1. Kehidupan Awal dan Pendidikan
Hayashi lahir dari keluarga samurai di Kanazawa, Prefektur Ishikawa, dan menempuh pendidikan militer elit, yang membawanya bertugas di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan berpartisipasi dalam Perang Rusia-Jepang, menjadikannya figur militer yang menonjol.
1.1. Pendidikan dan Dinas Awal
Hayashi lahir pada 23 Februari 1876, di Kodatsuno, Kanazawa, Prefektur Ishikawa, sebagai putra pertama dari Hayashi Shishirō, seorang sekretaris Kantor Distrik Tonami, dan istrinya, Bessho Saha. Keluarganya berasal dari kelas samurai yang sebelumnya melayani Domain Kaga. Adik keduanya, Hayashi Ryōzō, kemudian menjadi seorang Kolonel Angkatan Darat Kekaisaran, sementara adik bungsunya, Shirakawa Yūkichi, menjabat sebagai Wakil Walikota Tokyo.
Pada Juli 1894, Hayashi keluar dari Sekolah Menengah Atas Keempat (Sekolah Tinggi Nasional Keempat) untuk mendaftar di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang sebagai kadet perwira, menyusul pecahnya Perang Tiongkok-Jepang Pertama. Setelah perang berakhir, ia masuk Akademi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, lulus pada 26 November 1896 sebagai bagian dari angkatan ke-8. Ia ditugaskan sebagai Letnan Dua Infanteri pada 28 Juni 1897 dan ditempatkan di Resimen Infanteri ke-7 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (IJA), yang bermarkas di Istana Kanazawa.
Pada tahun 1903, ia lulus dari Perguruan Tinggi Staf Angkatan Darat sebagai lulusan terbaik ke-12 dari 45 siswa di angkatan ke-17. Pencapaian ini menandai dimulainya jalannya sebagai perwira militer elit. Setelah kelulusannya dari Perguruan Tinggi Staf Angkatan Darat, ia menikah dengan Hayashi Hatsuji dan memiliki empat putra serta empat putri.
1.2. Perang Rusia-Jepang
Hayashi berpartisipasi dalam Perang Rusia-Jepang yang dimulai pada tahun 1904. Ia bertugas sebagai ajudan di Brigade Infanteri ke-6 (yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Ichihe Hyo) dari Divisi ke-9, yang diberangkatkan dari Kanazawa. Ia juga terlibat dalam Pengepungan Port Arthur. Selama serangan di Baterai Timur Panryongsan, Hayashi menolak perintah untuk mundur dan memimpin 70 tentara yang tersisa untuk merebut posisi tersebut. Tindakan berani ini membuatnya mendapatkan julukan "Onitaii" (鬼大尉Kapten IblisBahasa Jepang) dan pujian pribadi dari Nogi Maresuke, Komandan Angkatan Darat Ketiga Jepang.
1.3. Jabatan Komando Utama

Antara tahun 1918 dan 1920, Hayashi menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri ke-57 IJA yang bermarkas di Sakura, Prefektur Chiba. Pada tahun 1920, ia ditugaskan di Markas Besar Penelitian Teknis dan menjabat sebagai Penyelidik Militer. Dari tahun 1921 hingga 1923, ia adalah Kepala Kursus Persiapan di Akademi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
Antara tahun 1923 dan 1924, ia bertugas sebagai Perwakilan Angkatan Darat Jepang untuk Liga Bangsa-Bangsa, menghadiri Komisi Penasihat Tetap untuk Masalah Militer, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara di Prancis. Setelah itu, dari tahun 1924 hingga 1925, ia kembali ditugaskan di Inspektorat Jenderal Pelatihan Militer (Jepang). Pada tahun 1925, Hayashi menjadi Komandan Brigade Infanteri ke-2 IJA. Pada tahun 1926, ia dipromosikan menjadi Letnan Jenderal dan diangkat sebagai Komandan Benteng Teluk Tokyo. Pada tahun 1927, ia menjadi Komandan Perguruan Tinggi Staf Angkatan Darat, diikuti dengan jabatan sebagai Wakil Inspektur Jenderal Pelatihan Militer pada tahun 1928. Akhirnya, pada tahun 1929, ia menjadi Komandan Jenderal Divisi Pengawal Kekaisaran. Pada tahun 1930, Letnan Jenderal Senjūrō Hayashi diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat Korea Kekaisaran Jepang.
