1. Biography
Perjalanan hidup Hwang Jin-i mencerminkan tantangan dan kebebasan seorang wanita di era Joseon yang kaku, dari kelahirannya sebagai anak haram hingga kematiannya yang diselimuti misteri.
1.1. Early Life and Background
Hwang Jin-i lahir sekitar tahun 1506 di Gaeseong (juga dikenal sebagai Songdo), sebuah kota di Dinasti Joseon. Ia dipercaya sebagai putri tidak sah dari seorang bangsawan (yangban) bernama Hwang Jin-sa, yang berasal dari keluarga bangsawan di Gaeseong, dan seorang wanita bernama Jin Hyeon-geum, yang mungkin seorang gisaeng atau berasal dari status cheonmin (kelas sosial terendah). Ada pula legenda yang menyebutkan bahwa ibunya adalah seorang rakyat jelata tunanetra. Karena status ibunya, Hwang Jin-i secara otomatis diklasifikasikan sebagai `cheonmin` berdasarkan sistem `jongmobop` Joseon, meskipun ayahnya adalah seorang `yangban`. Nama "Hwang Jin-i" sendiri diduga bukan nama aslinya, melainkan "Hwang Jin" dengan tambahan sufiks "-i" yang umum pada nama wanita di Joseon.
Meskipun dibesarkan oleh ibu tunggal, Hwang Jin-i dilaporkan tidak mengalami kesulitan materi yang besar dan dididik layaknya putri bangsawan. Ia mulai belajar Hanja pada usia tujuh tahun dan pada usia sepuluh tahun sudah mampu membaca karya-karya klasik Tiongkok serta menulis puisi Hanja. Ia juga menunjukkan bakat luar biasa dalam kaligrafi, melukis, dan bermain gayageum.
1.2. Becoming a Kisaeng
Alasan pasti Hwang Jin-i memilih menjadi gisaeng tidak diketahui secara pasti, namun beberapa legenda populer mengelilingi keputusannya. Salah satu cerita paling terkenal menyebutkan bahwa pada usia 15 tahun, ia jatuh cinta pada seorang pemuda dari kelas yang lebih tinggi. Namun, karena perbedaan status sosial mereka, pernikahan tidak mungkin terjadi, dan pemuda itu meninggal karena patah hati. Konon, saat peti mati kekasihnya melewati rumah Hwang Jin-i dalam prosesi pemakaman, peti itu tiba-tiba berhenti dan tidak mau bergerak. Hwang Jin-i kemudian berlari keluar dan melepas rok luar dari hanbok-nya untuk menutupi peti mati tersebut. Barulah setelah itu, peti mati itu mulai bergerak lagi. Peristiwa tragis ini konon mendorongnya untuk memutuskan menjadi gisaeng, karena ia merasa tidak mungkin lagi menjalani kehidupan wanita biasa setelah kehilangan cintanya.
Teori lain menyebutkan bahwa ia menjadi gisaeng karena ibunya adalah seorang gisaeng atau `cheonmin`, atau karena ia sendiri merasa tertekan oleh statusnya sebagai anak haram.
1.3. Life as a Kisaeng
Setelah memutuskan menjadi gisaeng, Hwang Jin-i mendaftarkan diri di sebuah sekolah gisaeng yang dikenal sebagai `gyobang`. Di sana, ia menerima pendidikan formal yang komprehensif, yang tidak biasa bagi wanita pada umumnya di masa itu. Ia mengasah keterampilannya dalam menari, musik, seni, sastra, dan puisi, khususnya dalam bermain geomungo dan menulis puisi sijo. Keahliannya yang luar biasa membuatnya terkenal di seluruh negeri.
Sebagai gisaeng, ia menghibur kaum bangsawan dan istana Dinasti Joseon dengan pertunjukan nyanyian sijo dan tarian. Ia menggunakan nama gisaeng Myeongwol, yang berarti "Bulan Terang" atau "Purnama Terang". Meskipun gisaeng lebih terdidik daripada kebanyakan wanita Joseon, mereka tetap dianggap sebagai kelas sosial terendah (`cheonmin`) karena pekerjaan mereka sering kali disamakan dengan pelacur. Namun, Hwang Jin-i menolak batasan-batasan ini. Ia dikenal tidak suka berdandan atau mengenakan pakaian mewah saat tampil, karena ia merasa hal itu akan menghalangi kebebasannya dalam berekspresi. Ia mendobrak kebiasaan dan menempatkan dirinya sebagai gisaeng yang bernilai lebih, menggunakan seninya sebagai sarana ekspresi diri dan perlawanan terhadap norma-norma sosial yang kaku.
