1. Kehidupan Awal dan Karier Diplomatik
1.1. Masa Kecil, Pendidikan, dan Latar Belakang Keluarga
Mamoru Shigemitsu lahir pada 29 Juli 1887 di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Bungo-ōno, Prefektur Ōita, Jepang. Ia adalah putra kedua dari Naoyori Shigemitsu, seorang samurai dan kepala Distrik Ōno, serta Matsuko, putri dari Kōgyō Shigemitsu. Karena keluarga utama Shigemitsu tidak memiliki anak, ia diadopsi dan menjadi kepala keluarga Shigemitsu ke-26. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kitsuki (lama), Sekolah Tinggi Kelima (jurusan hukum Jerman), dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Kekaisaran Tokyo pada tahun 1911.
1.2. Memulai Karier di Kementerian Luar Negeri
Setelah lulus dan berhasil dalam ujian dinas sipil senior untuk diplomat, Shigemitsu segera bergabung dengan Kementerian Luar Negeri Jepang pada September 1911, sebagai bagian dari angkatan ke-20, bersama dengan tokoh-tokoh seperti Hitoshi Ashida, Kensuke Horiuchi, dan Kazue Kuwajima.
1.3. Penugasan di Luar Negeri dan Pengalaman Awal
Setelah Perang Dunia I, Shigemitsu mengemban berbagai penugasan diplomatik di luar negeri. Ia pernah bertugas sebagai diplomat pembantu di Jerman, sekretaris ketiga di Kedutaan Besar Inggris, dan sebentar menjadi konsul di konsulat Jepang di Portland dan Seattle, Amerika Serikat. Ia juga menjadi anggota delegasi penuh Jepang pada Konferensi Perdamaian Paris. Setelah itu, ia menjabat sebagai kepala Seksi Pertama Biro Perjanjian, sekretaris pertama di Kedutaan Besar Tiongkok, konselor di Kedutaan Besar Jerman, dan konsul jenderal di Shanghai. Pada tahun 1930, ia diangkat sebagai Duta Besar di Republik Tiongkok.
2. Aktivitas Diplomatik Pra-Perang
2.1. Menangani Insiden Manchuria dan Ketegangan Internasional
Pada September 1931, sebagian Angkatan Darat Kekaisaran Jepang secara tiba-tiba menduduki Manchuria, memicu Insiden Mukden dan menjadikannya masalah internasional. Shigemitsu, yang saat itu berada di berbagai ibu kota Eropa, aktif berusaha meredakan kekhawatiran internasional atas aktivitas militer Jepang di Manchuria. Ia mengungkapkan kemarahannya atas kehancuran posisi internasional Jepang dan hilangnya kredibilitas dengan cepat, serta berupaya menyelesaikan masalah ini melalui jalur diplomatik dan kerja sama. Namun, pada 24 Februari 1933, Liga Bangsa-Bangsa mengadopsi resolusi (berdasarkan Laporan Lytton) yang mengutuk tindakan militer Jepang di Manchuria dengan suara 42 banding 1 (Jepang menolak), yang menyebabkan Jepang menyatakan keluar dari Liga Bangsa-Bangsa dan semakin terisolasi dari komunitas internasional. Shigemitsu mencatat dalam tulisan-tulisannya bahwa negara-negara Barat berusaha mewujudkan nasionalisme di Eropa, tetapi tidak di Asia, yang sebagian besar telah mereka jajah, dan tidak mengakui kepribadian internasional bangsa-bangsa Asia.
2.2. Diplomasi Selama Insiden Shanghai Pertama
Pada Januari 1932, Insiden Shanghai Pertama pecah. Shigemitsu berhasil meminta bantuan negara-negara Barat untuk menengahi gencatan senjata antara Tentara Revolusioner Nasional Kuomintang dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Ia berhasil merundingkan perjanjian gencatan senjata dan menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata Shanghai pada 5 Mei 1932, hanya tujuh hari setelah ia terluka parah.
