1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Kehidupan awal Mitsuharu Kaneko ditandai oleh perubahan dan pengaruh yang membentuk pandangan kritis sosialnya. Ia lahir di sebuah keluarga pedagang minuman keras yang kemudian mengalami kebangkrutan, yang memaksanya untuk diadopsi dan menghadapi lingkungan keluarga yang rumit. Pengalaman-pengalaman ini, ditambah dengan pendidikan yang tidak konvensional dan perjalanan awal yang luas, menjadi fondasi bagi pemikiran anti-kemapanan dan perlawanannya terhadap otoritas.
1.1. Masa Kecil dan Pendidikan
Mitsuharu Kaneko lahir pada 25 Desember 1895, di Desa Ochi, Distrik Kaito, Prefektur Aichi (sekarang Tsushima, Aichi, khususnya Shimokiricho) sebagai putra dari Ōshika Wakichi dan Sato Yayou. Keluarga kandungnya adalah pedagang minuman keras, namun bisnis mereka bangkrut ketika ia berusia dua tahun. Keluarga tersebut kemudian pindah ke Koiichiba-cho, Nagoya (sekarang Nishiki 3-chome, Distrik Naka, Nagoya). Pada usia dua tahun, ia diadopsi oleh Kaneko Shotaro, kepala kantor cabang Shimizu-gumi di Nagoya. Meskipun ia tumbuh dalam kemewahan setelah adopsi, ia mengalami masa remaja yang tidak stabil secara mental dan depresi karena suasana rumah tangga yang konservatif dan hubungan yang canggung dengan ibu angkatnya yang masih berusia 16 tahun.
Pada tahun 1900, ayah angkatnya, Shotaro, dipindahkan ke kantor cabang Kyoto, dan keluarga tersebut pindah ke Distrik Kamigyo, Kyoto, di mana Kaneko, dengan nama Yasukazu Kaneko, masuk Sekolah Dasar Normal Tinggi Dōda. Pada tahun 1906, Shotaro dipindahkan ke kantor pusat Tokyo, dan mereka tinggal bersama kakeknya di Ginza. Kaneko masuk Sekolah Dasar Normal Tinggi Taimei (sekarang Sekolah Dasar Taimei Distrik Chuo) dan pada waktu yang hampir bersamaan menerima baptisan di sebuah gereja Kristen di Ginza Takigawa-cho (sekarang Ginza 7-chome). Ia juga belajar lukisan Jepang dari seniman ukiyo-e Kobayashi Kiyochika. Pada Juni 1907, keluarganya pindah ke Ushigome Shin-Ogawa-cho, dan ia pindah ke Sekolah Dasar Normal Tsukudo (sekarang Sekolah Dasar Tsukudo Distrik Shinjuku). Pada November tahun yang sama, ia mencoba melarikan diri ke Amerika Serikat bersama seorang teman, tetapi ditemukan dan dibawa kembali. Kesehatan Kaneko memburuk akibat gaya hidup tidak sehat selama pelarian ini, dan ia terbaring sakit hingga Maret tahun berikutnya.
Pada April 1908, ia masuk Sekolah Menengah Atas Gyosei. Ketertarikannya pada Sastra Tionghoa Klasik membawanya pada Taoisme dan sastra Edo. Selama liburan musim panas di tahun kedua sekolah menengah, ia melakukan perjalanan melintasi Semenanjung Bōsō dengan berjalan kaki. Meskipun awalnya berprestasi, ia memberontak terhadap etos sekolah menengah, menyebabkan nilainya menurun dan ia harus mengulang tahun kedua karena absen hampir 200 hari. Pada masa ini, ia mulai tertarik pada sastra modern dan bercita-cita menjadi seorang novelis, menerbitkan majalah sastra amatir yang diedarkan di antara teman-teman sekelasnya di tahun keempat sekolah menengah.
Pada April 1914, ia masuk program persiapan sastra di Universitas Waseda, tetapi ia tidak cocok dengan suasana naturalisme sastra dan terpengaruh oleh Oscar Wilde serta Mikhail Artsybashev. Akhirnya, pada Februari 1915, ia keluar dari Waseda dan masuk jurusan lukisan Jepang di Sekolah Seni Tokyo (sekarang Universitas Seni Tokyo), tetapi ia keluar pada Agustus. Pada September, ia masuk program persiapan sastra di Universitas Keio. Ia kemudian mengenang gaya hidupnya yang kacau pada masa itu dengan mengatakan, "Semua orang menganggap saya gila saat itu." Namun, ia menderita katarak paru-paru dan harus mengambil cuti selama sekitar tiga bulan sebelum akhirnya keluar dari Keio pada Juni 1916. Pada masa ini, ia bertemu dengan saudara-saudara Hoizumi Ryosuke dan Ryoshin, yang memicu minatnya pada puisi. Ia tenggelam dalam membaca puisi karya Charles Baudelaire, Kitahara Hakushu, dan Miki Rofū. Pada Juli, ia menerbitkan majalah sastra amatir Kōzu (Komposisi) bersama Ishii Yuji dan Koyama Tetsunosuke (majalah ini berhenti terbit setelah dua edisi). Ia juga lulus pemeriksaan wajib militer dengan kategori C.
