1. Biografi
Perjalanan hidup Maurice Blanchot ditandai oleh pergeseran ideologis yang signifikan dan dedikasi mendalam pada penulisan. Dari keterlibatan awal yang kontroversial dalam jurnalisme politik sayap kanan ekstrem hingga perannya sebagai suara progresif dalam gerakan anti-perang dan pro-demokrasi pasca-Perang Dunia II, biografinya mencerminkan kompleksitas seorang intelektual yang pemikirannya terus berkembang.
1.1. Kehidupan Awal dan Pendidikan
Maurice Blanchot lahir di desa Quain, Saône-et-Loire, Prancis, pada 22 September 1907, dalam lingkungan keluarga yang berkecukupan. Ia menempuh pendidikan filsafat dan bahasa Jerman di Universitas Strasbourg hingga tahun 1925. Selama di Strasbourg, ia menjalin persahabatan erat dengan filsuf Yahudi Prancis kelahiran Lituania, Emmanuel Levinas. Pertemuan dengan Levinas memiliki dampak intelektual dan pribadi yang mendalam bagi Blanchot, dan persahabatan mereka berlanjut melalui korespondensi panjang meskipun Blanchot kemudian memilih gaya hidup terpencil. Pada periode ini pula, ia mulai membaca karya Martin Heidegger, khususnya Being and Time (Sein und Zeit), yang memberikan "kejutan intelektual sejati" baginya dan menjadi salah satu tantangan filosofis utamanya sepanjang hidup. Pada masa universitasnya, ia juga sangat dipengaruhi oleh kelompok seperti Action Française dan mulai condong ke ideologi sayap kanan.
Setelah Strasbourg, Blanchot pindah ke Paris dan pada tahun 1929 memperoleh gelar `diplôme d'études supérieures` (gelar akademik yang setara S.H., meskipun sering disamakan dengan gelar M.A. di kemudian hari) di Universitas Paris, dengan tesis berjudul "La Conception du Dogmatisme chez les Sceptiques anciens d'après Sextus Empiricus" ("Konsepsi Dogmatisme pada Skeptis Kuno Menurut Sextus Empiricus"). Sebelum fokus pada karier sastra dan filsafat, ia juga sempat mendalami neurologi dan psikiatri di Rumah Sakit Sainte-Anne.
1.2. Aktivitas Politik Awal (Sebelum 1945)
Pada awal 1930-an, Blanchot memulai kariernya sebagai jurnalis politik di Paris. Dari tahun 1932 hingga 1940, ia menjabat sebagai editor harian konservatif Journal des débats. Selama periode ini, ia juga berkontribusi pada serangkaian majalah nasionalis radikal dan menjabat sebagai editor harian anti-Jerman Le rempart pada tahun 1933, serta mingguan polemik anti-Nazi Paul Lévy, Aux écoutes. Pada tahun 1936 dan 1937, ia juga berkontribusi pada majalah bulanan sayap kanan ekstrem Combat dan harian nasionalis-sindikalis L'Insurgé.
Pandangan politiknya pada masa ini sangat condong ke sayap kanan ekstrem, bahkan dikaitkan dengan Action Française. Ia sering menulis artikel polemik yang menyerang pemerintahan saat itu dan mengkritik keyakinannya pada politik Liga Bangsa-Bangsa, serta secara gigih memperingatkan ancaman terhadap perdamaian di Eropa yang ditimbulkan oleh Nazi Jerman. Sumber-sumber sejarah bahkan menunjukkan bahwa Blanchot pernah menjadi sekretaris Pierre Drieu La Rochelle, seorang penulis fasis yang kemudian berkolaborasi dengan Jerman. Ia menolak masyarakat borjuis dan demokrasi parlementer, mengkritik bias Marxisme terhadap materi, dan menyerukan penggulingan status quo melalui tindakan heroik yang tidak gentar berkorban, dengan tujuan mengangkat nilai-nilai spiritual Prancis. Namun, Osamu Nishitani menunjukkan bahwa ideologinya berbeda dari sayap kanan biasa dalam dua hal: penekanan pada semangat "penolakan" terhadap status quo dan pujian terhadap makna revolusi, yang mungkin menjadi pemicu besar pergeserannya dari posisi sayap kanan di kemudian hari. Meskipun demikian, keterlibatannya dengan kelompok sayap kanan yang kadang-kadang menunjukkan anti-Semitisme (seperti L'Insurgé, meskipun ia kemudian campur tangan untuk menghentikan publikasinya karena elemen anti-Semit tertentu) tetap menjadi subjek kritik dan kontroversi.