2.3. Serangan Hongkou Park dan Dampaknya
Pada 29 April 1932, saat menghadiri perayaan ulang tahun Kaisar Hirohito di Taman Hongkou (juga dikenal sebagai Taman Lu Xun) di Shanghai, seorang aktivis kemerdekaan Korea, Yoon Bong-Gil, melemparkan bom ke tribun kehormatan. Serangan ini menewaskan Jenderal Yoshinori Shirakawa dan melukai beberapa orang lainnya, termasuk Shigemitsu. Akibat serangan itu, Shigemitsu kehilangan kaki kanannya dan sejak saat itu berjalan dengan kaki palsu seberat 10 kg dan tongkat seumur hidupnya. Meskipun dalam kondisi kesakitan parah, ia bersikeras bahwa "gencatan senjata harus tercapai, atau masa depan negara akan jatuh ke dalam situasi yang tidak dapat diperbaiki." Ia juga menyatakan bahwa ia tidak melarikan diri saat bom dilemparkan karena lagu kebangsaan Jepang sedang dikumandangkan. Kichisaburō Nomura, seorang laksamana angkatan laut yang juga terluka dan kehilangan satu mata dalam insiden yang sama, kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dan Duta Besar untuk Amerika Serikat, berada di garis depan negosiasi Jepang-AS.

2.4. Peran sebagai Duta Besar di Uni Soviet dan Inggris
Setelah insiden Shanghai, Shigemitsu kemudian menjadi Duta Besar untuk Uni Soviet. Pada tahun 1938, ia bernegosiasi untuk menyelesaikan bentrokan perbatasan Rusia-Jepang di Bukit Changkufeng dan terlibat dalam Insiden Kanchatsu Island. Selanjutnya, ia menjabat sebagai Duta Besar Jepang untuk Inggris selama periode memburuknya hubungan Inggris-Jepang, terutama Insiden Tientsin pada tahun 1939, yang mendorong Jepang ke ambang perang dengan Inggris. Selama masa jabatannya, ia berupaya memperbaiki hubungan yang memburuk dan meminta penghentian bantuan kepada pemerintah Chiang Kai-shek. Ia mengirimkan banyak laporan yang sangat akurat mengenai situasi di Eropa kepada pemerintah pusat di Jepang. Shigemitsu ditarik kembali pada Juni 1941.
3. Peran Selama Perang Dunia II
3.1. Penolakan terhadap Kebijakan Militeristik
Shigemitsu sangat kritis terhadap kebijakan luar negeri Yōsuke Matsuoka, terutama Pakta Tripartit, yang ia peringatkan akan semakin memperkuat sentimen anti-Jepang di Amerika Serikat. Dalam perjalanan pulang dari Inggris, Shigemitsu menghabiskan dua minggu di Washington, D.C., dan berunding dengan Duta Besar Kichisaburō Nomura untuk mencoba mengatur negosiasi tatap muka langsung antara Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe dan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt. Banyak upayanya untuk mencegah Perang Dunia II membuat marah kaum militeris di Tokyo.
3.2. Menteri Luar Negeri dan Menteri Urusan Asia Timur Raya
Hanya dua hari setelah Serangan Pearl Harbor, Shigemitsu disingkirkan dengan penunjukan sebagai duta besar untuk Pemerintahan Nasional yang Direorganisasi Republik Tiongkok yang disponsori Jepang. Di Tiongkok, Shigemitsu berpendapat bahwa keberhasilan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya yang diusulkan bergantung pada perlakuan yang setara Jepang terhadap Tiongkok dan negara-negara Asia lainnya.
Pada 20 April 1943, dalam sebuah langkah yang dipandang sebagai tanda bahwa Jepang mungkin bersiap menghadapi keruntuhan Blok Poros, Perdana Menteri Jepang Hideki Tōjō mengganti Menteri Luar Negeri Masayuki Tani dengan Shigemitsu, yang selama ini teguh menentang kaum militeris. Shigemitsu kemudian menjadi Menteri Luar Negeri selama Konferensi Asia Timur Raya. Ia menentang pembentukan Kementerian Asia Timur Raya. Namun, sebagai penasihat Perdana Menteri Tōjō, ia berupaya mewujudkan pandangannya, dan pada November 1943, ia berjuang untuk mengadakan Konferensi Asia Timur Raya, di mana negara-negara Asia Timur Raya menyatakan kerja sama berdasarkan rasa hormat terhadap kemerdekaan dan kesetaraan satu sama lain. Sejak 22 Juli 1944 hingga 7 April 1945, ia menjabat secara bersamaan sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Urusan Asia Timur Raya dalam pemerintahan Kuniaki Koiso. Ia kemudian kembali menjabat sebagai Menteri Luar Negeri secara singkat pada Agustus 1945 dalam pemerintahan Pangeran Higashikuni Naruhiko, sesaat sebelum Jepang menyerah.
