1. Kehidupan dan Latar Belakang
Soyen Shaku lahir dan tumbuh di pedesaan Jepang, menunjukkan bakat dan kepribadian yang kuat sejak usia muda. Perjalanan spiritualnya dimulai di usia dini, membawanya melalui berbagai pelatihan ketat di bawah bimbingan master-master Zen terkemuka, yang membentuk dasar pemahaman mendalamnya tentang ajaran Buddha.
1.1. Kelahiran dan Masa Kecil
Soyen Shaku lahir pada 10 Januari 1860 (tanggal 18 bulan 12 tahun ke-6 era Ansei menurut kalender lama) di sebuah desa petani di Takahama-chō, Distrik Ōi, Prefektur Fukui, yang saat itu merupakan bagian dari Provinsi Wakasa. Nama lahirnya adalah Tsunajiro Ichinose, putra kedua dari Ichinose Goemon. Sejak kecil, ia dikenal memiliki kepribadian yang kuat, berani, dan tidak suka tunduk kepada orang lain.
Pada tahun 1870, saat berusia 10 tahun (12 tahun menurut perhitungan tradisional Jepang), Tsunajiro diputuskan untuk menjadi biksu atas saran kakaknya. Ia diserahkan kepada Ekkei Shuken, seorang kerabat keluarga Ichinose yang merupakan kepala biara Tenju-in di Myōshin-ji, Kyoto. Ekkei Shuken saat itu baru saja mendirikan Sōdō (aula pelatihan biksu) di Tenju-in. Tsunajiro kemudian ditahbiskan di bawah bimbingan Ekkei. Ia juga belajar Hanzi dan teks-teks Zen di "Hannyarin," sebuah lembaga pendidikan di dalam kompleks Myōshin-ji.
1.2. Pendidikan dan Latihan Awal
Perjalanan pendidikan dan pelatihan awal Soyen Shaku sangat intensif dan beragam. Pada tahun 1873, ia belajar dan berlatih di bawah bimbingan Master Chiba Shungai di Ryōsoku-in, sebuah sub-kuil Kennin-ji. Di sana, ia bertemu dengan Takeda Mokurai, yang kemudian menjadi kepala biara Kennin-ji dan sahabat karibnya. Namun, masa belajarnya di "Gun'yokurin" di Kennin-ji berakhir pada tahun 1875 setelah Master Shungai meninggal dunia.
Pada tahun 1876, atas perintah gurunya, Ekkei Shuken, Soyen Shaku pergi ke Daihō-ji di Yawatahama, Prefektur Ehime, untuk berlatih di bawah Nishiyama Kazan, penerus Dharma Ekkei. Namun, ia hanya tinggal sebentar dan kemudian, dengan izin Ekkei, ia belajar Kusharon di bawah Risshi Nakagawa Taiho di Miidera, Prefektur Shiga. Selama studinya di Miidera, ia juga tinggal sekitar satu tahun di Eiun-ji (mazhab Daitoku-ji), yang saat itu dipimpin oleh Sanjo Shinjo (kemudian rektor pertama Universitas Rinzai). Hubungan ini kelak membawanya menjadi rektor kedua Universitas Rinzai (sekarang Universitas Hanazono).
Pada tahun 1877, atas perintah Ekkei lagi, ia melanjutkan pelatihan Zen di bawah Gisan Zenrai di Sōgen-ji, sebuah kuil terkenal di Okayama, Provinsi Bizen. Gisan Zenrai juga merupakan guru bagi Ekkei Shuken dan Imakita Kōsen, yang kelak menjadi guru utamanya di Engaku-ji. Meskipun Gisan Zenrai sudah berusia 76 tahun saat itu, Soyen Shaku menerima bimbingan mendalam dalam ceramah dan praktik Zazen darinya.
Pada musim gugur 1878, Soyen Shaku bergabung dengan Imakita Kōsen di Engaku-ji, Kamakura. Setelah lima tahun berlatih intensif, pada tahun 1883, saat berusia 23 tahun, ia menerima transmisi Dharma (Inka Shomei) dari Kōsen, sebuah pengakuan atas pencapaian spiritualnya. Kōsen memberinya sebuah gatha (puisi Buddhis) yang mengonfirmasi kemajuan dan pencapaiannya.
