1. Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Abu Nuwas lahir dengan latar belakang campuran Arab dan Persia, yang membentuk identitas dan memengaruhi karya-karyanya. Masa kecil dan pendidikan awalnya dihabiskan di pusat-pusat keilmuan Islam, yaitu Basra dan Kufa.
1.1. Kelahiran dan Keluarga
Abu Nuwas lahir di provinsi Ahvaz (sekarang Iran) di Kekhalifahan Abbasiyah, antara tahun 756 dan 758 M. Sumber lain menyebutkan ia lahir pada tahun 747 M atau antara 747 hingga 762 M. Ayahnya bernama Hani, seorang Arab yang kemungkinan berasal dari Damaskus dan pernah bertugas di pasukan khalifah terakhir Dinasti Umayyah, Marwan II. Ibunya adalah seorang wanita Persia bernama Gulban atau Jullaban, seorang penjahit dari Ahvaz, yang ditemui Hani saat bertugas di kepolisian Ahvaz. Ketika Abu Nuwas berusia sekitar 10 tahun, ayahnya meninggal dunia. Setelah kematian ayahnya, Abu Nuwas dan ibunya pindah ke Basra, Irak.
1.2. Pendidikan dan Pengaruh Awal
Di Basra, Abu Nuwas memulai pendidikan agamanya dengan belajar Al-Qur'an dan menjadi seorang Hafiz (penghafal Al-Qur'an) di usia muda. Kecerdasan dan karismanya menarik perhatian penyair dari Kufah, Walibah ibn al-Hubab, yang kemudian membawa Abu Nuwas ke Kufah sebagai murid. Walibah, yang juga memiliki hubungan romantis dengan Abu Nuwas, mengenali bakat puisinya dan mendorongnya untuk menekuni bidang tersebut.
Setelah kematian Walibah, Abu Nuwas melanjutkan studinya di bawah bimbingan Khalaf al-Ahmar, seorang penyair dan penerjemah terkenal. Ia juga mendalami tatabahasa Arab dari para ahli tata bahasa terkemuka saat itu seperti Abu Ubaidah dan Abu Zayd. Konon, Khalaf al-Ahmar pernah memerintahkan Abu Nuwas untuk menghafal ribuan baris puisi klasik dan kemudian melupakannya, sebagai cara untuk membebaskannya dari pola-pola lama dan mendorong inovasi. Selain itu, ia juga dikatakan pernah mengunjungi Badui di padang pasir untuk memperdalam pengetahuannya tentang kosakata dan kesusastraan bahasa Arab.
2. Karier di Baghdad
Perjalanan Abu Nuwas ke Baghdad menandai puncak karier sastranya, di mana ia menjadi penyair istana yang berpengaruh dan mengembangkan gaya puisinya yang khas.
2.1. Perpindahan dan Kehidupan Istana
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Abu Nuwas pindah ke Baghdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dari para penguasa melalui puisinya. Baghdad pada masa itu merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Ia berhasil menarik perhatian Khalifah Harun al-Rashid dengan madīḥ (puisi pujian) yang dipersembahkannya. Kedekatannya dengan Khalifah Harun al-Rashid memungkinkannya untuk berinteraksi dengan keluarga wazir Barmak, yang saat itu berada di puncak kekuasaan. Meskipun demikian, hubungan ini juga diwarnai intrik politik, di mana penyair istana lainnya, Aban al-Lahiqi, berusaha menjauhkan Abu Nuwas dari Harun al-Rashid.
Setelah Harun al-Rashid melakukan pembersihan terhadap keluarga Barmak, Abu Nuwas sempat bersembunyi di Mesir. Namun, ia segera kembali ke Baghdad dan menjadi sahabat minum (nadīm) bagi Khalifah Al-Amin, putra Harun al-Rashid. Sebagian besar karyanya diyakini diciptakan selama masa pemerintahan Al-Amin (809-813 M). Meskipun dekat, Al-Amin juga pernah memenjarakan Abu Nuwas karena kebiasaan minumnya.
