1. Kehidupan
Abū ʿAbd Allāh Muḥammad ibn al-Ḥasan ibn Farqad asy-Syaibānī menjalani kehidupan yang kaya akan pembelajaran dan aktivitas yudisial, membentuk dasar bagi kontribusinya yang abadi terhadap fiqih Islam.
1.1. Kelahiran dan Masa Kecil
Muḥammad ibn al-Ḥasan lahir di Wasit, Irak, pada tahun 750 Masehi (atau 749/750). Meskipun ia dilahirkan dalam keluarga seorang prajurit, minatnya lebih tertuju pada jalur intelektual daripada karier militer. Tak lama setelah kelahirannya, keluarganya pindah ke Kufah, kota asal Abu Hanifa, di mana ia kemudian tumbuh besar dan memulai perjalanan akademisnya.
1.2. Pendidikan
Asy-Syaibani memulai studinya di Kufah sebagai murid Abu Hanifa, seorang ulama besar yang kemudian menjadi eponim mazhab Hanafi. Ia belajar di bawah bimbingan Abu Hanifa selama dua tahun sebelum gurunya wafat pada tahun 767 Masehi, saat asy-Syaibani berusia 18 tahun. Setelah kepergian Abu Hanifa, asy-Syaibani melanjutkan pendidikannya di bawah bimbingan Abu Yusuf, murid senior dan terkemuka dari Abu Hanifa.
Selain itu, ia juga belajar dari guru-guru terkemuka lainnya seperti Sufyan al-Thawri dan al-Awzāʿī. Untuk memperluas pengetahuannya, asy-Syaibani kemudian mengunjungi Madinah dan belajar selama dua hingga tiga tahun dengan Malik ibn Anas, pendiri mazhab Maliki. Berkat pendidikan yang komprehensif ini, asy-Syaibani menjadi seorang ahli hukum pada usia yang sangat muda. Menurut Ismail, cucu Abu Hanifa, asy-Syaibani sudah mengajar di Kufah pada usia dua puluh tahun, sekitar tahun 770 Masehi.
1.3. Karier dan Aktivitas Yudisial
Setelah menyelesaikan pendidikannya, asy-Syaibani pindah ke Baghdad, di mana ia terus memperdalam ilmunya. Reputasinya sebagai seorang ahli hukum yang sangat dihormati menarik perhatian Khalifah Harun al-Rashid, yang kemudian mengangkatnya sebagai qadi (hakim) di ibu kota kekhalifahan, Raqqa, setelah tahun 796 Masehi.
Pada tahun 803, asy-Syaibani diberhentikan dari jabatannya di Raqqa. Ia kembali ke Baghdad dan melanjutkan aktivitas pendidikannya. Periode inilah yang menjadi masa pengaruh terluasnya, di mana ia mengajar banyak murid, termasuk Muhammad ibn Idris ash-Shafi'i, yang kelak menjadi muridnya yang paling prestisius dan pendiri mazhab Syafi'i. Meskipun di kemudian hari ash-Shafi'i memiliki perbedaan pendapat dengan gurunya dan menulis risalah berjudul Kitāb al-Radd ʿalā Muḥammad b. al-Ḥasan (Penolakan terhadap Muhammad ibn al-Hasan [asy-Syaibani]), ia tetap memelihara kekaguman yang mendalam terhadap asy-Syaibani.
Khalifah Harun al-Rashid kemudian mengangkat kembali asy-Syaibani ke posisi yudisial. Asy-Syaibani mendampingi Khalifah dalam perjalanannya ke Khorasan, di mana ia menjabat sebagai qadi hingga wafatnya pada tahun 805 Masehi di Ray, Iran. Ia wafat pada hari dan tempat yang sama dengan Al-Kisaʾi, seorang filolog dan ahli tata bahasa Arab terkemuka dari Kufah. Mengomentari hal ini, Khalifah Harun al-Rashid berseru bahwa ia telah "menguburkan hukum dan tata bahasa Arab berdampingan."
2. Aktivitas dan Pencapaian Utama
Asy-Syaibani dikenal luas atas kontribusi intelektual, hukum, dan sosialnya yang signifikan, terutama dalam pengembangan fiqih Hanafi dan pembentukan hukum internasional Islam.
2.1. Penataan Fiqih Hanafi
Asy-Syaibani memainkan peran krusial dalam mengembangkan dan mensistematisasikan teori-teori dalam mazhab Hanafi. Ia dikenal sebagai salah satu dari tiga leluhur besar mazhab Hanafi dan berkontribusi besar dalam melengkapi aspek-aspek hukum positif mazhab tersebut. Karyanya menjadi dasar yang kokoh bagi banyak sarjana Muslim selanjutnya untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam dalam mazhab Hanafi.