Pada tahun 1884, Soyen Shaku menjadi kepala biara Butsunichi-an, sebuah sub-kuil di dalam kompleks Engaku-ji yang didedikasikan untuk Hōjō Tokimune. Ia juga memberikan ceramah tentang "Zenkai Ichiran" di Hōrin-ji di Nagata, Yokohama, Prefektur Kanagawa.
Pada tahun 1885, ia mendaftar di Universitas Keio (Keiō Gijuku), meskipun Kōsen awalnya menentang. Dengan bantuan Torio Tokuan dan lainnya, ia berhasil masuk. Di sana, ia menjalin persahabatan yang berlangsung lama dengan Fukuzawa Yukichi, pendiri universitas tersebut.
Setelah belajar di program khusus Universitas Keio, pada tahun 1887, Soyen Shaku memutuskan untuk pergi ke Sailan (sekarang Sri Lanka) untuk mempelajari teks-teks Buddhis asli. Perjalanan ke Sailan pada masa itu sangat berbahaya dan penuh risiko. Kōsen kembali menentang keras, tetapi dengan dukungan dari Yamaoka Tesshū dan Fukuzawa Yukichi, ia tetap berangkat. Fukuzawa Yukichi mendorongnya dengan berkata, "Jika engkau bertekad pada Jalan, engkau harus pergi ke Sailan untuk menelusuri sumbernya; jangan goyahkan tekadmu." Ia tiba di Kolombo pada 31 Maret 1887, belajar Bahasa Pali, dan berlatih di biara-biara setempat. Pada 7 Mei di tahun yang sama, ia ditahbiskan sebagai Sāmaṇera dan menerima nama Dharma Pannyaketu, mengenakan jubah Sailan. Ia kembali ke Jepang pada Oktober 1889.
Selama tinggal di Sailan, pada tahun 1889, ia menerbitkan "Seinan no Bukkyo" (Buddhisme Barat Daya), di mana ia mengklasifikasikan Buddhisme Utara dan Selatan sebagai Buddhisme Timur Laut dan Barat Daya, serta Buddhisme Hinayana dan Mahayana. Ia menggolongkan Sailan, Siam, Burma, dan Kamboja sebagai Hinayana, sementara Tiongkok, Korea, Mongolia, Manchuria, Tartar, dan Tibet sebagai Mahayana.
2. Karier sebagai Master Zen
Sebagai seorang master Zen, Soyen Shaku memegang posisi kepemimpinan penting dalam mazhab Rinzai, membimbing banyak murid dan mengelola kuil-kuil utama. Perannya tidak hanya terbatas pada pengajaran spiritual, tetapi juga mencakup tanggung jawab administratif dan kepemimpinan dalam komunitas Buddhis.
2.1. Guru dan Transmisi Dharma
Soyen Shaku menerima bimbingan dari beberapa guru Zen terkemuka selama masa pelatihannya. Gurunya yang pertama adalah Ekkei Shuken dari Myōshin-ji, yang menahbiskannya dan mengajarinya dasar-dasar ajaran Buddhis. Kemudian, ia belajar di bawah Chiba Shungai di Kennin-ji, dan sempat berlatih di bawah Nishiyama Kazan di Daihō-ji. Ia juga mendalami Kusharon di bawah Nakagawa Taiho Risshi.
Namun, guru yang paling berpengaruh dalam perjalanan spiritualnya adalah Imakita Kōsen dari Engaku-ji. Soyen Shaku bergabung dengan Kōsen pada tahun 1878 dan berlatih di bawah bimbingannya selama lima tahun. Pada tahun 1883, saat berusia 23 tahun, ia mencapai pencerahan dan menerima transmisi Dharma (Inka Shomei) dari Kōsen. Ini adalah momen krusial yang menandai pengakuannya sebagai seorang Zen Master yang sah, memberinya wewenang untuk mengajar dan membimbing murid-muridnya sendiri. Kōsen sendiri mengakui keunggulan alami Soyen Shaku sejak masa mudanya.
2.2. Peran sebagai Kepala Biara dan Pemimpin
Setelah menerima transmisi Dharma, Soyen Shaku dengan cepat naik dalam hierarki Zen. Pada tahun 1884, ia menjadi kepala biara Butsunichi-an, salah satu sub-kuil penting di Engaku-ji.