2.2. Gaya Puisi Muhdath
Abu Nuwas dikenal sebagai salah satu penyair terkemuka dari aliran muhdath (modern) dalam sastra Arab. Gerakan ini muncul pada awal abad ke-8 dengan penyair seperti Bashar ibn Burd, yang berusaha melepaskan diri dari gaya puisi klasik, terutama qasidah (puisi panjang berima). Para penyair muhdath ini menggunakan kosakata yang lebih sederhana dan bentuk yang lebih bebas dibandingkan dengan orator pada zaman Badui.
Abu Nuwas secara sadar menolak tema-tema tradisional puisi Arab pra-Islam yang sering kali berpusat pada nostalgia kehidupan di padang pasir atau reruntuhan perkemahan. Sebaliknya, ia merayakan kehidupan kota yang dinamis di Baghdad, dengan segala kesenangan dan kebebasannya. Ia menggunakan humor dan ironi untuk menyimpang dari konvensi puisi klasik. Salah satu puisinya yang terkenal menggambarkan penolakannya terhadap tradisi ini: "Seorang pencerita qasidah biasanya memulai dengan meratapi perkemahan yang ditinggalkan, lalu tanpa henti menceritakan kisah-kisah menyedihkan; sedangkan aku akan mulai dengan bertanya di mana kedai minum terdekat dari perkemahan itu."
Inovasi Abu Nuwas juga terlihat dalam kemampuannya untuk mengambil elemen-elemen dari puisi lama dan mengubahnya menjadi sesuatu yang baru. Ia menggabungkan nilai-nilai normatif puisi klasik yang ditetapkan oleh para ahli tata bahasa dengan kebutuhan sosial dan fungsional seorang penyair istana. Hal ini memungkinkan dia untuk menciptakan karya-karya yang memiliki nilai artistik tinggi sekaligus relevan dengan konteks zamannya.
3. Karya Utama dan Genre
Abu Nuwas menguasai berbagai genre puisi, menciptakan karya-karya yang mendalam dan sering kali kontroversial, yang membedakannya dari para pendahulunya. Koleksi puisinya, yang dikenal sebagai Diwan, dibagi berdasarkan genre.
3.1. Khamriyyat (Puisi Anggur)
Puisi anggur, atau khamriyyat, adalah genre di mana Abu Nuwas paling menunjukkan keunggulannya. Setelah perubahan dinasti ke Abbasiyah, semangat zaman baru tercermin dalam puisi anggur, dan Abu Nuwas menjadi pengaruh besar dalam pengembangannya. Puisinya dalam genre ini kemungkinan besar ditulis untuk menghibur para elit Baghdad. Inti dari puisi anggur adalah penggambaran yang hidup tentang anggur itu sendiri, dengan deskripsi yang ditinggikan tentang rasa, penampilan, aroma, dan efeknya pada tubuh dan pikiran.
Abu Nuwas menggunakan banyak ide filosofis dan citra dalam puisinya yang mengagungkan budaya Persia dan mengejek klasisme Arab. Ia menggunakan puisi anggur sebagai medium untuk menggemakan tema-tema yang relevan dengan Abbasiyah di dunia Islam. Contohnya terlihat dalam salah satu puisinya:
"Anggur disajikan di antara kami dalam kendi perak, dihiasi oleh pengrajin Persia dengan berbagai desain, Chosroes di dasarnya, dan di sekelilingnya antilop yang diburu penunggang kuda dengan busur. Tempat anggur adalah di mana tunik dikancingkan; tempat air adalah di mana topi Persia (qalansuwah) dikenakan."
Kutipan ini menunjukkan prevalensi citra Persia yang sesuai dengan bahasa Persia yang digunakan pada periode tersebut. Abu Nuwas dikenal memiliki nada puitis dan politis dalam puisinya. Bersama penyair Abbasiyah lainnya, Abu Nuwas mengakui keterbukaannya terhadap minum anggur dan pengabaian agama. Ia menulis serangan satir terhadap Islam, menggunakan anggur sebagai alasan sekaligus pembebas. Satu baris puisi dalam Khamriyyat-nya menggambarkan hubungannya yang sinis dengan agama; baris ini membandingkan larangan agama terhadap anggur dengan pengampunan Tuhan. Abu Nuwas menulis karyanya seolah-olah dosa-dosanya dibenarkan dalam kerangka agama.
