1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Rosli Dhobi memiliki latar belakang keluarga yang sederhana namun memiliki semangat nasionalisme yang tinggi sejak usia muda, yang kemudian membawanya terlibat dalam gerakan anti-kolonial.
1.1. Masa Kecil dan Pendidikan
Rosli Dhobi lahir pada 18 Maret 1932 di Rumah No. 94, Kampung Pulo, Sibu, Kerajaan Sarawak. Ia adalah anak kedua dan putra sulung dari keluarga seorang pencuci pakaian. Ayahnya, Dhobi bin Buang, adalah seorang Melayu Sibu lokal yang memiliki akar leluhur di Kalimantan, Indonesia, dan merupakan keturunan bangsawan bergelar Raden. Ibunya, Habibah binti Haji Lamit, berasal dari keluarga Melayu Sambas yang telah lama menetap di Mukah dan berbaur dengan penduduk asli Melanau.
Rosli memiliki seorang kakak perempuan bernama Fatimah (1927-2019) dan seorang adik laki-laki bernama Ainnie (lahir 1934). Meskipun sedikit yang diketahui tentang masa kecilnya, teman-temannya menggambarkan Rosli sebagai pribadi yang mudah didekati meskipun pendiam. Ia dikenal sebagai orang yang bertutur kata lembut, menghormati orang tua, dan rendah hati. Rosli juga memiliki seorang kekasih bernama Ani.
Pada usia 16 tahun, Rosli mengikuti kelas pagi di sebuah sekolah Methodist sebagai murid standar 6.
1.2. Karier Awal dan Keterlibatan Nasionalis
Rosli Dhobi memulai kariernya dengan bekerja di Departemen Pekerjaan Umum Sarawak. Namun, pada tahun 1949, ia mengundurkan diri dari dinas pemerintahan setelah pemerintah kolonial mengeluarkan Surat Edaran No. 9. Setelah itu, ia menjadi guru di sekolah agama Sekolah Rakyat Sibu pada malam hari.
Seiring dengan karier awalnya, Rosli juga mulai terlibat dalam gerakan nasionalisme. Ia menjadi anggota dan diangkat sebagai wakil sekretaris Pergerakan Pemuda Melayu (PPM) Sibu di bawah kepemimpinan Sirat Haji Yaman.
2. Aktivitas Politik dan Nasionalisme
Rosli Dhobi menunjukkan keyakinan politiknya yang kuat melalui partisipasinya dalam organisasi rahasia dan karya tulis nasionalisnya, yang semuanya bertujuan untuk mengakhiri pemerintahan kolonial Britania di Sarawak.
2.1. Gerakan Anti-Penyerahan dan Rukun 13
Tahap akhir Perang Dunia Kedua mengakhiri pemerintahan Dinasti Brooke di Sarawak. Percaya bahwa hal itu demi kepentingan terbaik rakyat Sarawak, Rajah Vyner Brooke menyerahkan negara bagian itu menjadi koloni mahkota Britania. Langkah ini ditentang oleh Rajah Muda Anthony Brooke, yang seharusnya menjadi Rajah Brooke berikutnya, serta banyak penduduk asli Sarawak yang awalnya dijanjikan pemerintahan sendiri. Anthony Brooke kemudian menjadi pemimpin gerakan anti-penyerahan.
Pada pertengahan tahun 1948, Rosli Dhobi mengeluh kepada Abang Ahmad Abang Haji Abu Bakar bahwa para pemimpin PPM sedang merencanakan untuk mengusir orang-orang kulit putih dari Sarawak tetapi tidak mengundangnya untuk berpartisipasi. Abang Ahmad menjelaskan bahwa kerahasiaan diperlukan untuk mencegah informasi bocor kepada pihak yang tidak diinginkan. Rosli menanggapi dengan menyatakan bahwa ia akan mengguncang Sarawak dengan memberikan pukulan keras terhadap para penguasa kolonial Britania.
