1. Kehidupan dan Latar Belakang
Theo van Gogh lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang memiliki sejarah panjang dan terkait dengan tokoh-tokoh penting dalam seni dan perlawanan.
1.1. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Theodoor van Gogh lahir pada 23 Juli 1957 di Den Haag, Belanda, dari pasangan Anneke dan Johan van Gogh. Ayahnya, Johan van Gogh, pernah bertugas di dinas rahasia Belanda, yang saat itu dikenal sebagai BVD (sekarang AIVD). Theo van Gogh dinamai sesuai nama paman dari pihak ayahnya, Theo, seorang pejuang perlawanan yang ditangkap dan dieksekusi selama pendudukan Nazi di Belanda selama Perang Dunia II.
1.2. Masa Kecil dan Pendidikan
Setelah keluar dari sekolah hukum di Universitas Amsterdam, Theo van Gogh beralih profesi menjadi seorang manajer panggung. Meskipun demikian, gairah sejatinya adalah pembuatan film, yang kemudian menjadi fokus utama dalam kariernya.
1.3. Leluhur
Theo van Gogh adalah cicit dari Theo van Gogh, seorang pedagang seni yang merupakan adik dari pelukis terkenal Vincent van Gogh. Silsilah keluarganya menunjukkan garis keturunan yang kaya, termasuk:
- 1. Theo van Gogh (1957-2004)
- 2. Johan van Gogh (1922-2009)
- 3. Anneke Vonhoff (lahir 1936)
- 4. Vincent Willem van Gogh (1890-1978)
- 5. Josina Wibaut (1890-1933)
- 8. Theo van Gogh (1857-1891)
- 9. Johanna van Gogh-Bonger (1862-1925)
- 10. Floor Wibaut (1859-1936)
- 11. Mathilde Berdenis van Berlekom (1862-1952)
2. Karier
Theo van Gogh memiliki karier yang beragam dan produktif di berbagai bidang seni dan jurnalisme, yang seringkali ditandai dengan gaya provokatif dan kontroversial.
2.1. Sutradara Film
Van Gogh memulai debutnya sebagai sutradara dengan film Luger pada tahun 1981. Ia kemudian menyutradarai banyak film, seringkali dengan tema-tema politik. Ia menerima penghargaan Gouden Kalf (penghargaan film Belanda) untuk film Blind Date (1996) dan In het belang van de staat (1997). Untuk film yang terakhir, ia juga mendapatkan "Certificate of Merit" dari Festival Film Internasional San Francisco.
2.2. Penulis dan Jurnalis
Sejak tahun 1980-an, Van Gogh aktif sebagai kolumnis surat kabar, menulis ulasan untuk harian seperti Metro dan surat kabar lainnya. Ia dikenal sebagai penulis yang suka memprovokasi dan menjadi figur kontroversial. Ia menggunakan kolom-kolomnya untuk menyuarakan frustrasinya terhadap politikus, aktor, sutradara film, penulis, dan tokoh-tokoh lain yang dianggapnya bagian dari "kemapanan".
Ia juga mengelola situs web pribadinya, De Gezonde RokerBahasa Belanda ("Si Perokok Sehat"), yang digunakannya untuk menyampaikan kritik keras terhadap masyarakat multikultural. Ia pernah menyatakan bahwa Belanda begitu sarat dengan gejolak sosial sehingga terancam berubah menjadi "sesuatu yang mirip Belfast". Buku terakhirnya, yang diterbitkan pada tahun 2003, berjudul Allah weet het beterBahasa Belanda ("Allah Lebih Mengetahui"), di mana ia secara kuat mengutuk Islam. Ia adalah seorang kritikus Islam yang vokal, terutama setelah Revolusi Iran dan Serangan 11 September 2001.
2.3. Aktor dan Aktivitas Lain
Selain sebagai sutradara dan penulis, Van Gogh juga terlibat dalam dunia akting, tampil dalam film De noorderlingen ("Orang Utara", 1992). Sejak tahun 1990-an, ia juga aktif bekerja di industri televisi sebagai produser.
