1. Biografi
Valerius Maximus adalah seorang penulis dan pengarang Latin dari sekumpulan anekdot sejarah yang berkarya selama masa pemerintahan Tiberius. Meskipun informasi tentang kehidupannya terbatas, detail yang ada memberikan gambaran tentang latar belakangnya serta hubungannya dengan lingkaran kekaisaran.
1.1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Sedikit yang diketahui mengenai kehidupan pribadi Valerius Maximus. Sumber-sumber menyebutkan bahwa keluarganya miskin dan tidak terkemuka. Ia berutang segalanya kepada Sextus Pompeius, yang menjabat sebagai konsul pada tahun 14 M dan kemudian sebagai prokonsul Asia. Valerius Maximus mendampingi Pompeius dalam perjalanannya ke Timur pada tahun 27 M. Pompeius sendiri adalah pusat dari sebuah lingkaran sastra yang juga diikuti oleh penyair terkenal Ovid dan merupakan sahabat dekat dari anggota keluarga kekaisaran yang sangat sastrawan, Germanicus.
Meskipun Valerius Maximus memiliki nama keluarga yang sama dengan keluarga patrisian terkemuka di Republik Romawi, Valerii Maximi, sejarawan John Briscoe menyatakan bahwa sangat tidak mungkin ia berasal dari garis keturunan tersebut. Briscoe berpendapat bahwa Valerius Maximus kemungkinan adalah keturunan dari keluarga plebeius Valerii Tappones atau Triarii, atau ia memperoleh kewarganegaraan Romawi melalui dukungan dan patronase dari seorang Valerius di masa Republik.
1.2. Hubungan dengan Kekuasaan Kekaisaran dan Sikap Politik
Sikap Valerius Maximus terhadap rumah tangga kekaisaran telah menjadi subjek kontroversi di kalangan sejarawan. Ia sering digambarkan sebagai seorang penjilat Kaisar Tiberius, mirip dengan penyair Martial. Namun, beberapa sarjana, seperti Chisholm pada tahun 1911, berpendapat bahwa jika rujukan-rujukannya terhadap administrasi kekaisaran diteliti dengan cermat, hal itu tidak terlalu berlebihan baik dalam jenis maupun jumlahnya. Chisholm bahkan menyatakan bahwa penggunaan gelar "salutaris princeps" (pangeran yang menyelamatkan) untuk Tiberius, yang pada generasi sebelumnya dianggap sebagai sanjungan tak tahu malu, kini dapat dipahami mengingat keseluruhan tindakannya sebagai penguasa.
Di sisi lain, seperempat abad kemudian, H. J. Rose mengklaim bahwa Valerius Maximus "tidak peduli dengan kebenaran sejarah jika dengan mengabaikannya ia dapat menyanjung Tiberius, yang ia lakukan dengan sangat berlebihan." Valerius Maximus diperkirakan memublikasikan karyanya antara tahun 31 M dan 37 M, yaitu pada periode akhir pemerintahan Tiberius, setelah kejatuhan Sejanus. Hal ini menjelaskan mengapa karyanya memuat pujian berlebihan kepada Tiberius dan kecaman terhadap Sejanus. Meskipun demikian, beberapa sejarawan berpendapat bahwa sedikitnya alusi yang diberikan kepada para pembunuh Yulius Kaisar dan kepada Augustus hampir tidak melampaui gaya konvensional penulis pada masanya. Hanya bagian yang berisi kecaman keras terhadap Sejanus yang secara adil dapat disebut sebagai sanjungan berlebihan.
2. Karya Utama: Facta et Dicta Memorabilia
Karya representatif Valerius Maximus adalah Facta et Dicta Memorabilia (lengkapnya Factorum ac dictorum memorabilium libri IX), yang berarti "Sembilan Buku Perbuatan dan Ucapan yang Mengesankan" atau "Perbuatan dan Ucapan yang Patut Diingat". Karya ini berfungsi sebagai koleksi anekdot sejarah yang luas dan telah menjadi sumber penting untuk memahami periode awal kekaisaran Romawi.