Setelah kembali dari Sailan pada tahun 1889, ia mulai membimbing para praktisi Zen sebagai seorang master di dōjō Hōrin-ji di Nagata. Pada 16 Januari 1892, setelah kematian gurunya, Imakita Kōsen, Soyen Shaku terpilih secara publik sebagai kepala mazhab Engaku-ji dan master dōjō khusus Engaku-ji pada usia 32 tahun. Ini adalah posisi yang sangat bergengsi dan penting dalam mazhab Rinzai. Ia juga menjadi pengawas pengajaran keagamaan di Biro Pendidikan.
Pada tahun 1903, atas permintaan seluruh mazhab Kenchō-ji, ia juga menjabat sebagai kepala biara Kenchō-ji, memegang dua posisi kepemimpinan penting secara bersamaan. Namun, pada tahun 1905, ia mengundurkan diri dari kedua posisi tersebut dan menjadi kepala biara Tōkei-ji di Kamakura, sebuah kuil yang juga berafiliasi dengan mazhab Engaku-ji.
Pada tahun 1916, ia kembali terpilih sebagai kepala mazhab Engaku-ji. Kali ini, ia menunjuk muridnya, Furukawa Gyodo, sebagai master dōjō, sementara ia sendiri hanya menjabat sebagai kepala mazhab. Selain itu, ia juga menjabat sebagai rektor kedua Universitas Rinzai (sekarang Universitas Hanazono) dari tahun 1914 hingga 1917.
3. Pengenalan Zen ke Barat
Soyen Shaku memainkan peran yang sangat penting dalam memperkenalkan Buddhisme Zen kepada audiens Barat, menjadikannya tokoh kunci dalam dialog antarbudaya dan penyebaran ajaran Zen di luar Jepang.
3.1. Partisipasi dalam Parlemen Agama Dunia 1893
Pada tahun 1893, Soyen Shaku adalah bagian dari delegasi Jepang yang berpartisipasi dalam Parlemen Agama Dunia di Chicago, yang diselenggarakan sebagai bagian dari Pameran Kolumbus Dunia. Delegasi Jepang terdiri dari empat biksu dan dua umat awam, mewakili mazhab Rinzai Zen, Jōdo Shinshū, Nichiren, Tendai, dan Buddhisme Esoterik.
Dengan dukungan dari Fukuzawa Yukichi, Soyen Shaku berhasil mengumpulkan dana untuk perjalanannya. Ia berangkat dari Yokohama pada Agustus dan tiba di Vancouver setelah perjalanan laut selama sepuluh hari. Konferensi berlangsung dari 11 hingga 27 September.
Soyen Shaku memberikan dua pidato dalam konferensi tersebut. Pidato pertamanya berjudul "Inti Buddhisme dan Hukum Sebab Akibat," di mana ia menjelaskan bahwa ajaran dasar Buddha adalah hukum sebab dan akibat. Pidato ini telah ia siapkan di Jepang dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh muridnya yang saat itu masih muda dan belum dikenal, D. T. Suzuki. Pidato tersebut dibacakan di konferensi oleh John Henry Barrows, penyelenggara acara. Kemudian, Shaku juga menyampaikan pidato berjudul "Arbitrase sebagai Pengganti Perang."
Pidato-pidato Soyen Shaku sangat mengesankan Paul Carus, seorang filsuf dan sarjana Buddhis Amerika yang juga penerbit dari Open Court Publishing Company di La Salle, Illinois. Pertemuan ini menjadi katalisator penting bagi pengenalan Zen ke dunia Barat.
3.2. Kunjungan Pertama ke Amerika Serikat dan Aktivitas
Setelah Parlemen Agama Dunia 1893, sebelum Soyen Shaku kembali ke Jepang, Paul Carus memintanya untuk mengirim seorang penutur bahasa Inggris yang memahami Buddhisme Zen ke Amerika Serikat. Setelah kembali ke Jepang, Shaku meminta muridnya, D. T. Suzuki, seorang sarjana dari Universitas Tokyo yang sedang berlatih di bawahnya, untuk pergi ke Amerika Serikat.
D.T. Suzuki kemudian pergi ke Amerika Serikat dan bekerja sebagai penerjemah untuk perusahaan penerbitan Carus. Ia akhirnya menjadi akademisi terkemuka dalam Buddhisme Zen di Barat, menerjemahkan dan menjelaskan ajaran Zen kepada audiens berbahasa Inggris, yang sebagian besar berkat inisiatif Soyen Shaku.