1.3. Perang Dunia II dan Pergeseran Pemikiran
Pada bulan Desember 1940, Blanchot bertemu dengan Georges Bataille, seorang penulis yang sebelumnya vokal menentang fasisme. Pertemuan ini menandai awal persahabatan yang erat hingga kematian Bataille pada tahun 1962. Blanchot juga berpartisipasi dalam proses penulisan karya utama Bataille, Pengalaman Batin (L'Expérience intérieure). Selama pendudukan Nazi di Paris, Blanchot tetap bekerja sebagai peninjau buku untuk Journal des débats dari tahun 1941 hingga 1944 untuk menopang keluarganya. Dalam ulasannya, ia sudah meletakkan dasar bagi pemikiran kritis Prancis di kemudian hari dengan memeriksa sifat retoris bahasa yang ambigu dan ketidakreduksian kata-kata tertulis pada gagasan kebenaran atau kepalsuan. Ia menolak tawaran editor Nouvelle Revue Française yang kolaborasionis, meskipun sempat diusulkan oleh Jean Paulhan sebagai bagian dari strategi yang lebih rumit.
Ia juga aktif dalam Perlawanan (Résistance) dan tetap menjadi penentang keras novelis dan jurnalis fasis, anti-Semit Robert Brasillach, pemimpin utama gerakan kolaborasionis pro-Nazi. Selama perang, ia juga melindungi kerabat Yahudi dari Emmanuel Levinas dari penangkapan Nazi, yang semakin menegaskan pergeseran sikapnya. Pada Juni 1944, Blanchot nyaris dieksekusi oleh regu tembak Nazi, sebuah pengalaman traumatis yang ia ceritakan dalam teksnya L'Instant de ma mort (The Instant of My Death). Pengalaman mendekati kematian ini, yang oleh beberapa pihak disamakan dengan pengalaman Fyodor Dostoevsky saat diampuni sesaat sebelum eksekusi, sangat memengaruhi kehidupan dan karya-karyanya di kemudian hari, terutama terlihat dalam novel La Folie du jour (The Madness of the Day) dan L'Instant de ma mort.
Perang Dunia II, khususnya Holocaust, memberikan dampak besar pada Blanchot. Ia berulang kali berbicara tentang genosida ini, dan kepedihan hatinya terlihat dalam esai seperti Les intellectuels en question (The Questioned Intellectual). Peristiwa-peristiwa ini secara signifikan memicu pergeseran pemikiran politiknya dari sayap kanan ke arah kiri. Meskipun beberapa kritikus seperti Pierre Andreu meragukan "konversi" Blanchot, sikap politiknya pasca-perang menunjukkan konsistensi dalam penolakan terhadap fasisme dan otoritarianisme. Ia bahkan secara eksplisit mengkritik kebisuan Martin Heidegger pasca-perang mengenai Holocaust.
1.4. Kehidupan Pasca-Perang dan Pengasingan
Setelah perang, Blanchot berdedikasi sepenuhnya pada karier sebagai novelis dan kritikus sastra, menjauhi keterlibatan langsung dalam lingkungan akademis, mirip dengan Jean-Paul Sartre dan intelektual Prancis lainnya pada masanya. Pada tahun 1947, ia meninggalkan Paris dan pindah ke desa terpencil Èze di selatan Prancis, tempat ia menghabiskan satu dekade berikutnya dalam kehidupan yang relatif terisolasi. Meskipun demikian, ia tetap mempertahankan hubungan erat dengan teman-teman dekatnya, seperti Emmanuel Levinas, melalui korespondensi yang panjang.