1.2. Perjalanan Awal dan Pengaruh
Pada Oktober 1916, ayah angkatnya, Shotaro, meninggal dunia, dan Kaneko berbagi warisan dengan ibu angkatnya. Pada tahun 1917, ia pindah ke Akagi Motomachi, Ushigome. Ia terus menjalani gaya hidup boros, melakukan perjalanan "tanpa tujuan" ke Gifu, Kansai, dan Pulau Fukue, sambil menerbitkan majalah Tamashii no Ie (Rumah Jiwa) bersama Nakajo Tatsuo (majalah ini berhenti terbit setelah lima edisi). Terpengaruh oleh Walt Whitman dan Edward Carpenter, ia mencoba bekerja di tambang tetapi gagal. Pada Desember, ia berangkat ke Eropa untuk belajar bersama seorang teman ayahnya. Tak lama sebelumnya, ia diperkenalkan ke sebuah perusahaan percetakan oleh Kawaji Ryūkō dan menerbitkan kumpulan puisi pertamanya, Akatsuchi no Ie (Rumah Tanah Merah), pada Januari 1919 melalui Reibunsha.
Tak lama setelah publikasi Akatsuchi no Ie, Kaneko tiba di Liverpool, Britania Raya. Dari sana, ia melakukan perjalanan ke London dan kemudian ke Brussels, Belgia, di mana ia berpisah dengan teman seperjalanannya dan tinggal sendiri di pinggiran Brussels. Ia menerima keramahan dari Ivan Lepage, seorang filantropis yang pro-Jepang dan kolektor kerajinan tangan Jepang. Selama di sana, ia terpapar seni Barat dan menghabiskan hari-hari yang tenang untuk membaca, sangat terpengaruh oleh puisi Émile Verhaeren. Pada Mei 1920, ia meninggalkan Brussels dan pindah ke Paris, dan pada Desember ia naik kapal dari London untuk kembali ke Jepang, tiba pada Januari 1921.
Setelah kembali dari perjalanan dua tahun lebih di Eropa, ia menerbitkan puisi di majalah sastra amatir seperti Ningen (Manusia) dan Arashi (Badai). Ia juga terlibat dalam penyuntingan majalah puisi Rakuen (Surga) bersama Ōyama Hiromitsu, Satō Hachirō, dan Hirano Imao (majalah ini berhenti terbit setelah tiga edisi). Ia mulai merevisi puisi-puisi yang ia kumpulkan di Belgia dan menerbitkannya sebagai kumpulan puisi Koganemushi (Kumbang Jepang) pada Juli 1923. Upacara peluncuran buku tersebut dihadiri oleh Saijō Yaso, Yoshida Issui, Ishikawa Jun, Murō Saisei, dan Fukushi Kōjirō. Pengalaman-pengalaman awal dan perjalanan ini sangat memengaruhi persepsi sosialnya, memberinya pandangan yang lebih luas dan kritis terhadap dunia.
2. Aktivitas Sastra
Mitsuharu Kaneko adalah seorang penyair dan penulis produktif yang karyanya mencerminkan perhatian mendalamnya terhadap isu-isu sosial, terutama penentangannya terhadap perang dan otoritarianisme. Ia menggunakan puisinya sebagai media untuk mengkritik masyarakat dan menyampaikan pesan-pesan perlawanan, bahkan di bawah sensor ketat.
2.1. Puisi
Dunia puisi Kaneko Mitsuharu sangat kaya dan beragam, mencakup karya-karya awal hingga yang ditulis selama masa perang, di mana ia secara cerdik menghindari sensor untuk menyampaikan pesan anti-perang dan kritik sosialnya. Puisi-puisinya memiliki dampak signifikan pada masyarakat pada masanya, sering kali menantang norma-norma dan kebijakan pemerintah.
