1. Masa Kecil dan Pendidikan
Sir Dawda Kairaba Jawara memiliki latar belakang keluarga yang terkemuka dan menerima pendidikan yang komprehensif, yang membentuk dasar bagi karier politiknya di kemudian hari.
1.1. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Dawda Jawara lahir pada tahun 1924 di desa Barajally Tenda, yang terletak di wilayah Sungai Tengah Gambia, sekitar 240 km dari ibu kota, Banjul (saat itu bernama Bathurst). Ia adalah putra dari Almami Jawara dan Mamma Fatty. Almami Jawara, ayahnya, adalah seorang pedagang yang cukup berada dan berasal dari keluarga aristokrat. Keluarga Jawara pernah menjadi anggota Gbara dari Kekaisaran Mali Kuno. Dawda adalah anak bungsu dari enam bersaudara dari pihak ibunya, dengan kakak perempuan bernama Na Ceesay dan kakak laki-laki bernama Basaddi dan Sheriffo Jawara.
1.2. Pendidikan Awal
Sejak usia dini, Dawda Jawara mengikuti sekolah-sekolah Arab setempat untuk menghafal Al-Qur'an, sebuah ritual penting bagi banyak anak-anak Gambia. Pada saat itu, tidak ada sekolah dasar di Barajally Tenda; sekolah terdekat berada di Georgetown (sekarang Janjanbureh), ibu kota provinsi, namun sekolah asrama ini hanya diperuntukkan bagi putra-putra kepala suku.
Sekitar tahun 1933, pendidikan formal Jawara disponsori oleh teman ayahnya, seorang pedagang bernama Ebrima Youma Jallow. Dawda kemudian terdaftar di sekolah dasar Mohammedan, tempat ia diajar oleh I.M. Garba-Jahumpa. Setelah lulus dari Mohammedan, Jawara memenangkan beasiswa ke Sekolah Menengah Atas khusus laki-laki, di mana ia menunjukkan bakat terbesar dalam ilmu pengetahuan dan matematika. Setelah lulus pada tahun 1945, ia bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Victoria di Bathurst (sekarang Banjul) hingga tahun 1947.
1.3. Pendidikan Tinggi dan Kebangkitan Politik
Keterbatasan peluang karier dan pendidikan di Gambia kolonial mendorong Jawara untuk melanjutkan studi di luar negeri. Ia menghabiskan satu tahun di Prince of Wales College and School (populer dikenal sebagai Achimota College) di Achimota, Accra, yang saat itu merupakan bagian dari Gold Coast Britania, di mana ia belajar ilmu pengetahuan. Meskipun saat itu Ghana dan banyak koloni Afrika mulai menuntut kemerdekaan politik atau pemerintahan sendiri, Jawara menunjukkan sedikit minat pada politik. Pertemuannya dengan bapak pendiri Ghana, Kwame Nkrumah, tidak memberikan dampak signifikan pada saat itu.
Setelah Achimota College, Jawara memenangkan beasiswa ke Universitas Glasgow di Skotlandia untuk belajar kedokteran hewan. Pada masa itu, pendidikan kolonial dimaksudkan untuk melatih orang Afrika untuk tugas-tugas klerikal yang paling rendah dalam pelayanan sipil, dan jarang bagi orang Gambia untuk mendapatkan beasiswa di bidang ilmu pengetahuan. Minat politik Jawara baru muncul di Universitas Glasgow pada akhir tahun 1940-an. Pada tahun 1948, ia bergabung dengan Asosiasi Mahasiswa Afrika dan kemudian terpilih sebagai sekretaris jenderal dan presiden. Di Glasgow, Jawara mengasah minat dan keterampilan politiknya dengan bergabung dengan Organisasi Partai Buruh Mahasiswa, Forward Group, dan aktif dalam politik buruh saat itu. Meskipun tidak pernah menjadi "kiri", Jawara mendalami politik dan ideologi sosialis Partai Buruh. Di Glasgow, Jawara bertemu Cheddi Jagan, yang kemudian menjadi Perdana Menteri Guyana Britania (sekarang Guyana). Jawara mengklasifikasikan periode ini dalam hidupnya "sebagai sangat menarik secara politis", sebuah momen kebangkitan semangat Pan-Afrika dan pertumbuhan pribadi secara politis. Ia menyelesaikan studinya pada tahun 1953. Ia kemudian kembali ke Skotlandia untuk mendapatkan diploma lebih lanjut dalam kedokteran hewan tropis di Universitas Edinburgh pada tahun 1957.