3. Pandangan dan Aktivitas
Pandangan dan aktivitas Theo van Gogh seringkali memicu kontroversi, terutama terkait kritiknya terhadap Islam dan sikap politiknya yang blak-blakan.
3.1. Kritik terhadap Islam dan Pandangan Sosial
Van Gogh dikenal luas karena pandangannya yang kritis terhadap Islam, terutama setelah peristiwa 11 September 2001. Ia adalah pendukung kuat pencalonan penulis dan politikus Ayaan Hirsi Ali (kelahiran Somalia) untuk parlemen Belanda. Hirsi Ali, yang berimigrasi ke Belanda untuk menghindari pernikahan paksa, kemudian menjadi seorang penulis dan politikus liberal (mantan anggota Partai Buruh PvdA).
Bersama dengan Hirsi Ali, Van Gogh membuat film pendek berdurasi 10 menit berjudul Submission. Film ini membahas kekerasan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam, menceritakan kisah empat wanita Muslim yang mengalami kekerasan. Judul film, Submission, adalah terjemahan kata "Islam" ke dalam bahasa Inggris. Dalam film tersebut, tubuh telanjang wanita, dengan teks-teks dari Al-Qur'an yang ditulis di atasnya dengan henna (sebagai alusi pada ritual pernikahan tradisional di beberapa budaya), diselimuti kain tembus pandang saat para wanita berlutut dalam doa, menceritakan kisah mereka seolah-olah berbicara kepada Allah.
Setelah film tersebut ditayangkan di televisi publik Belanda pada Agustus 2004, surat kabar De Volkskrant melaporkan bahwa jurnalis Francisco van Jole menuduh Hirsi Ali dan Van Gogh melakukan plagiarisme, dengan mengatakan bahwa mereka telah mengambil ide dari seniman video Iran-Amerika Shirin Neshat, yang karyanya menggunakan teks Arab yang diproyeksikan ke tubuh.
Menyusul penayangan film tersebut, baik Van Gogh maupun Hirsi Ali menerima ancaman pembunuhan. Van Gogh tidak menganggap serius ancaman tersebut dan menolak perlindungan apa pun. Menurut Hirsi Ali, Van Gogh berkata, "Tidak ada yang membunuh orang bodoh desa", sebuah istilah yang sering ia gunakan untuk dirinya sendiri. Film ini dianggap oleh sebagian kalangan dalam masyarakat Islam sebagai representasi yang salah terhadap ajaran Islam.
3.2. Sikap Politik
Van Gogh adalah anggota gerakan Masyarakat Republik Belanda yang menganjurkan penghapusan monarki di Belanda. Ia juga merupakan teman dan pendukung politikus Belanda yang kontroversial, Pim Fortuyn, yang dibunuh pada tahun 2002.
4. Kehidupan Pribadi
Theo van Gogh memiliki pandangan yang kuat dan gaya hidup yang terbuka, yang juga menjadi bagian dari citra publiknya yang kontroversial.
4.1. Pernikahan dan Keluarga
Theo van Gogh memiliki seorang putra bernama Lieuwe van Gogh. Lieuwe van Gogh pernah mengklaim bahwa ia diserang dalam beberapa kesempatan oleh pemuda keturunan Maroko dan Turki, dan bahwa polisi tidak memberinya bantuan atau perlindungan. Namun, pihak kepolisian membantah menerima laporan serangan tersebut.
5. Pembunuhan
Pembunuhan Theo van Gogh adalah peristiwa yang mengguncang Belanda dan memicu perdebatan sengit mengenai kebebasan berbicara, imigrasi, dan integrasi sosial.