Kumpulan puisi utamanya meliputi:
- Kohro (Sang Sensor), edisi pribadi, Tokyo, 1916
- Sekido no ie (Rumah Tanah Merah), edisi pribadi, Tokyo, 1919
- Koganemushi (Kumbang Jepang), Shinchosha, Tokyo, 1923
- Dai-furan shoh (Ode untuk Pembusukan Besar), tidak diterbitkan, 1923
- Mizu no ruroh (Pengembaraan Air), Shinchosha, Tokyo, 1926
- Fuka shizumu (Hiu Tenggelam), ditulis bersama Mori Michiyo, Shinchosha, Tokyo, 1927
- Same (Hiu), Jinminsha, Tokyo, 1937
- Rakkasan (Parasut), Nihon mirai-ha hakkosho, Tokyo, 1948
- Ga (Ngengat), Hokutoshoin, Tokyo, 1948
- Onna-tachi e no eregii (Elegi untuk Wanita), Sogensha, Tokyo, 1949
- Oni no ko no uta (Lagu Anak Iblis), Jyuhjiya Shoten, Tokyo, 1949
- Ningen no higeki (Tragedi Manusia), Sogensha, Tokyo, 1952
- Hijoh (Tanpa Belas Kasih), Shinchosha, Tokyo, 1955
- Collected Poems (5 volume), Shoshi Yuriika/Shoushinsha, Tokyo, 1960-1971
- He no yoh na uta (Lagu Seperti Kentut), Schichosha, Tokyo, 1962
- IL, Keisoshobo, Tokyo, 1965
- Wakaba no uta (Lagu Daun Muda), Keisoshobo, Tokyo, 1967
- Complete Poems, Chikumashobo, Tokyo, 1967
- Aijyo 69 (Cinta 69), Chikumashobo, Tokyo, 1968
- Hana to akibin (Bunga dan Botol Kosong), Seigashobo, Tokyo, 1973
Kaneko dikenal sebagai penyair yang memiliki kritik diri dan realitas yang tajam, semangat perlawanan, dan sikap membangkang. Selama perang, ia terus menerbitkan karya-karya yang menentang tren menuju perang dengan menggunakan teknik sastra yang disamarkan untuk menghindari pengawasan dan sensor. Misalnya, dalam pengantar kumpulan puisinya Same (Hiu) tahun 1937, ia menulis, "Saya tidak akan menulis puisi lagi kecuali ketika saya sangat marah, ketika saya ingin mencemooh, atau ketika saya ingin mengolok-olok seseorang."
Puisi-puisinya sering kali memuat tema-tema seperti perang, Kaisar, agama, dan karakter feodal Jepang. Untuk menghindari sensor militer yang ketat, Kaneko menggunakan metafora, ironi, dan eufemisme dalam puisinya. Ia bahkan menulis puisi yang secara lahiriah tampak mendukung perang, seperti "Wan" (Teluk) dan "Kōzui" (Banjir), tetapi sebenarnya dimaksudkan sebagai kritik terselubung. Ia menjelaskan dalam otobiografinya, Shijin (Penyair), bahwa puisi-puisi ini "disamarkan dengan tebal" sehingga "bahkan petugas sensor pun tidak akan memahaminya sekilas." Ia menyatakan bahwa "gelembung" dalam puisinya adalah "pengungkapan kekejaman tentara Jepang," "malaikat" adalah "penolakan wajib militer dan anti-perang," dan "lambang" adalah "analisis karakter feodal Jepang." Ini menunjukkan betapa ia harus berhati-hati dalam menyampaikan pesan perlawanan di bawah rezim yang represif.
Kaneko juga menulis tentang pengalaman perjalanannya di Inggris, Belgia, Prancis, Shanghai, dan berbagai bagian Asia dan Eropa, serta perubahan sosial dari era Edo hingga Meiji, Taisho, Showa, dan periode pasca-perang. Karya-karyanya yang menggambarkan eros, seperti Aijyo 69, juga sangat dihargai.
2.2. Esai dan Karya Otobiografi
Selain puisi, Kaneko Mitsuharu juga dikenal atas karya-karya prosanya yang mendalam, termasuk esai, catatan perjalanan, dan otobiografi. Karya-karya ini mengungkapkan pengalaman hidupnya yang kaya dan pemikiran kritisnya, sering kali menyoroti pandangan pribadinya terkait isu-isu sosial.
Karya-karya esai dan otobiografinya meliputi:
- Marei Ran'in Kikoh (Catatan Perjalanan Malaya dan Hindia Belanda), 1940
- Shijin (Penyair), Heibonsha, Tokyo, 1957, sebuah otobiografi
- Dokuro-hai (Cawan Tengkorak), Chuoh kohron sha, Tokyo, 1971
- Nemure pari (Tidurlah Paris), Chuo kohron sha, Tokyo, 1973
- Nishi higashi (Barat dan Timur), Chuoh kohron sha, Tokyo, 1974
Dalam Nemure Pari, ia secara rinci menggambarkan perjuangannya untuk bertahan hidup di Paris, di mana ia melakukan "segala sesuatu yang bisa dilakukan seorang Jepang tanpa uang di Paris, kecuali prostitusi." Karya-karya ini memberikan wawasan tentang pandangannya yang tidak konvensional dan perlawanannya terhadap norma-norma sosial. Setelah perang, ia menerbitkan Ningen no Higeki (Tragedi Manusia), yang merefleksikan Jepang pasca-perang, dan Zetsubō no Seishinshi (Sejarah Spiritual Keputusasaan), yang mengkritik jalur modernisasi Jepang sejak Restorasi Meiji.
2.3. Aktivitas Penerjemahan
Kaneko Mitsuharu juga aktif dalam menerjemahkan sastra asing, terutama puisi, memainkan peran penting dalam memperkenalkan sastra Barat ke Jepang. Melalui terjemahannya, ia tidak hanya memperkaya lanskap sastra Jepang tetapi juga mungkin menyampaikan pesan-pesan sosial dan filosofis yang sejalan dengan pandangan pribadinya.