2. Kembali ke Gambia dan Karier Politik
Setelah menyelesaikan pendidikannya di luar negeri, Dawda Jawara kembali ke Gambia dan segera terlibat dalam dunia politik, yang membawanya pada kepemimpinan nasional.
2.1. Karier Dokter Hewan dan Pernikahan
Sekembalinya ke Gambia pada tahun 1953 setelah menyelesaikan studinya sebagai dokter hewan, Jawara pertama kali menjabat sebagai petugas dokter hewan. Pada tahun 1955, ia menikah dengan Augusta Mahoney, putri dari Sir John Mahoney, seorang tokoh terkemuka dari suku Aku di Bathurst. Suku Aku, kelompok kecil namun terpelajar, adalah keturunan budak yang dibebaskan yang menetap di Gambia setelah pembebasan. Meskipun ukurannya relatif kecil, mereka mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi koloni.
Sebagai petugas dokter hewan, Jawara melakukan perjalanan ke seluruh penjuru Gambia selama berbulan-bulan untuk memvaksinasi ternak. Dalam prosesnya, ia membangun kontak sosial dan hubungan yang berharga dengan para pemilik ternak yang relatif kaya di wilayah protektorat. Kelompok ini, bersama dengan kepala distrik dan kepala desa, di kemudian hari membentuk sebagian besar dukungan politik awalnya. Kebijakan kolonial Britania pada waktu itu membagi Gambia menjadi dua bagian: koloni dan protektorat. Orang dewasa di wilayah koloni, termasuk Bathurst dan sub-wilayah Kombo St. Mary, memiliki hak pilih, sementara rekan-rekan mereka di protektorat tidak. Aktivitas politik dan perwakilan di Dewan Legislatif terbatas pada koloni.
2.2. Pembentukan dan Kepemimpinan Partai Progresif Rakyat (PPP)
Pada saat Jawara kembali ke Gambia, politik di koloni didominasi oleh sekelompok elit perkotaan dari Bathurst dan wilayah Kombo St. Mary. Pada pertemuan tahun 1959 di Basse, sebuah kota komersial besar di ujung Sungai Gambia, pimpinan Masyarakat Progresif Rakyat memutuskan untuk mengubah namanya untuk menantang partai-partai berbasis perkotaan dan para pemimpinnya. Demikianlah lahir Partai Rakyat Protektorat.
Pada tahun yang sama, sebuah delegasi yang dipimpin oleh Sanjally Bojang (seorang patron kaya dan anggota pendiri partai baru), Bokarr Fofanah, dan Madiba Janneh, tiba di Abuko untuk memberitahu Jawara tentang pencalonannya sebagai sekretaris partai. Jawara mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala petugas dokter hewan untuk mengikuti pemilihan tahun 1960. Partai Rakyat Protektorat kemudian berganti nama menjadi Partai Progresif Rakyat (PPP) untuk membuat partai lebih inklusif, berlawanan dengan persepsi umum bahwa itu adalah partai berbasis Mandinka. Seiring waktu, PPP dan Jawara akan menggantikan partai-partai berbasis perkotaan dan para pemimpinnya. Perubahan ini oleh Arnold Hughes disebut sebagai "Revolusi Hijau", sebuah proses politik di mana elit pedesaan muncul untuk menantang dan mengalahkan borjuasi kecil politik berbasis perkotaan.
Kenaikan Jawara ke kepemimpinan partai hampir tidak tertandingi. Sebagai salah satu dari sedikit lulusan universitas dari protektorat, satu-satunya kandidat lain yang mungkin adalah Dr. Lamin Marena dari Kudang.
3. Karier Politik dan Pemerintahan
Karier politik Sir Dawda Kairaba Jawara ditandai dengan transisi Gambia menuju kemerdekaan dan masa kepresidenan yang panjang, diwarnai oleh upaya pembangunan nasional dan tantangan signifikan terhadap pemerintahannya.
3.1. Perdana Menteri dan Kemerdekaan
Pada tahun 1962, Jawara menjadi perdana menteri, yang meletakkan dasar bagi dominasi PPP dan Jawara dalam lanskap politik Gambia. Dengan naiknya Jawara ke tampuk kekuasaan setelah pemilihan tahun 1962, administrasi kolonial memulai penarikan bertahap dari Gambia, dan pemerintahan sendiri diberikan pada tahun 1963. Jawara diangkat sebagai perdana menteri pada tahun yang sama, dan kemerdekaan datang pada 18 Februari 1965. Ini menyelesaikan transisi damai Gambia dari pemerintahan kolonial.