Hidup dalam pengasingan ini tidak sepenuhnya disengaja; sebagian disebabkan oleh masalah kesehatan kronis yang ia derita sepanjang hidupnya. Pengasingan ini juga sangat terkait dengan sifat penulisannya, seringkali digambarkan dalam karakter-karakternya sebagai "pengembaraan penulis" atau "menyelami kematian". Dari tahun 1953 hingga 1968, ia secara teratur menerbitkan karyanya di Nouvelle Revue Française. Selama periode pasca-perang, Blanchot juga memilih untuk tidak pernah mempublikasikan foto dirinya di depan umum, dikenal sebagai "penulis tanpa wajah" atau "penulis yang absen", sebuah sikap yang mencerminkan keyakinannya bahwa penulis harus absen dari teks yang ditulisnya, membiarkan tulisan itu berdiri sendiri.
1.5. Keterlibatan Politik Lanjut
Pasca-Perang Dunia II, aktivitas politik Blanchot bergeser secara definitif ke arah kiri. Ia secara luas diakui sebagai salah satu penulis utama "Manifesto of the 121", yang ditandatangani oleh 121 intelektual Prancis, termasuk Jean-Paul Sartre, Robert Antelme, Alain Robbe-Grillet, Marguerite Duras, René Char, Henri Lefebvre, Alain Resnais, dan Simone Signoret. Manifesto ini mendukung hak para wajib militer untuk menolak bertugas dalam Perang Aljazair yang bersifat kolonial, dan menjadi titik krusial dalam respons intelektual terhadap perang tersebut, menegaskan komitmen Blanchot terhadap keadilan sosial dan perkembangan demokratis. Duras, yang juga memberikan penilaian tinggi pada karya Blanchot, bahkan mendedikasikan novelnya Rumah Yahudi (La Maison Juive) kepadanya.
Pada Mei 1968, Blanchot sekali lagi keluar dari pengasingan pribadinya untuk mendukung protes mahasiswa di Paris. Ini adalah satu-satunya penampilan publiknya setelah perang. Ia berpartisipasi dalam "Komite Aksi Penulis-Mahasiswa" bersama Marguerite Duras dan Dionÿs Mascolo, bahkan menulis dokumen anonim untuk gerakan tersebut. Peristiwa Mei 1968 memiliki makna penting bagi Blanchot, yang ia refleksikan dalam esainya La Communauté inavouable (The Unavowable Community), yang membahas ide-idenya tentang komunitas dan pemikiran Levinas tentang Yang Lain. Selama lima puluh tahun, ia tetap menjadi pendukung konsisten sastra modern dan tradisinya dalam surat-surat Prancis. Di tahun-tahun akhir hidupnya, ia berulang kali menulis menentang daya tarik intelektual fasisme, dan secara khusus mengkritik kebisuan Heidegger pasca-perang mengenai Holocaust.
1.6. Tahun-tahun Akhir dan Kematian
Di tahun-tahun terakhirnya, Maurice Blanchot terus menulis, meskipun publikasi karyanya menjadi lebih jarang. Pada tahun 1994, ia menerbitkan L'Instant de ma mort (The Instant of My Death), sebuah novel pendek yang merefleksikan pengalamannya sendiri saat hampir dieksekusi oleh regu tembak Nazi. Karya ini, yang ditulis dengan gaya ringkas dan hati-hati, mendapat tanggapan luas dan menginspirasi karya-karya seperti Demeure: Fiction and Testimony oleh Jacques Derrida.
Blanchot meninggal dunia pada 20 Februari 2003 di Le Mesnil-Saint-Denis, Yvelines, Prancis, pada usia 95 tahun. Kematiannya mendapat liputan luas di surat kabar Prancis, dan Jacques Derrida membacakan eulogi di pemakamannya. Empat hari setelah kematiannya diumumkan, namanya muncul sebagai penandatangan seruan "Not in Our Name" yang menentang Perang Irak, yang dimuat di surat kabar Le Monde, sebuah bukti komitmen politiknya yang terus berlanjut hingga akhir hayat.