Karya-karya terjemahannya meliputi:
- Arthur Rimbaud Rimbaud Shishu (Kumpulan Puisi Rimbaud), Kadokawa Bunko, 1951, direvisi 1969.
- Illuminations Rimbaud Shishu, Kadokawa Bunko, 1999 / Doyo-sha, 2020.
- Louis Aragon Aragon Shishu (Kumpulan Puisi Aragon), disunting oleh Claude Roy, Sogensha (Seri Puisi Kontemporer Dunia, No. 1), 1951.
- Charles Baudelaire Zen'yaku Akunohana (Terjemahan Lengkap Les Fleurs du mal), Hobunkan, 1952.
- Paul Verlaine Flandre Yūki (Catatan Perjalanan Flanders), Heibonsha, 1994.
- Yamagawa Hiroshi Kyoto Shugoshoku Shimatsu: Kyu Aizu-han Rōshin no Shuki (Catatan Akhir Kyoto Shugoshoku: Memoar Seorang Sesepuh Klan Aizu Lama) (2 volume, Heibonsha Tōyō Bunko), diterjemahkan oleh Kaneko.
Terjemahan-terjemahan ini menunjukkan minatnya yang luas terhadap sastra dunia dan perannya dalam menjembatani budaya, membawa ide-ide baru ke Jepang yang mungkin sejalan dengan semangat kritisnya.
3. Aktivitas Artistik
Selain sebagai penyair, Mitsuharu Kaneko juga seorang pelukis. Meskipun detail pameran dan karya visualnya tidak sekomprehensif catatan sastranya, upaya artistiknya merupakan bagian integral dari ekspresi kreatifnya. Ia menggunakan seni visual sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan sosial, memperkaya kritiknya terhadap masyarakat dan perang.
Beberapa karya lukisnya yang diketahui meliputi:
- "Ga" (Ngengat), lukisan tinta di atas kertas shikishi
- "Kunrō (Jinrikisha no Zu)" (Lilin Asap (Gambar Rikshaw)), lukisan tinta di atas kertas shikishi
- "Hana (Kadai)" (Bunga (Judul Sementara)), cat air di atas kertas shikishi
Kumpulan lukisan dan album karyanya meliputi:
- Kaneko Mitsuharu Jisen Shiga-shū (Kumpulan Puisi dan Lukisan Pilihan Kaneko Mitsuharu), Gogatsu Shobō, 1974
- Dai-furan Shō (Ode untuk Pembusukan Besar), kumpulan puisi dan lukisan, cetakan kayu oleh Nakahayashi Tadayoshi / puisi oleh Kaneko Mitsuharu, Galerie Watari, 1975. Banyak puisi dalam koleksi ini dibuat di Brussels. Mengenai puisi "Alcohol" dan "Kusakari" (Pemotong Rumput) yang termasuk di dalamnya, penyair Iijima Kōichi menyatakan bahwa ia melihat refleksi dari Pieter Bruegel dan Hieronymus Bosch, dan khususnya "Kusakari" dianggap sebagai puisi penting yang mengarah pada puisi-puisi berikutnya seperti Same (Hiu) (1935).
- Kaneko Mitsuharu Gachō (Album Lukisan Kaneko Mitsuharu), disunting oleh Kawamura Bun'ichirō, Miki Shobō, 1981
- Kaneko Mitsuharu Tabi no Keishō: Asia Europe Hōrō no Gashū (Bentuk Perjalanan Kaneko Mitsuharu: Kumpulan Lukisan Pengembaraan Asia dan Eropa), disunting oleh Imahashi Eiko, Heibonsha, 1997
- Kaneko Mitsuharu Shincho Nihon Bungaku Album 45, Shinchosha, 1994
- Kaneko Mitsuharu Sanpo-chō (Buku Jalan-jalan Kaneko Mitsuharu), foto dan teks oleh Tōge Saizō, Our Planning, 2002
- Kaneko Mitsuharu no Tabi: Kaeranai Koto ga Saizen da yo. (Perjalanan Kaneko Mitsuharu: Tidak Kembali adalah yang Terbaik.), foto oleh Yokoyama Ryōichi, Heibonsha Corona Books, 2011
- Mabayui Zanzo: Soko ni Kaneko Mitsuharu ga Ita (Bayangan yang Menyilaukan: Kaneko Mitsuharu Ada di Sana), foto oleh Kobayashi Kisei, Watashi no Tabi Books, 2019
4. Pemikiran dan Filsafat
Pemikiran dan filosofi Kaneko Mitsuharu berakar pada semangat kritisnya terhadap masyarakat dan keyakinan kuatnya pada kebebasan individu serta perlawanan. Ia adalah seorang anarkis yang menentang segala bentuk otoritas dan penindasan, yang membentuk keterlibatan sosialnya dan mencerminkan semangat zamannya yang penuh gejolak.