3.3. Kunjungan Kedua ke Amerika Serikat dan Aktivitas Internasional
Pada tahun 1902, melalui perkenalan Nomura Yozo, yang menjadi penerjemahnya di Parlemen Agama Dunia Chicago, Ida Russell, istri dari pengusaha San Francisco Alexander Russell, dan rombongannya mengunjungi Engaku-ji. Mereka tinggal di Shōden-an, sebuah sub-kuil di kompleks Engaku-ji, dan berlatih Zen di bawah bimbingan Soyen Shaku. Ini dianggap sebagai kali pertama orang asing datang ke Jepang untuk berlatih Zen secara langsung.
Pada tahun 1905, atas undangan Ida Russell, Soyen Shaku kembali ke Amerika Serikat. Ia ditemani oleh D. T. Suzuki sebagai penerjemah dan Nyogen Senzaki sebagai pelayannya. Ia menghabiskan sembilan bulan di rumah terpencil keluarga Russell di tepi laut di San Francisco, di sepanjang Great Highway. Selama masa ini, ia mengajar seluruh anggota keluarga Russell tentang Zen. Ida Russell menjadi orang Amerika pertama yang mempelajari Kōan.
Selama kunjungan ini, ia juga memberikan ceramah di berbagai tempat di sekitar California, beberapa di antaranya untuk imigran Jepang dan beberapa diterjemahkan oleh D.T. Suzuki untuk audiens berbahasa Inggris.
Setelah merayakan Tahun Baru di San Francisco pada tahun 1906, Soyen Shaku melakukan perjalanan kereta api melintasi Amerika Serikat pada bulan Maret, memberikan ceramah tentang ajaran Mahayana yang diterjemahkan oleh Suzuki. Ia kemudian bertemu dengan Presiden Theodore Roosevelt di Washington, D.C. bersama dengan Kuasa Usaha Jepang, Hiki Masaru. Melalui penerjemahan D.T. Suzuki, mereka berdiskusi tentang perdamaian dunia.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Eropa, mengunjungi London (di mana ia bertemu Kadono Jukuro dari Okura-gumi) dan kota-kota Eropa lainnya, serta Sri Lanka, India, dan Hong Kong. Ia kembali ke Jepang pada Agustus 1906.
4. Aktivitas Utama dan Pemikiran
Selain perannya sebagai master Zen dan pelopor di Barat, Soyen Shaku juga terlibat dalam berbagai aktivitas lain dan menghasilkan karya-karya penting yang mencerminkan pemikiran mendalamnya tentang spiritualitas, masyarakat, dan etika.
4.1. Aktivitas sebagai Kapelan Militer dan Pandangan Perang
Pada tahun 1904, ketika Perang Rusia-Jepang meletus, Soyen Shaku menjabat sebagai kapelan untuk Angkatan Darat Jepang. Ia ditugaskan di Markas Besar Divisi Pertama dan melakukan misi penginjilan di Manchuria bersama pasukan.
Selama perang, ia memberikan ceramah kepada para prajurit tentang bagaimana menghadapi kematian mereka dengan ketenangan yang tak tergoyahkan. Ia menekankan bahwa mereka tidak hanya harus mengalahkan musuh eksternal, tetapi juga musuh internal mereka, yang ia sebut sebagai 心魔shinmaBahasa Jepang (iblis pikiran).
Pada tahun yang sama, penulis Rusia terkenal, Leo Tolstoy, mengundang Soyen Shaku untuk bergabung dalam mengecam perang. Namun, Shaku menolak tawaran tersebut. Ia berpendapat bahwa "terkadang pembunuhan dan perang menjadi perlu untuk membela nilai-nilai dan keharmonisan negara, ras, atau individu yang tidak bersalah." Setelah perang, ia bahkan mengaitkan kemenangan Jepang dengan budaya Samurai-nya. Pandangan ini, meskipun kontroversial bagi sebagian orang, mencerminkan pemahamannya tentang dharma dalam konteks konflik dan pertahanan.