5.1. Latar Belakang dan Kronologi Kejadian
Pada sekitar pukul 9 pagi tanggal 2 November 2004, Theo van Gogh ditembak beberapa kali dan lehernya digorok saat ia sedang bersepeda menuju tempat kerja di Amsterdam Timur, tepatnya di sudut jalan Linnaeusstraat dan Mauritskade, di depan sebuah toko bunga. Ia meninggal seketika di tempat kejadian. Pelaku, Mohammed Bouyeri, juga melukai beberapa orang yang lewat dan meninggalkan sebuah catatan yang ditusukkan ke perut Van Gogh dengan pisau. Catatan tersebut berisi ancaman pembunuhan terhadap Ayaan Hirsi Ali, yang kemudian bersembunyi. Catatan itu juga mengancam negara-negara Barat dan Yahudi, serta merujuk pada ideologi organisasi Mesir Jama'at al-Muslimin.
5.2. Pelaku dan Motif
Pelaku pembunuhan adalah Mohammed Bouyeri, seorang warga negara Belanda-Maroko berusia 26 tahun. Ia ditangkap oleh polisi setelah pengejaran. Pihak berwenang menduga bahwa Bouyeri memiliki hubungan teroris dengan Jaringan Hofstad yang berbasis di Belanda. Bouyeri didakwa dengan percobaan pembunuhan beberapa petugas polisi dan warga sipil, kepemilikan senjata api ilegal, dan konspirasi untuk membunuh orang lain, termasuk Ayaan Hirsi Ali. Ia dinyatakan bersalah dalam persidangan pada 26 Juli 2005, dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat. Motif utama di balik tindakannya adalah penolakannya terhadap film Submission yang disutradarai oleh Van Gogh.
5.3. Pemakaman dan Situasi Langsung
Pembunuhan Van Gogh memicu kemarahan dan duka di seluruh Belanda. Bunga, catatan, gambar, dan berbagai ekspresi duka cita ditinggalkan di lokasi pembunuhan. Upacara kremasi Van Gogh berlangsung pada 9 November 2004. Beberapa waktu sebelum kematiannya, Van Gogh telah membicarakan keinginan pemakamannya dengan teman-temannya, karena khawatir tidak akan selamat dari penerbangan yang direncanakan ke New York. Ayah Van Gogh berpendapat bahwa putranya akan menyukai perhatian media yang dipicu oleh pembunuhannya.
Sehari setelah pembunuhan, polisi Belanda menangkap delapan orang yang diduga termasuk dalam kelompok yang kemudian dikenal sebagai Jaringan Hofstad. Enam dari mereka adalah warga Belanda-Maroko, satu warga Belanda-Aljazair, dan satu lagi memiliki kewarganegaraan ganda Spanyol-Maroko. Biro Pengaduan Diskriminasi di Internet Belanda (MDI) menerima banyak keluhan tentang situs web yang diduga memuji pembunuhan tersebut dan membuat ancaman pembunuhan terhadap orang lain.
Pada saat yang sama, dimulai dengan empat percobaan pembakaran di masjid pada akhir pekan 5-7 November, terjadi insiden kekerasan balasan terhadap Muslim, termasuk sebuah bom yang meledak di sebuah sekolah Muslim di Eindhoven. Pusat Pemantauan Belanda untuk Rasisme dan Xenofobia mencatat total 106 insiden kekerasan pada November 2004 yang menargetkan Muslim. Badan Kepolisian Nasional Belanda (KLPD) mencatat 31 kejadian kekerasan terhadap masjid dan sekolah Islam antara 23 November 2004 dan 13 Maret 2005. Sebuah serangan pembakaran menghancurkan sebuah sekolah dasar Muslim di Uden pada Desember 2004. Pada 8 November, gereja-gereja Kristen juga dilaporkan menjadi sasaran vandalisme dan serangan pembakaran. Sebuah laporan untuk Anne Frank Foundation dan Universitas Leiden mencatat total 174 insiden kekerasan antara 2-30 November, dengan masjid menjadi sasaran kekerasan 47 kali dan gereja 13 kali.