4.1. Sikap Anti-Perang dan Anti-Otoritarian
Kaneko Mitsuharu dikenal karena penentangannya yang gigih terhadap perang, otoritarianisme, dan penindasan sosial. Sikap ini tidak hanya tecermin dalam karya-karyanya tetapi juga dalam tindakan pribadinya, yang secara spesifik menyoroti kontribusinya terhadap martabat manusia dan perkembangan demokrasi di Jepang.
Selama Perang Dunia II, ketika Jepang semakin condong ke arah militerisme, Kaneko secara terbuka menentang kebijakan pemerintah. Ia menggunakan metode cerdik untuk menghindari sensor, seperti yang dijelaskan dalam otobiografinya. Puisi-puisinya, seperti yang ada dalam koleksi Same (Hiu), meskipun secara lahiriah tampak netral atau bahkan mendukung perang, sebenarnya mengandung kritik terselubung terhadap kekejaman militer Jepang, penolakan wajib militer, dan sifat feodal masyarakat Jepang. Ia sengaja menyamarkan puisinya agar tidak terdeteksi oleh petugas sensor, dengan harapan pembaca yang memahami "kunci" atau konteksnya dapat menangkap makna sebenarnya.
Salah satu contoh paling menonjol dari perlawanannya adalah ketika putranya, Kan Mori, menerima surat panggilan wajib militer pada tahun 1944. Kaneko sengaja membuat putranya yang menderita bronkitis kronis berdiri di tengah hujan untuk memperburuk kondisinya, sehingga putranya dapat dibebaskan dari wajib militer. Ketika surat panggilan kedua datang pada tahun 1945, ia membawa surat keterangan medis dan bernegosiasi dengan petugas untuk menunda pendaftaran, sehingga putranya berhasil menghindari dinas militer hingga perang berakhir. Tindakan ini menunjukkan komitmennya yang teguh terhadap ketidakpatuhan sipil dan perlindungan individu dari tuntutan negara yang opresif.
Kaneko juga mengkritik "gerakan anti-perang" pada masanya, merasa bahwa beberapa di antaranya memiliki kesamaan dengan fanatisme yang ia lihat selama perang. Ini menunjukkan pandangan nuansanya yang menolak segala bentuk ekstremisme, baik dari pihak pro-perang maupun anti-perang, jika itu mengorbankan kebebasan individu.
4.2. Kritik terhadap Masyarakat dan Modernisasi
Pandangan kritis Kaneko Mitsuharu tidak hanya terbatas pada perang dan otoritarianisme, tetapi juga meluas ke proses modernisasi Jepang dan struktur sosialnya. Ia menganalisis dampak Restorasi Meiji dan perkembangan selanjutnya terhadap masyarakat Jepang, sering kali menyoroti sisi gelap dari kemajuan dan kebijakan militeristik.
Dalam karya-karyanya, terutama esai-esai yang ditulis setelah perang seperti Ningen no Higeki (Tragedi Manusia) dan Zetsubō no Seishinshi (Sejarah Spiritual Keputusasaan), Kaneko mengkritik keras jalur modernisasi yang diambil Jepang. Ia memandang bahwa modernisasi ini, yang didorong oleh militerisme dan struktur feodal yang mendalam, telah menyebabkan penderitaan dan penindasan. Ia secara khusus menyoroti bagaimana sistem sosial dan politik Jepang pada masa itu cenderung mengabaikan martabat individu dan menindas mereka yang rentan, seperti minoritas dan kaum yang kurang beruntung.
Kritiknya terhadap masyarakat dan modernisasi mencerminkan keprihatinannya terhadap hilangnya kebebasan individu dalam menghadapi kekuatan kolektif yang dominan, baik itu negara, militer, atau bahkan norma-norma sosial yang kaku. Ia berpendapat bahwa modernisasi Jepang, alih-alih membawa kemajuan sejati, justru memperkuat elemen-elemen represif dalam masyarakat.
5. Kehidupan Pribadi
Kehidupan pribadi Mitsuharu Kaneko sangat memengaruhi karya-karyanya, terutama hubungan perkawinannya dan pengalaman perjalanannya yang luas. Pengalaman-pengalaman ini memberinya perspektif unik tentang dunia dan memperkuat rasa solidaritas sosial serta pandangan internasionalnya.
5.1. Pernikahan dan Keluarga
Pada tahun 1924, Kaneko Mitsuharu kembali ke Tokyo dan mulai menjalin hubungan dengan Mori Michiyo, seorang calon novelis. Michiyo adalah seorang penyair, dan putra mereka, Kan Mori, kemudian menjadi seorang penerjemah. Kaneko juga memiliki seorang adik laki-laki, Ōshika Taku, yang juga seorang penyair dan novelis, serta seorang ipar laki-laki, Kōno Mitsu, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (suami dari adik perempuannya, Suteko). Pada Juli tahun yang sama, Michiyo hamil dan keluar dari Tokyo Women's Higher Normal School (sekarang Universitas Ochanomizu). Mereka menikah dengan perantara Murō Saisei. Pada Maret 1925, putra mereka, Kan Mori, lahir. Kaneko menafkahi keluarga dengan menerjemahkan, tetapi mereka hidup dalam kemiskinan.