Dengan layanan sipil yang kecil, yang sebagian besar diisi oleh orang Aku dan Wollof perkotaan, Jawara dan PPP berusaha membangun sebuah negara dan mengembangkan ekonomi untuk menopang baik petani maupun penduduk perkotaan. Banyak di daerah pedesaan berharap bahwa kemerdekaan politik akan membawa peningkatan segera dalam kondisi kehidupan mereka. Harapan tinggi ini, seperti di bekas koloni yang baru merdeka lainnya, sebagian berasal dari janji-janji berlebihan yang dibuat oleh beberapa pemimpin politik. Namun, seiring waktu, kekecewaan mulai muncul karena masyarakat dengan cepat menemukan bahwa para pemimpin mereka tidak dapat memenuhi semua janji mereka.
Selama periode pemerintahan sendiri tahun 1962-1965, Jawara melakukan pendekatan yang menjanjikan kepada Senegal. Pada November 1962, Jawara meminta PBB untuk menunjuk para ahli untuk menilai masa depan Senegal dan Gambia secara bersama, yang disetujui oleh Sekretaris Jenderal U Thant. Sikap Britania dikatakan sebagai "dorongan yang ramah". Pada Maret 1964, setelah kunjungan dari Léopold Sédar Senghor, niat untuk mengoordinasikan program ekonomi Gambia dan Senegal diumumkan. Fokus khusus akan ditempatkan pada bidang pertanian.

3.2. Kepresidenan Pertama dan Pembangunan Nasional
Pada tahun 1970, Gambia menjadi republik, dan Jawara terpilih sebagai presiden pertamanya pada 24 April 1970. Ia menjabat sebagai presiden hingga tahun 1994. Selama masa jabatannya, pemerintahannya berfokus pada berbagai reformasi ekonomi yang bertujuan untuk mempromosikan stabilitas, pembangunan, dan pertumbuhan di Gambia.
Pertanian, khususnya pertanian kacang tanah, merupakan tulang punggung ekonomi Gambia selama kepresidenannya. Pemerintahannya juga berupaya meningkatkan hubungan perdagangan dan memperluas basis ekspor, terutama dalam produk pertanian. Investasi dalam pembangunan infrastruktur seperti jaringan jalan, energi, dan telekomunikasi, terutama untuk penduduk pedesaan, sangat penting untuk mempromosikan perdagangan dan memperluas akses ke pasar. Di bawah arahan Jawara, sektor pariwisata Gambia mulai tumbuh. Pemerintahannya memasarkan Gambia sebagai tujuan perjalanan, terutama bagi wisatawan Eropa, melihat potensi pariwisata sebagai sumber devisa dan pekerjaan.
Pada tahun 1970-an, pemerintah memperkenalkan kebijakan 'Gambianisasi', yang menyebabkan perluasan peran negara dalam ekonomi. Terjadi peningkatan 75 persen dalam total pekerjaan pemerintah selama periode 1975 hingga 1980.
Berikut adalah ringkasan hasil pemilihan presiden selama masa kepemimpinan Dawda Jawara:
Pemilihan | Jabatan | Periode | Partai | Persentase Suara | Jumlah Suara | Hasil |
---|---|---|---|---|---|---|
1972 | Presiden Gambia | 1 | Partai Progresif Rakyat | 62,96% | 65.388 | Menang |
1977 | Presiden Gambia | 1 | Partai Progresif Rakyat | 69,59% | 123.297 | Menang |
1982 | Presiden Gambia | 1 | Partai Progresif Rakyat | 72,44% | 137.020 | Menang |
1987 | Presiden Gambia | 1 | Partai Progresif Rakyat | 59,18% | 123.385 | Menang |
1992 | Presiden Gambia | 1 | Partai Progresif Rakyat | 58,48% | 117.549 | Menang |

3.3. Tantangan terhadap Pemerintahan
Pemerintahan Jawara menghadapi beberapa tantangan serius, termasuk percobaan kudeta dan masalah ekonomi yang berdampak pada stabilitas sosial.
