1. Ikhtisar
Transnistria, secara resmi dikenal sebagai Republik Moldova Pridnestrovia (PMR), adalah sebuah entitas politik yang memisahkan diri dan terletak di Eropa Timur, di antara Moldova dan Ukraina. Wilayah ini mengendalikan sebagian besar jalur sempit tanah di antara sungai Dniester dan perbatasan Moldova-Ukraina, serta beberapa daerah di tepi barat sungai tersebut, termasuk kota Bender. Meskipun mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1990 dan menjalankan pemerintahan de facto dengan ibu kota di Tiraspol, lengkap dengan konstitusi, militer, mata uang, dan sistem politik sendiri, Transnistria tidak diakui oleh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa manapun dan secara internasional dianggap sebagai bagian dari Moldova. Status politiknya yang belum terselesaikan menjadikannya salah satu "konflik beku" pasca-Soviet, dengan kehadiran militer Rusia yang signifikan di wilayah tersebut. Wilayah ini memiliki posisi geografis strategis dan sejarah yang kompleks, mulai dari pembentukan Republik Sosialis Soviet Otonom Moldavia hingga pendudukan selama Perang Dunia II dan dampaknya. Situasi politik kontemporer ditandai oleh upaya kemerdekaan yang belum terselesaikan, konflik bersenjata dengan Moldova, dan kehadiran militer Rusia yang berkelanjutan. Transnistria menjalankan pemerintahan de facto sendiri, namun menghadapi tantangan signifikan terkait pengakuan internasional, hak asasi manusia, perkembangan demokrasi, dan kesejahteraan sosial penduduknya.
2. Nama
Wilayah ini dikenal dengan beberapa nama dalam bahasa Inggris, seperti Transnistria, Trans-Dniester, Transdniester, atau Transdniestria. Nama-nama ini merupakan adaptasi dari nama sehari-hari dalam bahasa Rumania, Transnistria, yang berarti "di seberang Sungai Dniester". Istilah Transnistria pertama kali digunakan terkait Moldova timur pada tahun 1989, dalam slogan pemilu Leonida Lari, seorang deputi dan anggota Front Populer Moldova, yang menyatakan: "Saya akan mengusir penjajah, orang asing, dan mankurt ke seberang Dniester, saya akan mengusir mereka dari Transnistria, dan Anda, orang Rumania, adalah pemilik sejati tanah yang telah lama menderita ini-... Kita akan membuat mereka berbicara bahasa Rumania, menghormati bahasa kita, budaya kita!"
Pemerintah Moldova merujuk wilayah ini sebagai Stînga NistruluiStînga NistruluiBahasa Rumania yang berarti "Tepi Kiri (Sungai) Dniester", atau secara lengkap, Unitățile Administrativ-Teritoriale din Stînga NistruluiUnitățile Administrativ-Teritoriale din Stînga NistruluiBahasa Rumania ("Unit administratif-teritorial Tepi Kiri Sungai Dniester").
Menurut otoritas Transnistria, nama resmi negara adalah Republik Moldova Pridnestrovia (Приднестровская Молдавская РеспубликаPridnestróvskaya Moldávskaya RespúblikaBahasa Rusia, disingkat ПМРPMRBahasa Rusia; Republica Moldovenească NistreanăRépublika Moldovenyaske NistryaneBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Република Молдовеняскэ Нистрянэ, disingkat РМНRMNBahasa Rumania; Придністровська Молдавська РеспублікаPrydnistróvska Moldávska RespúblikaBahasa Ukraina, disingkat ПМРPMRBahasa Ukraina). Bentuk singkat yang umum digunakan adalah Pridnestrovia (ПриднестровьеPridnestrovyeBahasa Rusia; NistreniaNistryenyaBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Нистрения; Придністров'яPrydnistroviaBahasa Ukraina), yang berarti "[tanah] di tepi Sungai Dniester". Penduduk wilayah ini disebut sebagai orang Transnistria atau Pridnestrovia.
Pada tanggal 4 September 2024, Dewan Tertinggi Transnistria mengeluarkan undang-undang yang melarang penggunaan istilah Transnistria di dalam wilayah tersebut, dengan ancaman denda atau hukuman penjara bagi yang menggunakannya di depan umum.
3. Sejarah
Sejarah Transnistria mencakup periode dari zaman kuno, pengaruh berbagai kekaisaran, pembentukan entitas Soviet, hingga konflik pasca-Soviet dan upaya kemerdekaan yang berkelanjutan, yang semuanya membentuk lanskap sosial dan politik wilayah tersebut saat ini. Peristiwa-peristiwa ini berdampak signifikan pada hak-hak penduduk dan komposisi etnis di wilayah tersebut.
3.1. Zaman Kuno dan Abad Pertengahan
Wilayah Transnistria pada zaman kuno dihuni oleh suku-suku Trakia dan Skitia. Sekitar tahun 600 SM, koloni Yunani bernama Tyras didirikan di dekat muara Sungai Dniester. Pada abad ke-4 M, suku Goth menaklukkan Tyras. Memasuki Abad Pertengahan, berbagai bangsa seperti Slavia Selatan dan Slavia Timur mulai berdatangan. Wilayah ini sempat berada di bawah kendali Kievan Rus' pada abad ke-11. Pada abad ke-14, Republik Genova menguasai sebagian wilayah sebagai pusat perdagangan. Kepangeranan Moldavia, yang terbentuk pada pertengahan abad ke-14, memperluas wilayahnya hingga ke Sungai Dniester pada akhir abad tersebut, namun tidak melampauinya. Pada abad ke-15, wilayah ini secara resmi menjadi bagian dari Keharyapatihan Lituania. Sebagian besar Transnistria kemudian menjadi bagian dari Persemakmuran Polandia-Lituania hingga Pembagian Polandia Kedua pada tahun 1793, sementara bagian selatannya berada di bawah kendali Kekaisaran Ottoman.
3.2. Era Kekaisaran Rusia
Pada tahun 1792, melalui Perjanjian Jassy, bagian selatan Transnistria diserahkan oleh Kekaisaran Ottoman kepada Kekaisaran Rusia. Setahun kemudian, pada tahun 1793, bagian utara dianeksasi oleh Rusia dalam Pembagian Polandia Kedua. Rusia menamai wilayah ini "Moldavia Baru" dan melakukan kolonisasi besar-besaran, mengundang pemukim Rusia dan Ukraina untuk memperkuat perbatasan baratnya. Petani Moldova juga didorong untuk bermukim dengan tawaran tanah bebas pajak. Setelah aneksasi Bessarabia oleh Rusia pada tahun 1812, Transnistria tidak lagi menjadi wilayah perbatasan. Selama Perang Dunia I, perwakilan berbahasa Rumania di sebelah barat Dniester mengupayakan penyatuan dengan Rumania Raya, namun tidak berhasil. Setelah perang dan Revolusi Rusia, pada tahun 1918, Republik Rakyat Ukraina mendeklarasikan kedaulatannya atas tepi kiri Dniester, sebelum akhirnya wilayah ini masuk ke dalam Republik Sosialis Soviet Ukraina pada tahun 1922.
3.3. Era Uni Soviet
Era Uni Soviet membawa perubahan signifikan bagi Transnistria, dimulai dengan pembentukan Republik Sosialis Soviet Otonom Moldavia (RSSOM) sebagai upaya Soviet untuk memperkuat klaim atas Bessarabia. Perang Dunia II menyaksikan pendudukan dan reorganisasi wilayah, yang kemudian dilanjutkan dengan kebijakan industrialisasi dan Rusifikasi di bawah Republik Sosialis Soviet Moldavia (RSSM), yang berdampak besar pada struktur sosial dan hak-hak penduduk lokal.
3.3.1. Republik Sosialis Soviet Otonom Moldavia (RSSOM)

Pada tahun 1924, atas usulan pemimpin militer Soviet Grigory Kotovsky, Republik Sosialis Soviet Otonom Moldavia (RSSOM) diproklamasikan di dalam Republik Sosialis Soviet Ukraina. Wilayah RSSOM mencakup Transnistria saat ini (sekitar 4.10 K km2) dan area tambahan di sekitarnya, termasuk kota Balta (sekitar 4.20 K km2), namun tidak mencakup Bessarabia yang saat itu merupakan bagian dari Rumania. Tujuan utama pembentukan RSSOM adalah untuk memperkuat klaim Uni Soviet atas Bessarabia dan mendukung potensi reunifikasi di masa depan. Ibu kota RSSOM awalnya berada di Balta, kemudian dipindahkan ke Tiraspol pada tahun 1929.