2.1. Sifat dan Tujuan Karya
Valerius Maximus sendiri, dalam kata pengantarnya, mengisyaratkan bahwa karyanya dimaksudkan sebagai buku catatan umum atau buku referensi anekdot sejarah. Tujuannya adalah untuk digunakan di sekolah-sekolah retorika, di mana para siswa dilatih dalam seni memperindah pidato dan argumen mereka dengan merujuk pada contoh-contoh dari sejarah. Dengan demikian, tujuan utama dari kumpulan anekdot ini adalah pendidikan dan moral, menyediakan "contoh-contoh" (exempla) kebajikan dan keburukan untuk dipelajari dan ditiru atau dihindari.
2.2. Struktur dan Gaya Penulisan
Karya Facta et Dicta Memorabilia terdiri dari sembilan buku, meskipun dalam beberapa tradisi manuskrip disebutkan sebagai sepuluh buku, dengan buku kesepuluh yang berjudul Liber de Praenominibus diyakini sebagai karya seorang gramatikawan yang jauh lebih kemudian. Cerita-cerita dalam setiap buku disusun secara tematis, meskipun terkadang longgar dan tidak beraturan. Setiap buku dibagi menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian memiliki judul yang menunjukkan topik utamanya, yang paling umum adalah kebajikan atau keburukan tertentu, atau beberapa merit maupun demerit, yang dimaksudkan untuk diilustrasikan oleh cerita-cerita di dalamnya.
Gaya penulisan Valerius Maximus menunjukkan bahwa ia adalah seorang retorikawan profesional. Karyanya mencerminkan banyak kecenderungan retoris terburuk dari periode Latin periode perak. Penulisannya seringkali menghindari pernyataan langsung dan sederhana, mencari hal baru dengan segala cara, yang kadang menghasilkan kekaburan yang canggung. Diksi yang digunakannya menyerupai gaya puisi; penggunaan kata-katanya seringkali dipaksakan, ia menciptakan metafora baru, dan terdapat kontras yang mengejutkan, inuendo, serta epitet. Ia juga banyak memainkan variasi pada figur-figur gramatikal dan retoris.
2.3. Sumber Utama dan Konten
Sumber-sumber utama yang digunakan oleh Valerius Maximus adalah para sejarawan dan penulis terkemuka seperti Cicero, Livy, Sallust, dan Pompeius Trogus, terutama dua yang pertama. Sebagian besar cerita dalam karyanya berasal dari sejarah Romawi, tetapi setiap bagian juga memiliki apendiks yang terdiri dari kutipan dari catatan bangsa lain, terutama Yunani.
Perlakuan Valerius terhadap materinya seringkali ceroboh dan sangat tidak akurat. Karyanya mengandung kebingungan, kontradiksi, dan anakronisme. Namun, terlepas dari ketidakakuratannya, kutipan-kutipan tersebut merupakan ilustrasi yang tepat, dari sudut pandang seorang retorikawan, untuk keadaan atau kualitas yang ingin mereka ilustrasikan. Yang terpenting, Valerius juga menggunakan sumber-sumber yang kini telah hilang, sehingga karyanya melestarikan beberapa gambaran tentang masa pemerintahan Tiberius yang sangat diperdebatkan dan tercatat secara tidak sempurna. Selain itu, ia juga menyimpan beberapa informasi fragmentaris tentang seni Helenistik dan gambaran yang mengungkapkan konsensus awal kekaisaran tentang kebutuhan akan logika dan stabilitas agama Romawi kuno di dunia yang tidak stabil secara politik.
3. Warisan dan Penilaian
Karya Valerius Maximus meninggalkan jejak signifikan dalam sejarah sastra dan pendidikan, meskipun juga menghadapi kritik dan kontroversi seiring berjalannya waktu.

3.1. Pengaruh pada Abad Pertengahan dan Renaisans
Koleksi Valerius Maximus sangat banyak digunakan untuk tujuan sekolah, terutama sebagai buku teks standar. Popularitasnya yang meluas sepanjang Abad Pertengahan dibuktikan dengan banyaknya manuskrip yang masih bertahan; lebih dari 600 manuskrip abad pertengahan dari buku-bukunya telah ditemukan, bahkan mencapai 800 manuskrip jika dihitung bersama dengan epitome (ringkasan). Hanya Priscian seorang gramatikawan yang memiliki jumlah manuskrip Latin yang lebih banyak. Sejarawan B. G. Niebuhr bahkan mengklaim bahwa pada Abad Pertengahan, karyanya adalah "buku terpenting setelah Alkitab."