3.3.1. Percobaan Kudeta 1981
Tantangan terbesar terhadap pemerintahan Dawda Jawara sebelum kudeta yang mengakhiri kekuasaannya pada tahun 1994 adalah percobaan kudeta pada tahun 1981, yang dipimpin oleh seorang mantan politikus yang kecewa dan beralih menjadi Marxis, Kukoi Samba Sanyang. Kudeta ini, yang terjadi setelah melemahnya ekonomi dan tuduhan korupsi terhadap para politikus terkemuka, berlangsung pada 29 Juli 1981. Kudeta ini dilakukan oleh Dewan Revolusioner Nasional yang berhaluan kiri, yang terdiri dari Partai Revolusioner Sosialis Gambia pimpinan Kukoi Samba Sanyang dan elemen-elemen "Field Force" (pasukan paramiliter yang merupakan sebagian besar angkatan bersenjata negara).
Presiden Jawara segera meminta bantuan militer dari Senegal, yang mengerahkan 400 tentara ke Gambia pada 31 Juli. Pada 6 Agustus, 2.700 tentara Senegal telah dikerahkan dan berhasil mengalahkan pasukan pemimpin kudeta. Antara 500 hingga 800 orang tewas selama kudeta dan kekerasan yang menyertainya.
Percobaan kudeta ini mencerminkan keinginan untuk perubahan, setidaknya dari sebagian warga sipil dan sekutu mereka di Field Force. Meskipun Kukoi gagal mengambil alih kekuasaan, percobaan kudeta ini mengungkapkan kelemahan besar dalam PPP yang berkuasa dan masyarakat secara keseluruhan. Hegemoni PPP, kontraksi persaingan intra-partai, dan meningkatnya ketidaksetaraan sosial adalah faktor-faktor yang tidak dapat diabaikan. Juga penting bagi penyebab kudeta yang gagal adalah ekonomi yang memburuk, yang korban utamanya adalah pemuda perkotaan. Dalam pesan Tahun Baru 1981, Jawara menjelaskan masalah ekonomi Gambia: "Kita hidup di dunia yang dibebani masalah ekonomi besar-besaran. Situasi ekonomi secara umum dicirikan oleh inflasi yang merajalela, periode ketidakstabilan moneter yang berlebihan, dan pengetatan kredit... kenaikan harga minyak dan spekulasi komoditas. Masalah-masalah global ini telah memaksakan batasan ekstrem pada ekonomi seperti Gambia."
Konsekuensi paling mencolok dari kudeta yang gagal adalah intervensi pasukan Senegal atas permintaan Jawara, sebagai hasil dari perjanjian pertahanan yang ditandatangani antara kedua negara pada tahun 1965. Pada saat kudeta yang gagal, Jawara sedang menghadiri Pernikahan Charles, Pangeran Wales, dan Lady Diana Spencer di London dan segera terbang ke Dakar untuk berkonsultasi dengan Presiden Abdou Diouf. Meskipun intervensi Senegal secara lahiriah adalah untuk menyelamatkan rezim Presiden Jawara, hal itu memiliki efek merusak kedaulatan Gambia, sesuatu yang telah dijaga dengan cermat oleh orang Gambia dan Jawara khususnya. Namun, itu diserahkan secara expedient. Kehadiran pasukan Senegal di Banjul adalah bukti ketergantungan Jawara yang semakin besar pada Senegal, yang akibatnya menjadi sumber banyak kebencian.
3.3.2. Konfederasi Senegambia
Tiga minggu setelah kudeta yang gagal dan pemulihan Jawara yang berhasil oleh pasukan Senegal, Presiden Diouf dan Jawara, pada konferensi pers bersama, mengumumkan rencana pembentukan Konfederasi Senegambia. Pada Desember 1981, lima bulan setelah kudeta yang digagalkan, perjanjian konfederasi ditandatangani di Dakar. Kecepatan penandatanganan perjanjian dan kurangnya masukan dari sebagian besar penduduk Gambia menunjukkan kepada banyak pihak bahwa pengaturan itu adalah latihan dalam kemudahan politik. Presiden Jawara berada di bawah tekanan besar karena dampak kudeta yang gagal dan pemerintah Senegal. Di bawah perjanjian dengan Senegal, Diouf menjabat sebagai presiden dan Jawara sebagai wakil presidennya. Parlemen dan kabinet konfederal dibentuk dengan beberapa posisi menteri untuk Gambia. Selain itu, tentara Gambia yang baru dibentuk sebagai bagian dari tentara konfederal yang baru.