Pada masa itu, penduduk RSSOM mayoritas terdiri dari etnis Rumania (Moldova) dan Ukraina, dengan sekolah-sekolah berbahasa Rumania dibuka. Namun, terjadi juga kebijakan Rusifikasi, terutama terhadap etnis non-Rumania, Ukraina, dan Rusia. Pendidikan dalam bahasa ibu untuk kelompok minoritas seperti Polandia dihapuskan dan digantikan dengan bahasa Ukraina atau Rusia. Pada tahun 1927, terjadi pemberontakan petani dan buruh di Tiraspol dan kota-kota lain menentang otoritas Soviet, namun berhasil ditumpas oleh pasukan dari Moskow, yang dilaporkan menyebabkan ribuan korban jiwa. Ribuan etnis Rumania dari Transnistria juga melarikan diri ke Rumania selama periode 1920-an hingga 1930-an akibat tekanan politik dan sosial. Komposisi etnis RSSOM saat itu adalah sekitar 48% Ukraina, 30% Rumania/Moldova, 9% Rusia, dan 8,5% Yahudi.
3.3.2. Perang Dunia II dan Republik Sosialis Soviet Moldavia (RSSM)
Pada tanggal 28 Juni 1940, Uni Soviet menganeksasi Bessarabia dan Bukovina Utara dari Rumania berdasarkan Pakta Molotov-Ribbentrop. Pada tanggal 2 Agustus 1940, Soviet Tertinggi Uni Soviet membentuk Republik Sosialis Soviet Moldavia (RSSM) dengan menggabungkan sebagian wilayah Bessarabia yang dianeksasi dengan bagian barat dari RSSOM yang telah dibubarkan (wilayah yang kurang lebih sama dengan Transnistria saat ini). Sebagian besar wilayah RSSM (90%) berada di sebelah barat Sungai Dniester.
Pada tahun 1941, setelah pasukan Blok Poros menginvasi Uni Soviet, Rumania, sebagai sekutu Jerman Nazi, menduduki wilayah antara Sungai Dniester dan Sungai Bug Selatan, termasuk kota Odessa yang dijadikan ibu kota administratif lokal. Wilayah pendudukan Rumania ini dikenal sebagai Kegubernuran Transnistria, dengan luas sekitar 39.73 K km2 dan populasi 2,3 juta jiwa. Pemerintahan Rumania di Transnistria mencoba melakukan proses Romanianisasi. Selama pendudukan Rumania dari tahun 1941 hingga 1944, antara 150.000 hingga 250.000 orang Yahudi Ukraina dan Rumania dideportasi ke Kegubernuran Transnistria; mayoritas dari mereka dibunuh atau meninggal karena berbagai sebab di ghetto dan kamp konsentrasi. Peristiwa ini merupakan bagian dari Holocaust.
Setelah Tentara Merah berhasil merebut kembali wilayah tersebut pada tahun 1944, otoritas Soviet melakukan eksekusi, pengasingan, atau pemenjaraan terhadap ratusan penduduk RSSM atas tuduhan kolaborasi dengan penjajah Rumania. Kampanye berikutnya menargetkan keluarga petani kaya (kulak), yang dideportasi ke RSS Kazakhstan dan Siberia. Pada tanggal 6-7 Juli 1949, sebuah operasi yang dinamai "Operasi Selatan" menyebabkan deportasi lebih dari 11.342 keluarga. Kebijakan industrialisasi Soviet difokuskan di wilayah Transnistria, sementara bagian lain RSSM tetap agraris. Proses Rusifikasi juga terus berlanjut, memengaruhi identitas lokal dan hak-hak minoritas.
3.4. Proses Kemerdekaan dan Pemisahan Diri

Pada tahun 1980-an, kebijakan perestroika dan glasnost yang dicanangkan oleh Mikhail Gorbachev di Uni Soviet memungkinkan liberalisasi politik di tingkat regional. Hal ini memicu kebangkitan nasionalisme di sebagian besar republik Soviet, termasuk di RSS Moldova. Di Moldova, gerakan nasionalis pro-Rumania menguat, dengan Front Populer Moldova (PFM) sebagai yang paling menonjol. Pada awal 1988, PFM menuntut agar bahasa Moldova (Rumania) menjadi satu-satunya bahasa negara, kembali menggunakan alfabet Latin, dan pengakuan identitas etnis bersama Moldova-Rumania. Beberapa faksi radikal PFM bahkan menyuarakan posisi anti-minoritas yang ekstrem, menyerukan pengusiran etnis Slavia (Rusia dan Ukraina) serta Gagauz.
Pada tanggal 31 Agustus 1989, Soviet Tertinggi RSS Moldova menetapkan bahasa Moldova sebagai bahasa resmi (dengan bahasa Rusia sebagai bahasa sekunder), mengembalikan penggunaan alfabet Latin untuk bahasa Moldova, dan mendeklarasikan identitas linguistik bersama Moldova-Rumania. Kebijakan ini menimbulkan ketegangan lebih lanjut, karena kelompok minoritas merasa terancam oleh penghapusan bahasa Rusia sebagai bahasa komunikasi antaretnis dan kemungkinan reunifikasi Moldova dengan Rumania. Komposisi etnis dan linguistik Transnistria berbeda signifikan dari wilayah Moldova lainnya, dengan proporsi etnis Rusia dan Ukraina yang tinggi, dan mayoritas penduduk (termasuk sebagian etnis Moldova) menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa ibu. Gerakan Yedinstvo (Persatuan), yang didirikan oleh penduduk Slavia, menuntut status yang sama untuk bahasa Rusia dan Moldova.
Pada awal tahun 1990, PFM yang nasionalis memenangkan pemilihan parlemen bebas pertama di RSS Moldova. Agenda PFM mulai diimplementasikan secara bertahap. Sebagai reaksi, pada tanggal 2 September 1990, Republik Sosialis Soviet Moldavia Pridnestrovia (RSSMP) diproklamasikan sebagai republik Soviet oleh sebuah majelis ad hoc, Kongres Kedua Perwakilan Rakyat Transnistria, menyusul referendum yang sukses. Kekerasan meningkat ketika pada Oktober 1990, PFM menyerukan pembentukan milisi bersenjata untuk menghentikan referendum otonomi di Gagauzia. Sebagai tanggapan, milisi sukarelawan juga dibentuk di Transnistria. Pada April 1990, massa nasionalis menyerang anggota parlemen etnis Rusia, sementara polisi Moldova dilaporkan menolak untuk campur tangan.
Untuk menjaga kesatuan RSS Moldova di dalam Uni Soviet dan mencegah eskalasi lebih lanjut, Presiden Soviet Mikhail Gorbachev, sambil menyebut pembatasan hak-hak sipil minoritas oleh Moldova sebagai penyebab perselisihan, menyatakan proklamasi RSSMP tidak memiliki dasar hukum dan membatalkannya melalui dekrit presiden pada tanggal 22 Desember 1990. Meskipun demikian, tidak ada tindakan signifikan yang diambil terhadap Transnistria, dan otoritas baru secara bertahap berhasil menguasai wilayah tersebut.
Menyusul upaya kudeta di Uni Soviet pada Agustus 1991, RSSMP mendeklarasikan kemerdekaannya dari Uni Soviet pada tanggal 25 Agustus 1991. Pada tanggal 5 November 1991, Transnistria meninggalkan ideologi sosialisnya dan berganti nama menjadi Republik Moldova Pridnestrovia (PMR).
3.5. Perang Transnistria
Perang Transnistria dimulai setelah bentrokan bersenjata skala terbatas pecah antara kelompok separatis Transnistria dan Moldova sejak November 1990 di Dubăsari. Para sukarelawan, termasuk Kazaki, datang dari Rusia untuk membantu pihak separatis. Pada pertengahan April 1992, Moldova membentuk Kementerian Pertahanannya sendiri. Berdasarkan kesepakatan pembagian peralatan militer bekas Uni Soviet, sebagian besar peralatan Pasukan Garda ke-14 Soviet akan dipertahankan oleh Moldova.