2. Karya dan Pemikiran
Karya Maurice Blanchot menempati posisi unik dalam filsafat dan sastra abad ke-20, dicirikan oleh penjelajahan mendalam tentang bahasa, keberadaan, dan kematian. Ia mengembangkan teori sastra yang inovatif serta konsep filosofis yang menantang pemikiran konvensional, semuanya diekspresikan melalui gaya penulisan yang khas yang sering kali mengaburkan batas-batas genre.
2.1. Teori Sastra
Bagi Blanchot, sastra bukanlah sekadar representasi realitas, melainkan sebuah peristiwa yang menginterogasi sifat bahasa itu sendiri. Ia berpendapat bahwa "sastra dimulai pada saat sastra menjadi sebuah pertanyaan." Mengambil inspirasi dari Stéphane Mallarmé dan Franz Kafka, Blanchot mengembangkan pandangannya tentang sifat anti-realistis bahasa sastra. Mallarmé mengajarkan bahwa bahasa puitis berbeda dari bahasa sehari-hari yang digunakan untuk pertukaran informasi; dalam sebuah karya sastra yang murni, pengarang "menyerahkan kendali kepada kata-kata" dan menghilang.
Blanchot berpendapat bahwa bahasa sastra, melalui penggunaan simbolisme dan metafora, membebaskan diri dari utilitarisme bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari mengabaikan realitas fisik suatu hal demi konsep abstraknya. Sastra, sebaliknya, menarik perhatian pada fakta bahwa bahasa tidak merujuk pada benda fisik, tetapi hanya pada ide tentang benda itu. Blanchot menulis bahwa sastra "tetap terpesona oleh kehadiran ketidakhadiran ini," dan perhatian tertarik, melalui sonoritas dan ritme kata-kata, pada materi bahasa. Ini adalah sebuah "negasi ganda": negasi terhadap benda fisik dan negasi terhadap gagasan murni. Hal ini terjadi dalam "ruang sastra" (L'espace littéraireBahasa Prancis), di mana kata-kata menembus realitas misterius dan asing mereka sendiri, dan makna serta referensi menjadi ambigu.
Pengaruh Franz Kafka pada Blanchot juga sangat besar, terutama terlihat pada bagian-bagian yang mencatat hubungan erat antara kematian, hal-hal non-personal, dan tindakan menulis, atau bagian yang mencatat pengalaman kekayaan sastra melalui transisi dari "aku" ke "dia". Konsep "penulis tanpa wajah" (顔の無い作家Kao no nai sakkaBahasa Jepang) yang ia adopsi setelah perang juga menjadi inti dari teori sastranya. Ini bukan hanya tentang anonimitas pribadi, tetapi juga tentang keyakinannya bahwa dalam tindakan menulis, penulis menjadi absen, membiarkan teks itu berdiri sendiri dan memimpin. Ide ini merupakan respons terhadap pemikiran Hegelian tentang dialektika dan konsep negasi. Bersama dengan Roland Barthes dan karyanya Écriture de la catastrophe, pemikiran Blanchot tentang écritur memainkan peran besar dalam menyoroti masalah penulisan dalam pemikiran modern.
2.2. Konsep Filosofis Utama
Blanchot secara konsisten melibatkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang keberadaan dan kematian. Salah satu pemikiran intinya adalah "Yang Netral" (le neutreBahasa Prancis), sebuah pengalaman pasivitas anonim di mana baik sastra maupun kematian dialami. Berbeda dengan Martin Heidegger, Blanchot menolak kemungkinan hubungan otentik dengan kematian karena ia menolak kemungkinan konseptual kematian itu sendiri. Ia memandang kematian sebagai "kemustahilan dari setiap kemungkinan," sebuah pembalikan dari posisi Heidegger tentang kematian sebagai "kemungkinan ketidakmungkinan mutlak" dari Dasein. Bagi Blanchot, kematian adalah "pengalaman dari yang tidak dapat dialami" atau "pengalaman yang mustahil."
Pemikirannya tentang kematian juga mencakup konsep "dua jenis kematian": kematian sebagai peristiwa yang telah terjadi dan kematian sebagai bentuk murni peristiwa yang belum pernah terjadi. Ini menunjukkan paradoks tentang kematian, yang tidak dapat dialami subjek, karena subjek menjadi absen atau hilang dalam kematian.