3.2. Puisi Cinta dan Homoerotisme
Puisi lirik Abu Nuwas yang erotis, sebagian besar bersifat homoerotik, dikenal dari lebih dari 500 puisi dan fragmen. Puisi-puisi ini merayakan pengalaman fisik dan metafisik minum anggur yang tidak sesuai dengan norma puisi di dunia Islam. Tema yang berlanjut dalam puisi anggur Abbasiyah adalah afiliasinya dengan pederasti, karena toko anggur biasanya mempekerjakan anak laki-laki sebagai pelayan. Puisi-puisi ini sering kali cabul dan memberontak. Dalam bagian erotis Diwan-nya, puisinya menggambarkan gadis pelayan muda yang berpakaian seperti anak laki-laki sedang minum anggur.
Abu Nuwas mengeksplorasi prasangka yang menarik: bahwa homoseksualitas diimpor ke Irak Abbasiyah dari provinsi tempat revolusi berasal. Ia menyatakan dalam tulisannya bahwa selama kekhalifahan Umayyah, para penyair hanya memanjakan diri dengan kekasih wanita. Puisi-puisi menggoda Nuwas menggunakan anggur sebagai tema sentral untuk disalahkan dan dijadikan kambing hitam. Ini ditunjukkan melalui kutipan dari al-Muharramah-nya:
"Menampilkan banyak warna saat menyebar di gelas, membungkam semua lidah,
Memamerkan tubuhnya, keemasan, seperti kulit pada tali penjahit yang kuat, di tangan seorang pemuda ramping yang berbicara dengan indah menanggapi permintaan kekasih,
Dengan ikal di setiap pelipis dan tatapan di matanya yang mengeja bencana.
Dia seorang Kristen, dia mengenakan pakaian dari Khurasan dan tuniknya memperlihatkan dada atas dan lehernya.
Jika Anda berbicara dengan keindahan yang elegan ini, Anda akan membuang Islam dari puncak gunung yang tinggi.
Jika saya tidak takut akan kebinasaan Dia yang menuntun semua pendosa ke dalam pelanggaran,
Saya akan masuk agamanya, memasukinya dengan sadar dan cinta,
Karena saya tahu bahwa Tuhan tidak akan membedakan pemuda ini kecuali agamanya adalah agama yang benar."
Puisi ini menggambarkan berbagai "dosa" Abu Nuwas: dilayani oleh seorang Kristen, mengagungkan kecantikan seorang anak laki-laki, dan menemukan kesaksian dalam agama Kristen. Tulisan Abu Nuwas mengejek kepatutan heteroseksual, kecaman terhadap homoseksualitas, larangan alkohol, dan Islam itu sendiri. Ia menggunakan karyanya untuk bersaksi melawan norma-norma agama dan budaya selama kekhalifahan Abbasiyah. Meskipun banyak puisinya menggambarkan kasih sayangnya terhadap anak laki-laki, menghubungkan rasa dan kenikmatan anggur dengan wanita adalah teknik khas Abu Nuwas. Preferensi Abu Nuwas tidak jarang di kalangan pria pada masanya, karena lirik dan puisi homoerotik populer di kalangan mistikus Muslim.
3.3. Puisi Perburuan dan Satir
Abu Nuwas juga dikenal sebagai penyair yang menyempurnakan genre tardiyya (puisi perburuan). Meskipun tema perburuan sudah ada dalam puisi pra-Islam, ia mengangkatnya menjadi genre yang diakui. Puisinya menggambarkan adegan perburuan dengan detail yang hidup, menunjukkan keahliannya dalam retorika.
Selain itu, ia juga aktif dalam tradisi puisi satir Arab yang sudah mapan. Ini termasuk duel antar penyair yang melibatkan pertukaran lampoon dan hinaan puitis yang kejam. Abu Nuwas menggunakan satir untuk mengkritik masyarakat atau individu, sering kali dengan humor yang nakal dan tajam, menyoroti kemunafikan dan ketidakpatutan.
3.4. Inovasi Sastra
Abu Nuwas adalah salah satu dari sejumlah penulis yang dikreditkan dengan penemuan bentuk sastra mu'ammā (secara harfiah "dibutakan" atau "dikaburkan"), sebuah teka-teki yang dipecahkan "dengan menggabungkan huruf-huruf konstituen dari kata atau nama yang akan ditemukan". Ia juga menyempurnakan dua genre Arab: Khamriyya (puisi anggur) dan Tardiyya (puisi perburuan).