3.3. Upaya Menghindari Perang dan Konsekuensi
Shigemitsu telah berupaya keras untuk mencegah perang dengan Amerika Serikat, namun upayanya tersebut membuat marah kaum militeris di Jepang. Penentangannya terhadap kebijakan agresif militeris seringkali membuatnya disingkirkan atau ditempatkan pada posisi yang kurang berpengaruh, meskipun ia tetap berusaha mempengaruhi kebijakan dari dalam.
3.4. Penandatanganan Kapitulasi Jepang
Setelah Jepang menyatakan menyerah, Shigemitsu diangkat kembali sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet Pangeran Higashikuni Naruhiko. Ia menerima tugas besar untuk menandatangani dokumen kapitulasi Jepang. Pada pagi hari 2 September 1945, Shigemitsu, sebagai kuasa penuh sipil, bersama dengan Jenderal Yoshijirō Umezu, menandatangani Instrumen Kapitulasi Jepang di atas geladak kapal perang USS Missouri yang berlabuh di Teluk Tokyo.

Shigemitsu memandang peristiwa ini bukan sebagai "titik akhir yang memalukan," melainkan sebagai "titik awal untuk kelahiran kembali" Jepang. Ia mengungkapkan perasaannya saat itu dalam sebuah puisi: "Semoga banyak orang yang mencela namaku, seiring kemakmuran masa depan negaraku."

4. Pasca-Perang, Pengadilan, dan Pembebasan
4.1. Penangkapan dan Penahanan sebagai Tersangka Kejahatan Perang
Meskipun Shigemitsu dikenal luas menentang perang, atas desakan Uni Soviet, ia ditangkap oleh Panglima Tertinggi Sekutu dan ditahan di Penjara Sugamo sebagai tersangka penjahat perang.

4.2. Proses Pengadilan di Tokyo
Meskipun ada deposisi tertulis dari Joseph Grew, mantan duta besar Amerika Serikat untuk Jepang, dan protes dari Joseph B. Keenan, jaksa penuntut utama, kasus Shigemitsu tetap dibawa ke pengadilan. Ia diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh dan dinyatakan bersalah atas tuduhan melancarkan perang agresif dan tidak berbuat cukup untuk melindungi tawanan perang dari perlakuan tidak manusiawi. Namun, pengadilan sangat lunak terhadapnya dengan alasan bahwa Shigemitsu secara teratur menentang militerisme Jepang dan memprotes perlakuan tidak manusiawi terhadap tawanan perang. Para pengacaranya adalah Kenzo Takayanagi dan George A. Furness. Banyak media di Jepang dan Barat saat itu memperkirakan Shigemitsu akan dibebaskan, sehingga putusan bersalah dipandang sebagai kompromi politik oleh GHQ untuk memuaskan Uni Soviet. Bahkan, kepala jaksa Keenan mengkritik putusan tersebut sebagai "putusan yang tidak masuk akal" dan menyatakan bahwa Shigemitsu adalah seorang "pasifis" yang seharusnya dibebaskan.
4.3. Hukuman dan Pembebasan Bersyarat
Shigemitsu dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara, yang merupakan hukuman paling ringan di antara semua yang dihukum dalam persidangan tersebut. Ia dibebaskan bersyarat pada 21 November 1950, setelah menjalani hukuman selama empat tahun tujuh bulan. Saat pembebasannya, ia disambut oleh para pengacaranya dan staf penjara memberikan tepuk tangan. Status pembebasan bersyaratnya kemudian diakhiri setelah Perjanjian San Francisco berlaku pada tahun 1952, berdasarkan ketentuan perjanjian tersebut dan persetujuan antara pemerintah Jepang dengan semua negara yang berpartisipasi dalam Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh.