Dalam dialog kritisnya dengan Emmanuel Levinas, Blanchot kemudian dipengaruhi oleh pertanyaan tentang tanggung jawab kepada "Yang Lain" (the OtherBahasa Inggris). Ide ini, yang muncul terutama dalam karyanya yang lebih baru, menegaskan bahwa subjek memiliki tanggung jawab etis yang fundamental terhadap keberadaan orang lain, yang melampaui pemahaman rasional atau ontologis. Pemikiran Blanchot tentang komunitas, yang tercermin dalam La Communauté inavouable, juga berdialog dengan filsafat Levinas dan ide-ide Jean-Luc Nancy tentang komunitas. Selain itu, Blanchot juga menunjukkan sikap ambivalen terhadap Marxisme dan Komunisme, ia menganggapnya sebagai tantangan penting yang tak terhindarkan meskipun ia tetap kritis. Setelah L'Espace littéraire, Blanchot secara berkelanjutan melanjutkan kritiknya terhadap filsafat Heidegger karena keterlibatan Heidegger dengan Nazisme. Ia juga berpartisipasi dalam koleksi esai "Siapa yang Datang Setelah Subjek?" yang membahas kritik terhadap subjek dalam pemikiran modern dan arah pemikiran selanjutnya.
2.3. Gaya Penulisan dan Dekonstruksi Genre
Gaya penulisan Blanchot sangat khas dan sering kali mengaburkan batas antara narasi fiksi dan penyelidikan filosofis. Sejak tahun 1970-an, ia secara sadar berupaya mendobrak batasan antara "genre" atau "kecenderungan" yang biasanya dianggap berbeda. Banyak karyanya di kemudian hari bergerak bebas antara narasi dan investigasi filosofis.
Dalam novel-novel awalnya seperti Thomas l'Obscur dan Aminadab, pengaruh Jean Giraudoux dan Kafka terlihat jelas, meskipun sudah ada penyimpangan dari realisme tradisional. Karakter-karakter dalam karya-karya ini seringkali mengalami pengembaraan dan perubahan yang sejajar dengan gagasan Blanchot tentang "pengembaraan penulis" atau "menyelami kematian" dalam kritik sastranya. Setelah L'Arrêt de mort, ia semakin menjauh dari realisme tradisional, dengan karya-karya yang menjadi lebih ringkas dan karakter-karakter yang nama dirinya semakin tidak diungkapkan. Versi revisi Thomas l'Obscur (1950) yang jauh lebih singkat menunjukkan perubahan gaya ini.
Karya-karya berikutnya, seperti L'Attente, l'oubli (Waiting, Forgetting), mengadopsi format yang terdiri dari fragmen-fragmen dan dialog tanpa nama karakter, semakin memecah narasi. Novel terakhirnya, L'Instant de ma mort, ditulis dengan gaya yang singkat dan reflektif, menceritakan pengalaman nyaris mati yang dialaminya sendiri. Perpaduan narasi dan pemikiran yang mendalam ini menjadikan karyanya unik dan menantang pembaca untuk merenungkan hakikat penulisan itu sendiri. Blanchot juga terinspirasi oleh Rainer Maria Rilke, Friedrich Hölderlin, Albert Camus, dan Herman Melville dalam mengembangkan pemikiran sastranya, seringkali menganalogikan tindakan menulis dengan perjalanan Orpheus ke dunia bawah. Pemikirannya juga beresonansi dengan teologi mistik dan pemikiran Yahudi.
3. Karya-karya Utama
Maurice Blanchot menghasilkan lebih dari tiga puluh karya fiksi, kritik sastra, dan filsafat. Karya-karya ini mencerminkan evolusi pemikirannya dan dedikasinya untuk menjelajahi batas-batas bahasa dan keberadaan.
3.1. Fiksi dan Narasi
Karya fiksi Blanchot sering kali digambarkan sebagai récit, sebuah jenis narasi yang bukan sekadar menceritakan suatu peristiwa, melainkan adalah peristiwa itu sendiri.
- Thomas l'Obscur (1941) (Thomas yang Obscure): Novel awal yang disunting dan dipersingkat secara drastis dalam edisi 1950. Menggambarkan pengalaman membaca dan kehilangan.