Pada tahun yang sama, Rosli bergabung dengan para pemimpin PPM dalam pembentukan organisasi baru bernama Rukun 13, dengan Awang Rambli sebagai pemimpinnya. Dalam sebuah pertemuan yang diadakan di Telephone Road, Sibu, Awang Rambli menyatakan bahwa protes mereka sebelumnya tidak membuahkan hasil selama tiga tahun terakhir. Oleh karena itu, tindakan yang lebih radikal harus diambil, yaitu gubernur Britania yang baru harus dibunuh. Rosli terpilih untuk melakukan tugas ini karena ia masih muda, dan Britania tidak akan menduga upaya pembunuhan oleh seorang pemuda. Awang Rambli juga berjanji untuk membantu Rosli jika ia dipenjara nanti. Setelah itu, Wan Zen Wan Abdullah dan Awang Rambli membaca bagian dari Al-Qur'an (Surah Yasin). Semua orang yang menghadiri pertemuan itu bersumpah dengan meminum segelas air bahwa mereka tidak akan membocorkan risalah pertemuan kepada orang luar. Jika janji itu dilanggar, mereka akan sangat terkutuk.
Salah satu tujuan Rukun 13 adalah untuk mendirikan persatuan Sarawak dengan Indonesia yang baru merdeka. Sukarno, presiden pertama Indonesia, sangat dihormati oleh orang Melayu Sarawak, dan poster-poster Sukarno ditemukan menghiasi rumah-rumah Melayu di Sarawak. Namun, Tahar Johnny, sepupu Rosli, membantah bahwa Rosli pro-Indonesia, meskipun Rosli menyukai segala sesuatu yang berbau Indonesia, dan anggota Rukun 13 lainnya mungkin pro-Indonesia.
2.2. Karya Tulis Nasionalis
Dengan menggunakan nama samaran Lidros, Rosli Dhobi menulis sebuah puisi nasionalis berjudul "Panggilan Mu yang Suchi" (Panggilan Ilahimu yang Suci). Puisi tersebut diterbitkan di surat kabar Melayu Utusan Sarawak pada 28 Februari 1949. Penggunaan nama samaran lazim pada masa itu karena Otoritas Kolonial Britania secara aktif memantau setiap upaya yang dapat merusak stabilitas pemerintahan.
3. Pembunuhan Gubernur Duncan George Stewart
Peristiwa pembunuhan Gubernur Duncan George Stewart adalah puncak dari perlawanan Rosli Dhobi terhadap pemerintahan kolonial Britania, yang direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan dengan keberanian.
3.1. Latar Belakang Peristiwa
Setelah penyerahan Sarawak kepada Mahkota Britania, wilayah tersebut menjadi Koloni Mahkota, yang diperintah langsung dari Kantor Kolonial di London, yang kemudian mengirimkan seorang Gubernur Sarawak. Langkah ini ditentang keras oleh Rajah Muda Anthony Brooke dan banyak penduduk asli Sarawak yang merasa dikhianati karena harapan mereka akan pemerintahan sendiri tidak terpenuhi. Penyerahan ini memicu Gerakan Anti-Penyerahan Sarawak, sebuah perlawanan yang mendalam terhadap pemerintahan kolonial Britania.
3.2. Kronologi Pembunuhan

Pada 2 Desember 1949, Yusuf Haji Merais dan Abang Kess Abang Ahmad bertemu Mostaffa Takip dan Rosli Dhobi saat mereka pergi ke Bioskop Rex untuk bertemu dengan seorang bangsawan bernama Wan Wan San. Rosli kemudian membawa mereka ke rumah Ibu Habsah, tempat teman-teman lain seperti Morshidi Sidek, Rabee Adis, dan Wan Ahmad sudah menunggu. Dalam pertemuan informal itu, mereka membicarakan perjuangan dan nasionalisme. Ketika berbicara tentang kunjungan kerja pertama gubernur baru, Duncan George Stewart, ke Sibu esok hari, Rosli berdiri dan menyatakan keinginannya untuk membunuh gubernur. Namun, semua orang di pertemuan itu tidak mempercayainya karena pernyataan semacam itu sering terdengar dari pemuda lain dalam percakapan santai. Setelah pertemuan, antara pukul 21.00 dan 23.00, Rosli, Yusuf, dan teman-teman lainnya pergi ke rumah Encik Aninie Sepet untuk menonton orang bermain drum. Tepat sebelum tengah malam, mereka pergi ke rumah Yusuf Haji Merais di Kampung Pulo (di belakang sekolah Chung Hua). Rosli meminta untuk mengenakan pakaian pesta Yusuf. Setelah itu, Rosli kembali ke rumahnya sendiri.