Karya Abu Nuwas merupakan bagian dari gerakan pembaruan puisi Arab yang dimulai pada masa Bani Umayyah dan mencapai puncaknya di bawah kekhalifahan Abbasiyah pertama. Ia dianggap sebagai seniman penting dari gerakan ini, yang memandang puisi sebagai ekspresi bebas dan langsung, bukan sebagai pengulangan pola bahasa klasik dan blok bahasa.
4. Tema dan Pemikiran
Puisi Abu Nuwas mengeksplorasi berbagai tema filosofis, sosial, dan pribadi, yang mencerminkan pandangan dunianya yang kompleks dan sering kali menantang norma-norma yang berlaku.
4.1. Hedonisme dan Kehidupan Kota
Abu Nuwas secara terbuka merayakan kehidupan duniawi dan kesenangan. Puisinya sering menggambarkan pesta pora, minum anggur, dan kegembiraan hidup di kota-kota Abbasiyah yang makmur. Ia tidak segan-segan menulis tentang minuman, wanita, dan cinta, bahkan ketika tema-tema ini dianggap tabu atau dilarang oleh Islam. Penggambaran detail tentang bar, biara, dan pertemuan sosial yang penuh madu, makanan lezat, dan anggur, menciptakan kesan bahwa pembaca sedang menghadiri pesta seks di padang pasir.
Meski dikenal sebagai pemabuk, kepiawaiannya dalam menciptakan syair tidak tertandingi. Bahkan dalam keadaan mabuk, ia mampu menghasilkan kata-kata yang indah. Tema-tema ini mencerminkan gaya hidupnya yang bebas dan kecintaannya pada kesenangan, yang sering kali membuatnya berkonflik dengan otoritas agama dan sosial.
4.2. Kritik Sosial dan Agama
Abu Nuwas memiliki pandangan kritis terhadap norma-norma sosial dan institusi keagamaan. Ia sering menggunakan puisinya untuk mengkritik kemunafikan dan mengolok-olok larangan-larangan agama, terutama larangan alkohol. Beberapa puisinya bahkan secara terang-terangan menyinggung atau meremehkan ajaran Islam, menggunakan anggur sebagai simbol kebebasan dan pemberontakan terhadap batasan-batasan agama.
Misalnya, ia menulis tentang bagaimana dosa-dosanya dapat dibenarkan dalam kerangka agama, atau bagaimana ia akan masuk agama lain jika itu menjamin keindahan yang ia puja. Puisi-puasinya menantang kepatutan heteroseksual dan kecaman terhadap homoseksualitas, serta larangan alkohol. Pikiran kritisnya terutama diarahkan pada institusi keagamaan, yang ia pandang sebagai hipokrit atau terlalu membatasi kebebasan individu.
4.3. Pengaruh Budaya Persia
Latar belakang campuran Arab-Persia Abu Nuwas sangat memengaruhi karyanya. Ibunya adalah seorang Persia, dan ia lahir di Ahvaz, sebuah provinsi di Persia. Pengaruh budaya Persia terlihat jelas dalam puisinya, terutama dalam khamriyyat-nya. Ia sering menggunakan citra Persia dan bahkan memasukkan kata-kata atau frasa Persia ke dalam puisinya.
Puisi-puisinya mengagungkan orang-orang Persia dan mengejek klasisisme Arab, menunjukkan preferensinya terhadap estetika dan filosofi Persia. Hal ini mencerminkan sinkretisme budaya yang terjadi di Kekhalifahan Abbasiyah, di mana budaya Arab dan Persia saling berinteraksi dan memengaruhi. Penggunaan citra seperti kendi perak yang dihiasi pengrajin Persia atau topi Persia (qalansuwah) menunjukkan integrasi elemen-elemen budaya Persia ke dalam puisinya.
5. Penjara dan Kematian
Kehidupan Abu Nuwas yang penuh gejolak juga mencakup pengalaman penangkapan dan pemenjaraan, serta berbagai teori yang mengelilingi kematiannya.