Hwang Jin-i tumbuh besar di tengah periode kekacauan Dinasti Joseon, tepat setelah Raja Yeonsan-gun yang zalim digulingkan dan digantikan oleh Jungjong. Pada masa ini, Joseon mengadopsi gaya hidup baru yang memungkinkan para gisaeng memiliki ruang untuk menunjukkan bakat seni mereka.
1.4. Relationships and Intellectual Pursuits
Hwang Jin-i dikenal memiliki hubungan dengan berbagai cendekiawan, pujangga, dan bangsawan, yang sering kali ia tantang secara intelektual. Ia memiliki kepribadian yang aktif dan berani, yang membuatnya tidak tunduk pada pria, bahkan sering kali membuat mereka takluk.
Salah satu hubungannya yang paling terkenal adalah dengan Seo Gyeong-deok (juga dikenal sebagai Hwadam), seorang sarjana Neo-Konfusianisme terkemuka. Hwang Jin-i mencoba merayunya, namun gagal. Sebaliknya, ia terkesan dengan karakter dan integritas Seo Gyeong-deok, sehingga ia menjadi muridnya, sering mengunjungi kediamannya dengan geomungo dan makanan untuk belajar puisi Tang. Seo Gyeong-deok bahkan menjulukinya sebagai "bunga mawar di antara duri, indah dipandang namun tidak bisa dipetik," dan menganggapnya sebagai salah satu dari "Tiga Keajaiban Gaeseong," bersama dirinya sendiri dan Air Terjun Pakyon.
Ia juga dikenal merayu Byeok Kye-su (juga dikenal sebagai Lee Changon atau Lee Jongsuk), seorang bangsawan dan anggota keluarga kerajaan yang terkenal dengan kesombongannya. Hwang Jin-i berhasil mematahkan kesombongan Byeok Kye-su. Hubungan ini diabadikan dalam puisinya "Cheongsanri Byeokgyesu-ya".
Selain itu, ia juga berhasil merayu biksu Ji-jok Seonsa dari Gunung Cheonma, yang telah bermeditasi selama sepuluh tahun dan dianggap sebagai "Buddha hidup", sehingga ia melanggar sumpahnya. Hwang Jin-i juga pernah hidup bersama dengan penyanyi terkenal Yi Sa-jong selama enam tahun.
Kecerdasan dan kecerdikannya juga terlihat dari teka-teki terkenalnya, "Jeomiligu Idubulchool" (점일이구 이두불출Bahasa Korea; Hanzi: 點 一 二 口 牛 頭 不出Bahasa Tionghoa). Teka-teki ini ia berikan kepada setiap pria yang ingin menjadi kekasihnya, dan ia menunggu bertahun-tahun hingga ada yang bisa memecahkannya. Konon, hanya Seo Gyeong-deok yang berhasil memecahkan teka-teki tersebut. Jawaban teka-teki itu sendiri terkandung dalam judulnya: "Jeomiligu" (점일이구/點 一 二 口) membentuk karakter Tiongkok untuk "kata-kata" (言), dan "Idubulchool" (이두불출/牛 頭 不出) membentuk karakter Tiongkok untuk "siang" (午). Ketika digabungkan, keduanya membentuk karakter Tiongkok untuk "izin" (許). Ini berarti, siapa pun yang memecahkan teka-tekinya, ia akan mengizinkan pria itu masuk ke rumahnya dan berbagi ranjang dengannya. Karya tulis ini menunjukkan kecerdasan dan ketajaman pikirannya yang luar biasa, yang jarang bisa ditunjukkan oleh wanita lain pada masanya.
1.5. Later Life and Death
Tanggal dan penyebab pasti kematian Hwang Jin-i tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan ia meninggal sekitar tahun 1567. Konon, sebelum meninggal, ia meninggalkan wasiat yang unik dan menantang tradisi Konfusianisme Joseon yang kaku. Ia meminta agar jasadnya tidak dimasukkan ke dalam peti mati, melainkan dibiarkan di tepi sungai di kampung halamannya, atau di luar gerbang timur, sebagai makanan bagi semut dan burung elang. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi wanita lain agar tidak mengikuti jejaknya yang "tidak bermoral". Meskipun demikian, ada pula legenda yang menyebutkan bahwa seorang pria kemudian menguburkan jasadnya. Makamnya berada di Pangyo-ri, Jangdan-myeon, Kabupaten Jangdan, Gyeonggi-do.