Pada Mei 1927, Kaneko dan Michiyo menerbitkan kumpulan puisi bersama, Fuka Shizumu (Hiu Tenggelam). Namun, pada masa ini, Michiyo terlibat dalam hubungan romantis dengan kritikus seni Hijikata Teiichi. Untuk mengatasi masalah dalam hubungan mereka, pada September 1928, Kaneko mengusulkan perjalanan ke Asia dan Eropa, tujuan yang sangat didambakan Michiyo. Ia kemudian mengenang situasi tersebut dengan mengatakan, "Hidup di Jepang telah mencapai jalan buntu, dan saya terpaksa menyerahkan diri pada perjalanan yang sangat berbahaya ini."
Meskipun hubungan mereka mengalami pasang surut, termasuk perceraian dan rujuk berkali-kali setelah Kaneko memulai hubungan dengan penyair Ōkōchi Reiko pada tahun 1948, Mori Michiyo tetap menjadi sosok penting dalam hidupnya. Putra mereka, Kan Mori, kemudian menjadi seorang penerjemah.
5.2. Perjalanan dan Pengalaman Pribadi
Pengalaman perjalanan Kaneko Mitsuharu yang luas, terutama masa tinggalnya di Eropa dan Asia, memiliki dampak mendalam pada karya-karyanya dan pandangan dunianya. Perjalanan ini tidak hanya memperluas wawasannya tetapi juga membentuk rasa solidaritas sosial dan perspektif internasionalnya.
Pada Maret 1926, Kaneko dan Michiyo tinggal di Shanghai selama sekitar satu bulan, menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh seperti Lu Xun. Pada tahun 1927, mereka kembali ke Shanghai bersama pasangan Kunikida Torao dan tinggal selama sekitar tiga bulan, di mana mereka juga bertemu dan berinteraksi dengan Yokomitsu Riichi.
Pada September 1928, Kaneko memulai perjalanan panjang ke Asia dan Eropa. Ia awalnya tinggal di Osaka selama sekitar tiga bulan, kemudian pergi dari Nagasaki ke Shanghai, di mana ia tinggal selama lima bulan. Di Shanghai, ia membiayai perjalanannya dengan mengadakan pameran lukisan genre. Ia kemudian melanjutkan perjalanan melalui Hong Kong dan Singapura, di mana ia juga mengadakan pameran lukisan pemandangan kecil, sebelum melakukan perjalanan ke Jakarta dan Jawa. Pada November, ia berhasil mengumpulkan cukup uang untuk satu tiket ke Paris, dan ia mengirim Michiyo terlebih dahulu. Kaneko sendiri tiba di Paris pada Januari 1930 dan bertemu kembali dengan Michiyo. Di Paris, ia melakukan berbagai pekerjaan untuk bertahan hidup, termasuk membuat bingkai foto, membuat kotak bagasi untuk wisatawan, dan berdagang. Ia kemudian mengenang bahwa ia "melakukan segala sesuatu yang mungkin dilakukan oleh seorang Jepang tanpa uang di Paris."
Pada tahun 1931, ia kembali ke Brussels untuk tinggal bersama Lepage. Ia membiayai perjalanannya dengan mengadakan pameran lukisan Jepang, dan ia melakukan perjalanan ke Singapura dan kemudian ke Semenanjung Malaya selama sekitar empat bulan, meninggalkan Michiyo di Paris. Michiyo kembali ke Jepang sendirian pada April 1932, dan Kaneko menyusul pada Juni. Setelah kembali ke Jepang, atas rekomendasi ibu kandungnya, Kaneko bekerja di departemen periklanan sebuah perusahaan kosmetik yang dikelola oleh adik perempuannya, Kawano Suteko. Di sana, ia menamai merek dagang produk pembersih wajah yang mereka produksi dengan nama Moncoco (Gadis Kecil yang Lucu).
Pengalaman-pengalaman ini, terutama pengamatannya terhadap kondisi kolonialisme Eropa di Asia dan perjuangannya untuk bertahan hidup di Eropa, memperkuat pandangan anti-kemapanannya dan memberinya pemahaman yang lebih dalam tentang penderitaan manusia. Perjalanan ini membentuk perspektifnya yang luas dan kritis terhadap dunia, serta memperkuat rasa solidaritasnya dengan orang-orang yang tertindas.
6. Kematian
Mitsuharu Kaneko menulis surat wasiatnya pada April 1975. Ia meninggal pada 30 Juni 1975, pukul 11:30 pagi, di rumahnya di Kichijoji Honcho, Musashino, Tokyo, karena gagal jantung akut yang disebabkan oleh asma bronkial. Upacara pemakamannya diadakan pada 5 Juli di Sennichidani Kaido.