Pada 3 Desember 1949, Yusuf dibangunkan oleh Rosli pada pukul 04.00 pagi ketika Rosli mengetuk pintunya. Yusuf menyerahkan kartu identitasnya untuk dikembalikan kepada Britania dan memberikan nasihat terakhir kepada Rosli. Pukul 06.00 pagi, Rosli pergi ke rumah Morshidi untuk membahas rencana pembunuhan. Rosli membeli sebuah kamera dan sebilah belati beracun. Pukul 08.00 pagi, Rosli bertemu Yusuf di kantor Pacific Traders di Pulo Road. Rosli meminta maaf kepada Yusuf dan berharap perjuangan untuk kemerdekaan Sarawak akan terus berlanjut. Rosli kemudian pergi ke sekolah dasar Methodist, berdiri di barisan untuk menyambut kedatangan Gubernur Britania yang baru, Duncan George Stewart. Rosli berdiri di samping Morshidi dan menyerahkan kamera kepadanya.
Setelah memeriksa barisan kehormatan, gubernur pergi menemui sekelompok anak sekolah. Ketika gubernur muncul, Morshidi berpura-pura mengambil foto gubernur sehingga gubernur berhenti berjalan dan memungkinkan Morshidi mengambil foto. Rosli kemudian melangkah keluar dari barisan, mengeluarkan belati, dan mencoba menikam gubernur. Tusukan pertamanya meleset dari gubernur. Ketika dua petugas polisi menyadari Rosli dan berlari ke arahnya, ia melemparkan belati ke arah gubernur. Morshidi kemudian mengeluarkan belatinya dan mencoba menyerang gubernur. Namun, serangan Morshidi digagalkan oleh residen divisi ketiga bernama Barcroft dan seorang sekretaris rahasia gubernur bernama Dilks. Rosli segera ditangkap oleh polisi. Namun, Rosli tidak merasa menyesal atas tindakannya.
Meskipun menderita luka tusuk yang dalam, Stewart dilaporkan mencoba untuk terus berjalan hingga darah mulai merembes melalui seragam putihnya. Duncan Stewart segera dilarikan ke Rumah Sakit Sibu dan kemudian Rumah Sakit Kuching pada hari yang sama. Dr. Wallace merencanakan operasi darurat untuk gubernur pada hari berikutnya (4 Desember 1949) di Singapura. Duncan Stewart meninggal pada 10 Desember 1949, satu minggu setelah insiden tersebut.
4. Proses Peradilan dan Eksekusi
Setelah insiden pembunuhan Gubernur Stewart, Rosli Dhobi dan rekan-rekannya menghadapi proses hukum yang ketat, yang berujung pada vonis hukuman mati dan pelaksanaannya yang kontroversial.
4.1. Persidangan dan Pembelaan
Pada 4 Desember, anggota Rukun 13 ditahan dan rumah-rumah mereka digeledah. Rosli awalnya diadili atas percobaan pembunuhan. Setelah kematian gubernur, dakwaan diubah menjadi pembunuhan. Sidang dilakukan di Pengadilan Sirkuit Kedua, Sibu.
Rosli tidak menginginkan pengacara pembela atas namanya, dan ia menjalani persidangan sendiri. Rosli mempertanyakan saksi-saksi pada poin-poin berikut: Pertama, ketika seorang petugas polisi Sikh membawa kembali belati, ia meninggalkan sidik jarinya pada belati. Tidak ada saksi yang mengatakan bahwa Rosli telah menikam gubernur. Kedua, Rosli berargumen bahwa gubernur tidak meninggal segera setelah insiden, tetapi setelah operasi Dr. Wallace. Ini menyiratkan bahwa Dr. Wallace adalah pembunuh, bukan Rosli Dhobi. Rosli berhasil membela dirinya sendiri pada poin-poin ini.
Namun, Barcroft dan Jerry Martin kemudian menemui ibu Rosli dan meminta ibunya untuk membujuk Rosli agar mengaku bersalah demi mengurangi tingkat keparahan hukuman bagi Rosli. Setelah bujukan ibunya, Rosli memutuskan untuk mengaku bersalah. Rosli dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati dengan digantung. Ini juga merupakan hukuman mati pertama di Sarawak.
4.2. Hukuman Mati dan Pelaksanaan
Selama Rosli dipenjara di penjara Kuching, ia dengan tekun membaca Surah Yasin dari Al-Qur'an. Ia tidak banyak bicara. Tepat sebelum kematiannya, Rosli memberikan beberapa nasihat kepada teman-temannya dan menulis surat kepada anggota keluarganya.
Setelah beberapa bulan mendekam di penjara Kuching, Rosli Dhobi (atau Dhoby), Awang Ramli Amit Mohd Deli, Morshidi Sidek, dan Bujang Suntong dinyatakan bersalah atas pembunuhan dan dijatuhi hukuman mati. Langkah ini dikritik oleh banyak pihak, karena Rosli adalah seorang remaja (17 tahun) pada saat pembunuhan.