5. Karier Politik Pasca-Perang dan Rekonstruksi Jepang
5.1. Pembentukan Partai dan Kembalinya ke Parlemen
Setelah berakhirnya Pendudukan Jepang dan pencabutan larangan jabatan publik, Shigemitsu kembali ke dunia politik. Ia mendirikan partai politik berumur pendek bernama Kaishintō (Partai Reformasi) dan menjabat sebagai presidennya. Pada Oktober 1952, ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jepang (majelis rendah Parlemen Jepang), sebuah posisi yang ia pegang tiga kali. Pada tahun 1954, Kaishintō bergabung dengan Partai Demokrat Jepang, dan Shigemitsu menjadi wakil presiden partai tersebut. Ia sempat bersaing dengan Shigeru Yoshida untuk posisi Perdana Menteri pada tahun 1952, menempati posisi kedua dalam pemungutan suara di Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah pemilihan umum tahun 1953, ia menolak ajakan koalisi dari Partai Liberal pimpinan Yoshida yang menjadi minoritas. Meskipun sempat menjadi kandidat utama oposisi untuk Perdana Menteri, ia kalah dalam pemungutan suara kedua karena kurangnya persatuan di antara partai-partai oposisi. Akhirnya, ia menerima kerja sama kabinet dengan Yoshida. Pada 27 September 1953, ia dan Yoshida menyepakati konversi Pasukan Keamanan menjadi Pasukan Bela Diri Jepang dan rencana pertahanan jangka panjang. Pada tahun 1955, ia berpartisipasi dalam pembentukan Partai Demokrat Liberal (LDP) melalui penggabungan konservatif.
5.2. Menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri
Shigemitsu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Jepang dan Menteri Luar Negeri Jepang secara bersamaan dari Desember 1954 hingga Desember 1956, di bawah tiga kabinet Ichirō Hatoyama. Ia terus memegang jabatan Wakil Perdana Menteri setelah pembentukan LDP hingga tahun 1956. Ini adalah kali keempat ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.
5.3. Diplomasi untuk Rekonsiliasi dan Pengakuan Internasional
Pada April 1955, Shigemitsu mewakili Jepang pada Konferensi Asia-Afrika (Konferensi Bandung) yang diadakan di Indonesia. Konferensi ini menandai kembalinya Jepang untuk berpartisipasi dalam konferensi internasional sejak penarikan diri dari Liga Bangsa-Bangsa. Dalam konferensi tersebut, Jepang berhasil mendapatkan dukungan untuk keanggotaannya di PBB. Kemudian pada Agustus 1955, Shigemitsu memimpin delegasi tingkat tinggi Jepang ke Amerika Serikat untuk mendesak revisi Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang. Namun, upaya ini mendapat sambutan dingin dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles, yang merupakan arsitek utama perjanjian tersebut dan enggan untuk meninjaunya kembali. Dulles menyatakan bahwa diskusi revisi perjanjian "terlalu dini" karena Jepang "tidak memiliki persatuan, kohesi, dan kapasitas untuk beroperasi di bawah pengaturan perjanjian baru." Shigemitsu terpaksa kembali ke Jepang dengan tangan kosong.
Pada tahun berikutnya, Shigemitsu melakukan perjalanan ke Moskwa pada Juli 1956 dalam upaya menormalisasi hubungan diplomatik dan menyelesaikan Sengketa Kepulauan Kuril. Kunjungannya ini menghasilkan Deklarasi Bersama Soviet-Jepang 1956. Dalam negosiasi tersebut, Shigemitsu mengusulkan untuk menerima pengembalian dua pulau saja (Kepulauan Habomai dan Pulau Shikotan) sebagai satu-satunya cara untuk mencapai perjanjian damai dengan Uni Soviet, namun Perdana Menteri Hatoyama menolak proposal ini. Hatoyama kemudian mengunjungi Moskwa sendiri dan menandatangani Deklarasi Bersama Soviet-Jepang, yang menjamin bahwa Uni Soviet tidak akan menentang keanggotaan Jepang di PBB.