7. Penilaian dan Pengaruh
Mitsuharu Kaneko meninggalkan warisan sastra dan artistik yang mendalam, memengaruhi generasi selanjutnya dengan semangat kritisnya dan pesan-pesan pasifisnya. Ia menerima pengakuan atas pencapaiannya, dan karyanya terus dipelajari dan diterbitkan secara anumerta.
7.1. Penghargaan dan Pengakuan
Kaneko Mitsuharu menerima beberapa penghargaan dan pengakuan resmi atas pencapaiannya dalam sastra dan seni. Pada Januari 1954, ia dianugerahi Penghargaan Yomiuri ke-5 untuk karyanya Ningen no Higeki (Tragedi Manusia). Pada Maret 1972, ia menerima Penghargaan Menteri Pendidikan untuk Seni (Geijutsu Senshō Monbu Daijin-shō) atas karyanya Fūryū Shikai-ki.
7.2. Penilaian Kritis
Kaneko Mitsuharu secara umum dikenal sebagai penyair perlawanan dan pembangkang yang memiliki kritik tajam terhadap diri sendiri dan realitas. Kritikus dan akademisi telah menganalisis kontribusi sastra dan artistiknya, dengan fokus pada interpretasi pandangan kritis sosialnya dan semangat zamannya.
Selama perang, ia terus menerbitkan karya-karya yang menentang tren menuju perang dengan menggunakan teknik sastra yang disamarkan untuk menghindari pengawasan dan sensor. Ia menulis tentang perang, Kaisar, agama, dan karakter feodal Jepang. Ia juga dikenal karena karyanya yang menggambarkan perjalanan dan perubahan sosial dari era Edo hingga periode pasca-perang.
Ada perdebatan mengenai beberapa puisinya, seperti "Wan" (Teluk) dan "Kōzui" (Banjir), yang oleh beberapa kritikus seperti Sakuramoto Tomio, diklaim sebagai puisi yang mendukung perang. Namun, Koganemushi: Kaneko Mitsuharu Kenkyū Dai 4-gō (Kumbang Jepang: Studi Kaneko Mitsuharu No. 4), yang diterbitkan oleh Kaneko Mitsuharu no Kai, membantah klaim ini. Mereka berpendapat bahwa interpretasi tersebut menyimpangkan esensi puisi Kaneko karena tidak memahami metode puitis dan niatnya. Mereka menganalisis secara rinci modifikasi dan poin-poin yang disorot dalam setiap puisi, serta situasi majalah pada saat publikasi (misalnya, kontradiksi dalam menunjuk satu puisi sebagai anti-perang dan yang lain sebagai pro-perang dalam majalah yang sama), untuk membantah pendapat Sakuramoto.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Kaneko, yang terus menulis karya-karyanya meskipun merasa terancam selama perang, tidak mungkin tiba-tiba menulis puisi yang memuji perang. Mengingat ia juga menulis puisi anti-perang dan perlawanan selama perang, para peneliti menganalisis bahwa ia menggunakan metafora, eufemisme, dan ironi (sarkasme, sindiran, sindiran) untuk mengalihkan perhatian sensor dan polisi rahasia. Misalnya, puisi "Wan" diawali dengan kutipan dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel: "Jika ada orang yang beristirahat dalam kedamaian abadi, itu hanyalah kemerosotan." Bagi mereka yang memahami karya Kaneko, ini adalah kebalikan dari apa yang ia yakini. Penempatan kutipan ini secara sengaja di awal puisi berfungsi sebagai "kunci" bagi pembaca untuk memahami bahwa isi puisi tersebut harus dibaca dengan makna ironis atau negatif.
Kaneko juga menulis esai seperti Amanojaku no Usabarashi (Pelepasan Frustrasi Iblis) yang dimuat dalam Hankotsu atau Jibun to Iu Mono, di mana ia menyatakan bahwa ia merasakan kesamaan antara gerakan anti-perang saat itu (saat esai ditulis) dan fanatisme yang ia saksikan selama perang. Ini menunjukkan pandangannya yang kompleks dan menolak segala bentuk ekstremisme.
Di tahun-tahun terakhir hidupnya, ia sering tampil di televisi dan melakukan diskusi, beberapa di antaranya dikumpulkan dalam Kaneko Mitsuharu Geta-baki Taidan (Diskusi Sandal Getah Kaneko Mitsuharu). Setelah perang, ia menerjemahkan Kyoto Shugoshoku Shimatsu: Kyu Aizu-han Rōshin no Shuki (Catatan Akhir Kyoto Shugoshoku: Memoar Seorang Sesepuh Klan Aizu Lama) karya Yamagawa Hiroshi, dan menulis Ningen no Higeki (Tragedi Manusia) serta Zetsubō no Seishinshi (Sejarah Spiritual Keputusasaan), yang mengkritik jalur modernisasi Jepang sejak Restorasi Meiji.