Mulai tanggal 2 Maret 1992, terjadi aksi militer terkoordinasi antara Moldova dan Transnistria. Pertempuran semakin intensif sepanjang awal tahun 1992. Bekas Pasukan Garda ke-14 Soviet, yang ditempatkan di Transnistria, memasuki konflik pada tahap akhir dan melepaskan tembakan terhadap pasukan Moldova. Diperkirakan sekitar 700 orang tewas dalam konflik ini. Sejak itu, Moldova tidak lagi memiliki kontrol atau pengaruh efektif atas otoritas Transnistria. Perjanjian gencatan senjata ditandatangani pada tanggal 21 Juli 1992 dan masih berlaku hingga kini. Sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata, dibentuk Komisi Kontrol Gabungan (JCC) tripartit (Moldova, Rusia, Transnistria) dan pasukan penjaga perdamaian trilateral untuk menangani pelanggaran gencatan senjata. Dampak kemanusiaan dari perang ini sangat signifikan, dengan ribuan orang mengungsi dan infrastruktur rusak. Konsekuensi jangka panjang bagi penduduk sipil termasuk trauma psikologis, perpecahan sosial, dan ketidakpastian ekonomi. Upaya penyelesaian konflik telah melibatkan berbagai mediasi internasional, namun belum mencapai solusi politik yang komprehensif yang mempertimbangkan hak-hak semua pihak yang terdampak.
3.6. Periode Pasca-Perang

Setelah perang, situasi politik di Transnistria tetap tegang meskipun gencatan senjata bertahan. Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) berupaya memfasilitasi penyelesaian melalui negosiasi. Pada tanggal 8 Mei 1997, Presiden Moldova Petru Lucinschi dan Presiden Transnistria Igor Smirnov menandatangani "Memorandum tentang prinsip-prinsip normalisasi hubungan antara Republik Moldova dan Transnistria" (juga dikenal sebagai "Memorandum Primakov"). Meskipun memorandum ini bertujuan membangun hubungan hukum dan kenegaraan, interpretasinya berbeda antara kedua belah pihak.
Pada November 2003, Dmitry Kozak, seorang penasihat Presiden Rusia Vladimir Putin, mengusulkan sebuah memorandum ("Memorandum Kozak") tentang pembentukan negara federal Moldova yang asimetris, di mana Moldova memegang mayoritas dan Transnistria menjadi bagian minoritas federasi dengan hak veto atas perubahan konstitusi di masa depan. Transnistria, yang menginginkan status setara, didorong untuk menandatanganinya. Presiden Moldova Vladimir Voronin awalnya mendukung rencana tersebut, tetapi kemudian menolaknya setelah adanya oposisi internal, tekanan internasional dari OSCE dan AS, serta setelah Rusia mendukung tuntutan Transnistria untuk mempertahankan kehadiran militer Rusia selama 20 tahun ke depan sebagai jaminan bagi federasi yang diusulkan.
Format negosiasi "5+2" (Transnistria, Moldova, Ukraina, Rusia, dan OSCE, ditambah Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai pengamat eksternal) dimulai pada tahun 2005 untuk menangani masalah ini, tetapi sempat ditangguhkan tanpa hasil selama bertahun-tahun. Pembicaraan dilanjutkan di Wina pada Februari 2011 dan berlanjut hingga 2018 dengan beberapa kesepakatan kecil tercapai. Namun, pada tahun 2023, Moldova telah menghentikan penggunaan istilah "5+2" dalam diskusi diplomatik. Perkembangan ini berdampak pada upaya pembangunan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia di wilayah tersebut, karena ketidakpastian status terus berlanjut.
3.6.1. Referendum Kemerdekaan 2006
Pada tanggal 17 September 2006, pemerintah Transnistria menyelenggarakan referendum mengenai kelanjutan kemerdekaan dan potensi integrasi dengan Federasi Rusia. Latar belakang referendum ini adalah keinginan kuat dari sebagian besar penduduk dan elit politik Transnistria untuk melepaskan diri dari Moldova dan memperkuat hubungan dengan Rusia, terutama setelah Montenegro berhasil meraih kemerdekaan melalui referendum pada tahun yang sama.
Menurut hasil resmi yang diumumkan oleh otoritas Transnistria, 97,2% pemilih mendukung "kemerdekaan dari Moldova dan asosiasi bebas dengan Rusia", sementara opsi untuk melepaskan kemerdekaan dan bergabung kembali dengan Moldova ditolak oleh mayoritas besar. Tingkat partisipasi dilaporkan melebihi 70%.
Namun, referendum ini tidak diakui oleh komunitas internasional, termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat, OSCE, dan banyak negara lainnya. Mereka menganggap referendum tersebut tidak sah dan tidak memenuhi standar demokrasi internasional. Komite Helsinki untuk Hak Asasi Manusia Moldova melaporkan adanya berbagai kejanggalan, termasuk tingkat partisipasi pemilih yang sebenarnya jauh lebih rendah (diperkirakan antara 10-30%), dugaan intimidasi terhadap pemilih, pengecualian kelompok oposisi dari daftar pemilih, dan potensi manipulasi hasil suara. Meskipun demikian, referendum ini signifikan karena memperkuat klaim Transnistria atas penentuan nasib sendiri dan mencerminkan sentimen pro-Rusia yang kuat di wilayah tersebut, meskipun tidak mengubah status politiknya secara hukum internasional.
3.6.2. Dampak Invasi Rusia ke Ukraina 2022
Invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 membawa dampak signifikan bagi Transnistria dalam berbagai aspek. Secara politik, Transnistria mendeklarasikan netralitasnya dan menyangkal klaim bahwa mereka akan membantu serangan Rusia terhadap Ukraina. Namun, ketegangan meningkat dengan adanya laporan intelijen Ukraina pada Januari 2022 tentang dugaan rencana Rusia untuk melakukan provokasi false flag di Transnistria sebagai dalih invasi ke Ukraina. Pada Maret 2022, Majelis Parlemen Dewan Eropa mengadopsi resolusi yang mendefinisikan wilayah Transnistria sebagai wilayah yang berada di bawah pendudukan militer Rusia. Serangkaian ledakan terjadi di Transnistria pada April 2022, termasuk di gedung Kementerian Keamanan Negara dan menara pemancar radio Rusia, yang disebut otoritas Moldova sebagai provokasi untuk mendestabilisasi kawasan.
Secara ekonomi, penutupan perbatasan Ukraina dengan Transnistria, yang merupakan rute utama masuknya barang, menyebabkan Transnistria sangat bergantung pada Moldova untuk impor. Pada Februari 2024, Dewan Tertinggi Transnistria mengadakan pertemuan darurat (pertama sejak 2006), meminta bantuan ekonomi dari Rusia dan menuduh Moldova melakukan "genosida" ekonomi. Krisis energi parah terjadi pada 1 Januari 2025 ketika pengiriman gas Rusia melalui Ukraina berakhir, dan Transnistria menolak membeli gas dengan harga pasar dari Moldova.
Secara keamanan, kehadiran sekitar 1.500 tentara Rusia dan gudang amunisi besar peninggalan Soviet di Transnistria terus menjadi sumber kekhawatiran. Tuduhan adanya upaya Rusia untuk mencaplok wilayah ini, mirip dengan yang terjadi di Ukraina, juga muncul, terutama setelah permintaan "perlindungan" dari Transnistria kepada Rusia.
Dampak kemanusiaan dan sosial termasuk meningkatnya kecemasan di kalangan penduduk Transnistria. Di sisi lain, krisis ini juga mendorong peningkatan dialog dan kolaborasi antara Transnistria dan Moldova, terutama dalam hal bantuan kepada pengungsi Ukraina. Hubungan ekonomi Transnistria yang sebelumnya kuat dengan Ukraina terputus, memaksa wilayah tersebut untuk lebih bergantung pada Moldova dan jalur perdagangan Uni Eropa.
4. Geografi

Transnistria adalah wilayah yang terkurung daratan, berbatasan dengan wilayah Bessarabia (bagian utama Moldova) di sebelah barat (sepanjang 411 km) dan Ukraina di sebelah timur (sepanjang 405 km). Wilayah ini berupa lembah sempit yang membentang dari utara ke selatan di sepanjang tepi timur sungai Dniester, yang membentuk batas alami di sebagian besar perbatasan de facto dengan Moldova. Luas total wilayah yang dikontrol oleh otoritas Transnistria adalah 4.16 K km2.
Wilayah yang dikuasai oleh PMR sebagian besar, tetapi tidak seluruhnya, berhimpitan dengan tepi kiri (timur) Sungai Dniester. Wilayah ini mencakup sepuluh kota besar dan kecil, serta 69 komune, dengan total 147 lokalitas. Namun, enam komune di tepi kiri (Cocieri, Molovata Nouă, Corjova, Pîrîta, Coșnița, dan Doroțcaia) tetap berada di bawah kendali pemerintah Moldova setelah Perang Transnistria tahun 1992, sebagai bagian dari Distrik Dubăsari. Desa Roghi dari Komune Molovata Nouă juga dikendalikan oleh PMR.
