1. Gambaran Umum
Louis V (sekitar 966 atau 967 - 21 Mei 987), yang juga dikenal dengan julukan Louis si Pemalas (Louis le FainéantLouis si PemalasBahasa Prancis, qui nihil fecityang tidak berbuat apa-apaBahasa Latin, atau kadang "Si Penjaga" / "Si Malas"), adalah raja terakhir dari Dinasti Karoling di Francia Barat. Ia memerintah sebagai raja bersama ayahnya, Lothair, sejak tahun 979 hingga Lothair meninggal pada tahun 986, kemudian menjadi penguasa tunggal hingga kematian dininya pada tahun 987. Masa pemerintahannya, yang berlangsung sangat singkat dan lemah, ditandai oleh dominasi para bangsawan yang secara efektif menguasai negara. Kematian Louis V tanpa meninggalkan ahli waris sah pada usia sekitar 20 tahun secara historis sangat signifikan, karena peristiwa ini menandai berakhirnya Wangsa Karoling yang telah berkuasa selama berabad-abad dan dimulainya Dinasti Kapetia melalui pemilihan Hugh Capet sebagai raja baru.
2. Kehidupan
Kehidupan Louis V ditandai oleh peran yang tidak selalu menonjol di tengah dinamika politik kerajaan Francia Barat yang kompleks, mulai dari masa mudanya sebagai raja bersama hingga pernikahannya yang problematis dan masa pemerintahannya yang singkat sebagai penguasa tunggal.
2.1. Masa Muda dan Penobatan sebagai Raja Bersama
Louis V lahir sekitar tahun 966 atau 967. Ia adalah putra tertua Raja Lothair, penguasa Karoling di Prancis, dan Ratu Emma, yang merupakan putri dari Raja Lothair II dari Italia dan Permaisuri Adelheid. Silsilah keluarganya menghubungkannya dengan Wangsa Ottonian melalui nenek buyut dari pihak ibu, Adelheid dari Bourgogne, yang kemudian menikah lagi dengan Otto I. Meskipun ada hubungan kekerabatan yang kompleks, hubungan antara Wangsa Karoling dan Wangsa Ottonian seringkali tidak baik. Louis memiliki saudara kandung, termasuk Odo dari Reims (yang juga seorang bangsawan dengan gelar Comte), dan Arnulf dari Reims, yang kemudian menjadi Uskup Agung Reims.
Pada tahun 978, Louis V mulai diikutsertakan dalam pemerintahan oleh ayahnya. Puncaknya, ia dinobatkan sebagai raja bersama pada 8 Juni 979 dalam sebuah upacara di Biara Saint-Corneille di Compiègne. Upacara penobatan ini dipimpin oleh Uskup Agung Adalberon dari Reims. Meskipun dinobatkan sebagai raja bersama, Louis V pada awalnya tidak memiliki kekuasaan yang sesungguhnya. Ia baru memegang kekuasaan penuh setelah kematian ayahnya pada tahun 986.
2.2. Pernikahan dan Dampaknya
Pada tahun 982, Louis V, yang saat itu berusia lima belas tahun, dinikahkan dengan Adelaide-Blanche dari Anjou di Vieille-Brioude, Haute-Loire. Adelaide-Blanche sendiri berusia empat puluh tahun, kakak dari Comte Geoffrey I dan telah menjanda dua kali dari pernikahan sebelumnya dengan Stephen dari Gévaudan dan Comte Raymond dari Toulouse, Pangeran Gothia.
Pernikahan ini murni bersifat politis dan diatur oleh Raja Lothair, atas saran Ratu Emma dan Comte Geoffrey I. Tujuannya ganda: memulihkan kekuasaan kerajaan Karoling di selatan kerajaan dan mendapatkan dukungan dari para bangsawan lokal di selatan dalam perjuangannya melawan Wangsa Robertian, yang diyakini Lothair dapat menghadapi kekuatan Hugh Capet. Segera setelah pernikahan, Louis dan Adelaide-Blanche dinobatkan sebagai Raja dan Ratu Aquitaine oleh saudara Adelaide, Uskup Guy dari Le Puy.
Namun, sejak awal, pasangan ini tidak dapat hidup bersama dengan damai. Ketidakcocokan ini bukan hanya karena perbedaan usia yang mencolok, tetapi juga karena perilaku Louis yang dilaporkan sering berselingkuh dan cenderung sembrono, seperti yang dicatat oleh sejarawan Richerus:
::"Mereka hampir tidak memiliki cinta suami-istri; karena Louis baru saja mencapai masa pubertas, dan Adelaide sudah tua, hanya ada ketidakcocokan dan perselisihan di antara mereka. Mereka tidak berbagi kamar tidur bersama karena mereka tidak tahan; ketika mereka harus bepergian, masing-masing mengambil tempat tinggal terpisah, dan ketika mereka terpaksa berbicara, percakapan mereka berlangsung di udara terbuka dan tidak pernah lama, hanya berlangsung untuk beberapa kata. Mereka hidup dengan cara ini selama dua tahun, hingga mereka memperoleh perceraian karena karakter mereka yang berlawanan."
