1. Kehidupan Awal dan Pendidikan
Muhammad Naguib lahir pada 19 Februari 1901 di Khartoum, yang saat itu merupakan bagian dari Sudan Anglo-Mesir. Ayahnya, Youssef Naguib, adalah seorang perwira tinggi di Angkatan Bersenjata Mesir yang berasal dari keluarga perwira militer terkemuka di Mesir. Ibunya, Zohra Ahmed Othman, berasal dari suku Shaigiya yang terhormat. Naguib adalah anak tertua dari sembilan bersaudara.
Ia menghabiskan masa kecilnya di Khartoum dan sering dihukum cambuk oleh guru privat Inggris karena mengkritik kekuasaan kolonial Inggris. Naguib awalnya mencontoh Napoleon Bonaparte, tetapi kemudian ia mulai mengagumi Mustafa Kamil Pasha dan kemudian Saad Zaghloul. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1916, Naguib pindah ke Kairo, ibu kota Mesir. Pada masa mudanya, Naguib menekuni bahasa asing dengan tujuan menjadi seorang penerjemah. Ia menguasai bahasa Italia, Inggris, Prancis, Jerman, dan bahkan belajar bahasa Ibrani. Setelah Perang Arab-Israel 1948, ia memerintahkan agar bahasa Ibrani diajarkan di Akademi Militer Angkatan Darat, yang memungkinkan para perwira untuk menyadap komunikasi Israel.
Naguib melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah dan sekolah militer di Gordon Memorial College di Khartoum, lulus pada tahun 1918. Meskipun ia berencana untuk mendapatkan gelar doktoral setelah beralih ke studi politik dan hukum, ia memutuskan untuk tidak mengejarnya setelah bergabung dengan Akademi Militer pada April 1917. Ia bergabung dengan Pengawal Kerajaan Mesir pada tahun 1923. Pada tahun 1927, Naguib menjadi perwira militer Mesir pertama yang memperoleh lisensi hukum. Ia kemudian meraih gelar pascasarjana dalam ekonomi politik pada tahun 1929, dan gelar pascasarjana lainnya dalam hukum sipil pada tahun 1931. Pada tahun 1929, saat mempelajari hukum, ia menghadiri kuliah dari Perdana Menteri kala itu, Mostafa El-Nahas. El-Nahas berpendapat bahwa partai yang berkuasa, yang dekat dengan Raja, dapat mengendalikan Raja melalui parlemen, dan militer seharusnya tidak terlibat dalam politik. Pandangan ini kelak memengaruhi posisi politik Naguib.
2. Karier Militer
Pada Desember 1931, Muhammad Naguib dipromosikan menjadi kapten. Ia kemudian dipindahkan ke unit patroli perbatasan di Arish pada tahun 1934, di mana ia bertugas memberantas penyelundup yang melintasi Gurun Sinai. Naguib menjadi bagian dari komite militer yang bertugas melaksanakan ketentuan Perjanjian Anglo-Mesir 1936. Pada tahun 1937, di Khartoum, ia mendirikan sebuah surat kabar untuk Angkatan Bersenjata Mesir. Pada 6 Mei 1938, ia dipromosikan menjadi mayor.
Naguib mengajukan pengunduran dirinya sebagai bentuk protes setelah Insiden Istana Abdeen 1942. Dalam otobiografinya, Naguib menulis bahwa ia mengundurkan diri karena merasa telah melanggar sumpah setia kepada Raja dengan gagal mencegah pengepungan istana oleh pasukan Britania Raya. Namun, para pejabat istana tetap berterima kasih atas tindakannya dan menolak menerima pengunduran dirinya. Dalam insiden terpisah, ia juga pernah menjadi korban perampokan oleh tentara Inggris yang mabuk. Ia bertemu Raja Farouk I pada tahun 1940, dan meskipun pertemuan itu berlangsung baik, Naguib menolak mencium tangan Raja dan memilih untuk berjabat tangan.