Di tepi barat, di Bessarabia, kota Bender (Tighina) dan empat komune (berisi enam desa) di sebelah timur, tenggara, dan selatan kota tersebut, yang berseberangan dengan Tiraspol (Proteagailovca, Gîsca, Chițcani, dan Cremenciug), dikendalikan oleh PMR. Lokalitas yang dikendalikan Moldova di tepi timur, seperti desa Roghi, dan kota Dubăsari (dikuasai PMR) membentuk zona keamanan bersama dengan wilayah yang dikuasai PMR di tepi barat, serta dua wilayah lain (Varnița dan Copanca) di tepi barat yang dikuasai Moldova. Situasi keamanan di zona ini tunduk pada keputusan Komisi Kontrol Gabungan.
Rute transportasi utama di Transnistria adalah jalan raya M4 dari Tiraspol ke Rîbnița melalui Dubăsari, yang seluruhnya dikuasai PMR. Di sebelah utara dan selatan Dubăsari, jalan ini melewati koridor darat yang dikuasai Moldova, yang terkadang menimbulkan konflik terkait akses lahan pertanian. Iklim Transnistria adalah kontinental lembab dengan karakteristik subtropis, ditandai dengan musim panas yang hangat dan musim dingin yang sejuk hingga dingin, dengan curah hujan yang relatif merata sepanjang tahun. Sumber daya alam utama termasuk tanah subur untuk pertanian dan deposit bahan bangunan seperti pasir dan kerikil. Masalah perbatasan yang belum terselesaikan dengan Moldova dan Ukraina sering menjadi sumber ketegangan.
5. Politik
Sistem politik Transnistria adalah republik semi-presidensial dengan kekuasaan eksekutif yang kuat di tangan presiden. Struktur pemerintahan mencakup parlemen unikameral dan sistem yudikatif, namun partisipasi demokratis dan representasi berbagai kelompok masyarakat menghadapi tantangan signifikan akibat status internasional yang tidak diakui dan pengaruh politik internal. Hubungan luar negeri didominasi oleh Rusia, sementara sengketa perbatasan dan status hukum yang belum terselesaikan terus memengaruhi stabilitas dan hak-hak penduduk.
5.1. Struktur Pemerintahan

Transnistria menganut sistem republik semi-presidensial dengan presiden sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan kuat. Presiden dipilih secara langsung untuk masa jabatan lima tahun dan dapat menjabat maksimal dua periode berturut-turut. Presiden saat ini adalah Vadim Krasnoselsky. Perdana Menteri, saat ini Aleksandr Rozenberg, adalah kepala pemerintahan dan diangkat oleh presiden dengan persetujuan parlemen.
Lembaga legislatif adalah Dewan Tertinggi (Верховный СоветVerkhovnii SovetBahasa Rusia), sebuah parlemen unikameral yang terdiri dari 33 anggota (sebelumnya 43) yang dipilih untuk masa jabatan lima tahun melalui sistem pemilihan umum multi-partai. Partai politik utama yang mendominasi parlemen adalah Obnovlenie (Pembaruan), yang mengalahkan partai Republik yang berafiliasi dengan mantan presiden Igor Smirnov pada tahun 2005 dan terus memegang mayoritas dalam pemilihan-pemilihan berikutnya. Pemilihan umum di Transnistria tidak diakui oleh badan-badan internasional seperti Uni Eropa dan banyak negara lainnya, yang menganggapnya sebagai sumber peningkatan ketegangan.
Sistem yudikatif terdiri dari Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Namun, independensi yudikatif sering dipertanyakan. Meskipun ada mekanisme formal untuk partisipasi demokratis, seperti pemilihan umum, kebebasan politik dan representasi kelompok oposisi serta minoritas seringkali terbatas. Rezim politik sebelum reformasi konstitusi tahun 2011 digambarkan sebagai "super-presidensialisme". Ada laporan mengenai penundaan registrasi kandidat oposisi dalam pemilu dan hasil pemilu yang dipertanyakan, seperti pada tahun 2001 ketika Igor Smirnov dilaporkan meraih 103,6% suara di satu wilayah. Partai oposisi seperti Narodovlastie dan Kekuatan untuk Rakyat dilarang pada awal tahun 2000-an.
5.2. Status Internasional

Status hukum internasional Transnistria sangat kompleks dan kontroversial. Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap Transnistria sebagai bagian sah dari Republik Moldova. Transnistria tidak diakui sebagai negara berdaulat oleh PBB maupun organisasi internasional besar lainnya. Satu-satunya pengakuan sebagai entitas berdaulat datang dari negara-negara lain yang juga memiliki status pengakuan terbatas atau tidak diakui, yaitu Abkhazia dan Ossetia Selatan.
Meskipun Moldova tidak memiliki kontrol langsung atas wilayah Transnistria, pemerintah Moldova mengeluarkan "Undang-Undang tentang Ketentuan Dasar Status Hukum Khusus Lokalitas dari Tepi Kiri Sungai Dniester" pada tanggal 22 Juli 2005. Undang-undang ini menetapkan sebagian wilayah Transnistria (wilayah Republik Moldova Pridnestrovia tanpa Bender dan wilayah yang dikuasai Moldova) sebagai Unit Administratif-Teritorial Tepi Kiri Sungai Dniester di dalam Republik Moldova, yang secara teoretis memberikan otonomi luas. Namun, undang-undang ini disahkan tanpa konsultasi dengan otoritas Transnistria dan dianggap sebagai provokasi oleh pihak Transnistria.
Implikasi dari status yang tidak diakui ini sangat besar terhadap hak penentuan nasib sendiri dan hak-hak penduduk Transnistria. Warga Transnistria seringkali memiliki kewarganegaraan ganda atau bahkan tiga hingga empat kewarganegaraan, termasuk Moldova, Rusia, Ukraina, dan terkadang Rumania atau Bulgaria. Hal ini memungkinkan mereka untuk bepergian dan mengakses layanan tertentu, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum. Dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas Transnistria, seperti paspor, umumnya tidak diakui secara internasional. Sengketa teritorial dengan Moldova mengenai beberapa desa di tepi timur dan barat Sungai Dniester juga menambah kompleksitas status hukum dan seringkali memicu ketegangan.
Pada Maret 2022, Majelis Parlemen Dewan Eropa mengadopsi resolusi yang mendefinisikan wilayah Transnistria sebagai wilayah yang berada di bawah pendudukan militer oleh Rusia, yang semakin memperumit status internasionalnya.
5.3. Hubungan Luar Negeri

Hubungan luar negeri Transnistria sangat terbatas karena statusnya yang tidak diakui secara internasional. Fokus utama kebijakan luar negerinya adalah mempertahankan kemerdekaan de facto dan mencari pengakuan internasional, meskipun upaya ini belum berhasil.
Rusia adalah mitra internasional terpenting Transnistria. Rusia memberikan dukungan ekonomi, politik, dan militer yang signifikan, termasuk kehadiran pasukan penjaga perdamaian Rusia (bagian dari Kelompok Operasional Pasukan Rusia) sejak berakhirnya Perang Transnistria pada tahun 1992. Banyak penduduk Transnistria memiliki kewarganegaraan Rusia, dan Rusia seringkali menjadi penengah dalam negosiasi dengan Moldova. Namun, Rusia sendiri tidak secara resmi mengakui kemerdekaan Transnistria.
Moldova secara resmi menganggap Transnistria sebagai bagian dari wilayahnya. Hubungan keduanya ditandai oleh konflik yang belum terselesaikan dan negosiasi yang berkepanjangan. Meskipun ada ketegangan, terdapat tingkat interaksi ekonomi dan sosial tertentu, termasuk pergerakan orang dan barang (meskipun dengan berbagai pembatasan).
Ukraina berbagi perbatasan panjang dengan Transnistria dan memainkan peran penting dalam dinamika regional. Sebelum invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022, Ukraina adalah rute transit penting bagi perdagangan Transnistria. Namun, setelah invasi, Ukraina menutup perbatasannya dengan Transnistria, meningkatkan isolasi ekonomi wilayah tersebut dan memperkuat ketergantungannya pada Moldova.