5.4. Dampak Sosial dan Politik
Pembunuhan Theo van Gogh memperlebar dan mempolarisasi perdebatan di Belanda mengenai posisi sosial lebih dari satu juta penduduk Muslim-nya. Peristiwa ini juga semakin mempertanyakan tradisi liberal negara tersebut, mengingat hanya dua tahun setelah pembunuhan Pim Fortuyn. Sebagai reaksi yang jelas terhadap pernyataan kontroversial tentang agama-agama Islam, Kristen, dan Yahudi-seperti yang telah dibuat Van Gogh-Menteri Kehakiman Belanda, Demokrat Kristen Piet Hein Donner, menyarankan agar undang-undang penistaan agama Belanda harus diterapkan lebih ketat atau dibuat lebih keras. Partai liberal D66 justru menyarankan untuk menghapus undang-undang penistaan agama sama sekali.
Geert Wilders, yang saat itu adalah anggota independen Dewan Perwakilan Rakyat, menganjurkan penghentian imigrasi selama lima tahun dari masyarakat non-Barat, dengan mengatakan: "Belanda telah terlalu toleran terhadap orang-orang yang tidak toleran terlalu lama. Kita seharusnya tidak mengimpor masyarakat Islam politik yang terbelakang ke negara kita." Wilders dan Ayaan Hirsi Ali bersembunyi selama beberapa minggu. Wilders sejak saat itu berada di bawah perlindungan pengawal, dan Hirsi Ali akhirnya pindah ke Amerika Serikat.
6. Warisan dan Penghormatan
Kematian Theo van Gogh meninggalkan warisan yang mendalam dalam perdebatan mengenai kebebasan berbicara dan toleransi di Belanda.

6.1. Monumen dan Yayasan
Pada 18 Maret 2007, sebuah patung untuk menghormati Theo van Gogh, berjudul De Schreeuw ("Jeritan"), diresmikan di Amsterdam. Patung ini terletak di Oosterpark, tidak jauh dari lokasi pembunuhan Van Gogh. Monumen ini menjadi simbol kebebasan berbicara. Sebuah yayasan swasta, Yayasan Kebebasan Berekspresi, didirikan untuk membantu mendanai perlindungan bagi para kritikus Islam dan Muslim.
7. Karya
Theo van Gogh adalah seorang seniman yang produktif, menghasilkan berbagai karya dalam bentuk buku dan film.
7.1. Buku
- Engel ("Malaikat", 1990)
- Er gebeurt nooit iets ("Tidak Pernah Ada Apa-apa", 1993)
- Sla ik mijn vrouw wel hard genug? ("Apakah Saya Memukul Istri Saya Cukup Keras?", 1996)
- De gezonde roker ("Si Perokok Sehat", 2000)
- Allah weet het beter ("Allah Lebih Mengetahui", 2003)
- De tranen van Mabel ("Air Mata Mabel", bersama Tomas Ross, 2004)
7.2. Filmografi
Berikut adalah daftar film yang disutradarai, ditulis, atau dibintangi oleh Theo van Gogh, termasuk proyek yang belum selesai:
- Luger (1982)
- Een dagje naar het strand ("Sehari di Pantai", 1984)
- Charley (1986)
- Terug naar Oegstgeest ("Kembali ke Oegstgeest", 1987)
- Loos ("Liang", 1989)
- Vals licht ("Cahaya Palsu", 1993)
- Ilse verandert de geschiedenis ("Ilse Mengubah Sejarah", 1993)
- 1-900 (1994)
- Reunie ("Reuni", 1994)
- Eva (1994)
- Een galerij: De wanhoop van de sirene ("Sebuah Galeri: Keputusasaan Sirene", 1994)
- De eenzame oorlog van Koos Tak ("Perang Sendiri Koos Tak", 1995)
- Blind Date (1996)
- Hoe ik mijn moeder vermoordde ("Bagaimana Aku Membunuh Ibuku", 1996)
- In het belang van de staat ("Demi Kepentingan Negara", 1997)
- Au ("Aduh", 1997)
- De Pijnbank ("Bangku Siksa", 1998)
- Baby Blue (2001)
- De nacht van Aalbers ("Malam Aalbers", 2001)
- Najib en Julia (2002). Sebuah drama televisi berdasarkan Romeo dan Juliet karya William Shakespeare, di mana seorang gadis kulit putih kelas atas menjalin hubungan dengan seorang pemuda pengantar pizza keturunan Maroko.