4.2. Tulisan dan Ceramah
Soyen Shaku adalah seorang penulis yang produktif dan penceramah yang ulung. Ia menghasilkan banyak karya tulis yang membahas prinsip-prinsip inti Buddhisme Zen dan ajaran spiritual. Beberapa karya tulisnya yang signifikan meliputi:
- Seinan no Bukkyo (Buddhisme Barat Daya, 1889)
- Sekiron-tō Shi (Sejarah Pulau Sailan, 1890)
- Bankoku Shūkyō Taikai Ichiran (Ikhtisar Parlemen Agama Dunia, 1893)
- Sōryūkutsu Nenpu (Kronologi Sōryūkutsu, 1894)
- Teishō Jūgyūzu (Ceramah Sepuluh Gambar Banteng, 1896)
- Busso Sangyō Kōgi (Ceramah Tiga Sutra Buddha dan Leluhur, 1897)
- Hōkyō Zanmai Kōgi (Ceramah Samadhi Cermin Berharga, 1897)
- Kongōkyō Kōgi (Ceramah Sutra Intan, 1900)
- Zenkai Ichiran Kōgi (Ceramah Zenkai Ichiran, 1901)
- Shiryōken Kōwa (Ceramah Empat Poin Penting, 1903)
- Kōma Nisshi (Catatan Harian Penaklukan Iblis, 1904)
- Sermons of a Buddhist Abbot: A Classic of American Buddhism (2004, diterbitkan ulang)
- Zen for Americans (1989, diterbitkan ulang)
- Shinjinmei Kōwa (Ceramah Shinjinmei, 1907)
- Kankattō (1907)
- Ōbei Unsui Ki (Catatan Perjalanan Biksu Awan dan Air di Eropa dan Amerika, 1907)
- Hyōshaku Seiza no Susume (Komentar tentang Promosi Duduk Meditasi, 1908)
- Senteiroku (1909)
- Ichiji Fusetsu (Tanpa Kata-kata, 1909)
- Yūmō Seishin (Semangat Berani, 1910)
- Bukkyō Katei Kōwa (Ceramah Keluarga Buddhis, 1912)
- Zazen Wasan Kōwa (Ceramah Zazen Wasan, 1912)
- Shūyō no Shiori (Panduan Pengembangan Diri, 1913)
- Kongō Hannya Haramitsu Kyō (Sutra Intan Prajnaparamita, 1914)
- Nenge Mishō (Senyum Bunga Teratai, 1915)
- Yuima Kyō Teishō (Ceramah Sutra Vimalakirti, 1915)
- Hekiganroku Kōwa (Ceramah Rekaman Tebing Biru, 1915-1916)
- Yo no Soto (Di Luar Dunia, 1916)
- Kongōkyō Jashoku (Sutra Intan: Catatan Tambahan, 1916)
- Sōen Zenwa (Ceramah Zen Sōen, 1916)
- Rinki Ōhen (Menyesuaikan Diri dengan Situasi, 1917)
- Kachū no Rakuchi (Tanah Kebahagiaan di Tengah, 1917)
- Zenka Ichiran Kōwa (Ceramah Zenka Ichiran, 1918)
- Kannonkyō Kōwa (Ceramah Sutra Avalokitesvara, 1918)
- En'un Sosui Ryōgaku Dōjin Shuki (Catatan Ryōgaku Dōjin tentang Awan dan Air, 1918)
- Kōtei Rinzairoku (Komentar Rinzairoku, 1918)
- Mumonkan Kōgi (Ceramah Mumonkan, 1919)
- Tatakeyo Hirakaren (Ketuklah dan Akan Dibukakan, 1919)
- Wagen Aigo (Wajah Ramah dan Kata-kata Lembut, 1919)
- Kaijin Kaiba (Orang Cerdas, Kuda Cepat, 1919)
Ia juga dikenal karena ceramahnya yang mendalam tentang Rekaman Tebing Biru (Hekiganroku), yang menarik banyak cendekiawan dan tokoh terkemuka Jepang pada masanya. Pada November 1906, "Hekigan-kai" (Perkumpulan Rekaman Tebing Biru) dibentuk oleh tokoh-tokoh seperti Tokutomi Sohō, Noda Taikai, dan Hayakawa Setsudo, di mana banyak tokoh terkemuka setiap bulan mendengarkan ceramah Soyen Shaku tentang Hekiganroku. Perkumpulan ini ditutup pada Oktober 1916 setelah ia menyelesaikan ceramah tersebut.
4.3. Murid Utama dan Tokoh yang Berinteraksi
Soyen Shaku memiliki banyak murid dan berinteraksi dengan berbagai tokoh berpengaruh, baik dalam maupun luar lingkaran Buddhis. Murid-murid utamanya yang menerima transmisi Dharma (Hōshi) meliputi:
- Furukawa Gyodo (Gyodo Eikun), kepala mazhab Engaku-ji ke-6 dan ke-8.