Transnistria juga menjalin hubungan solidaritas dengan negara-negara lain yang tidak diakui atau diakui sebagian, seperti Abkhazia dan Ossetia Selatan. Bersama-sama, mereka membentuk Komunitas untuk Demokrasi dan Hak Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan pengakuan dan kerja sama di antara anggotanya.
Menteri Luar Negeri Transnistria saat ini adalah Vitaly Ignatiev. Pada tahun 2024, Ignatiev dinyatakan buron oleh Dinas Keamanan Ukraina (SBU) atas dugaan kolaborasi dan pelanggaran integritas teritorial Ukraina.
Hubungan luar negeri ini sangat memengaruhi hak dan kesejahteraan warga Transnistria, terutama terkait kebebasan bergerak, akses terhadap layanan konsuler, dan partisipasi dalam ekonomi global. Stabilitas regional juga sangat dipengaruhi oleh dinamika hubungan Transnistria dengan negara-negara tetangganya dan Rusia.
5.3.1. Sengketa Bea Cukai Perbatasan
Sengketa bea cukai perbatasan merupakan masalah kronis yang memengaruhi hubungan Transnistria dengan Moldova dan Ukraina, serta berdampak signifikan pada ekonomi lokal dan kehidupan penduduk.
Pada tanggal 3 Maret 2006, Ukraina memberlakukan peraturan bea cukai baru di perbatasannya dengan Transnistria. Ukraina menyatakan hanya akan mengimpor barang dari Transnistria jika dilengkapi dengan dokumen yang diproses oleh kantor bea cukai Moldova. Langkah ini merupakan bagian dari implementasi protokol bea cukai bersama yang disepakati antara Ukraina dan Moldova pada 30 Desember 2005, dan didukung oleh Misi Bantuan Perbatasan Uni Eropa untuk Moldova dan Ukraina (EUBAM).
Otoritas Transnistria dan Rusia menyebut tindakan ini sebagai "blokade ekonomi" yang bertujuan memberikan tekanan politik. Sebaliknya, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan OSCE menyetujui langkah Ukraina tersebut. Sebagai respons, pada 4 Maret 2006, Transnistria memblokir transportasi Moldova dan Ukraina di perbatasannya, meskipun blokade ini dicabut dua minggu kemudian. Namun, blokade dari pihak Moldova dan Ukraina tetap berlaku dan menghambat kemajuan dalam negosiasi penyelesaian status.
Akibat peraturan baru ini, ekspor dari Transnistria menurun drastis dalam beberapa bulan berikutnya. Pemerintah Transnistria mendeklarasikan "bencana kemanusiaan" di wilayah tersebut, sementara Moldova menyebut deklarasi itu sebagai "disinformasi yang disengaja". Rusia mengirimkan bantuan kemanusiaan sebagai respons terhadap situasi tersebut.
Sengketa bea cukai ini secara langsung memengaruhi kehidupan ekonomi penduduk lokal dengan menghambat arus perdagangan, meningkatkan biaya bagi pelaku usaha, dan terkadang menyebabkan kelangkaan barang tertentu. Akses pasar bagi produk-produk Transnistria menjadi lebih sulit, dan ketergantungan ekonomi pada aktor eksternal, terutama Rusia, semakin dalam. Sejak invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022 dan penutupan perbatasan Ukraina-Transnistria, semua barang impor dan ekspor Transnistria harus melalui Moldova, yang memberikan Moldova pengaruh lebih besar terkait regulasi perdagangan. Pada tahun 2024, Moldova mulai memberlakukan kebijakan bahwa impor/ekspor ke/dari Transnistria harus diperlakukan sama dengan impor/ekspor Moldova lainnya, yang berarti perusahaan Transnistria mungkin dikenakan pajak oleh Moldova.
5.4. Hukum
Sistem hukum Transnistria didasarkan pada konstitusi yang diadopsi oleh otoritas de facto wilayah tersebut. Konstitusi ini menjadi dasar bagi berbagai undang-undang yang mengatur aspek-aspek kehidupan di Transnistria. Sistem hukum ini secara umum mengikuti model hukum Eropa kontinental, dengan pengaruh kuat dari sistem hukum Soviet dan Rusia.
Bidang hukum utama meliputi:
- Hukum Konstitusi: Mengatur dasar negara, hak dan kewajiban warga negara, struktur dan fungsi lembaga-lembaga negara seperti presiden, parlemen (Dewan Tertinggi), dan sistem peradilan. Ini juga mencakup undang-undang tentang kewarganegaraan dan prosedur amandemen konstitusi.
- Hukum Perdata: Mengatur hubungan kontraktual, kepemilikan properti, warisan, dan masalah perdata lainnya.
- Hukum Pidana: Mendefinisikan tindak pidana dan sanksi terkait, serta prosedur penuntutan dan peradilan pidana.
- Hukum Administrasi: Mengatur hubungan antara lembaga negara dan warga negara, serta operasional badan-badan pemerintah.
- Hukum Ekonomi dan Pajak: Mengatur aktivitas ekonomi, keuangan, dan sistem perpajakan.
- Hukum Perburuhan dan Sosial: Mengatur hubungan kerja, hak-hak buruh, dan perlindungan sosial.
- Hukum Keluarga: Mengatur pernikahan, perceraian, hak asuh anak, dan isu-isu keluarga lainnya.
Meskipun Transnistria memiliki kerangka hukum yang komprehensif, penerapannya menghadapi berbagai keterbatasan. Karena statusnya yang tidak diakui secara internasional, putusan pengadilan Transnistria umumnya tidak diakui di luar wilayah tersebut, yang dapat menyulitkan penyelesaian sengketa lintas batas atau penegakan kontrak internasional. Akses terhadap keadilan bagi semua warga negara juga menjadi isu, terutama terkait dengan independensi peradilan dan perlindungan hak asasi manusia. Laporan-laporan internasional sering menyoroti kurangnya transparansi, dugaan intervensi politik dalam proses peradilan, dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dapat memengaruhi kemampuan warga untuk mencari keadilan secara efektif.
6. Militer

Kekuatan militer Transnistria dan kehadiran pasukan militer asing, khususnya Rusia, di wilayah ini memiliki dampak signifikan terhadap keamanan regional, kedaulatan Moldova, dan hak-hak sipil penduduk lokal. Situasi militer yang kompleks ini juga terkait erat dengan masalah pengendalian senjata dan upaya pelucutan senjata yang dituntut oleh komunitas internasional.
6.1. Angkatan Bersenjata Transnistria
Angkatan Bersenjata Transnistria dibentuk pada awal tahun 1990-an selama konflik dengan Moldova. Pada tahun 2007, kekuatan aktifnya diperkirakan antara 4.500 hingga 7.500 tentara, yang terbagi dalam empat brigade infanteri bermotor yang berlokasi di Tiraspol, Bender, Rîbnița, dan Dubăsari. Selain itu, Transnistria memiliki kemampuan untuk memobilisasi sekitar 15.000 hingga 25.000 pasukan cadangan.
Peralatan utama yang dimiliki Angkatan Bersenjata Transnistria (berdasarkan perkiraan tahun 2007) meliputi sekitar 18 tank tempur utama, 107 kendaraan pengangkut personel lapis baja (APC), 73 artileri medan, 46 instalasi pertahanan udara, dan 173 unit penghancur tank. Angkatan udara Transnistria sangat terbatas, dilaporkan hanya memiliki beberapa helikopter seperti Mi-8T dan Mi-24. Sebelumnya, mereka juga mengoperasikan pesawat sayap tetap seperti Antonov An-26, Antonov An-2, dan Yakovlev Yak-52, serta helikopter Mil Mi-2.
Transnistria menerapkan sistem wajib militer bagi pria dewasa. Kemampuan operasional militer Transnistria, meskipun tidak sebesar negara-negara tetangga, dianggap cukup untuk mempertahankan kontrol internal dan memberikan efek gentar dalam konteks konflik yang membeku. Namun, modernisasi dan pemeliharaan peralatan militer menjadi tantangan karena isolasi internasional dan keterbatasan sumber daya.
6.2. Kehadiran Militer Rusia

Kehadiran militer Rusia di Transnistria dimulai setelah berakhirnya Perang Transnistria tahun 1992. Perjanjian gencatan senjata membentuk pasukan penjaga perdamaian tripartit (Rusia, Moldova, Transnistria), dan Rusia menempatkan kontingennya di wilayah tersebut, yang secara resmi disebut sebagai Kelompok Operasional Pasukan Rusia (OGRF). Awalnya merupakan sisa dari Pasukan Garda ke-14 Soviet, OGRF telah menyusut menjadi sekitar 1.200-1.500 personel yang terbagi dalam dua batalyon.