1.4. Insiden Mukden dan Invasi Manchuria
Pada 18 September 1931, Insiden Mukden terjadi. Sehari setelahnya, pada 19 September, Hayashi, sebagai Panglima Angkatan Darat Korea Kekaisaran Jepang, memerintahkan Divisi ke-20 yang berada di bawah komandonya untuk membentuk Brigade Campuran ke-39 (dipimpin oleh Mayor Jenderal Tatsujiro Kamura). Bertindak tanpa otorisasi dari Kaisar atau pemerintah pusat di Tokyo, Hayashi memerintahkan Brigade Campuran ke-39 untuk melintasi Sungai Yalu dan masuk ke Manchuria pada hari yang sama.
Tindakan ini membuatnya mendapatkan julukan "越境将軍" (Ekkō ShōgunJenderal Penyeberang PerbatasanBahasa Jepang). Keputusan Hayashi untuk menyeberang tanpa perintah resmi dianggap sebagai pelanggaran berat berdasarkan Hukum Pidana Angkatan Darat (Jepang). Hukum tersebut menyatakan bahwa seorang komandan yang memulai pertempuran tanpa alasan atau memindahkan pasukan secara sewenang-wenang di luar wewenangnya dapat dihukum mati atau penjara seumur hidup. Meskipun demikian, Kabinet terpaksa memberikan otorisasi secara retroaktif untuk pergerakan Brigade Campuran ke-39 pada 22 September. Tindakan berani ini, meskipun kontroversial, secara signifikan memajukan karier militernya.
1.5. Posisi Militer Akhir
Menyusul masa jabatannya di Korea, Hayashi dipromosikan menjadi Jenderal Penuh pada 11 April 1932. Ia kemudian menjabat sebagai Inspektur Jenderal Pelatihan Militer dan menjadi anggota Dewan Perang Tertinggi dari tahun 1932 hingga 1934.
2. Karier Politik
Setelah karier militernya yang cemerlang, Senjūrō Hayashi beralih ke dunia politik, memegang beberapa jabatan penting, termasuk Menteri Perang dan Perdana Menteri.
2.1. Menteri Perang

Pada 23 Januari 1934, Hayashi diangkat sebagai Menteri Perang dalam Kabinet Saitō Makoto, menggantikan Sadao Araki. Ia melanjutkan perannya ini di bawah Kabinet Okada Keisuke hingga 5 September 1935. Sebagai Menteri Perang, Hayashi adalah pendukung Mayor Jenderal Tetsuzan Nagata, Kepala Biro Militer dan pemimpin faksi Tōseiha (Faksi Kontrol) dalam Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Penunjukannya sebagai Menteri Perang dipengaruhi oleh Pangeran Kan'in Kotohito dan perwira menengah lainnya yang sangat mendukung Hayashi daripada Jinzaburō Masaki, yang menciptakan keretakan antara Hayashi dan Masaki.
Pada Juli 1935, Hayashi memerintahkan pemecatan Jenderal Jinzaburō Masaki, seorang pemimpin faksi Kōdōha (Faksi Jalan Kekaisaran), dari jabatannya sebagai Inspektur Jenderal Pelatihan Militer. Keputusan ini, yang didukung oleh Pangeran Kan'in dan Jenderal Jotaro Watanabe, memperparah konflik antara faksi Tōseiha dan Kōdōha. Pemecatan ini kemudian menyebabkan Insiden Aizawa (pembunuhan Tetsuzan Nagata, sekutu Hayashi, pada Agustus 1935) dan berkontribusi pada peristiwa Insiden 26 Februari pada tahun 1936. Setelah pembunuhan Nagata, Hayashi mengundurkan diri sebagai Menteri Perang bulan berikutnya dan digantikan oleh Jenderal Yoshiyuki Kawashima. Ia tidak menjadi sasaran selama Insiden 26 Februari, tidak seperti Watanabe yang dibunuh.
2.2. Perdana Menteri Jepang

Pada 2 Februari 1937, Hayashi menjadi Perdana Menteri Jepang ke-33. Kabinetnya terbentuk di tengah periode perpecahan faksional politik yang intens. Ia berusaha membentuk kabinet yang melampaui afiliasi partai dan menuntut agar para anggota kabinetnya melepaskan ikatan partai mereka.