Naguib kemudian melanjutkan kenaikan pangkatnya dalam hierarki militer Mesir. Ia mencapai pangkat letnan kolonel dan menjabat sebagai gubernur regional Semenanjung Sinai pada tahun 1944. Pada tahun 1947, ia mengambil alih kepemimpinan infantri mekanis di Sinai, dan dipromosikan menjadi brigadir jenderal pada tahun 1948.
Selama Perang Arab-Israel 1948, Naguib menunjukkan kinerja yang luar biasa, terluka sebanyak tujuh kali. Atas jasanya, ia dianugerahi bintang militer pertama Fuad serta gelar Bey. Setelah perang, ia diangkat sebagai direktur Akademi Militer Mesir, di mana ia kemudian akan bertemu dengan anggota-anggota Gerakan Perwira Bebas. Pada musim panas 1949, ia menjadi mayor jenderal dan Panglima Angkatan Perbatasan. Pada tahun 1950, ia menjadi letnan jenderal dan Kepala Staf Umum, dan secara tidak sengaja mengemban tugas mengawal Raja.
3. Gerakan Perwira Bebas dan Revolusi
Pembentukan, tujuan, serta kronologi dan peristiwa penting Revolusi Mesir 1952, termasuk peran sentral Muhammad Naguib dalam kepemimpinan dan pembentukan republik, membentuk babak krusial dalam sejarah modern Mesir.
3.1. Aktivitas dalam Gerakan Perwira Bebas
Muhammad Naguib pertama kali diperkenalkan kepada Gerakan Perwira Bebas oleh Abdel Hakim Amer selama masa jabatannya sebagai direktur Akademi Militer Kerajaan di Kairo. Gerakan Perwira Bebas adalah kelompok perwira militer nasionalis veteran dari pemberontakan nasionalis yang gagal pada tahun 1935-1936 dan 1945-1946, serta Perang Arab-Israel 1948. Mereka sangat menentang kehadiran personel militer Inggris yang terus-menerus di Mesir dan Sudan sejak tahun 1882, dan peran politik yang melekat pada Britania Raya dalam urusan Mesir. Selain itu, mereka memandang monarki Mesir dan Sudan sebagai rezim yang lemah, korup, dan tidak mampu melindungi kepentingan nasional Mesir dan Sudan, terutama terhadap Britania Raya dan Israel. Secara khusus, mereka menganggap Raja Farouk bertanggung jawab atas buruknya pelaksanaan perang di Palestina, di mana 78% dari bekas Mandat Palestina hilang ke tangan negara Israel yang baru diproklamasikan, dan sekitar tiga perempat populasi Muslim dan Kristen Palestina diusir dari negara itu atau melarikan diri ke pengasingan.
Gerakan ini awalnya dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser dan hanya terdiri dari personel militer yang semuanya berusia di bawah 35 tahun dan berasal dari latar belakang berpenghasilan rendah. Nasser, yang seperti Naguib adalah veteran Perang Arab-Israel 1948, merasa bahwa gerakan ini membutuhkan perwira yang lebih tua dari latar belakang militer terkemuka agar dapat dianggap serius. Naguib, yang sangat dihormati dan terkenal secara nasional, adalah pilihan yang jelas, dan ia diundang untuk mengambil alih kepemimpinan gerakan tersebut. Meskipun hal ini terbukti berhasil dalam memperkuat Perwira Bebas, di kemudian hari akan menimbulkan gesekan besar dalam gerakan itu, dan perebutan kekuasaan yang akhirnya terjadi antara Naguib yang lebih tua dan Nasser yang lebih muda. Para sejarawan mencatat bahwa sementara Naguib memahami posisinya dan tugasnya sebagai pemimpin sejati gerakan, para Perwira Bebas yang lebih muda melihatnya sebagai boneka yang akan tunduk pada pengambilan keputusan kolektif gerakan, memberikan Naguib peran yang lebih terbatas dan simbolis.