- Aminadab (1942)
- L'Arrêt de mort (1948) (Hukuman Mati): Sebuah récit yang sering dikaji karena gaya naratifnya yang eksperimental dan temanya tentang batas-batas antara kehidupan dan kematian.
- Le Très-Haut (1949) (Yang Maha Tinggi)
- Celui qui ne m'accompagnait pas (1953) (Dia yang Tidak Menemaniku)
- Le Dernier homme (1957) (Orang Terakhir)
- L'Attente, l'oubli (1962) (Menunggu, Melupakan): Narasi yang terfragmentasi, seringkali berupa dialog anonim antara karakter pria dan wanita.
- La Folie du jour (1973) (Kegilaan di Siang Hari): Novel yang sangat ringkas, menggambarkan pengalaman mendekati kematian yang mirip dengan pengalaman pribadi Blanchot.
- L'Instant de ma mort (1994) (Saat Kematianku): Teks pendek yang menceritakan pengalaman nyata Blanchot saat ia hampir dieksekusi oleh regu tembak Nazi.
3.2. Karya Filosofis dan Teoretis
Karya-karya non-fiksi Blanchot adalah landasan bagi pemikiran kritis dan post-strukturalisme.
- Faux Pas (1943)
- La Part du feu (1949) (Bagian Api atau Karya Api): Kumpulan esai awal yang membahas sastra dan filsafat, termasuk esai kunci "Literature and the Right to Death."
- Lautréamont et Sade (1949) (Lautréamont dan Sade)
- L'Espace littéraire (1955) (Ruang Sastra): Salah satu karya teoretisnya yang paling berpengaruh, membahas secara mendalam konsep écritur, kematian, dan "ruang sastra" itu sendiri.
- Le Livre à venir (1959) (Buku yang Akan Datang)
- L'Entretien infini (1969) (Percakapan Tanpa Batas): Sebuah karya besar yang mengintegrasikan pemikiran tentang sastra, filsafat, dan politik dalam bentuk dialog.
- L'Amitié (1971) (Persahabatan)
- Le Pas au-delà (1973) (Langkah Melampaui)
- L'Ecriture du désastre (1980) (Penulisan Bencana): Refleksi tentang Holocaust dan sifat tulisan dalam menghadapi kehancuran.
- De Kafka à Kafka (1981) (Dari Kafka ke Kafka): Analisis mendalam tentang karya dan pemikiran Franz Kafka.
- La Communauté inavouable (1983) (Komunitas yang Tak Terakui): Merespons The Inoperative Community karya Jean-Luc Nancy, membahas ide-ide Blanchot tentang komunitas.
- Une voix venue d'ailleurs (2002) (Suara dari Tempat Lain)
- Écrits politiques (1958-1993) (2003) (Tulisan Politik (1958-1993))
4. Evaluasi dan Pengaruh
Maurice Blanchot adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam filsafat dan teori sastra Prancis abad ke-20. Dampaknya terasa luas, meskipun karyanya juga menjadi subjek kritik dan kontroversi, terutama terkait dengan keterlibatan politiknya di masa lalu.
4.1. Pengaruh pada Pemikiran Kontemporer
Blanchot memiliki dampak signifikan pada para filsuf post-strukturalisme dan teori kritis. Michel Foucault, salah satu pemikir paling terkemuka pada abad ke-20, pernah menyatakan, "Saya sangat ingin menjadi Blanchot," dan banyak mengacu padanya dalam karyanya seperti Maurice Blanchot: The Thought from Outside. Gilles Deleuze memuji Blanchot sebagai pencetus "konsep baru tentang kematian."
Jacques Derrida, yang gaya penulisannya seringkali menunjukkan pengaruh kuat dari Blanchot, secara eksplisit membahas karyanya dalam tulisan-tulisannya, seperti Demeure: Fiction and Testimony dan Parages, serta dalam analisisnya tentang hantu-hantu Marx dalam Specters of Marx. Jean-Luc Nancy juga terlibat dalam dialog dengan Blanchot, terutama dalam karyanya The Inoperative Community yang menjadi respons terhadap La Communauté inavouable milik Blanchot.