Masa jabatannya singkat, hanya berlangsung selama 123 hari. Kabinetnya sering diejek sebagai "kabinet berkaki dua" karena banyaknya posisi menteri yang dipegang secara bersamaan. Pada 4 Juni 1937, menghadapi tuntutan pengunduran diri dari partai-partai politik, Hayashi membubarkan Diet dalam apa yang dikenal sebagai "pembubaran lari-makan" (食い逃げ解散kuinige kaisanBahasa Jepang), dan kemudian mengundurkan diri. Masa jabatannya ini menjadi salah satu yang tersingkat dalam sejarah perdana menteri Jepang.
2.3. Jabatan Menteri Lainnya
Selama masa jabatannya sebagai Perdana Menteri, Senjūrō Hayashi juga secara bersamaan memegang dua jabatan menteri lainnya. Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dari Februari hingga Maret 1937. Selain itu, ia juga memegang posisi sebagai Menteri Pendidikan dari Februari hingga Juni 1937.
2.4. Anggota Dewan Penasihat
Setelah menjabat sebagai Perdana Menteri, Hayashi kembali ke ranah publik sebagai anggota Dewan Penasihat Kekaisaran (内閣参議Naikaku San'iBahasa Jepang) dari Oktober 1940 hingga Mei 1942.
3. Ideologi dan Pandangan Politik
Hayashi termasuk dalam faksi militeris "sayap kanan" dan mendukung doktrin Fumimaro Konoe. Ia menentang militeris "sayap kiri" yang lebih radikal, seperti Kingoro Hashimoto, yang mengadvokasi pembentukan Keshogunan Militer melalui cara-cara revolusioner. Sebagai bagian dari militer, ia memiliki peran dalam melemahkan institusi demokrasi sipil.
Selain karier militer dan politiknya, Hayashi juga dikenal sebagai individu yang sangat peduli dengan urusan Islam. Meskipun ia sendiri bukan seorang Muslim, ia menjabat sebagai presiden Liga Muslim Jepang Raya (大日本回教協会Dai Nihon Kaikyō KyōkaiBahasa Jepang). Organisasi ini bertujuan untuk mendirikan masjid, pusat budaya Islam, sekolah, dan asrama bagi Muslim di Jepang, serta menerbitkan majalah Kaikyo Sekai (Dunia Islam).
4. Kehidupan Pribadi dan Keluarga

Senjūrō Hayashi menikah dengan Hayashi Hatsuji. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai empat putra dan empat putri. Putra-putranya termasuk Rensaku (sulung), Kensuke (kedua), Tozo (ketiga, Mayor Angkatan Darat Kekaisaran, lulusan angkatan ke-46 IJA), dan Kinpei (keempat, Kapten Angkatan Darat Kekaisaran, lulusan angkatan ke-55 IJA).
Putri-putrinya termasuk Sumiko (sulung, menikah dengan Yukichi Nakata, putra Kiyobe Nakata XV, seorang mantan presiden bank), dan Yoko (keempat, menikah dengan Yoshihiko Saito, putra Kiyoshi Saito, mantan Inspektur Jenderal Kepolisian dan Gubernur Jenderal Taiwan). Selain itu, ia juga memiliki dua keponakan yang menonjol: Kenichi Shirakami, seorang ahli biologi, dan Ikku-ken Shirakami, seorang peneliti seni bela diri.
5. Kematian
Pada pertengahan Januari 1943, Senjūrō Hayashi menderita selesma parah yang kemudian berkembang menjadi perdarahan intrakranial ringan. Ia meninggal dunia tanpa sadar kembali di kediamannya di Sendagaya, Shibuya-ku, Tokyo, pada 4 Februari 1943, pada usia 66 tahun. Upacara pemakamannya diselenggarakan pada 7 Februari sebagai pemakaman Dai Nihon Kōa Dōmei di Aoyama Saikan, dengan Rentaro Mizuno menjabat sebagai ketua komite pemakaman. Makamnya terletak di Pemakaman Tama.
6. Penghargaan dan Kehormatan
Senjūrō Hayashi menerima berbagai penghargaan dan kehormatan sepanjang karier militer dan politiknya, baik selama hidupnya maupun secara anumerta.