Pada sekitar tahun 1949, Naguib bergabung dengan organisasi rahasia di dalam militer, Gerakan Perwira Bebas. Nasser merekomendasikan Naguib sebagai pemimpin kelompok tersebut karena popularitasnya yang tinggi di kalangan masyarakat. Melalui wakil Naguib, Abdel Hakim Amer, anggota Komite Eksekutif Revolusioner Gerakan Perwira Bebas mulai melakukan kontak dengannya. Naguib menyadari bahwa para perwira muda ini mengujinya, tetapi ia tidak merasa tidak senang dengan hal itu dan menyetujui untuk menjadi ketua. Pada Januari 1952, ia memenangkan pemilihan ketua klub perwira, mengalahkan faksi pendukung Raja. Ini memperluas pengaruh Gerakan Perwira Bebas di dalam militer. Raja Farouk I, yang merasakan ancaman, berencana untuk memecat Naguib, tetapi sebelum rencana itu terwujud, ia sendiri digulingkan oleh kudeta Gerakan Perwira Bebas.
3.2. Revolusi Mesir 1952

Pada 23 Juli 1952 sekitar pukul 01.00 pagi, Perwira Bebas melancarkan revolusi dengan sebuah kudeta untuk menggulingkan Raja Farouk I. Naguib segera diangkat sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Darat untuk menjaga loyalitas Angkatan Bersenjata tetap teguh di belakang Revolusi. Statusnya yang terkenal sebagai pahlawan Perang Arab-Israel 1948, bersama dengan kepribadiannya yang periang dan sikap negarawan seniornya, juga membuatnya tampak sebagai sosok yang meyakinkan bagi publik Mesir, yang sebelumnya belum terpapar oleh Nasser dan Perwira Bebas lainnya.
Perwira Bebas memilih untuk memerintah awalnya melalui Aly Maher Pasha, seorang mantan perdana menteri yang dikenal karena penentangannya terhadap pendudukan Inggris di Mesir dan campur tangannya dalam urusan Mesir. Malam berikutnya, Naguib bertemu dengan diplomat Inggris John Hamilton. Selama pertemuan itu, Hamilton meyakinkan Naguib bahwa pemerintah Inggris mendukung abdikasi Raja Farouk, bahwa pemerintah Winston Churchill menganggap kudeta itu sebagai masalah internal Mesir, dan bahwa Britania Raya akan campur tangan hanya jika merasa bahwa nyawa dan properti Inggris di Mesir dalam bahaya.
Prospek intervensi Inggris atas nama Farouk adalah ancaman terbesar bagi Revolusi, dan pesan Hamilton kepada Naguib memberikan Perwira Bebas jaminan yang mereka butuhkan untuk melanjutkan penggulingan Raja. Pada pagi hari 26 Juli 1952, Maher tiba di Istana Ras El Tin tempat Farouk menginap untuk menyampaikan ultimatum dari Naguib: ia harus turun takhta dan meninggalkan Mesir paling lambat pukul 18.00 keesokan harinya, atau pasukan Mesir yang berkumpul di luar Ras El Tin akan menyerbu istana dan menangkapnya. Farouk menyetujui persyaratan ultimatum tersebut, dan keesokan harinya, di hadapan Maher dan Duta Besar Amerika Serikat Jefferson Caffery, ia menaiki kapal pesiar Kerajaan Mahrousa dan meninggalkan Mesir. Dalam memoarnya, Naguib menggambarkan bagaimana perjalanannya ke dermaga untuk bertemu Farouk yang telah digulingkan sebelum mantan Raja itu berangkat, tertunda oleh kerumunan orang yang merayakan Revolusi. Caffery mengkonfirmasi bahwa Naguib marah karena melewatkan keberangkatan mantan Raja. Setibanya di dermaga, Naguib segera berlayar dengan kapal kecil untuk menemui Farouk di Mahrousa, dan secara resmi mengucapkan selamat tinggal kepadanya.