Dasar hukum kehadiran pasukan Rusia ini menjadi sumber kontroversi. Rusia berargumen bahwa pasukannya adalah penjaga perdamaian yang sah berdasarkan perjanjian 1992 dan akan tetap tinggal sampai konflik diselesaikan sepenuhnya. Sebaliknya, Moldova menganggap kehadiran pasukan Rusia (di luar kontingen penjaga perdamaian yang disepakati dalam jumlah kecil, sekitar kurang dari 500 tentara) sebagai pelanggaran kedaulatannya dan pendudukan militer ilegal. Moldova dan komunitas internasional, termasuk NATO dan OSCE, telah berulang kali menyerukan penarikan penuh pasukan Rusia dan amunisinya dari Transnistria. Pada KTT OSCE di Istanbul tahun 1999, Rusia berkomitmen untuk menarik pasukannya pada akhir tahun 2002, tetapi komitmen ini tidak sepenuhnya terpenuhi.
Peran pasukan Rusia telah berubah dari waktu ke waktu, dari penjaga perdamaian menjadi elemen yang dianggap mendukung kemerdekaan de facto Transnistria. Kehadiran mereka berdampak signifikan terhadap keamanan regional, sering dianggap sebagai penghalang bagi penyelesaian konflik dan reunifikasi Moldova. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai potensi masalah hak asasi manusia terkait dengan kehadiran militer asing yang besar di wilayah yang statusnya disengketakan. Pada tahun 2016, otoritas Transnistria mengeluarkan undang-undang yang mengkriminalkan kritik terhadap misi militer Rusia, yang dikecam sebagai pelanggaran kebebasan berekspresi. Pada Maret 2022, Majelis Parlemen Dewan Eropa secara resmi menyatakan wilayah Transnistria sebagai wilayah yang diduduki oleh Rusia.
6.3. Pengendalian Senjata dan Pelucutan Senjata
Salah satu isu keamanan paling signifikan di Transnistria adalah keberadaan gudang senjata besar peninggalan era Soviet di Cobasna. Gudang ini dilaporkan menyimpan sekitar 20.000 ton amunisi dan persenjataan, menjadikannya salah satu depot amunisi terbesar di Eropa Timur. Keberadaan gudang ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai potensi proliferasi senjata, kecelakaan, atau penggunaannya dalam konflik.
Komunitas internasional, termasuk OSCE dan Uni Eropa, telah lama menuntut pengendalian yang lebih ketat dan pelucutan senjata dari gudang Cobasna. Rusia, sebagai pihak yang mengendalikan gudang tersebut, telah melakukan beberapa upaya penarikan dan pemusnahan amunisi pada awal tahun 2000-an, dengan sekitar 22.000 ton amunisi dan peralatan militer ditarik atau dimusnahkan antara tahun 2000 dan 2003. Namun, proses ini terhenti sejak Maret 2004, dan sebagian besar amunisi masih tersisa.
Tuduhan mengenai perdagangan senjata ilegal dari atau melalui Transnistria telah muncul berulang kali, meskipun otoritas Transnistria menyangkal keterlibatan tersebut. Laporan dari OSCE dan ahli PBB pada pertengahan 2000-an menyatakan bahwa tidak ada bukti kuat mengenai perdagangan senjata skala besar atau material nuklir dari Transnistria, dan beberapa alarm mungkin dilebih-lebihkan. Namun, kurangnya transparansi dan penolakan akses penuh bagi monitor internasional telah memperkuat persepsi negatif. Laporan PBB tahun 2007 menyebutkan bahwa perdagangan senjata ringan kemungkinan terjadi sebelum tahun 2001.
Implikasi dari masalah senjata ini terhadap perdamaian regional dan keamanan manusia sangat besar. Potensi ledakan di gudang Cobasna dapat menyebabkan bencana ekologis dan kemanusiaan yang luas. Selain itu, keberadaan senjata yang tidak terkontrol sepenuhnya dapat memicu eskalasi konflik atau jatuh ke tangan kelompok-kelompok non-negara. Upaya pelucutan senjata yang komprehensif dan transparan dianggap krusial untuk stabilitas jangka panjang di kawasan tersebut.
7. Pembagian Administratif
Transnistria dibagi secara administratif menjadi lima distrik (raion) dan dua kotamadya. Berikut adalah daftar distrik dari utara ke selatan, beserta kota-kota utama dan karakteristik singkatnya:
- Distrik Camenca (CamencaKamenkaBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Каменка): Terletak di bagian paling utara Transnistria. Pusat administratifnya adalah kota Camenca. Wilayah ini dikenal dengan pemandangan alamnya dan sanatorium. Populasinya pada sensus 2015 sekitar 21.000 jiwa. Etnis mayoritas pada tahun 2004 adalah Moldova (47,82%) dan Ukraina (42,55%).
- Distrik Rîbnița (RîbnițaRybnițaBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Рыбница): Pusat administratifnya adalah kota Rîbnița, salah satu pusat industri penting di Transnistria, terutama dengan pabrik baja Moldova Steel Works. Populasinya pada sensus 2015 sekitar 69.000 jiwa. Etnis mayoritas pada tahun 2004 adalah Ukraina (45,41%).
- Distrik Dubăsari (DubăsariDubăsarĭBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Дубэсарь): Pusat administratifnya adalah kota Dubăsari. Wilayah ini memiliki signifikansi historis dan strategis, serta menjadi lokasi pembangkit listrik tenaga air penting. Populasinya pada sensus 2015 sekitar 31.000 jiwa. Etnis mayoritas pada tahun 2004 adalah Moldova (50,15%).
- Distrik Grigoriopol (GrigoriopolGrigoriopolBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Григориопол): Pusat administratifnya adalah kota Grigoriopol. Wilayah ini memiliki sektor pertanian yang cukup berkembang. Populasinya pada sensus 2015 sekitar 40.000 jiwa. Etnis mayoritas pada tahun 2004 adalah Moldova (64,83%).
- Distrik Slobozia (SloboziaSloboziaBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Слобозия): Terletak di bagian selatan, pusat administratifnya adalah kota Slobozia. Wilayah ini juga memiliki potensi pertanian. Populasinya pada sensus 2015 sekitar 84.000 jiwa. Etnis mayoritas relatif pada tahun 2004 adalah Moldova (41,51%) dan Rusia (26,51%).
Dua kotamadya dengan status setara distrik adalah:
- Tiraspol (TiraspolTiraspolBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Тираспол): Ibu kota dan kota terbesar Transnistria, pusat politik, ekonomi, dan budaya. Populasinya pada sensus 2015 sekitar 129.000 jiwa. Etnis mayoritas relatif pada tahun 2004 adalah Rusia (41,44%) dan Ukraina (32,31%).
- Bender (juga dikenal sebagai Tighina; TighinaTiginaBahasa Rumania, dalam alfabet Kiril Moldova: Тигина/Бендер): Kota penting kedua, terletak di tepi barat Sungai Dniester tetapi dikendalikan oleh otoritas Transnistria. Memiliki benteng bersejarah yang terkenal. Populasinya pada sensus 2015 sekitar 91.000 jiwa. Etnis mayoritas relatif pada tahun 2004 adalah Rusia (43,35%).
Setiap distrik dibagi lagi menjadi kota-kota yang lebih kecil dan komune (desa). Sistem pembagian administratif ini mencerminkan upaya Transnistria untuk membangun struktur pemerintahan lokal yang fungsional meskipun status internasionalnya tidak diakui.
8. Ekonomi
Ekonomi Transnistria adalah ekonomi campuran yang sangat bergantung pada industri berat, produksi listrik, dan perdagangan dengan Rusia serta, hingga baru-baru ini, Ukraina. Status politik yang tidak diakui menciptakan tantangan signifikan, tetapi wilayah ini berhasil mempertahankan sistem ekonominya sendiri, lengkap dengan bank sentral dan mata uang lokal. Distribusi manfaat ekonomi dan kesejahteraan sosial tetap menjadi isu penting, dipengaruhi oleh struktur ekonomi warisan Soviet dan dinamika politik kontemporer.