Pembentukan tentara Gambia yang baru menjadi perhatian banyak pengamat. Institusi semacam itu, dirasakan, sama sekali tidak akan mengurangi terulangnya peristiwa 30 Juli 1981, juga tidak akan menjamin stabilitas rezim. Dengan menyetujui pembentukan tentara, Jawara telah menanam benih-benih kehancuran politiknya sendiri. Tentara pada waktunya akan menjadi pesaing serius untuk jabatan politik, berbeda dari partai politik hanya dalam kendalinya atas instrumen kekerasan. Suasana seperti itu, bagaimanapun, seperti yang akan ditunjukkan oleh peristiwa tahun 1994, adalah lahan subur bagi kudeta dan kudeta balasan. Mungkin yang lebih penting, pembentukan tentara baru mengalihkan sumber daya terbatas yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan program pembangunan pedesaan yang kuat dari pemerintah PPP. Konfederasi ini runtuh pada tahun 1989.
Jawara tidak menggunakan reaksi otoriter dan seringkali menghukum yang mengikuti kudeta di sebagian besar Afrika. Sebaliknya, ia melakukan pendekatan rekonsiliasi, dengan pengadilan yang bijaksana dan cepat serta pembebasan lebih dari 800 tahanan. Individu yang menerima hukuman mati dijatuhi hukuman penjara seumur hidup sebagai gantinya, dan banyak tahanan dibebaskan karena kurangnya bukti yang cukup. Pelaku yang lebih serius diadili oleh panel hakim yang tidak memihak yang ditarik dari negara-negara Persemakmuran berbahasa Inggris. Niat baik internasional terhadap rezim itu segera dan murah hati, dan tidak lama kemudian, Jawara telah memulai proses rekonstruksi politik dan ekonomi negara.
3.3.3. Reformasi Ekonomi dan Masalah Sosial
Gambia terintegrasi ke dalam ekonomi dunia sebagai pemasok ekspor pertanian (sebagian besar kacang tanah) dan pariwisata. Sejak kemerdekaan, hanya ada sedikit perubahan dalam struktur ekonomi, yang tetap sangat bergantung pada produksi kacang tanah. Pertanian dan pariwisata adalah sektor dominan dan juga sumber utama devisa, lapangan kerja, dan pendapatan bagi negara. Berkat pertumbuhan ekonomi, pemerintah memperkenalkan kebijakan 'Gambianisasi' pada tahun 1970-an, yang menyebabkan perluasan peran negara dalam ekonomi. Terjadi peningkatan 75 persen dalam total pekerjaan pemerintah selama periode 1975 hingga 1980.
Pada pertengahan 1985, Gambia di bawah Jawara memulai Program Pemulihan Ekonomi (ERP), salah satu program penyesuaian ekonomi paling komprehensif yang dirancang oleh negara mana pun di sub-Sahara Afrika. Dengan bantuan tim ekonom dari Harvard Institute for International Development dan Dana Moneter Internasional (IMF), Gambia mereformasi struktur ekonomi negara secara besar-besaran. Di bawah ERP, pada tahun 1985-1986, defisit adalah 72.00 M GMD, dan meningkat menjadi 169.00 M GMD pada tahun 1990-1991. Namun, pada pertengahan 1986, hanya setahun setelah ERP didirikan, kebangkitan ekonomi Gambia telah dimulai. Pemerintah mengurangi defisit anggarannya, meningkatkan cadangan devisanya, dan melunasi tunggakan layanan utangnya.
Di bawah ERP, peluang ekonomi menjadi lebih melimpah, dan banyak pengusaha swasta serta pejabat publik beralih ke cara-cara ilegal untuk mencari keuntungan. Korupsi menciptakan krisis legitimasi yang serius bagi PPP. Beberapa kasus korupsi terungkap dan ini secara serius mendakwa rezim PPP. Bank Pembangunan Komersial Gambia runtuh, sebagian besar karena kegagalannya menagih pinjaman. Asset Management and Recovery Corporation (AMRC) didirikan di bawah Undang-Undang Parlemen pada tahun 1992, tetapi pemerintah PPP tidak bersedia menggunakan pengaruhnya untuk membantu AMRC dalam upaya pemulihannya. Ini sangat memalukan karena orang-orang dan organisasi dengan pinjaman tertinggi dekat dengan PPP. Dalam skema penggelapan di Gambia Cooperative Union (GCU), penipuan terungkap di Bea Cukai, dan melalui proses privatisasi, ditemukan bahwa banyak pinjaman fiktif telah diberikan kepada individu-individu yang memiliki koneksi baik di GCDB.