5.4. Peran dalam Keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Shigemitsu menyampaikan pidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, menjanjikan dukungan Jepang terhadap prinsip-prinsip pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan secara resmi mengajukan permohonan keanggotaan. Jepang menjadi anggota PBB ke-80 pada 18 Desember 1956. Dalam pidatonya, Shigemitsu menyatakan bahwa Jepang dapat menjadi "jembatan antara Timur dan Barat," yang disambut dengan tepuk tangan oleh delegasi negara-negara anggota PBB. Segera setelah itu, Shigemitsu sendiri mengibarkan Bendera Jepang di halaman depan Markas Besar PBB. Ia mengabadikan momen tersebut dalam sebuah puisi: "Kabut sirna, menara PBB bersinar, dan bendera matahari terbit yang kukibarkan tinggi."

Pada 23 Desember 1956, sebelum kembali ke Jepang, Kabinet Hatoyama Ichiro Ketiga telah mengundurkan diri dan Kabinet Tanzan Ishibashi telah terbentuk, sehingga Shigemitsu juga mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan Menteri Luar Negeri kepada Nobusuke Kishi. Dalam perjalanan pulang ke Jepang, ia tersenyum kepada Toshikazu Kase yang menemaninya dan berkata, "Saya tidak punya penyesalan lagi." Shigemitsu adalah Menteri Luar Negeri Jepang terakhir yang memiliki latar belakang sebagai diplomat karier (hingga tahun 2020).
6. Kehidupan Pribadi dan Karakter
Mereka yang mengenal Shigemitsu sering menggambarkannya dengan mengatakan, "Tidak memiliki kekurangan adalah kekurangannya." Setelah kehilangan kaki kanannya dalam insiden pengeboman di Shanghai, ia menggunakan kaki palsu seberat 10 kg dan tongkat di semua acara resmi. Meskipun berjalan dengan kaki palsu sangat sulit dan ia terkadang harus menempuh jarak hingga 100 km, ia sendiri tidak pernah menunjukkan ketidaknyamanan. Kemudian, ketika ia harus diangkat ke geladak kapal USS Missouri, para pelaut Amerika berjuang keras, tetapi Shigemitsu tetap tenang dan tidak gentar. (Meskipun ada anekdot yang mengatakan ia sempat menjatuhkan kruknya dan kesulitan saat menandatangani, yang ditafsirkan oleh Halsey sebagai "penundaan yang tidak pantas" dan membuatnya ditegur).

Ketika ia kembali bertugas, Menteri Luar Negeri Hirota Kōki (dalam kabinet Saitō Makoto) menunjuk Shigemitsu sebagai Duta Besar untuk Uni Soviet, sebuah posisi yang saat itu dianggap minim masalah diplomatik, demi kesehatan Shigemitsu. Namun, Shigemitsu justru berselisih dengan Kementerian Luar Negeri Soviet mengenai Insiden Changkufeng, dan media Soviet mengkritiknya sebagai "diplomat yang tidak kompeten." Ini kemudian menjadi alasan utama desakan Soviet agar ia didakwa sebagai penjahat perang kelas A.
Setelah Pasukan Pendudukan Sekutu tiba di Lapangan Terbang Angkatan Laut Atsugi, Shigemitsu, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Asia Timur Raya (dalam kabinet Pangeran Higashikuni Naruhiko), secara tegas memerintahkan Kota Yokohama untuk tidak mengizinkan pasukan Inggris dan Amerika memasuki ibu kota, tidak mengizinkan pemerintahan militer langsung, dan tidak mengizinkan penggunaan uang militer. (Poin pertama tidak sepenuhnya terwujud).
Saat ditahan di Penjara Sugamo, Shigemitsu mendengar berita kunjungan kedua Helen Keller ke Jepang. Ketika beberapa mantan jenderal mencemooh Keller dengan mengatakan, "Dia menjual kebutaannya," Shigemitsu dengan tajam mengkritik mereka sebagai "orang-orang buta hati yang patut dikasihani, sungguh perkataan yang kejam. Saya berduka untuk bangsa Jepang." Ia menyesali pandangan sempit mereka.