8.1. Sejarah Ekonomi dan Makroekonomi


Sejak era Soviet, Transnistria merupakan wilayah yang sangat terindustrialisasi. Pada tahun 1990, wilayah ini menyumbang 40% dari PDB Moldova dan 90% dari produksi listriknya, meskipun hanya memiliki 17% dari populasi Moldova. Setelah runtuhnya Uni Soviet dan pemisahan diri de facto, Transnistria awalnya berupaya mempertahankan ekonomi terencana ala Brezhnev, namun beberapa tahun kemudian memutuskan untuk bergerak menuju ekonomi pasar. Proses privatisasi besar-besaran terjadi pada akhir tahun 1990-an, dan sebagian besar perusahaan kini dimiliki swasta, meskipun banyak di antaranya terkait dengan elit politik atau kelompok bisnis besar seperti Sheriff.
Produk Domestik Bruto (PDB) Transnistria pada tahun 2021 diperkirakan sekitar 1.20 B USD, dengan PDB per kapita sekitar 2.58 K USD. Pada tahun 2007, PDB per kapita Transnistria ($2.140) bahkan lebih tinggi dari Moldova ($2.040) pada saat itu. Namun, ekonomi Transnistria sangat bergantung pada subsidi dari Rusia, terutama dalam bentuk pasokan gas alam dengan harga sangat rendah atau gratis, yang kemudian dijual kembali untuk mendanai anggaran. Utang publik Transnistria signifikan, sebagian besar kepada Gazprom Rusia untuk pasokan gas yang belum dibayar, mencapai miliaran dolar AS. Inflasi dan stabilitas mata uang lokal, Rubel Transnistria, menjadi tantangan berkelanjutan.
Situasi ekonomi memburuk secara signifikan setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022. Penutupan perbatasan dengan Ukraina dan sanksi terhadap Rusia memutus jalur perdagangan dan pasokan penting. Pada paruh pertama tahun 2023, defisit perdagangan melonjak hingga hampir setara dengan PDB tahun 2021, sebagian besar dibiayai oleh tidak dibayarnya pasokan gas Rusia. Krisis energi semakin parah pada awal tahun 2025 ketika perjanjian transit gas Rusia melalui Ukraina berakhir.
Dampak sosial dari kondisi ekonomi ini mencakup ketidaksetaraan pendapatan yang tinggi, tantangan dalam penyediaan layanan dasar seperti perawatan kesehatan dan pendidikan, serta keterbatasan dalam hak-hak buruh. Ketergantungan pada bantuan eksternal dan isolasi ekonomi menghambat pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan sosial jangka panjang bagi penduduk Transnistria.
8.2. Perdagangan Luar Negeri
Perdagangan luar negeri merupakan komponen vital bagi ekonomi Transnistria, meskipun sangat dipengaruhi oleh status politiknya yang tidak diakui dan hubungan dengan negara-_negara tetangga. Pada tahun 2020, Bea Cukai Transnistria melaporkan ekspor senilai 633.10 M USD dan impor senilai 1.05 B USD.
Secara historis, Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS), terutama Rusia, Belarus, Ukraina, dan Moldova (yang dianggap sebagai negara asing oleh otoritas Transnistria), adalah pasar ekspor utama, mencakup lebih dari 50% ekspor pada awal tahun 2000-an. Mitra dagang non-CIS utama termasuk Italia, Mesir, Yunani, Rumania, dan Jerman. Impor utama meliputi logam non-mulia, produk makanan, dan listrik, dengan CIS menyumbang lebih dari 60% impor dan Uni Eropa sekitar 23%.
Setelah Moldova menandatangani Perjanjian Asosiasi dengan Uni Eropa pada tahun 2014, Transnistria, yang secara hukum dianggap bagian dari Moldova, juga menikmati ekspor bebas tarif ke UE. Hal ini menyebabkan pergeseran signifikan dalam struktur perdagangan. Pada tahun 2015, 27% dari total ekspor Transnistria senilai 189.00 M USD ditujukan ke UE, sementara ekspor ke Rusia turun menjadi 7,7%. Tren ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 dan penutupan perbatasan Ukraina-Transnistria secara drastis mengubah lanskap perdagangan. Semua barang kini harus melalui Moldova, memaksa Transnistria untuk mematuhi standar Moldova dan UE. Pada paruh pertama tahun 2023, 48% ekspor Transnistria ditujukan ke wilayah Moldova lainnya (untuk diproses lebih lanjut atau diekspor kembali), lebih dari 33% ke UE, dan hanya 9% ke Rusia. Sementara itu, 68% impor berasal dari Rusia (terutama gas), 14% dari UE, dan 7% dari Moldova.
Pada tahun 2024, sebagai akibat dari perjanjian perdagangan bebas Moldova-UE, Moldova mulai memberlakukan kebijakan bahwa impor/ekspor ke/dari Transnistria harus diperlakukan sama dengan perdagangan Moldova lainnya. Ini berarti importir Transnistria yang melalui Moldova harus mendaftar dan mungkin dikenakan pajak oleh Moldova, yang memicu protes dari otoritas Transnistria. Ketergantungan pada gas Rusia juga menjadi titik kritis, terutama setelah berakhirnya perjanjian transit gas Rusia melalui Ukraina pada 1 Januari 2025, yang menyebabkan krisis energi parah di Transnistria. Pembatasan perdagangan dan sanksi ekonomi secara tidak langsung berdampak pada penduduk dan pelaku usaha lokal melalui kenaikan harga, kesulitan akses pasar, dan ketidakpastian pasokan.
8.3. Industri Utama
Industri utama Transnistria secara historis terkonsentrasi pada sektor berat dan manufaktur, warisan dari era industrialisasi Soviet. Beberapa sektor dan perusahaan utama meliputi:
- Industri Baja: Sektor ini didominasi oleh Pabrik Baja Moldova (Moldova Steel Works) di Rîbnița. Perusahaan ini merupakan bagian dari holding Metalloinvest Rusia dan secara tradisional menyumbang sebagian besar pendapatan anggaran Transnistria (sekitar 60%).
- Produksi Listrik: Transnistria adalah produsen listrik utama di kawasan tersebut, dengan Pembangkit Listrik Cuciurgan (Moldavskaya GRES) di Dnestrovsc sebagai fasilitas terbesar. Pembangkit ini dimiliki oleh perusahaan Rusia Inter RAO UES dan memasok listrik tidak hanya untuk Transnistria tetapi juga untuk sebagian Moldova dan sebelumnya Ukraina. Sektor energi secara keseluruhan sangat didominasi oleh perusahaan Rusia, termasuk perusahaan transmisi dan distribusi gas Tiraspoltransgaz yang kemungkinan dikendalikan oleh Gazprom.
- Industri Tekstil: Perusahaan terbesar dalam industri tekstil adalah Tirotex, yang berbasis di Tiraspol. Tirotex mengklaim sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar kedua di Eropa dan mengekspor produknya ke berbagai negara.
- Produksi Minuman Beralkohol: KVINT, yang berlokasi di Tiraspol, adalah produsen alkohol tertua dan paling terkenal di Transnistria. Perusahaan ini memproduksi dan mengekspor brendi (divin), anggur, dan vodka berkualitas tinggi yang telah memenangkan berbagai penghargaan internasional.
- Sektor Lainnya: Selain industri-industri di atas, terdapat juga industri manufaktur ringan lainnya, produksi semen, dan sektor perbankan yang terdiri dari beberapa bank komersial, termasuk Gazprombank cabang Transnistria. Konglomerat besar seperti Sheriff memiliki pengaruh signifikan di berbagai sektor ekonomi, termasuk ritel (supermarket), SPBU, telekomunikasi, media, konstruksi, dan bahkan klub sepak bola profesional FC Sheriff Tiraspol.
Industri-industri ini memainkan peran penting dalam perekonomian Transnistria, menyediakan lapangan kerja dan pendapatan ekspor. Namun, banyak dari industri ini bergantung pada pasokan energi murah (terutama gas) dari Rusia dan menghadapi tantangan terkait modernisasi, akses pasar internasional akibat status politik Transnistria, serta isu-isu sosial seperti kondisi kerja dan hak-hak buruh. Isu lingkungan terkait dengan operasi industri berat juga menjadi perhatian, meskipun seringkali kurang mendapat sorotan karena fokus pada masalah politik dan ekonomi.
9. Masyarakat dan Demografi
Masyarakat Transnistria ditandai oleh keragaman etnis dan bahasa, dengan pengaruh kuat dari warisan Soviet dan kedekatan dengan Rusia. Komposisi penduduk, situasi keagamaan, sistem pendidikan, kondisi hak asasi manusia, dan lanskap media semuanya mencerminkan kompleksitas wilayah yang status politiknya belum terselesaikan ini. Aspek kohesi sosial dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas menjadi tantangan berkelanjutan dalam masyarakat Transnistria.