Seperti buku-buku sekolah lainnya, karya ini juga diringkas. Salah satu epitome lengkap, kemungkinan berasal dari abad ke-4 atau ke-5, dengan nama Julius Paris, telah sampai kepada kita. Selain itu, ada juga sebagian dari epitome lain oleh Januarius Nepotianus. Di era Renaisans, pengaruhnya mencapai puncaknya ketika karya ini masuk ke dalam kurikulum Latin pusat dalam bentuk tanpa ringkasan. Tokoh-tokoh terkemuka seperti Dante menggunakan Valerius Maximus untuk mendapatkan detail dalam kisah-kisah tentang kemurahan hati dan kesederhanaan Pisistratus dalam karyanya. Pada periode Renaisans Karoling, naskah-naskah ini juga disunting dan disalin, salah satunya oleh Lupus Servatus dari Ferrières.
3.2. Edisi dan Studi Akademik Selanjutnya
Perkembangan edisi-edisi karya Valerius Maximus berlanjut dari Abad Pertengahan hingga era modern. Edisi-edisi penting termasuk yang dibuat oleh C. Halm (1865) dan C. Kempf (1888), yang juga menyertakan ringkasan-ringkasan oleh Paris dan Nepotianus. Edisi-edisi baru dengan terjemahan modern telah diproduksi, seperti oleh R. Combès (1995-) dengan terjemahan bahasa Prancis, J. Briscoe (1998), dan D.R. Shackleton Baily (2000) dengan terjemahan bahasa Inggris.
Sebuah terjemahan ke dalam bahasa Belanda diterbitkan pada tahun 1614, yang dibaca oleh seniman besar seperti Rembrandt dan para pelindungnya. Terjemahan ini merangsang minat pada beberapa subjek baru dalam seni, seperti kisah Artemisia yang meminum abu suaminya.
Studi akademik terkini tentang karya Valerius Maximus juga telah banyak dilakukan. Beberapa diskusi penting meliputi Valerius Maximus and the Rhetoric of the New Nobility oleh W. Martin Bloomer (1992), Practical Ethics for Roman Gentlemen: the Work of Valerius Maximus oleh Clive Skidmore (1996), dan Roman Religion in Valerius Maximus oleh Hans-Friedrich Mueller (2002).
Dari 800 manuskrip (termasuk epitome) yang bertahan, lebih banyak dari penulis prosa Latin mana pun setelah Priscian, sebagian besar berasal dari Abad Pertengahan Akhir, tetapi 30 manuskrip di antaranya berasal dari sebelum abad ke-12. Tiga manuskrip tertua dianggap sebagai sumber otoritatif untuk teksnya:
- Burgerbibliothek Bern, Swiss, n°366 (manuskrip A).
- Perpustakaan Laurentian, Firenze, Italia, Ashburnham 1899 (manuskrip L). Manuskrip A dan L keduanya ditulis di Prancis utara pada abad ke-9 dan memiliki sumber bersama.
- Perpustakaan Kerajaan Belgia, Brussels, Belgia, n°5336 (manuskrip G). Manuskrip ini kemungkinan ditulis di Biara Gembloux (selatan Brussels) pada abad ke-11. Briscoe menyatakan bahwa manuskrip G memiliki asal yang berbeda dari A dan L, karena beberapa kesalahan yang sama pada A dan L tidak ditemukan di G.
3.3. Kritik dan Kontroversi
Meskipun populer dan berpengaruh, karya Valerius Maximus juga tidak luput dari kritik. Salah satu kritik utama adalah ketidakakuratan historis yang sering ditemukan dalam tulisannya. Ia dituduh ceroboh dalam penanganan materi, yang menyebabkan inkonsistensi dan anakronisme.
Kontroversi lain yang terus dibahas adalah tuduhan pujian yang berlebihan kepada Kaisar Tiberius, yang oleh beberapa sarjana disebut sebagai "penjilatan". Meskipun ia membela diri dengan menyatakan bahwa pujian tersebut tidak berlebihan dalam konteks zamannya, kritik ini tetap menjadi poin penting dalam evaluasi karyanya. Para sarjana modern terus mengevaluasi ulang pandangan-pandangan ini, mengakui bahwa meskipun ada kekurangan dalam akurasi historis, karyanya tetap memiliki nilai sebagai jendela ke dalam mentalitas retoris dan moral pada masa Kekaisaran Romawi awal, serta sebagai pelestari anekdot dari sumber-sumber yang kini telah hilang.