- Seigo Hōgaku (Hōgaku Jikō), kepala mazhab Engaku-ji ke-9.
- Ōta Kaigen (Kaigen Jōshō), kepala mazhab Engaku-ji ke-7 dan kepala mazhab Daitoku-ji ke-8.
- Mamiya Eishū (Eishū Giyū), kepala mazhab Hōkō-ji ke-2.
- Shaku Daibi (Daibi Keishun), kepala mazhab Kōtai-ji ke-4.
- Tetsuo Sōkatsu (Tetsuō Sōkatsu), yang memiliki murid bernama Gotō Zuigan.
- Maruyama Eikan (Tairei Eikan).
- Ōgami Sōtatsu.
Selain murid-murid biksu, ia juga membimbing banyak murid awam (Koji) yang terkenal, termasuk:
- D. T. Suzuki (1870-1966), seorang sarjana Buddhis dan filsuf terkemuka yang memainkan peran krusial dalam memperkenalkan Zen ke Barat melalui terjemahan dan tulisannya.
- Natsume Sōseki (1867-1916), seorang novelis dan sarjana sastra Inggris terkenal. Soyen Shaku bahkan memimpin upacara pemakaman Sōseki pada 9 Desember 1916 dan menganugerahkan nama anumerta (Kaimyo) kepadanya.
- Tokugawa Yoshihisa (1884-1922), seorang politikus.
- Maeda Toshinari (1885-1942), seorang jenderal angkatan darat.
- Matsudaira Naoaki (1885-1942), seorang pengelola pertanian dan politikus.
- Hamaguchi Osachi (1870-1931), Perdana Menteri Jepang ke-27.
- Noda Utarō (1853-1927), seorang pengusaha, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Komunikasi, dan Menteri Perdagangan dan Industri.
- Izawa Shūji (1851-1917), seorang pendidik dan pelopor dalam koreksi gagap.
Ia juga berinteraksi dengan tokoh-tokoh penting lainnya seperti Paul Carus, yang ia temui di Parlemen Agama Dunia 1893 dan yang kemudian menjadi kolaborator penting dalam penyebaran Zen di Barat. Ia juga menjalin persahabatan yang erat dengan Fukuzawa Yukichi, yang membantunya masuk Universitas Keio dan mendukung perjalanannya ke Sailan. Selama kunjungan keduanya ke Amerika Serikat, ia menjadi tamu Ida Russell, yang menjadi orang Amerika pertama yang mempelajari kōan, dan bertemu dengan Presiden Theodore Roosevelt.
5. Masa Tua dan Kematian
Pada masa tuanya, Soyen Shaku terus aktif dalam menyebarkan ajaran Zen dan melakukan perjalanan ke berbagai wilayah. Ia mengakhiri hidupnya di Kamakura, meninggalkan warisan spiritual yang mendalam.
5.1. Aktivitas di Masa Tua
Setelah mengundurkan diri dari posisi kepala biara Kenchō-ji dan Engaku-ji pada tahun 1905, Soyen Shaku tetap aktif. Ia menjabat sebagai kepala biara Tōkei-ji di Kamakura.
Pada tahun 1911, ia melakukan perjalanan keliling Korea selama sekitar satu bulan. Setahun kemudian, pada tahun 1912, ia mengunjungi Manchuria. Pada tahun 1913, ia melakukan perjalanan ke Taiwan, melanjutkan misinya untuk menyebarkan ajaran Buddha.
Dari tahun 1914 hingga 1917, ia menjabat sebagai rektor kedua Universitas Rinzai (sekarang Universitas Hanazono), sebuah peran yang menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan Buddhis. Pada tahun 1916, ia kembali terpilih sebagai kepala mazhab Engaku-ji, meskipun kali ini ia menunjuk muridnya, Furukawa Gyodo, sebagai master dōjō, sementara ia sendiri fokus pada peran kepemimpinan umum. Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan ceramah panjangnya tentang Rekaman Tebing Biru (Hekiganroku) dan menutup perkumpulan Hekigan-kai. Pada Desember 1916, ia memimpin upacara pemakaman dan memberikan nama anumerta kepada muridnya, Natsume Sōseki. Pada tahun 1917, ia melakukan perjalanan ke Republik Tiongkok selama sekitar tiga bulan.