7.3. Publikasi Anumerta
Setelah kematiannya, banyak karya Kaneko Mitsuharu yang diterbitkan ulang atau dikumpulkan, memungkinkan pembaca baru untuk meninjau kembali dan menghargai kontribusinya.
Beberapa publikasi anumerta utama meliputi:
- Kaneko Mitsuharu Shishū (Kumpulan Puisi Kaneko Mitsuharu), Shichōsha Gendaishi Bunko, edisi baru 2008, format shinsho.
- Fūryū Shikai-ki, Kōdansha Bungei Bunko, 1990.
- Kaneko Mitsuharu Shishū (Kumpulan Puisi Kaneko Mitsuharu), disunting oleh Kiyooka Takayuki, Iwanami Bunko, 1991.
- Onna-tachi e no Itamiuta: Kaneko Mitsuharu Shishū (Lagu Kesedihan untuk Wanita: Kumpulan Puisi Kaneko Mitsuharu), Shūeisha Bunko, 1992.
- Shijin Kaneko Mitsuharu Jiden (Otobiografi Penyair Kaneko Mitsuharu), Kōdansha Bungei Bunko, 1994.
- Kaneko Mitsuharu Shō: Shi to Sanbun ni Miru Shijin-zō (Antologi Kaneko Mitsuharu: Citra Penyair dalam Puisi dan Prosa), disunting oleh Kawamura Bun'ichirō, Fuzanbō Hyakka Bunko, 1995, format shinsho.
- Zetsubō no Seishinshi, Kōdansha Bungei Bunko, 1996.
- Ningen no Higeki, Kōdansha Bungei Bunko, 1997.
- Onna-tachi e no Elegii, Kōdansha Bungei Bunko, 1998.
- Hito yo, Kan'onare (Wahai Manusia, Berlapang Dadalah), Chūkō Bunko, 2003.
- Dokuro-hai, Chūkō Bunko, edisi revisi 2004.
- Marei Ran'in Kikō, Chūkō Bunko, edisi revisi 2004.
- Haeba Tate, Chūkō Bunko, 2004.
- Nemure Pari, Chūkō Bunko, edisi revisi 2005.
- Rurō (Pengembaraan) Kaneko Mitsuharu Essay Collection, 3 volume:
- Itan (Bid'ah), Hankotsu (Perlawanan) (disunting oleh Ōba Kayarō), Chikuma Bunko, 2006.
- Nishi Higashi, Chūkō Bunko, edisi revisi 2007.
- Sekai Misemono Zukushi (Koleksi Pameran Dunia), Chūkō Bunko, 2008.
- Bersama Mori Michiyo dan Mori Kan, Shishū "Sannin" (Kumpulan Puisi "Tiga Orang"), Kōdansha, 2008 / Kōdansha Bungei Bunko, 2019.
- Kaneko Mitsuharu Chikuma Nihon Bungaku 038, Chikuma Shobō, 2009, format bunko.
- Jiyū ni Tsuite: Kaneko Mitsuharu Rōkyō Zuisō (Tentang Kebebasan: Esai Reflektif Kaneko Mitsuharu di Usia Tua), Chūkō Bunko, 2016.
- Jibun to Iu Mono: Kaneko Mitsuharu Rōkyō Zuisō (Tentang Diri Sendiri: Esai Reflektif Kaneko Mitsuharu di Usia Tua), Chūkō Bunko, 2016.
- Marei no Kanshō: Kaneko Mitsuharu Shoki Kikō Shūi (Sentimen Malaya: Koleksi Catatan Perjalanan Awal Kaneko Mitsuharu), Chūkō Bunko, 2017.
- Bersama Mori Michiyo, Aibō (Pasangan), Chūkō Bunko, 2021.
- Shijin / Ningen no Higeki: Kaneko Mitsuharu Jidenteki Sakuhinshū (Penyair / Tragedi Manusia: Kumpulan Karya Otobiografi Kaneko Mitsuharu), Chikuma Bunko, 2023.
8. Pengaruh terhadap Musik Folk
Mitsuharu Kaneko juga memiliki interaksi yang signifikan dengan musisi musik folk dan puisinya digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kritis sosial.
Beberapa musisi folk yang terinspirasi oleh karyanya meliputi:
- Takada Watari: Mengadaptasi puisi Kaneko dalam lagu "69".
- Higashino Hitoshi: Mengadaptasi puisi Kaneko dalam lagu "Umarete Hajimete no Koto o Onna wa Sareru" (Wanita Melakukan Hal yang Belum Pernah Dilakukan Sejak Lahir).
- Tomobe Masato: Mengadaptasi puisi Kaneko dalam lagu "Ehagaki" (Kartu Pos).
Penggunaan puisinya dalam musik folk membantu menyebarkan pesan-pesan anti-kemapanan dan kritik sosialnya kepada audiens yang lebih luas, terutama di kalangan generasi muda yang mencari ekspresi perlawanan dan kebebasan.