Sebelum Rosli digantung, Abang Haji Zaidell (ayah dari Datuk Safri Awang Zaidell) memberikan suntikan anestesi kepada Rosli. Rosli dilaporkan mengatakan kepada Awang Mois (dalam bahasa Melayu Sarawak): Keadaan kita tok, ada hidup ada mati. Keakhirannya ngine pun, kita mati juak. Enta saya, entah kitak... betermulah!Situasi kita ini, ada hidup ada mati. Pada akhirnya, kita tetap mati. Entah saya, entah kamu... mari kita hadapi!Bahasa Melayu Kata-kata terakhir Rosli kepada petugas penjara adalah: Apabila saya hendak digantung kelak, tunggu saya habis membaca kalimah.Sebelum saya digantung, tunggu saya selesai membaca kalimah syahadat.Bahasa Melayu Permintaannya dikabulkan oleh Westin, seorang Inggris yang ditempatkan dari penjara Changi di Singapura.
Rosli kemudian digantung bersama Morshidi pada pagi hari 2 Maret 1950 di penjara Kuching. Karena khawatir akan kemarahan penduduk setempat, pemerintah Britania tidak mengizinkan jenazah keempat pelaku meninggalkan penjara Kuching, melainkan dimakamkan di kuburan tanpa tanda di dalam kompleks penjara.
5. Pasca-Kematian dan Pengakuan
Kematian Rosli Dhobi memicu berbagai respons dan perubahan persepsi, yang akhirnya mengarah pada pengakuan resmi atas perjuangannya dan penghormatan sebagai pahlawan nasional.
5.1. Perubahan Persepsi Publik dan Tanggapan Pemerintah
Sarawak memasuki tahun-tahun yang bergejolak, dan pemberontakan anti-penyerahan dihancurkan karena dukungan penduduk lokal berkurang akibat taktik "agresif" Rukun 13, di samping oposisi dari beberapa pemimpin Melayu yang pro-Britania. Sebagian besar anti-penyerahan ditangkap dan kemudian dipenjarakan, beberapa di antaranya di Penjara Changi di Singapura. Namun, keadaan kemudian kembali normal dan perdamaian dipulihkan selama era Gubernur Sarawak ketiga, Sir Anthony Foster Abell. Bahkan mereka yang dipenjarakan di Changi diizinkan kembali ke Sarawak untuk melanjutkan hukuman mereka di Penjara Pusat Kuching.
Dari tahun 1949 hingga 1996, publik Sarawak umumnya memandang perjuangan Rosli dan Rukun 13 secara negatif sebagai "orang jahat", "penipu", dan "pemberontak". Hanya setelah pemerintah negara bagian Sarawak memberikan pemakaman kenegaraan resmi kepada para pemberontak yang dieksekusi pada tahun 1996, persepsi publik mulai berubah.
5.2. Pemakaman Kembali dan Pemakaman Kenegaraan
Setelah Sarawak bergabung dengan Malaysia pada 16 September 1963, sebuah batu nisan dipasang di makamnya dekat Museum Warisan Islam. Setelah 46 tahun bersemayam di kompleks penjara, pada 2 Maret 1996, jenazah Rosli Dhobi dipindahkan dari Penjara Pusat Kuching untuk dimakamkan di Makam Pahlawan Sarawak dekat Masjid An-Nur di kampung halamannya, Sibu. Ia diberikan pemakaman kenegaraan oleh pemerintah Sarawak. Keempat peti mati yang berisi jenazah mereka diselimuti dengan bendera negara bagian Sarawak, sebagai pemenuhan salah satu wasiat almarhum Rosli Dhobi.
5.3. Peringatan dan Representasi Budaya
Pada tahun 1961, Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaya saat itu, tertarik dengan kisah Rosli Dhobi saat ia mempromosikan rencana pembentukan Malaysia Raya di Sibu. Tunku kemudian berdiskusi dengan Ketua Menteri Sarawak, Abdul Taib Mahmud, untuk membangun monumen pahlawan di dekat Museum Negeri Sarawak. Pada 29 November 1990, peletakan batu pertama monumen pahlawan dilakukan oleh Tunku dan Taib Mahmud. Selain Dhobi, individu lain seperti Datuk Merpati Jepang, Rentap, Datuk Patinggi Ali, serta Tunku Abdul Rahman, juga diabadikan di sana.