5.1. Pengalaman Penjara
Abu Nuwas dipenjara selama masa pemerintahan Khalifah Al-Amin, tidak lama sebelum kematiannya. Penangkapan ini disebabkan oleh kebiasaannya yang sering mabuk-mabukan dan gaya hidupnya yang bebas, serta kemungkinan karena puisinya yang menyinggung atau mengkritik otoritas agama dan khalifah. Salah satu insiden yang disebutkan adalah ketika ia membuat Khalifah murka dengan puisinya yang berjudul "Kafilah Bani Mudhar", yang menyebabkan ia dipenjara.
Pengalaman di penjara ini tampaknya membawa perubahan signifikan dalam puisi Abu Nuwas. Jika sebelumnya ia dikenal sangat pongah dan merayakan kesenangan duniawi, setelah keluar dari penjara, puisi-puisinya menjadi lebih religius. Syair-syairnya mulai bertema pertobatan dan penyerahan diri kepada kekuasaan Allah. Perubahan ini dapat dipahami sebagai ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi setelah menghadapi konsekuensi dari gaya hidupnya.
5.2. Kematian dan Pemakaman
Tanggal dan penyebab kematian Abu Nuwas masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Ia meninggal selama Perang Saudara Abbasiyah Besar, sebelum Al-Ma'mun bergerak dari Khorasan, antara tahun 814 dan 816 M. Beberapa sumber menyebutkan ia meninggal pada tahun 806 M, 813 M, atau 814 M.
Ada empat versi utama mengenai penyebab kematiannya:
- Diracuni:** Ia diracuni oleh keluarga Nawbakht, setelah dijebak dengan puisi yang menyindir mereka.
- Meninggal di kedai minum:** Ia meninggal di sebuah kedai minum, terus minum hingga akhir hayatnya.
- Dipukuli:** Ia dipukuli oleh keluarga Nawbakht karena satir yang salah dikaitkan dengannya. Anggur tampaknya berperan dalam emosi yang bergejolak di jam-jam terakhirnya. Versi ini tampaknya merupakan kombinasi dari dua akun pertama.
- Meninggal di penjara:** Versi ini bertentangan dengan banyak anekdot yang menyatakan bahwa menjelang kematiannya, ia menderita sakit dan dikunjungi oleh teman-teman (meskipun tidak di penjara).
Kemungkinan besar ia meninggal karena sakit, dan kemungkinan besar di rumah keluarga Nawbakht, dari mana muncul mitos bahwa mereka meracuninya. Abu Nuwas dimakamkan di pemakaman Shunizi di Baghdad.
6. Warisan dan Pengaruh
Dampak Abu Nuwas terhadap sastra Arab sangat besar, memengaruhi banyak penyair generasi berikutnya dan meninggalkan jejak dalam budaya populer hingga kini.
6.1. Pengaruh Sastra
Abu Nuwas dianggap sebagai salah satu sastrawan terbesar dalam literatur Arab klasik. Ia adalah salah satu dari sejumlah penulis yang dikreditkan dengan penemuan bentuk sastra mu'ammā, sebuah teka-teki yang dipecahkan dengan menggabungkan huruf-huruf penyusun kata atau nama yang akan ditemukan. Ia juga menyempurnakan dua genre Arab: Khamriyya (puisi anggur) dan Tardiyya (puisi perburuan).
Karyanya memengaruhi banyak penyair Persia berikutnya, termasuk Omar Khayyam dan Hafez. Ibn Quzman, seorang penyair yang menulis di Al-Andalus pada abad ke-12, sangat mengagumi Abu Nuwas dan sering dibandingkan dengannya. Abu Nuwas bersama Abu al-Atahiya dikenal sebagai representasi penyair "modern" yang membawa gaya dan konten baru ke dalam puisi Arab.

Koleksi puisinya, Diwan Abu Nuwas, telah dicetak dalam berbagai bahasa dan edisi. Edisi awal diterbitkan di Wina, Austria (1885), Greifswald (1861), Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), dan Mumbai, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, dan Mosul. Pada tahun 1855, kumpulan puisinya diedit oleh A. Von Kremer dengan judul Diwans des Abu Nowas des Grosten Lyrischen Dichters der Araber.
