu atas jasa-jasa luar biasa dalam pelayanan publik atau pencapaian signifikan lainnya.
8. Kematian
Itsuo Sonobe meninggal dunia pada tanggal 13 September 2024, di usia 95 tahun. Sebagai pengakuan atas jasa-jasanya, ia secara anumerta dianugerahi pangkat kehormatan Shōsanmi (正三位ShōsanmiBahasa Jepang), yang merupakan salah satu peringkat tertinggi dalam sistem peringkat istana Jepang.