- Penghargaan Anumerta**:
- Orde Bunga Paulownia Kelas Besar (1943).
- Orde Layang-Layang Emas Kelas 4 (1906, anumerta ditingkatkan).
- Penghargaan dan Pangkat Penting Lainnya**:
- Peringkat Senior Kedua (正二位, Shō-ni-i, anumerta 1943).
- Orde Harta Suci Kelas Besar (1932).
- Orde Matahari Terbit Kelas Besar (1934).
- Orde Harta Suci Kelas 4 (1913).
- Orde Harta Suci Kelas 3 (1915).
- Orde Matahari Terbit Kelas 3 (1920).
- Orde Harta Suci Kelas 2 (1926).
- Orde Harta Suci Kelas 1 (1932).
- Orde Matahari Terbit Kelas 1 (1934).
- Medali**:
- Medali Perang Meiji 37-38 (1906).
- Medali Perang Taisho 3-4 (1915).
- Medali Peringatan Aneksasi Korea (1912).
- Medali Peringatan Kunjungan Kaisar Manchukuo ke Jepang (1935).
- Dekorasi Asing**:
- Orde Delapan Trigram, Kelas 3 (dari Kekaisaran Korea, 1910).
7. Evaluasi dan Warisan
Evaluasi terhadap kehidupan dan tindakan Senjūrō Hayashi mencerminkan perannya yang kompleks dalam sejarah Jepang, terutama selama periode militarisme yang berkembang pesat.
7.1. Penilaian Positif
Hayashi diakui atas keberanian dan kepemimpinannya dalam berbagai kampanye militer. Prestasinya selama Perang Rusia-Jepang, di mana ia mendapatkan julukan "Onitaii" (Kapten Iblis) karena keputusannya yang berani di Pengepungan Port Arthur, menunjukkan kemampuan militernya yang luar biasa. Kemajuannya melalui berbagai pangkat militer hingga menjadi Jenderal Penuh dan berbagai posisi komando yang dipegangnya menegaskan kapasitasnya sebagai perwira yang cakap.
7.2. Kritik dan Kontroversi
Kritik paling signifikan terhadap Hayashi berpusat pada keputusannya yang tidak sah untuk mengerahkan pasukan ke Manchuria selama Insiden Mukden pada tahun 1931. Tindakan ini, yang merupakan pelanggaran hukum militer, secara serius melemahkan otoritas sipil dan mempercepat ekspansionisme agresif Jepang di Tiongkok, yang berdampak buruk pada hubungan internasional.
Keterlibatannya dalam perebutan kekuasaan antarfaksi yang intens di dalam Angkatan Darat Kekaisaran, khususnya konflik antara Tōseiha dan Kōdōha, juga sangat kontroversial. Keputusannya untuk memberhentikan Jinzaburō Masaki memperparah ketegangan, yang menyebabkan pembunuhan Tetsuzan Nagata dan berkontribusi pada iklim yang memicu Insiden 26 Februari. Beberapa sumber bahkan menyatakan bahwa ia dimanfaatkan sebagai "boneka" oleh faksi Tōseiha.
Masa jabatannya yang singkat dan tidak stabil sebagai Perdana Menteri, yang ditandai dengan peran-peran menteri rangkap (menyebabkan julukan "kabinet berkaki dua") dan "pembubaran lari-makan" yang mendadak, menyoroti ketidakstabilan politik pada era tersebut. Kegagalannya untuk menjembatani kesenjangan antara faksi militer dan politik semakin mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi parlementer. Secara keseluruhan, dukungan Hayashi terhadap militerisme dan perannya dalam implementasinya memiliki dampak yang mendalam dan negatif terhadap masyarakat Jepang serta hubungan internasional, khususnya di Asia Timur, yang mengarah pada konflik yang meluas.
8. Karya Terkait
- Karya Tulis**: Karya tulisnya yang diterbitkan termasuk Manshū Jiken Nisshi (満洲事件日誌Buku Harian Insiden ManchuriaBahasa Jepang, 1996), yang dilengkapi dengan komentar dari Masamori Takahashi.
- Film**: Ia diperankan dalam film tahun 1989 226 oleh Kozo Yamamura.