3.3. Pembentukan Republik
Pada September 1952, Naguib diangkat sebagai perdana menteri dan anggota Dewan Bupati Kerajaan, dengan Nasser menjabat sebagai menteri dalam negeri. Putra bayi Farouk menggantikannya sebagai Fuad II, dan akan menjadi Raja Mesir terakhir. Suksesi ini dirancang untuk mencegah Britania Raya mendapatkan alasan untuk campur tangan, memungkinkan para revolusioner untuk menyatakan bahwa mereka hanya menentang rezim Farouk yang korup, dan bukan monarki itu sendiri. Namun, setelah mengkonsolidasikan kekuasaan mereka, Perwira Bebas dengan cepat bergerak untuk melaksanakan rencana lama mereka untuk menghapus monarki. Pemerintah Ali Maher mengundurkan diri pada 7 September 1952, dan Naguib diangkat menjadi perdana menteri. Pada 18 Juni 1953, hampir 11 bulan setelah revolusi, para revolusioner mencopot gelar Raja Fuad II yang masih bayi, menyatakan berakhirnya Kerajaan Mesir dan pembentukan Republik Mesir. Naguib dilantik sebagai presiden pertama, sekaligus menjabat sebagai Perdana Menteri.
4. Masa Jabatan sebagai Presiden
Selama masa jabatannya, Muhammad Naguib menjadi Presiden pertama Republik Mesir, menjabat sebagai Presiden, Perdana Menteri, dan Ketua Dewan Komando Revolusi, yang menegaskan pemerintahan yang berpusat pada militer.
4.1. Aktivitas Utama Selama Menjabat
Dengan deklarasi Republik, Naguib dilantik sebagai Presiden pertamanya. Karena garis keturunan Muhammad Ali Pasha (leluhur dinasti Muhammad Ali), dan dinasti-dinasti sebelumnya yang telah memerintah Mesir, Naguib sering disebut dalam media Barat sebagai penguasa Mesir asli pertama sejak penaklukan Romawi atas Mesir, atau bahkan lebih awal hingga Firaun Nectanebo II, yang pemerintahannya berakhir pada 342 SM. Naguib sendiri menolak karakterisasi ini, menyatakan:
"Telah dikatakan di pers asing bahwa saya adalah orang Mesir pertama yang memerintah Mesir sejak Cleopatra. Kata-kata seperti itu menyanjung tetapi tidak sesuai dengan pengetahuan kita tentang sejarah kita sendiri. Demi mengagungkan Gerakan Terberkati kita sendiri, apakah kita akan mengatakan bahwa Fatimiyyah tidak pernah Mesir meskipun berabad-abad mereka di Mesir? Apakah kita sekarang menyangkal kekerabatan kita dengan Ayyubiyyah karena asal-usul mereka bahkan ketika kita menggabungkan elang Saladin dengan Bendera Pembebasan sebagai simbol Revolusi kita? Dan bagaimana dengan anggota dinasti Mohammed Ali? Haruskah keluhan kita terhadap mantan Raja dan penguasa yang cacat dan korup sebelumnya membutakan kita pada nasionalisme Abbas Hilmi II, yang pengabdiannya kepada Mesir melawan penjajah merenggut takhtanya, atau pencapaian Ibrahim Pasha, yang terbaik dari dinasti itu, yang sendiri menyatakan bahwa Matahari Mesir dan air Nil telah menjadikannya orang Mesir? Apakah kita sekarang akan menelusuri sejarah keluarga semua orang Mesir dan membatalkan mereka yang lahir dari orang tua non-Mesir? Jika demikian, saya harus mulai dengan diri saya sendiri. Lebih adil dan lebih akurat untuk mengatakan bahwa kita semua orang Mesir, tetapi saya adalah orang Mesir pertama yang diangkat dari rakyat biasa ke jabatan tertinggi untuk memerintah Mesir sebagai salah satu dari mereka sendiri. Ini adalah kehormatan dan beban suci yang cukup besar tanpa hiasan yang akan ditambahkan oleh pengamat asing."