Selain itu, pemikiran Blanchot tentang écritur bersama dengan Écriture de la catastrophe karya Roland Barthes, memainkan peran besar dalam menyoroti masalah écritur dalam pemikiran modern. Pengaruhnya juga meluas ke filsuf Jepang Tanabe Hajime, yang mempelajari L'Espace littéraire secara mendalam saat menulis esai tentang Mallarmé di tahun-tahun terakhirnya. Teman dekatnya, Emmanuel Levinas, juga menerbitkan kumpulan esai tentang Blanchot yang berjudul Maurice Blanchot. Blanchot juga menunjukkan sikap ambivalen terhadap Marxisme dan Komunisme, ia menganggapnya sebagai tantangan penting yang tak terhindarkan meskipun ia tetap kritis. Bahkan, Daniel Bensaïd memuji bagian tulisan Blanchot tentang Karl Marx di L'Amitié, menyatakan bahwa itu "berbicara jauh lebih banyak daripada banyak komentar dan tesis sebelumnya." Dalam tahun-tahun terakhirnya, ia juga menegaskan bahwa kritik Michel Foucault terhadap filsafat Yunani kuno dapat diperluas ke pemikiran Ibrani.
Dampak Blanchot juga meluas ke bidang penerjemahan, di mana beberapa penerjemah utamanya ke dalam bahasa Inggris telah membangun reputasi sebagai penulis prosa dan penyair, termasuk Lydia Davis, Paul Auster, dan Pierre Joris.
4.2. Kritik dan Kontroversi
Aspek paling kontroversial dalam hidup Blanchot adalah keterlibatan politik awalnya dengan kelompok sayap kanan ekstrem di tahun 1930-an. Ia berkontribusi pada majalah-majalah radikal nasionalis dan menjadi editor untuk pers anti-Jerman. Beberapa kritikus, seperti Jeffrey Mehlman dalam bukunya A Stigmata of the Masters, telah meneliti hubungan antara intelektual seperti Blanchot dan anti-Semitisme di era tersebut. Misalnya, ia pernah menjadi sekretaris Pierre Drieu La Rochelle, seorang tokoh yang kemudian berkolaborasi dengan Nazi.
Meskipun sumber-sumber menunjukkan bahwa ia kemudian menghentikan kontribusinya pada publikasi yang mengandung anti-Semitisme (misalnya, melalui intervensinya untuk menghentikan L'Insurgé karena konten anti-Semit tertentu), dan ia sendiri aktif dalam Perlawanan serta melindungi kerabat Yahudi Emmanuel Levinas selama perang, pandangan awal dan afiliasinya tetap menjadi poin perdebatan. Namun, penting untuk dicatat bahwa setelah Perang Dunia II, Blanchot secara radikal mengubah pandangan politiknya, secara terbuka menentang fasisme dan mendukung gerakan-gerakan kiri yang berpihak pada keadilan sosial dan hak asasi manusia. Pergeseran ini, dari seorang jurnalis sayap kanan yang kontroversial menjadi seorang intelektual yang berkomitmen pada nilai-nilai progresif, adalah salah satu elemen paling menarik dan kompleks dalam biografinya.
4.3. Warisan
Warisan Maurice Blanchot sangat mendalam di bidang filsafat, sastra, dan studi budaya. Karyanya terus dibaca dan dianalisis karena kedalamannya dalam membahas isu-isu seperti kematian, Yang Netral, sifat bahasa, dan tanggung jawab etis. Dedikasinya pada eksperimentasi formal, dekonstruksi genre, dan gaya penulisan yang menantang telah membuka jalan baru bagi sastra dan pemikiran.
Meskipun hidup dalam pengasingan dan menghindari sorotan publik, pengaruhnya pada pemikiran kontemporer dan generasi filsuf serta penulis berikutnya tak terbantahkan. Blanchot diakui sebagai salah satu arsitek utama dari Teori Prancis yang membentuk lanskap intelektual di paruh kedua abad ke-20 dan terus menginspirasi penelitian dan perdebatan hingga saat ini.