Rodulfus Glaber juga mencatat bahwa pada tahun 984, setelah dua tahun pernikahan tanpa anak, Adelaide menipu suaminya yang muda untuk melakukan kunjungan ke Aquitaine. Setelah sampai di sana, Adelaide meninggalkannya dan kembali ke keluarganya, dan tak lama kemudian menikah dengan Comte William I dari Provence. Peristiwa ini secara signifikan merusak reputasi Louis V di kalangan bangsawan.
Meskipun pernikahan ini dicatat oleh berbagai sumber kontemporer dan kemudian, seperti Richerus, Rodulfus Glaber, Chronicon Andegavensi, dan Kronik Saint-Maxence, keberadaan pernikahan ini baru-baru ini dipertanyakan oleh sejarawan Carlrichard Brülh.
2.3. Pemerintahan Tunggal dan Situasi Politik
Setelah kematian ayahnya, Lothair, pada 2 Maret 986, Louis V yang telah dinobatkan sebelumnya secara tak terbantahkan menjadi raja Franka. Namun, pada saat itu, istana Franka terpecah menjadi dua faksi utama. Faksi pertama, dipimpin oleh Uskup Agung Adalberon dari Reims dan Ratu Emma, sangat dipengaruhi oleh Permaisuri Adelheid dan menginginkan pembaruan hubungan persahabatan dengan Wangsa Ottonian. Faksi kedua, yang dikenal sebagai Partai Anti-Ottonian, ingin melanjutkan kebijakan ekspansi Lothair ke timur dan merebut kembali Lotharingia, dengan memanfaatkan masa minoritas Kaisar Otto III.
Louis V mewarisi pertarungan panjang antara garis keturunan raja-raja Karoling yang terpilih (yang sempat terputus dua kali oleh Wangsa Robertian dan sekali oleh Wangsa Bosonid) dan Wangsa Ottonian dari Otto I. Sebagai pembela Roma, Otto I memiliki kekuatan untuk menunjuk ulama di wilayah Karoling, dan para ulama yang ia tunjuk seringkali tidak mendukung Wangsa Karoling.
Pada awalnya, Ratu Emma mendominasi situasi politik. Namun, pada musim panas 986, terjadi pembalikan kekuasaan: Partai Anti-Ottonian berhasil menguasai istana. Akibatnya, Ratu Emma dipaksa meninggalkan istana dan mencari perlindungan kepada Hugh Capet. Peristiwa ini juga menempatkan Adalberon dalam posisi sulit. Sebagai uskup agung Reims yang kuat, yang jabatannya diangkat oleh Otto I, ia terpaksa meninggalkan tahta keuskupannya dan berlindung di salah satu bentengnya di sungai Meuse, yang merupakan bagian dari wilayah pengaruh Ottonian.
Pelarian Uskup Agung Adalberon dianggap sebagai pengkhianatan oleh Louis V. Ia secara keras menentang Adalberon dan mengancam akan mengepung Reims. Masalah ini rencananya akan diselesaikan di pengadilan istana di Compiègne. Namun, sebelum pertemuan ini terjadi, Louis V berubah pikiran dan mencari rekonsiliasi dengan Adalberon. Pada musim semi 987, ia bahkan merencanakan pertemuan damai dengan Permaisuri Theophanu, yang bertindak atas nama putranya, Kaisar Otto III.
3. Kematian dan Suksesi Takhta
Sebelum semua konflik politik yang rumit ini dapat diselesaikan, Louis V meninggal dunia pada 21 Mei 987. Kematiannya terjadi secara mendadak akibat kecelakaan saat berburu di Hutan Halatte, dekat kota Senlis di wilayah Oise. Ia dimakamkan di Biara Saint-Corneille di Compiègne, tempat ia pernah dinobatkan sebagai raja bersama. Louis V meninggal pada usia sekitar 20 tahun.
Kematian Louis V menjadi titik balik krusial dalam sejarah Prancis karena ia tidak meninggalkan ahli waris sah. Ini berarti bahwa tidak ada lagi garis keturunan langsung dari Dinasti Karoling yang dapat mengklaim takhta. Pamannya, Charles, Adipati Lorraine Hilir, dinominasikan sebagai penerus takhta berdasarkan hak waris. Namun, Charles kurang populer di kalangan bangsawan Prancis dan hubungannya dengan Raja Lothair yang sebelumnya juga tidak baik.