Pada tahun 1975, Mahathir Mohamad, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan, mengubah nama SMK Bandar Sibu menjadi SMK Rosli Dhoby untuk mengenang Rosli Dhobi.
Pada tahun 2009, penyedia televisi Malaysia Astro menayangkan miniseri berjudul Warkah Terakhir ("Surat Terakhir") yang menggambarkan kisah Rosli Dhoby. Miniseri tersebut diproduksi oleh Wan Hasliza dengan aktor Beto Kusyairy memerankan Rosli Dhoby. Namun, kerabat Dhoby, Lucas Johnny, mengatakan bahwa serial tersebut mengandung beberapa kesalahan faktual. Misalnya, miniseri tersebut menggambarkan Dhoby mencoba melarikan diri setelah menikam gubernur, padahal kenyataannya, Rosli mencoba menikam gubernur untuk kedua kalinya tetapi dihentikan oleh pengawal gubernur.
6. Warisan dan Evaluasi Sejarah
Rosli Dhobi, sebagai seorang nasionalis dan pejuang kemerdekaan Sarawak, meninggalkan warisan yang mendalam dalam sejarah Malaysia. Tindakannya, meskipun kontroversial pada masanya, kini diakui sebagai bagian integral dari perjuangan panjang Sarawak untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari penjajahan Britania. Eksekusinya, bersama dengan rekan-rekannya dari Rukun 13, menandai berakhirnya gerakan anti-penyerahan yang terbuka, namun pada saat yang sama mengukuhkan posisinya sebagai martir bagi cita-cita kemerdekaan.
Pergeseran persepsi publik dan pemerintah, dari memandang Rosli sebagai "pemberontak" menjadi pahlawan yang dimakamkan secara kenegaraan, mencerminkan reevaluasi sejarah yang lebih luas mengenai era kolonialisme dan perjuangan anti-kolonial. Penamaan sekolah dan pembangunan monumen untuk mengenangnya menegaskan statusnya sebagai simbol perlawanan dan pengorbanan. Warisannya terus menginspirasi diskusi tentang identitas nasional, keberanian dalam menghadapi penindasan, dan harga sebuah kebebasan di Malaysia.
7. Konteks Sejarah dan Penelitian
Penelitian mengenai Rosli Dhobi dan Rukun 13 menghadapi tantangan karena terbatasnya catatan primer. Anggota Rukun 13 tidak mendokumentasikan pengalaman mereka secara publik, dan anggota terakhir meninggal pada tahun 2009. Meskipun demikian, beberapa anggota Pergerakan Pemuda Melayu (Young Malays Movement) masih dapat ditemui pada tahun 2009.
Wakil direktur penjara negara bagian Sarawak, Sabu Hassan, dalam balasan resmi kepada Nordi Achie, seorang peneliti di Pusat Promosi Pengetahuan dan Pembelajaran Bahasa, Universiti Malaysia Sabah, menyatakan bahwa departemen penjara Malaysia tidak menyimpan catatan dan berkas untuk keempat pelaku, sementara sebagian dokumen dihancurkan oleh Britania selama masa kolonial.
Pada tahun 2013, Jeniri Amir, seorang profesor dari Universiti Malaysia Sarawak yang mengkhususkan diri dalam komunikasi politik, menulis sebuah buku tentang Rosli Dhobi yang mencakup informasi baru. Namun, menurut ulasan oleh Nordi Achie, buku Jeniri mengandung kesalahan dengan analisis yang dangkal terhadap informasi yang baru ditemukan mengenai pembunuhan Stewart.
Pada tahun 2012, sebuah dokumen yang tidak lagi dirahasiakan dari Arsip Nasional Britania menunjukkan bahwa Anthony Brooke tidak memiliki hubungan dengan pembunuhan Stewart dan bahwa pemerintah Britania telah mengetahui hal ini pada saat itu. Pemerintah Britania memutuskan untuk merahasiakan informasi ini karena para pembunuh ditemukan sedang mengagitasi untuk bersatu dengan Indonesia yang baru merdeka. Pemerintah Britania tidak ingin memprovokasi Indonesia yang baru saja memenangkan perang kemerdekaannya dari Belanda, karena Britania sedang sibuk menghadapi Darurat Malaya. Dokumen ini memberikan konteks penting mengenai motivasi Britania dalam mengendalikan narasi dan menekan informasi terkait insiden tersebut.