Setelah kematiannya, Hwang Jin-i sering kali dianggap sebagai simbol "kemesuman" dan menjadi tabu untuk disebut-sebut oleh kaum `yangban` Joseon karena perilakunya yang dianggap menghina dan menyindir para sarjana. Namun, kisah-kisah tentangnya terus hidup melalui tradisi lisan dan cerita rakyat. Banyak dari karya-karyanya hilang akibat perang dan stigma negatif yang melekat padanya, namun beberapa puisi dan anekdotnya masih bertahan hingga kini dalam antologi seperti `Cheonggu Yeongeon`, `Haedong Gayo`, `Dongguk Siseon`, `Gagok Wonryu`, `Daedong Pung-a`, serta dalam catatan seperti `Geumgye Pildam` dan `Eou Yadam`.
2. Artistic Works
Hwang Jin-i dikenal luas karena keahliannya dalam puisi sijo dan musik geomungo. Karya-karyanya menunjukkan kemahiran luar biasa dalam penggunaan kata-kata dan aransemen musik, serta memiliki signifikansi sastra dan artistik yang tinggi.
2.1. Sijo Poetry
Hanya segelintir puisi sijo karya Hwang Jin-i yang masih ada hingga saat ini, namun semuanya menunjukkan keahlian tinggi dalam penggunaan kata-kata dan aransemen musikal. Sijo adalah bentuk puisi Korea yang terdiri dari tiga baris dan sering kali dapat dinyanyikan bersama iringan musik. Hwang Jin-i menulis sijo baik dalam aksara Tionghoa (hanmun) maupun Hangul.
Tema-tema dalam sijo Hwang Jin-i sering kali menggambarkan keindahan alam dan situs-situs terkenal di Gaeseong, seperti Istana Manwoldae dan Air Terjun Pakyon di Pegunungan Ahobiryong. Selain itu, banyak puisinya yang mengungkapkan tragedi pribadi atas cinta yang hilang atau merupakan respons terhadap puisi dan sastra klasik Tiongkok yang terkenal, yang sebagian besar juga merefleksikan tema cinta yang hilang dan perasaan duka. Puisi-puisi gisaeng pada umumnya sering kali berisi tentang kesedihan dan cinta.
Dua sijo karyanya yang paling terkenal adalah:
- Dongjitdal Ginagin Bam-eul (동짓달 기나긴 밤을Bahasa Korea)
冬至 섯달 기나긴 밤을 한 허리를 잘라 내어
春風 이불 아래 서리서리 넣었다가
어론님 오신 날 밤이여든 구뷔구뷔 펴리라.Bahasa Korea
:Aku akan membelah malam panjang di bulan November ini
:dan menggulungnya perlahan
:meletakkannya di bawah selimut musim semi yang hangat
:dan menggulungnya kembali
:saat cintaku yang membeku kembali
:aku akan membentangkannya di malam hari.
Dalam puisi ini, istilah "eoron-nim" yang digunakan Hwang Jin-i untuk kekasihnya memiliki dua makna, merujuk pada kekasihnya dan juga seseorang yang telah membeku karena dinginnya musim dingin, menunjukkan penggunaan `double entendre` yang cerdik.
- Cheongsanri Byeokgyesu-ya (청산리 벽계수(靑山裏 碧溪水)야Bahasa Korea)
청산리 벽계수(靑山裏 碧溪水)야 수이 감을 자랑 마라.
일도창해(一到滄海)하면 다시 오기 어려워라.
명월(明月)이 만공산(滿空山)할 제 쉬어간들 어떠리.Bahasa Korea
:Air hijau, janganlah berbangga
:atas aliranmu yang deras dari gunung biru.
:Sulit untuk kembali
:setelah engkau mencapai laut biru.
:Bulan purnama menghiasi bukit-bukit yang damai ini:
:Tidakkah kau mau beristirahat sebentar?