Sekelompok kepala para-statal dan pengusaha besar yang terkait erat dengan PPP (dijuluki "Mafia Banjul") dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas korupsi di sektor publik. Didorong untuk mencari keuntungan, banyak elit tidak menahan diri untuk memanipulasi kekuasaan negara demi mempertahankan gaya hidup kekayaan dan hak istimewa. Korupsi telah menjadi masalah serius di Gambia, terutama selama dua tahun terakhir pemerintahan PPP.
Pada tahun 1992, Gambia adalah salah satu negara termiskin di Afrika dan dunia, dengan harapan hidup saat lahir 45 tahun, angka kematian bayi 130 per 1000 kelahiran hidup, angka kematian anak 292 per 1000, dan angka kematian balita 227 per 1000. Pada saat itu, 120 dari setiap 1000 kelahiran hidup meninggal karena malaria. Gambia juga memiliki tingkat buta huruf 75 persen, hanya 40 persen penduduk memiliki akses ke pasokan air minum, dan lebih dari 75 persen penduduk hidup dalam kemiskinan absolut.
Program penyesuaian struktural yang diterapkan sebagai respons terhadap krisis ekonomi mengakibatkan fragmentasi pemerintah, privatisasi, berkurangnya patronase dalam mengkooptasi berbagai kelompok, dan meningkatnya korupsi. Selama 30 tahun, rezim PPP beroperasi dengan sumber daya yang berkurang dan oleh karena itu tidak dapat lagi memerintah seperti yang selalu mereka lakukan. Kredibilitas sistem partai yang kompetitif sangat tertantang karena PPP pimpinan Jawara tidak dapat menunjukkan bahwa manajemen ekonomi yang baik dapat membawa manfaat bagi mayoritas masyarakat.
Jawara sendiri menanggapi tuduhan korupsi dengan menyatakan keyakinannya pada supremasi hukum dan demokrasi. Ia berargumen bahwa di negara miskin seperti Gambia, kecemburuan kecil dapat menyebabkan tuduhan korupsi, dan ia tidak dapat bertindak sebagai hakim dan polisi sekaligus. Ia menyebutkan bahwa Komisi Kepresidenan telah dibentuk untuk menyelidiki dugaan korupsi di Koperasi Union, dan tindakan telah diambil sebelum kudeta terjadi. Ia menekankan komitmen pemerintahannya untuk menjalankan negara sesuai dengan supremasi hukum, yang membuatnya sangat dihormati.
4. Kudeta 1994 dan Pengasingan
Masa kepresidenan Sir Dawda Kairaba Jawara berakhir secara mendadak dengan kudeta militer pada tahun 1994, yang membawanya ke pengasingan.
4.1. Penggulingan dan Pengasingan
Pada Desember 1991, Jawara mengumumkan bahwa ia tidak akan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan tahun 1992, berniat untuk pensiun setelah 30 tahun memimpin negaranya. Namun, pengumuman ini disambut dengan kepanikan, sehingga ia setuju untuk mencalonkan diri kembali. Ia terpilih kembali dengan 56% suara. Namun, pertanyaan tentang masa pensiunnya terus membayangi masa depan politik Gambia, dan perbedaan pendapat meningkat.
Pada 22 Juli 1994, sekelompok tentara yang dipimpin oleh Letnan Yahya Jammeh menyerbu ibu kota. Kudeta ini berhasil, dan Jawara diasingkan hingga tahun 2002. Dibandingkan dengan upaya sebelumnya untuk menggulingkan Jawara, kudeta ini dianggap "tanpa darah". Jawara berhasil melarikan diri tanpa cedera: ia dibawa ke Senegal oleh sebuah kapal perang Amerika yang berada di daerah tersebut saat kudeta dimulai. Jawara berharap bahwa karyanya akan menciptakan masyarakat yang makmur secara ekonomi berdasarkan prioritasnya: demokrasi, persatuan, dan toleransi terhadap perbedaan pribadi. Namun, dewan penguasa baru yang menunjuk diri sendiri, yang terdiri dari lima orang, membubarkan konstitusi dan menetapkan jam malam nasional hingga demokrasi dipulirkan (setidaknya di atas kertas).