5.2. Kematian
Soyen Shaku meninggal dunia pada 29 Oktober 1919 di Kamakura, Jepang, pada usia 61 tahun. Penyebab kematiannya adalah pneumonia. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi komunitas Zen dan dunia Buddhisme secara keseluruhan, tetapi warisan dan ajarannya terus hidup melalui murid-muridnya dan karya-karyanya.
6. Warisan dan Evaluasi
Warisan Soyen Shaku sangat besar, terutama dalam perannya sebagai jembatan antara Buddhisme Zen dan dunia Barat. Meskipun demikian, seperti tokoh publik lainnya, beberapa pandangannya juga memicu diskusi dan kritik.
6.1. Pelopor Zen di Barat
Soyen Shaku diakui secara luas sebagai master Zen Buddhis pertama yang secara aktif mengajar di Amerika Serikat dan memperkenalkan Zen kepada audiens Barat. Partisipasinya dalam Parlemen Agama Dunia 1893 di Chicago adalah momen penting yang menandai dimulainya penyebaran Zen secara formal di Barat. Pidato-pidatonya di sana, terutama yang diterjemahkan oleh D. T. Suzuki, menarik perhatian para intelektual dan sarjana Barat, seperti Paul Carus.
Perannya dalam memfasilitasi perjalanan D.T. Suzuki ke Amerika Serikat adalah salah satu kontribusi terbesarnya. Suzuki kemudian menjadi figur akademis terkemuka dalam Buddhisme Zen di Barat, menerjemahkan banyak teks dan menjelaskan konsep-konsep Zen kepada audiens berbahasa Inggris. Tanpa inisiatif Soyen Shaku, penyebaran Zen di Barat mungkin akan berjalan lebih lambat atau berbeda. Kunjungan-kunjungan Soyen Shaku sendiri ke Amerika Serikat, di mana ia mengajar di rumah keluarga Russell dan memberikan ceramah di berbagai tempat, secara langsung memperkenalkan praktik dan filosofi Zen kepada orang-orang Amerika. Ida Russell, yang belajar kōan di bawah bimbingannya, menjadi orang Amerika pertama yang secara serius mempraktikkan Zen.
6.2. Kontribusi Budaya
Soyen Shaku adalah katalisator penting dalam pertukaran budaya antara Jepang dan Barat. Melalui interaksinya dengan tokoh-tokoh seperti Paul Carus, Ida Russell, dan bahkan Presiden Theodore Roosevelt, ia membantu membentuk pemahaman timbal balik antar peradaban. Ia tidak hanya menyampaikan ajaran Zen, tetapi juga memperkenalkan aspek-aspek budaya Jepang yang terkait dengan praktik tersebut.
Perjalanannya yang luas ke berbagai negara di Asia dan Eropa setelah kunjungan keduanya ke Amerika Serikat juga menunjukkan visinya yang luas tentang penyebaran Dharma secara global. Kehadirannya di panggung internasional membantu memecah stereotip dan membuka jalan bagi apresiasi yang lebih dalam terhadap spiritualitas Timur di Barat.
6.3. Kritik dan Kontroversi
Meskipun sebagian besar warisan Soyen Shaku dipandang positif, beberapa pandangannya, terutama terkait dengan Perang Rusia-Jepang, telah menjadi subjek kritik dan kontroversi. Perannya sebagai kapelan militer dan penolakannya terhadap ajakan Leo Tolstoy untuk mengecam perang menunjukkan pandangan yang kompleks tentang konflik.
Pernyataannya bahwa "terkadang pembunuhan dan perang menjadi perlu untuk membela nilai-nilai dan keharmonisan negara, ras, atau individu yang tidak bersalah" telah memicu perdebatan. Kritikus berpendapat bahwa pandangan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai pembenaran kekerasan atau nasionalisme, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Buddhis tentang tanpa kekerasan dan kasih sayang. Selain itu, ia mengaitkan kemenangan Jepang dalam perang dengan budaya Samurai, yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai bentuk glorifikasi militerisme.
Pandangan ini menyoroti kompleksitas peran seorang pemimpin spiritual dalam menghadapi konflik global dan tekanan nasionalisme pada awal abad ke-20. Meskipun demikian, penting untuk memahami konteks sejarah di mana ia hidup dan beroperasi, di mana banyak pemimpin agama di seluruh dunia bergulat dengan isu-isu perang dan perdamaian.