- Interview (2003), sebuah film di mana seorang jurnalis sinis mewawancarai seorang aktris-cum-sosialita.
- Zien ("Melihat", 2004)
- "Submission: Part 1" (2004). Bagian pertama dari seri yang direncanakan.
- Cool (2004), sebuah film tentang pelanggar muda, beberapa di antaranya keturunan Maroko, yang memerankan diri mereka sendiri.
- 06/05 (2004). Sebuah drama berdasarkan fakta tentang pembunuhan Pim Fortuyn.
- Medea (2005). Sebuah adaptasi dari drama Medea.
7.2.1. Proyek yang Belum Selesai
- Bad (sebuah "film perjalanan lesbian"). Produksi direncanakan untuk tahun 2005.
- Duizend en één dag ("Seribu Satu Hari"). Sebuah serial drama tentang pemuda Muslim yang berjuang dengan keyakinan mereka. Meskipun proyek ini belum mencapai tahap pra-produksi, Van Gogh telah menemukan penyiar untuk serial tersebut: Organisasi Penyiaran Muslim Belanda NMO.
8. Evaluasi dan Kontroversi
Karya, pandangan, dan figur publik Theo van Gogh selalu menjadi subjek evaluasi kritis dan kontroversi yang intens, terutama setelah kematiannya.
8.1. Penerimaan Kritis
Kontroversi muncul setelah artikel Rohan Jayasekera tentang Van Gogh diterbitkan di Index on Censorship. Associate Editor majalah tersebut menyatakan bahwa Van Gogh adalah seorang "fundamentalis kebebasan berbicara" yang telah melakukan "operasi kemartiran [dengan] membungkam para kritikus Muslimnya dengan kata-kata kotor" dalam "penyalahgunaan haknya untuk kebebasan berbicara". Menggambarkan film Van Gogh Submission sebagai "sangat provokatif", Jayasekera mengatakan kematiannya adalah:
"Sebuah klimaks sensasional bagi penampilan publik seumur hidup, ditikam dan ditembak oleh seorang fundamentalis berjanggut, sebuah pesan dari pembunuh yang ditusukkan dengan belati ke dadanya, Theo van Gogh menjadi martir kebebasan berekspresi. Kepergiannya ditandai dengan rentetan kebisingan yang luar biasa saat Amsterdam turun ke jalan untuk merayakannya dengan cara yang sangat dihargai oleh pria itu sendiri. Dan tepat waktu! Tepat saat film biografi yang telah lama ditunggu-tunggu tentang kehidupan Pim Fortuyn siap diputar. Bravo, Theo! Bravo!"
Komentar Jayasekera tersebut dikritik oleh komentator sayap kiri dan kanan. Pada Desember 2004, Nick Cohen dari The Observer menulis:
"Ketika saya bertanya kepada Jayasekera apakah ia memiliki penyesalan, ia mengatakan tidak ada. Ia mengatakan kepada saya bahwa, seperti banyak pembaca lain, saya seharusnya tidak membuat kesalahan dengan percaya bahwa Index on Censorship menentang sensor, bahkan sensor yang mematikan, secara prinsip-sama seperti Amnesty International menentang penyiksaan, termasuk penyiksaan yang mematikan, secara prinsip. Mungkin demikian pada masa mudanya yang radikal, tetapi sekarang lebih peduli dengan memerangi 'ujaran kebencian' daripada melindungi kebebasan berbicara."
Pernyataan Cohen tentang percakapan tersebut kemudian dibantah oleh editor Index on Censorship melalui surat kepada The Observer.