Puisi ini merupakan permainan kata atas nama pena Hwang Jin-i, Myeongwol (secara harfiah, "Bulan Terang"). Puisi ini ditulis untuk seorang pria yang terkenal karena kebajikannya, Byeok Kye-su, yang secara terkenal berhasil dirayu oleh Hwang Jin-i. "Air hijau" adalah permainan kata pada nama Byeok (벽계수Bahasa Korea). Puisi ini penuh dengan metafora dan representasi berbagai aspek dalam hidupnya. "Arus Biru" mewakili kekasih Hwang Jin-i, Lee Changon (Byeok Kye-su). Baris pertama menunjukkan Hwang Jin-i memberitahu Lee Changon untuk tidak melewatinya, di mana ia mewakili dirinya sebagai gunung dan Lee Changon sebagai sungai. Setelah sungai (Lee Changon) mencapai laut, ia tidak akan kembali. Kata "Bulan" pada baris ketiga adalah nama gisaeng Hwang Jin-i, "Myeongwol," yang berarti cahaya bulan terang; menggunakan bulan sebagai metafora untuk mewakili dirinya dalam puisi. Dalam pengertian ini, puisi tersebut mengisyaratkan bahwa ia tidak akan kembali padanya. Sebagai seorang gisaeng, hidupnya terbatas pada kelas sosial terendah sebagai `cheonmin`. Melalui puisi ini, Hwang Jin-i memberitahu Lee Changon untuk meluangkan waktu dan tinggal bersamanya sebentar. Puisi ini mewakili kerinduan dan cinta, serta emosi mentahnya yang tidak ingin berpisah dari orang yang dicintai. Karier Hwang Jin-i sebagai gisaeng mungkin menjadi rumit jika ia jatuh cinta dengan seorang klien, dan puisi ini mewakili kedalaman emosi kompleks yang dimiliki banyak gisaeng pada masa itu. Meskipun mereka lebih istimewa daripada wanita biasa dalam masyarakat karena memiliki kebebasan untuk membaca atau menulis puisi, belajar musik dan pertunjukan tari, gisaeng tidak pernah bisa menjadi istri pertama seorang `yangban`, atau dihormati sebagai wanita karena kelas sosial dan stereotip mereka. Meskipun kenyataan ini adalah bagian dari pekerjaan mereka, puisi ini, "Arus Biru", menggambarkan perjuangan perasaan dan pekerjaan yang dialami para gisaeng.
2.2. Music and Other Arts
Selain puisi, Hwang Jin-i juga sangat terampil dalam memainkan geomungo, alat musik petik tradisional Korea dengan enam senar sutra. Keahliannya dalam geomungo sering kali menjadi bagian integral dari pertunjukan sijo-nya. Beberapa sumber juga menyebutkan potensi bakatnya dalam seni lukis dan kaligrafi, menunjukkan cakupan artistiknya yang luas.
3. Social and Intellectual Contributions
Hwang Jin-i adalah sosok yang menentang norma-norma sosial kaku Dinasti Joseon, menunjukkan semangat kebebasan pribadi dan kritik tajam terhadap patriarki melalui seni dan kecerdasannya.
3.1. Defiance of Social Norms
Hwang Jin-i secara terang-terangan menentang pembatasan ketat yang diberlakukan pada wanita di era Joseon, di mana wanita sering kali terkurung di dalam rumah dan dianggap sebagai properti. Dengan memilih kehidupan sebagai gisaeng, ia memperoleh kebebasan untuk belajar dan berekspresi melalui seni, sastra, dan puisi-topik yang biasanya tidak diajarkan kepada wanita muda pada masa itu. Ia menggunakan seninya sebagai sarana untuk mengekspresikan diri dan menantang status rendah para gisaeng. Pendekatannya yang unik, seperti menolak mengenakan pakaian mewah atau riasan tebal, menunjukkan keinginannya untuk bebas berekspresi tanpa terhalang oleh penampilan. Ia berhasil mendobrak stereotip dan menempatkan dirinya sebagai gisaeng yang memiliki nilai lebih, menolak untuk tunduk pada pria dan bahkan sering kali membuat mereka takluk. Sikap ini mencerminkan perlawanannya terhadap tradisi Konfusianisme yang kolot dan masyarakat patriarki yang mengekangnya.
3.2. Intellectual Acumen
Hwang Jin-i terkenal karena kecerdasan, ketajaman akal, dan pengetahuannya yang luas. Ia tidak hanya mahir dalam seni, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam tentang Seongnihak (Neo-Konfusianisme) serta Empat Kitab dan Lima Klasik. Pengetahuannya yang luas memungkinkannya berinteraksi dan beradu argumen dengan para sarjana dan cendekiawan terkemuka pada masanya. Teka-teki terkenal yang ia ciptakan, "Jeomiligu Idubulchool", adalah bukti nyata ketajaman pikirannya dan kemampuannya untuk menantang intelektual pria-pria terpelajar. Ia adalah seorang intelektual yang tidak picik, senang bergaul dengan para sarjana yang berbudi luhur, dan memiliki pandangan yang luas.