6.2. Kehadiran dalam Budaya Populer
Abu Nuwas muncul sebagai karakter dalam beberapa cerita di Seribu Satu Malam, di mana ia digambarkan sebagai sahabat karib Harun al-Rashid. Dalam cerita-cerita ini, ia seringkali mengambil peran sebagai sosok yang kocak, cerdik, dan kadang-kadang nakal, yang bersama Khalifah Harun al-Rashid menjalani berbagai petualangan.
Di Afrika Timur, khususnya dalam budaya Swahili, Abu Nuwas dikenal sebagai Abunuwasi atau Kibunuwasi. Ia menjadi tokoh trikster yang populer dalam cerita rakyat, mirip dengan Nasreddin Hoca di Timur Tengah dan Anatolia. Dalam beberapa cerita, ia bahkan digambarkan sebagai kelinci yang dipersonifikasikan. Kisah-kisah Abunuwasi di Afrika Timur seringkali mencerminkan percampuran antara cerita rakyat Islam dan tradisi lisan Afrika. Seniman Tanzania Godfrey Mwampembwa menciptakan buku komik Swahili berjudul Abunuwasi pada tahun 1996, yang menampilkan tokoh ini sebagai protagonis.
Di Indonesia, Abu Nuwas juga merupakan karakter populer dalam berbagai cerita rakyat, sering disebut Abunawas. Kisah-kisahnya sering menyoroti hubungan antara rakyat biasa dan kelas atas, dengan Abunawas menggunakan kecerdikan dan humornya untuk mengakali raja atau orang-orang berkuasa. Namun, di Indonesia, tokoh Abu Nuwas sering kali disalahpahami dan disamakan dengan Nasreddin Hoca. Meskipun keduanya adalah sufi yang humoris dan dekat dengan penguasa pada masanya, Abu Nuwas hidup di Baghdad pada abad ke-8 Masehi dan lebih dikenal sebagai penyair, sementara Nasreddin Hoca hidup di Turki pada abad ke-13 Masehi dan lebih dikenal karena humornya.
6.3. Peringatan dan Evaluasi Kontemporer
Kota Baghdad memiliki beberapa tempat yang dinamai untuk menghormati Abu Nuwas. Jalan Abu Nuwas membentang di sepanjang tepi timur Sungai Tigris, di sebuah lingkungan yang dulunya merupakan pusat pameran kota. Taman Abu Nuwas juga terletak di sepanjang bentangan 2.5 km antara Jembatan Jumhouriya dan sebuah taman yang memanjang ke sungai di Karada dekat Jembatan 14 Juli.
Pada tahun 1976, sebuah kawah di planet Merkurius dinamai untuk menghormati Abu Nuwas.
Meskipun karyanya beredar bebas hingga awal abad ke-20, edisi modern pertama yang disensor dari karyanya diterbitkan di Kairo pada tahun 1932. Pada Januari 2001, Kementerian Kebudayaan Mesir memerintahkan pembakaran sekitar 6.000 eksemplar buku puisi homoerotik Abu Nuwas. Dalam entri Ensiklopedia Arab Global di Arab Saudi untuk Abu Nuwas, semua penyebutan pederasti dihilangkan. Upaya sensor ini menunjukkan bagaimana pandangan terhadap karya Abu Nuwas telah berubah seiring waktu, dan bagaimana tema-tema kontroversial dalam puisinya masih menjadi subjek perdebatan dan upaya pembatasan di era modern.
Dalam budaya populer modern, Abu Nuwas juga menjadi inspirasi. Ia adalah protagonis fiksi dalam novel The Father of Locks (2009) dan The Khalifah's Mirror (2012) oleh Andrew Killeen, di mana ia digambarkan sebagai mata-mata yang bekerja untuk Ja'far al-Barmaki. Dalam novel Sudan Season of Migration to the North (1966) oleh Tayeb Salih, puisi cinta Abu Nuwas dikutip secara luas oleh salah satu protagonis sebagai sarana merayu seorang wanita muda. Film Arabian Nights (1974) karya Pier Paolo Pasolini juga menggunakan puisi erotis Abu Nuwas dalam salah satu adegannya.