Meskipun memiliki hubungan dekat dengan Fumimaro Konoe, Shigemitsu sangat kritis terhadap upaya Konoe untuk menghindari tanggung jawab perang setelah kekalahan, dengan mengatakan bahwa "sikap para tersangka tanggung jawab perang semuanya menjijikkan. Terutama Pangeran Konoe..."
Setelah perang, ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Wakil Perdana Menteri di kabinet Ichirō Hatoyama, hubungan Shigemitsu dengan Hatoyama memburuk. Ini disebabkan oleh pernyataan Hatoyama yang tidak peka bahwa ia ingin menjalankan pemerintahan oleh "politikus partai" daripada "politikus birokrat." Selain itu, Hatoyama memprioritaskan normalisasi hubungan dengan Uni Soviet, sementara Shigemitsu adalah pendukung garis keras terhadap Soviet.
7. Kematian
Pada Januari 1957, setahun setelah kunjungannya ke Uni Soviet, Shigemitsu meninggal dunia akibat infark miokard (serangan jantung) pada usia 69 tahun di rumah musim panasnya di Yugawara, Prefektur Kanagawa.
8. Penilaian, Kontribusi, dan Warisan
8.1. Evaluasi Positif dan Pengaruhnya
Mamoru Shigemitsu dikenang karena keahlian diplomatiknya yang luar biasa dan kontribusinya yang signifikan terhadap perdamaian dan reintegrasi Jepang ke dalam tatanan internasional pasca-perang. Ia memainkan peran penting dalam keterlibatan internasional Jepang dan pembangunan demokrasi pasca-perang. Keberhasilannya dalam mengamankan keanggotaan Jepang di Perserikatan Bangsa-Bangsa secara luas dianggap sebagai salah satu pencapaian diplomatik terbesarnya, yang menandai kembalinya Jepang ke panggung global.
8.2. Kritik dan Perdebatan Mengenai Perannya
Meskipun Shigemitsu menentang militerisme, perannya selama perang dan tanggung jawabnya sebagai anggota kabinet perang tetap menjadi subjek kritik dan perdebatan. Banyak yang berpendapat bahwa ia seharusnya dibebaskan dari tuduhan kejahatan perang, dan putusan bersalah serta hukuman penjaranya dipandang oleh banyak pihak sebagai kompromi politik untuk memuaskan Uni Soviet, bukan berdasarkan keadilan murni. Jaksa penuntut utama, Joseph B. Keenan, sendiri mengkritik putusan tersebut sebagai "tidak masuk akal."
8.3. Karya Tulis dan Refleksi Pribadi
Shigemitsu meninggalkan beberapa karya tulis penting yang memberikan wawasan mendalam tentang filosofi politiknya dan pengalaman pribadinya selama periode yang penuh gejolak dalam sejarah Jepang. Karya-karya utamanya meliputi:
- Showa no Dōran (昭和の動乱Turbulensi ShowaBahasa Jepang) (1952)
- Gaikō Kaisōroku (外交回想録Memoar DiplomatikBahasa Jepang) (1953)
- Sugamo Nikki (巣鴨日記Buku Harian SugamoBahasa Jepang) (1953), yang merupakan buku harian yang ia tulis selama ditahan di Penjara Sugamo.
Ia juga menulis laporan diplomatik seperti Kakumei Gaikō (Diplomasi Revolusioner) (1931) dan kumpulan pidato serta opini diplomatik yang diterbitkan setelahnya. Karya-karya ini menjadi sumber berharga bagi sejarawan untuk memahami pandangannya tentang politik dan diplomasi Jepang.

8.4. Penghargaan dan Peringatan
Atas jasanya sebagai Menteri Luar Negeri dan perannya dalam mewujudkan keanggotaan Jepang di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Shigemitsu secara anumerta dianugerahi Grand Cordon of the Order of the Paulownia Flowers (勲一等旭日桐花大綬章Kun'ittō Kyokujitsu Tōka DaijushōBahasa Jepang). Beberapa peninggalan dan barang-barang pribadinya dipamerkan di Musekian, rumah tempat ia dilahirkan di Kota Kitsuki. Ia juga menerima berbagai penghargaan dan dekorasi lainnya selama kariernya, termasuk dari Manchukuo, Republik Tiongkok (rezim Wang Jingwei), dan Jerman Nazi.