4.2. Kepulangan dan Masa Akhir
Jawara kembali ke Gambia pada tahun 2002 sebagai negarawan senior, namun dilarang terlibat dalam politik selama sisa hidupnya. Pada tahun 2007, ia pergi ke Nigeria setelah terpilih untuk memimpin tim Afrika Barat (ECOWAS) untuk menilai kesiapan Nigeria menghadapi pemilihan presiden April 2007. Setelah itu, ia tinggal di kota Fajara, tempat ia meninggal dunia. Pada 3 Februari 2017, Jawara dikunjungi di rumahnya oleh presiden yang baru terpilih, Adama Barrow, dan berjanji akan memberikan dukungan kepada pemerintahan Barrow.
5. Warisan dan Penilaian
Warisan Sir Dawda Kairaba Jawara adalah kompleks, mencerminkan baik prestasi signifikan dalam membangun demokrasi dan stabilitas, maupun kritik terkait isu-isu seperti korupsi dan ketidaksetaraan sosial.
5.1. Prestasi dan Dampak
Sir Dawda Kairaba Jawara adalah pemimpin terlama di Gambia, memimpin negara itu melalui transisi damai dari pemerintahan kolonial dan membangun fondasi demokrasi yang relatif stabil dibandingkan dengan banyak negara Afrika lainnya. Meskipun ia memiliki posisi kasta yang rendah yang awalnya menjadi hambatan, ia berhasil mengatasi hal ini dan menegaskan otoritasnya atas partai serta mengamankan kendali atas arah politiknya tanpa menggunakan paksaan. Selama pemerintahannya, tidak pernah ada "penghilangan" yang diilhami secara politik; baik lawan maupun pendukung tidak mengalami pelecehan atau penahanan atas tuduhan palsu. Kemampuannya untuk menghindari teknik paksaan dan tetap bertahan mencerminkan keberuntungan, namun kepemimpinan politiknya yang terampil juga sangat penting.
Di dalam partainya sendiri, Jawara beruntung dikelilingi oleh individu-individu yang bersedia menahan diri dari kekerasan untuk mencapai tujuan mereka, dan sebagian besar pujian atas pengekangan ini harus diberikan kepada Jawara-manipulasi terampilnya terhadap sumber daya patronase, penanaman ikatan afektif, dan penyeimbangan faksi yang cerdik di dalam PPP. Ia secara strategis menggunakan berbagai permutasi distribusi patronase (pengangkatan, promosi, pemutusan, penurunan pangkat, dan rehabilitasi) untuk menunjukkan kekuasaannya atas masa depan politik bawahannya dan mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin.
Sebagai tanggapan terhadap tantangan pra-1965 terhadap otoritasnya, Jawara bergerak untuk mengurangi ukuran, kohesi, dan otoritas anggota pendiri sebagai sebuah kelompok. Banyak pendukung awal partai kehilangan jabatan menteri selama tahun-tahun awal pemerintahan PPP. Jawara mungkin tidak menggunakan kekuatan, tetapi ia juga tidak terhambat oleh sentimen; pragmatisme dan kesediaannya untuk menurunkan pangkat, atau bahkan melepaskan, mantan pendukung untuk memperkuat posisi politik pribadinya sangat jelas. Jawara lebih lanjut memperkuat posisi politiknya dengan penggabungan sumber-sumber dukungan baru dalam kelompok yang berkuasa.
Antusiasmenya terhadap akomodasi politik berasal dari keharusan yang erat kaitannya untuk melemahkan pengaruh anggota asli PPP dan menghindari isolasi politik. Kelompok asli membenci fakta bahwa pendatang baru tidak berpartisipasi dalam perjuangan awal untuk kekuasaan namun sekarang menikmati hasil kerja mereka. Faktor sekunder pertimbangan etno-regional memperparah kebencian ini; mereka yang diikutsertakan berasal dari semua kelompok etnis di bekas koloni dan protektorat.
Dukungan populer Jawara dan penanaman ikatan afektif sangat penting untuk meringankan tekanan pada sumber daya patronase yang langka. Meskipun distribusi patronase yang terampil dan toleransi terkait terhadap korupsi memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup PPP, Jawara tidak terlalu bergantung pada distribusi sumber daya tingkat elit seperti beberapa rekan sejawatnya.