Selama masa jabatannya, Naguib memainkan peran penting dalam negosiasi kemerdekaan Sudan, yang sebelumnya merupakan kondominium bersama antara Mesir dan Britania Raya. Ia juga memimpin proses penarikan seluruh personel militer Inggris dari Mesir, sebuah pencapaian yang signifikan dalam perjuangan Mesir untuk kedaulatan penuh.
4.2. Perebutan Kekuasaan dan Pengunduran Diri Paksa

Namun, Naguib yang skeptis terhadap pemerintahan yang didominasi militer, mulai menunjukkan tanda-tanda kemerdekaan dari Gamal Abdel Nasser dengan menjauhkan diri dari dekret reformasi lahan Dewan Komando Revolusi (RCC) dan mendekat kepada kekuatan politik mapan Mesir, yaitu Partai Wafd dan Ikhwanul Muslimin. Nasser, yang melihat hal ini sebagai ancaman, bertekad untuk menggulingkannya.
Pada akhir 1953, Nasser menuduh Naguib mendukung Ikhwanul Muslimin yang baru-baru ini dilarang dan menyimpan ambisi diktator. Perebutan kekuasaan singkat pecah antara Naguib dan Nasser untuk mengendalikan militer dan Mesir. Nasser pada akhirnya memenangkan perebutan kekuasaan tersebut. Karena keputusan di Dewan Komando Revolusi (RCC) diambil berdasarkan suara mayoritas anggota, Naguib, meskipun menjadi ketua, secara bertahap kekuasaannya dibatasi.
Pada 25 Februari 1954, Naguib diberhentikan dari jabatan perdana menteri oleh Dewan Komando Revolusi, dengan tuduhan bahwa ia "mencari kekuasaan absolut yang tidak dapat diterima", dan Nasser mengambil alih posisi perdana menteri. Pemberhentian ini menimbulkan penolakan dari publik, yang menyebabkan Naguib kembali menjabat sebagai perdana menteri pada Maret 1954. Namun, pada April tahun yang sama, ia kembali mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Nasser. Setelah itu, Naguib dituduh bersekongkol dengan Ikhwanul Muslimin untuk merencanakan pembunuhan Nasser. Akhirnya, pada 14 November 1954, ia dipaksa mengundurkan diri dari jabatan presiden Mesir.
5. Kehidupan Pasca-Kepresidenan dan Kematian
Setelah kehilangan jabatan sebagai Presiden, kehidupan Muhammad Naguib mengalami perubahan drastis, menjadikannya tahanan rumah hingga dibebaskan pada masa kepresidenan Anwar Sadat.
5.1. Tahanan Rumah dan Pembebasan
Setelah pengunduran dirinya yang dipaksakan pada November 1954, Muhammad Naguib dikenakan tahanan rumah informal di sebuah vila pinggiran kota Kairo yang dimiliki oleh Zeinab Al-Wakil, istri mantan Perdana Menteri Mostafa El-Nahas. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pengasingan ini. Naguib akhirnya dibebaskan dari tahanan rumah pada tahun 1971 oleh Presiden Anwar Sadat.
5.2. Kehidupan Pribadi

Muhammad Naguib menikah dan memiliki empat anak: tiga putra dan satu putri. Putra-putranya bernama Farouk, Yusuf, dan Ali. Majalah Life melaporkan tak lama setelah revolusi pada Agustus 1952 bahwa putra tertuanya, Farouk, yang saat itu berusia 14 tahun, berencana untuk mengganti namanya. Putrinya meninggal pada tahun 1951.
5.3. Kematian dan Pemakaman

Pada 28 Agustus 1984, Muhammad Naguib meninggal dunia akibat sirosis hati di Kairo, Mesir, pada usia 83 tahun.