2.2. Pembentukan Hukum Internasional Islam (Siyar)
Salah satu kontribusi paling monumental dari asy-Syaibani adalah karyanya mengenai Siyar, yaitu hukum internasional Islam. Pada akhir abad ke-8, ia menulis Introduction to the Law of Nations (Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa), sebuah risalah yang menyediakan pedoman terperinci mengenai pelaksanaan jihad terhadap non-mukmin, serta perlakuan terhadap subjek non-Muslim di bawah pemerintahan Muslim. Ia juga menulis risalah kedua yang lebih mendalam tentang subjek ini, yang kemudian diikuti oleh banyak ahli hukum lain dengan sejumlah risalah multi-volume.
Karya-karya awal hukum Islam ini mencakup penerapan etika Islam, yurisprudensi ekonomi Islam, dan yurisprudensi militer Islam terhadap hukum internasional. Risalah-risalah ini membahas berbagai topik hukum internasional modern, termasuk:
- Hukum perjanjian
- Perlakuan terhadap diplomat, sandera, pengungsi, dan tawanan perang
- Hak suaka
- Hukum perang (termasuk perilaku di medan perang, perlindungan perempuan, anak-anak, dan non-kombatan warga sipil)
- Kontrak di garis pertempuran
- Penggunaan senjata beracun
- Penghancuran wilayah musuh
Kekhalifahan Umayyah dan Kekhalifahan Abbasiyah juga terlibat dalam negosiasi diplomatik berkelanjutan dengan Kekaisaran Bizantium mengenai masalah-masalah seperti perjanjian damai, pertukaran tawanan perang, serta pembayaran tebusan dan upeti, yang mencerminkan relevansi prinsip-prinsip Siyar dalam praktik kenegaraan.
Siyar yang dikembangkan oleh asy-Syaibani bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti "kapan pertempuran dibenarkan?", "siapa target pertempuran?", dan "bagaimana pertempuran dilakukan?". Bagi asy-Syaibani, penyebab perang yang adil adalah untuk menyebarkan kekaisaran Islam, baik melalui peningkatan wilayah negara-negara Muslim maupun dengan menjadikan negara lain sebagai negara klien. Penyebab adil lainnya termasuk menumpas pemberontakan (Muslim, dhimmi, atau murtad), menghukum perampokan, dan memastikan keamanan jiwa serta harta benda dari kekerasan.
Hanya mereka yang menimbulkan ancaman militer langsung yang merupakan target sah untuk kekuatan mematikan. Oleh karena itu, pembunuhan perempuan, anak-anak, orang tua, orang cacat, dan orang gila dilarang. Tawanan perang dibedakan berdasarkan status kombatan: tawanan laki-laki dapat diampuni atau dibunuh, tergantung pada apa yang dianggap komandan sebagai pilihan terbaik. Asy-Syaibani juga membahas penggunaan senjata (seperti "mesin pelontar") yang mungkin secara tidak sengaja membunuh non-kombatan. Ia berpendapat bahwa diizinkan untuk menggunakannya selama kehati-hatian diambil untuk menargetkan kombatan dan upaya dilakukan untuk menghindari pembunuhan non-kombatan. Pendapat asy-Syaibani dalam Siyar sangat berpengaruh dalam mazhab Hanafi, meskipun terdapat beberapa perbedaan dengan pendapat Imam Syafi'i.
2.3. Karya-karya Utama dan Yurisprudensi
Asy-Syaibani menghasilkan sejumlah risalah penting yang menjadi pilar yurisprudensi Islam, khususnya dalam mazhab Hanafi. Karya-karya utamanya meliputi:
- Kitab al-Siyar al-Kabir (Kitab Siyar Besar): Merupakan risalah yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai hukum internasional Islam.
- Kitab al-Siyar al-Saghir (Kitab Siyar Kecil): Risalah awal yang memberikan pedoman dasar mengenai hukum perang dan perlakuan terhadap non-Muslim.
- Jami al-Kabir (Koleksi Besar): Sebuah kompilasi besar doktrin dan pendapat hukum dalam mazhab Hanafi.
- Jami al-Saghir (Koleksi Kecil): Sebuah kompilasi yang lebih ringkas dari doktrin Hanafi.
- Kitab al-Radd 'ala Ahl al-Madinah (Kitab Penolakan terhadap Ulama Madinah): Sebuah karya yang membahas perbedaan pendapat antara mazhab Hanafi dan Maliki.
- Kitab al-Hiyal (Kitab Trik Hukum): Risalah yang membahas strategi hukum untuk menyelesaikan masalah dalam kerangka yang diizinkan.
- Hoki (Suplemen): Karya tambahan yang melengkapi risalah-risalah sebelumnya.
Karya-karya ini tidak hanya mencerminkan kedalaman pengetahuannya tetapi juga kemampuannya untuk mensistematisasikan hukum Islam ke dalam bentuk yang lebih terstruktur dan mudah dipahami, menjadikannya referensi penting bagi generasi ahli hukum selanjutnya.