5.2. Kritik dan Kontroversi
Selama bertahun-tahun, banyak pengamat memandang korupsi di Gambia jauh lebih sedikit daripada di banyak negara Afrika lainnya. Namun, pandangan ini ternyata terlalu dilebih-lebihkan, meskipun memang benar bahwa korupsi tidak mencapai tingkat yang terlihat di tempat lain. Jawara sendiri menahan diri dari pengayaan diri yang berlebihan, dan banyak letnannya mengikuti jejaknya. Namun, dorongan untuk bertahan hidup-khususnya, kebutuhan akan bantuan asing dan dukungan rakyat, yang keduanya tidak mungkin tercapai di bawah rezim yang sepenuhnya korup-meyakinkan Jawara untuk menetapkan batasan pada korupsi yang "diizinkan". Kemungkinan terungkap di parlemen atau oleh pers memberikan batasan lebih lanjut.
Meskipun demikian, peristiwa selama tahun-tahun terakhir pemerintahan Partai Progresif Rakyat bersama dengan pengungkapan dan penyelidikan pasca-kudeta menunjukkan bahwa korupsi adalah fenomena signifikan dan memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup PPP. Jawara memahami keuntungan politik dari korupsi. Pada dasarnya, korupsi membentuk komponen penting dari jaringan patronase, memfasilitasi akumulasi elit. Ini menyediakan sarana untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan dan mendukung antara politikus PPP (yang dipimpin oleh Jawara), pegawai negeri senior, dan pengusaha Gambia.
Awalnya, korupsi memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup PPP, menyatukan kepentingan politik, birokrasi, dan bisnis dalam serangkaian hubungan yang saling menguntungkan dan mendukung. Namun, dalam jangka panjang, hal itu merusak rezim. Mungkin indikasi pertama dari hal ini terjadi pada tahun 1981 ketika, selama upaya kudeta tahun itu, Kukoi Samba Sanyang mengutip "korupsi dan pemborosan dana publik" sebagai motif utama intervensi. Tidak diragukan lagi ada elemen oportunisme yang kuat dalam tindakan Sanyang, namun fakta bahwa ia menggunakan korupsi sebagai pembenaran yang cocok untuk tindakannya mencerminkan peningkatan kesadaran publik akan masalah tersebut.
Hanya sebulan sebelum kudeta, Pendeta Ian Roach secara terbuka berbicara menentang korupsi, pers lokal melaporkan banyak kasus pencurian birokrasi tingkat rendah, dan lebih tinggi lagi, kelonggaran Jawara terhadap para menteri dan pegawai negeri menjelang akhir tahun 1970-an sangat tidak disukai. Peningkatan kesadaran publik akan korupsi melemahkan rezim PPP dan memberikan dalih yang cocok bagi para konspirator tahun 1994 untuk melakukan intervensi. Karena banyak tentara dilaporkan menganggap kondisi hidup mereka yang tidak memuaskan sebagai manifestasi korupsi, hal itu juga memberi mereka motif. Jawara mungkin meremehkan risiko nyata yang akan ditimbulkan oleh tentara baru bagi dirinya dan negara, dan bahkan, mungkin berlarut-larut dalam menangani korupsi.
6. Kehidupan Pribadi
Sir Dawda Kairaba Jawara menikah dengan Augusta Mahoney pada tahun 1955, putri dari Sir John Mahoney, seorang tokoh terkemuka dari suku Aku di Bathurst.
7. Kematian
Sir Dawda Kairaba Jawara meninggal dunia pada 27 Agustus 2019, di usianya yang ke-95, di kediamannya di Fajara, Gambia. Ia adalah orang Gambia terakhir yang masih hidup yang dianugerahi gelar kesatria (dalam New Year Honours 1966) di bawah monarki Gambia.
8. Penghargaan dan Peringatan
Sir Dawda Kairaba Jawara menerima berbagai penghargaan domestik dan asing selama masa hidupnya, dan diabadikan dalam mata uang Gambia.
Potret Sir Dawda digambarkan pada berbagai uang kertas dan koin dalasi Gambia dari tahun 1971 hingga 1994.
Berikut adalah daftar penghargaan yang diterimanya:
- Nasional
Grand Master dan Grand Commander dari Order of the Republic of The Gambia
- Asing
Grand Cross dari National Order of Mali
Commander dari Order of the Golden Ark (Belanda)
Grand Collar dari Order of Prince Henry (Portugal, 1993)
Grand Order of Mugunghwa (Korea Selatan, 1984)
Honorary Knight Grand Cross dari Order of St Michael and St George (GCMG) (Britania Raya, 1966)