Ia diberikan pemakaman militer yang dihadiri oleh Presiden Hosni Mubarak. Peti mati Naguib, yang diselimuti bendera Mesir, dibawa di atas kereta meriam yang ditarik oleh enam kuda sementara band kuningan memainkan musik pemakaman. Ratusan pelayat, termasuk pejabat pemerintah, pejabat asing, dan anggota keluarga, berjalan di belakang kereta tersebut.
6. Warisan dan Penilaian
Muhammad Naguib meninggalkan warisan yang kompleks dalam sejarah Mesir, yang ditandai oleh perannya sebagai pemimpin revolusioner dan perjuangannya untuk sistem politik yang lebih demokratis, yang seringkali bertentangan dengan ambisi Gamal Abdel Nasser.
6.1. Memoar dan Penghargaan
Tak lama sebelum kematiannya pada tahun 1984, Naguib menerbitkan memoarnya dengan judul Saya adalah Presiden Mesir (كنت رئيسا لمصرBahasa Arab). Buku ini banyak beredar dan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Egypt's Destiny.
Sebagai bentuk penghormatan, sebuah stasiun Metro Kairo dinamai menurut namanya. Sebuah jalan utama di Distrik Al Amarat di Khartoum juga dinamai menurut namanya. Pada Desember 2013, Penjabat Presiden Mesir Adly Mansour secara anumerta menganugerahkan Naguib Ordo Nil, penghargaan tertinggi negara Mesir. Penghargaan tersebut diterima oleh putranya, Mohamed Yusuf.
6.2. Penilaian Sejarah dan Kontroversi
Penilaian sejarah terhadap Muhammad Naguib mencakup berbagai perspektif mengenai pencapaian dan kritiknya, terutama di tengah perebutan kekuasaan pasca-revolusi. Meskipun ia adalah pemimpin revolusi dan presiden pertama, perannya seringkali dibayangi oleh Gamal Abdel Nasser, yang kemudian menjadi penguasa tunggal Mesir. Naguib mewakili faksi yang lebih moderat dan pro-demokrasi di dalam Gerakan Perwira Bebas. Ia menunjukkan keraguannya terhadap pemerintahan yang didominasi militer dan lebih memilih transisi menuju pemerintahan sipil yang demokratis. Sikap ini berbenturan dengan visi Nasser yang lebih otoriter, yang memandang perlunya kontrol militer yang kuat untuk stabilitas dan pembangunan.
Para pendukung Naguib melihatnya sebagai simbol legitimasi dan figur pemersatu bagi revolusi, yang karisma dan reputasinya sebagai pahlawan perang memberikan kredibilitas yang diperlukan bagi gerakan tersebut di mata publik. Ia sering dipandang sebagai pemimpin yang lebih "rakyat" karena latar belakangnya yang berbeda dari dinasti sebelumnya. Namun, kritikus berpendapat bahwa ia terlalu naif secara politik atau kurang memiliki ketajaman yang diperlukan untuk mempertahankan posisinya melawan manuver Nasser. Tuduhan dukungan terhadap Ikhwanul Muslimin yang disematkan kepadanya sering dilihat sebagai dalih politik untuk menyingkirkannya dari kekuasaan.
Meskipun Naguib dipinggirkan dan dicoba dihapus dari narasi resmi selama bertahun-tahun, terutama di bawah rezim Nasser, memoarnya dan pengakuan anumerta, seperti penamaan stasiun metro dan penghargaan Ordo Nil, telah membantu mengembalikan citranya di mata publik dan sejarah Mesir. Kisahnya menyoroti tantangan yang dihadapi oleh negara-negara yang bertransisi dari monarki ke republik, di mana idealisme revolusi seringkali bentrok dengan realitas perebutan kekuasaan dan konsolidasi otoritas. Naguib tetap menjadi figur penting yang mewakili sisi revolusi yang menginginkan pemerintahan yang lebih terbuka dan bertanggung jawab.