4. Legacy and Popular Culture
Kisah Hwang Jin-i terus menginspirasi dan ditafsirkan ulang dalam berbagai bentuk media modern, menjadikannya ikon budaya abadi yang melampaui batas waktu dan geografi.
4.1. Literary Adaptations
Pada akhir abad ke-20, kisah Hwang Jin-i mulai menarik perhatian dari kedua belah pihak di Semenanjung Korea, baik Korea Utara maupun Korea Selatan. Kehidupannya telah menjadi subjek berbagai novel, opera, film, dan serial televisi.
Beberapa novelisasi tentang hidupnya meliputi karya penulis Korea Utara Hong Sok-jung pada tahun 2002, yang menjadi novel Korea Utara pertama yang memenangkan penghargaan sastra di Korea Selatan (Penghargaan Manhae). Novel ini menggambarkan Hwang Jin-i sebagai wanita "revolusioner" dan "sadar kelas". Selain itu, ada pula novel laris tahun 2004 karya penulis Korea Selatan Jeon Gyeong-rin, serta karya-karya lain oleh Kim Tak-hwan, Choi In-ho, dan Yi Tae-jun.
4.2. Film and Television

Hwang Jin-i telah digambarkan dalam berbagai film dan drama televisi, yang turut memperkuat popularitasnya di kalangan masyarakat modern. Ia sering digambarkan sebagai wanita dengan gaya yang erotis menurut ukuran zamannya, dan termasuk tokoh wanita Korea paling unik yang diangkat ke layar kaca, selain Jang Hui-bin dan Seong Chun-hyang.
- Film:
- Diperankan oleh Do Geum-bong dalam film Hwang Jin-i (1957).
- Diperankan oleh Kang Sook-hee dalam film The Life of Hwang Jin-i (1961).
- Diperankan oleh Kim Ji-mi dalam film Hwang Jin-i's First Love (1969).
- Diperankan oleh Chang Mi-hee dalam film Hwang Jin-i (1986).
- Diperankan oleh Ju Min-hee dalam film My Love Hwang Jin-i (1993).
- Diperankan oleh Ye Ji-won dalam film Madangnori Hwang Jin-i (1996).
- Diperankan oleh Song Hye-kyo dan Kim Yoo-jung (versi muda) dalam film Hwang Jin Yi (2007), yang diadaptasi dari novel Hong Sok-jung. Film ini dianggap kurang sukses karena tidak sepenuhnya menggambarkan Hwang Jin-i seperti dalam novel dan kurang menyoroti aspek Korea Utara.
- Diperankan oleh Shin Yu-ju dalam film Hwang Jin-i (2015).
- Televisi:
- Diperankan oleh Lee Mi-sook dalam serial TV MBC Hwang Jin Yi (1982).
- Diperankan oleh Yoon Hye-young dalam serial TV MBC Apgujeong-dong Hwang Jin Yi (1995).
- Diperankan oleh Choi Ju-hyun dalam serial TV SBS Im Kkeok-jeong (1996).
- Diperankan oleh Ha Ji-won dan Shim Eun-kyung (versi muda) dalam serial TV KBS2 Hwang Jini (2006), yang didasarkan pada novel Kim Tak-hwan "I, Hwang Jini". Ha Ji-won memenangkan penghargaan Daesang untuk perannya.
- Diperankan oleh Kwon Na-ra dalam serial TV KBS2 Royal Secret Agent (2020).
- Diperankan oleh HoSo Terra Toma, seorang drag queen Korea-Amerika, dalam musim keempat serial kompetisi drag Amerika The Boulet Brothers' Dragula (2021), sebagai penghormatan kepada Hwang Jin-i sebagai ikon wanita abad ke-16 yang menantang paradigma.
- Opera:
- Kisah Hwang Jin-i juga diangkat dalam opera Italia berjudul "The Moon That Rose Again After 400 Years - Hwang Jini" yang dipentaskan di Seoul Arts Center pada tahun 2003.
- Sebuah opera bernuansa budaya Korea berjudul "Hwang Jini" dipertunjukkan pada tahun 2009 oleh National Center for Korean Traditional Performing Arts di Seoul, menampilkan musik tradisional Korea dan puisi-puisi karya Hwang Jin-i.
- Musik:
- Sebuah lagu trot berjudul "Hwang Jin-i" juga populer, dibawakan oleh penyanyi Park Sang-chul.