Para ulama berpengaruh, termasuk Uskup Agung Adalberon dan Gerbert (yang kemudian menjadi Paus Silvester II), dengan fasih mendukung pemilihan Hugh Capet. Argumen mereka didasarkan pada kenyataan bahwa Hugh Capet tidak hanya berasal dari garis keturunan bangsawan kerajaan, tetapi juga telah membuktikan dirinya melalui tindakan dan kekuatan militernya yang kuat. Dalam waktu dua bulan setelah kematian Louis V, Hugh Capet terpilih menjadi raja Franka dan dimahkotai oleh Adalberon.
Dengan demikian, pemerintahan Dinasti Karoling secara resmi berakhir, dan era Dinasti Kapetia pun dimulai. Peristiwa ini juga sering dianggap sebagai momen ketika Francia Barat mulai bertransformasi menjadi Kerajaan Prancis.
4. Silsilah Keluarga
Louis V adalah anggota dari Wangsa Karoling yang berkuasa di Francia Barat. Berikut adalah silsilah keluarga dekatnya:
- Ayah**: Lothair dari Prancis (940-986), Raja Francia Barat.
- Ibu**: Emma dari Italia (meninggal 986), putri dari Raja Lothair II dari Italia dan Permaisuri Adelheid.
- Kakek Paternal**: Louis IV dari Prancis (920-954), Raja Francia Barat.
- Nenek Paternal**: Gerberga dari Sachsen (sekitar 913/914 - 968/969).
- Kakek Maternal**: Lotario II dari Italia (sekitar 920 - 950), Raja Italia.
- Nenek Maternal**: Adelheid dari Bourgogne (sekitar 931 - 999), kemudian menikah lagi dengan Kaisar Otto I.
- Saudara Kandung**:
- Odo dari Reims (meninggal 986), seorang comte.
- Arnulf dari Reims (sekitar 967 - 1021), yang kemudian menjadi Uskup Agung Reims (saudara tiri atau kandung).
- Richard (meninggal sekitar 991).
- Pasangan**: Adelaide-Blanche dari Anjou (dinikahi 982, bercerai 984).
- Anak**: Louis V meninggal tanpa meninggalkan ahli waris sah.
5. Penilaian dan Warisan
Louis V sering disebut dengan julukan "Louis si Pemalas" (Louis le FainéantLouis si PemalasBahasa Prancis atau qui nihil fecityang tidak berbuat apa-apaBahasa Latin), sebuah nama yang diberikan oleh para sejarawan abad pertengahan. Julukan ini mencerminkan masa pemerintahannya yang sangat singkat dan dianggap tidak signifikan, di mana ia memiliki sedikit kekuasaan riil. Selama masa pemerintahannya yang berlangsung hanya setahun sebagai penguasa tunggal (atau sembilan tahun sebagai raja bersama), para bangsawanlah yang pada dasarnya memerintah negara Francia Barat. Louis V tidak mampu melakukan tindakan besar atau meninggalkan jejak yang kuat dalam sejarah, terutama karena usianya yang masih muda, sifatnya yang sembrono seperti yang dicatat oleh Richerus, serta gejolak politik internal dan eksternal yang melanda kerajaannya.

Warisan terbesar Louis V adalah posisinya sebagai penguasa Dinasti Karoling terakhir. Kematiannya yang mendadak pada tahun 987, tanpa meninggalkan ahli waris sah, menciptakan krisis suksesi yang secara fundamental mengubah sejarah Prancis. Meskipun pamannya, Charles, memiliki klaim berdasarkan silsilah, ia tidak disukai oleh para bangsawan dan ulama. Situasi ini membuka jalan bagi pemilihan Hugh Capet, seorang bangsawan kuat yang sebelumnya merupakan saingan utama dinasti Karoling.
Transisi dari Wangsa Karoling ke Dinasti Kapetia menandai akhir dari era Franka yang berpusat pada kekuasaan Karoling, yang telah berkuasa sejak Pepin yang Pendek dan Karel yang Agung. Era Kapetia yang baru ini membawa perubahan signifikan dalam struktur politik Prancis, mengarah pada konsolidasi kekuasaan kerajaan dan fondasi bagi Kerajaan Prancis yang lebih terpusat di masa depan. Dengan demikian, meskipun Louis V sendiri "tidak berbuat apa-apa", kematiannya justru memicu perubahan dinasti yang monumental, menjadikannya figur kunci dalam sejarah transisi Prancis.