2.4. Penelitian tentang Trik Hukum (Hiyal)
Asy-Syaibani juga melakukan penelitian dan menulis mengenai trik hukum, yang dikenal sebagai Hiyal. Konsep Hiyal merujuk pada metode atau strategi hukum yang digunakan untuk menyelesaikan atau menavigasi masalah hukum dalam kerangka yang diizinkan oleh syariat. Ini melibatkan penggunaan serangkaian tindakan atau perjanjian yang sah secara hukum untuk mencapai tujuan yang mungkin tidak dapat dicapai secara langsung, atau untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan dari suatu aturan hukum. Asy-Syaibani membahas bagaimana akumulasi tindakan legal dapat digunakan untuk melakukan apa yang mungkin secara tradisional dianggap ilegal, namun tetap dalam batas-batas hukum Islam. Penelitiannya tentang Hiyal menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas fiqih Hanafi dalam menghadapi berbagai situasi praktis.
3. Pengaruh dan Evaluasi
Pemikiran dan karya-karya asy-Syaibani memiliki dampak yang luas dan abadi terhadap fiqih Islam serta hukum internasional.
3.1. Murid-murid Utama dan Penyebaran Mazhab
Asy-Syaibani memiliki banyak murid terkemuka yang kemudian menjadi ulama besar dalam sejarah Islam. Yang paling terkenal di antaranya adalah Muhammad ibn Idris ash-Shafi'i, pendiri mazhab Syafi'i, yang meskipun memiliki perbedaan pandangan hukum, tetap sangat menghormati gurunya. Selain ash-Shafi'i, asy-Syaibani juga mendidik banyak murid lainnya selama ia tinggal di Khorasan. Kehadiran dan pengajarannya di wilayah tersebut secara signifikan berkontribusi pada penyebaran mazhab Hanafi ke arah Asia Tengah, menjadikannya salah satu mazhab hukum Islam yang paling luas penyebarannya di dunia Muslim.
3.2. Kontribusi terhadap Fiqih Islam Selanjutnya
Tulisan dan pemikiran asy-Syaibani memberikan pengaruh spesifik yang mendalam terhadap perkembangan fiqih Islam dan hukum internasional di era-era berikutnya. Kontribusinya dalam mensistematisasikan mazhab Hanafi memberikan kerangka kerja yang jelas bagi ahli hukum di masa depan. Lebih jauh lagi, karyanya tentang Siyar menjadi fondasi bagi studi dan praktik hukum internasional dalam konteks Islam, memengaruhi bagaimana negara-negara Muslim berinteraksi satu sama lain dan dengan kekuatan non-Muslim. Prinsip-prinsip yang ia tetapkan mengenai perang, perdamaian, dan perlakuan terhadap non-kombatan terus menjadi rujukan penting dalam diskusi tentang etika perang dan hak asasi manusia dalam Islam.
3.3. Posisi dan Evaluasi Historis
Dalam sejarah yurisprudensi Islam, asy-Syaibani menduduki posisi yang sangat tinggi. Ia secara luas diakui sebagai "Bapak Hukum Internasional Muslim" karena karyanya yang inovatif dan komprehensif mengenai Siyar. Beberapa cendekiawan bahkan menjulukinya sebagai "Grotius dari Islam", merujuk pada Hugo Grotius, seorang ahli hukum Belanda yang sering dianggap sebagai bapak hukum internasional modern di Barat. Julukan ini menyoroti peran pionirnya dalam mengembangkan kerangka hukum yang mengatur hubungan antarnegara dan masyarakat dalam konteks Islam, jauh sebelum konsep hukum internasional modern berkembang di Barat. Penilaian akademis atas kontribusinya selalu positif, menggarisbawahi kedalaman intelektual dan relevansi abadi dari pemikirannya.
4. Kehidupan Pribadi
Informasi mengenai kehidupan pribadi Abū ʿAbd Allāh Muḥammad ibn al-Ḥasan ibn Farqad asy-Syaibānī, seperti status pernikahan atau detail keluarga, tidak banyak didokumentasikan dalam sumber-sumber sejarah yang tersedia. Fokus utama catatan historis lebih banyak tertuju pada perjalanan akademis, karier yudisial, dan kontribusi intelektualnya yang monumental terhadap fiqih Islam.
5. Kematian
Abū ʿAbd Allāh Muḥammad ibn al-Ḥasan ibn Farqad asy-Syaibānī wafat pada tahun 805 Masehi. Ia meninggal dunia di Ray, Iran, sebuah kota di wilayah Khorasan, saat mendampingi Khalifah Harun al-Rashid. Kebetulan, ia meninggal pada hari dan tempat yang sama dengan Al-Kisaʾi, seorang filolog dan ahli tata bahasa Arab terkemuka dari Kufah. Mengomentari peristiwa ini, Khalifah Harun al-Rashid menyatakan bahwa ia telah "menguburkan hukum dan tata bahasa Arab berdampingan," sebuah ungkapan yang menyoroti betapa besar kehilangan dua pilar ilmu pengetahuan pada hari yang sama.