9.1. Penduduk

Menurut sensus yang diadakan oleh otoritas Transnistria pada tahun 2015, total populasi wilayah tersebut adalah 475.373 jiwa. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan sebesar 14,5% dibandingkan sensus tahun 2004 (555.347 jiwa). Penurunan populasi ini disebabkan oleh kombinasi tingkat kelahiran yang rendah dan emigrasi, terutama kaum muda yang mencari peluang ekonomi di luar wilayah. Tingkat urbanisasi cukup tinggi, mencapai 69,9% pada tahun 2015. Kepadatan penduduk pada tahun 2015 adalah sekitar 73,5 jiwa per kilometer persegi.
Komposisi etnis penduduk Transnistria sangat beragam. Berdasarkan sensus 2015:
- Etnis Rusia: 29,1%
- Etnis Moldova: 28,6%
- Etnis Ukraina: 22,9%
- Etnis Bulgaria: 2,4%
- Etnis Gagauz: 1,1%
- Etnis Belarusia: 0,5%
- Mengidentifikasi diri sebagai etnis Transnistria: 0,2% (opsi baru dalam sensus 2015)
- Etnis lainnya: 1,4%
- Tidak menyatakan kebangsaan: 14%
Sumber lain untuk tahun 2015 memberikan persentase yang sedikit berbeda: Rusia 34% (161.300), Moldova 33% (156.600), dan Ukraina 26,7% (126.700).
Bahasa resmi di Transnistria adalah Rusia, Moldova (ditulis dengan alfabet Kiril Moldova), dan Ukraina. Bahasa Rusia berfungsi sebagai lingua franca atau bahasa komunikasi antaretnis utama. Penggunaan tiga bahasa resmi ini mencerminkan keragaman etnis di wilayah tersebut, meskipun dalam praktiknya bahasa Rusia mendominasi di ruang publik dan administrasi.
Isu kohesi sosial menjadi perhatian mengingat keragaman etnis dan sejarah konflik. Hak-hak kelompok minoritas, termasuk akses terhadap pendidikan dalam bahasa ibu dan partisipasi dalam kehidupan publik, merupakan aspek penting yang dipantau oleh organisasi hak asasi manusia, meskipun seringkali terdapat laporan mengenai pembatasan.
9.1.1. Hasil Sensus Historis
Perubahan populasi dan komposisi etnis di Transnistria dapat ditelusuri melalui beberapa sensus utama:
- Sensus 1926 (di dalam RSSOM):
- Etnis Moldova: 44,1%
- Etnis Ukraina: 27,2%
- Etnis Rusia: 13,7%
- (Data lain termasuk Yahudi, Jerman, dll.)
- Sensus 1989 (di dalam RSS Moldova, sebelum konflik): Total populasi sekitar 679.000 jiwa (termasuk semua lokalitas di zona keamanan, bahkan yang kini dikontrol Moldova).
- Etnis Moldova: 39,9%
- Etnis Ukraina: 28,3%
- Etnis Rusia: 25,5%
- Populasi Yahudi mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun 1926.
- Sensus 2004 (dilakukan otoritas Transnistria): Total populasi 555.347 jiwa.
- Etnis Moldova: 32,1% (177.785 jiwa)
- Etnis Rusia: 30,4% (168.678 jiwa)
- Etnis Ukraina: 28,8% (160.069 jiwa)
- Etnis Bulgaria: 2,5% (13.858 jiwa)
- Etnis Gagauz: 0,7% (4.096 jiwa)
- Etnis Polandia: 0,3% (1.791 jiwa)
- Etnis Yahudi: 0,2% (1.259 jiwa)
- Etnis Roma: 0,1% (507 jiwa)
- Lainnya: 4,9% (27.454 jiwa)
- Sensus 2015 (dilakukan otoritas Transnistria): Total populasi 475.373 jiwa.
- Etnis Rusia: 29,1%
- Etnis Moldova: 28,6%
- Etnis Ukraina: 22,9%
- (Komposisi lainnya seperti yang disebutkan di bagian "Penduduk" di atas).
Tren utama yang terlihat dari data sensus historis adalah penurunan persentase etnis Moldova dan peningkatan persentase etnis Rusia dari tahun 1926 hingga 2004. Persentase etnis Ukraina relatif stabil. Populasi total mengalami peningkatan hingga sekitar tahun 2001 (diperkirakan 633.600 jiwa) dan kemudian menurun secara signifikan akibat emigrasi dan tingkat kelahiran yang rendah. Perubahan ini mencerminkan dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks di wilayah tersebut selama abad ke-20 dan awal abad ke-21.
9.2. Agama

Mayoritas penduduk Transnistria menganut Kristen Ortodoks Timur. Menurut statistik resmi dari otoritas Transnistria, sekitar 91-92% populasi adalah pemeluk Kristen Ortodoks. Gereja Ortodoks di Transnistria berada di bawah yurisdiksi Gereja Ortodoks Moldova, yang merupakan bagian otonom dari Gereja Ortodoks Rusia (Patriarkat Moskow), khususnya dalam Keuskupan Tiraspol dan Dubăsari. Pemerintah Transnistria secara aktif mendukung restorasi dan pembangunan gereja-gereja Ortodoks baru.
Gereja Katolik Roma merupakan agama minoritas terbesar kedua, dengan sekitar 4% populasi. Komunitas Katolik Roma sebagian besar terkonsentrasi di bagian utara Transnistria, di mana terdapat minoritas etnis Polandia yang signifikan.
Otoritas Transnistria menyatakan bahwa terdapat kebebasan beragama di wilayah tersebut dan mengklaim bahwa sekitar 114 keyakinan dan kongregasi agama telah terdaftar secara resmi. Namun, dalam praktiknya, beberapa kelompok agama minoritas menghadapi kesulitan dalam proses pendaftaran dan dilaporkan mengalami pelecehan. Pada tahun 2005, Saksi-Saksi Yehuwa dilaporkan menghadapi hambatan pendaftaran. Organisasi hak asasi manusia dan laporan internasional, seperti laporan dari Departemen Luar Negeri AS, telah mencatat adanya pembatasan terhadap kelompok agama minoritas tertentu. Pada tahun 2007, Christian Broadcasting Network yang berbasis di AS mengecam dugaan persekusi terhadap kelompok Protestan di Transnistria.
Meskipun ada jaminan formal kebebasan beragama, dominasi Gereja Ortodoks Timur dan hubungan eratnya dengan otoritas seringkali memarginalkan kelompok agama lain. Isu hak-hak minoritas agama, termasuk kebebasan untuk beribadah, mendirikan tempat ibadah, dan menyebarkan keyakinan, tetap menjadi perhatian dalam konteks hak asasi manusia di Transnistria.
9.3. Pendidikan
Sistem pendidikan di Transnistria sebagian besar mengikuti standar dan kurikulum Rusia. Bahasa pengantar utama di sebagian besar sekolah dan institusi pendidikan tinggi adalah bahasa Rusia. Terdapat juga sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Moldova (dengan aksara Kiril) dan bahasa Ukraina sebagai bahasa pengantar, sesuai dengan status ketiga bahasa tersebut sebagai bahasa resmi.
Jenjang pendidikan meliputi pendidikan prasekolah, sekolah dasar dan menengah, serta pendidikan tinggi. Institusi pendidikan tinggi utama di Transnistria adalah Universitas Negeri Pridnestrovia Taras Shevchenko di Tiraspol, yang menawarkan berbagai program studi.
Namun, salah satu tantangan utama dalam sistem pendidikan Transnistria adalah masalah pengakuan ijazah. Ijazah pendidikan tinggi yang dikeluarkan oleh otoritas Transnistria umumnya tidak diakui oleh sebagian besar negara di dunia, termasuk Moldova dan negara-negara Barat. Akibatnya, lulusan dari institusi pendidikan Transnistria seringkali menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka di luar wilayah tersebut atau melanjutkan studi di luar negeri, kecuali di Rusia yang cenderung mengakui kualifikasi tersebut. Hal ini membatasi mobilitas dan peluang bagi kaum muda Transnistria.
Isu penting lainnya terkait hak asasi manusia dan budaya dalam pendidikan adalah keberadaan sekolah-sekolah berbahasa Rumania (Moldova) yang menggunakan aksara Latin. Sekolah-sekolah ini sering menghadapi tekanan dari otoritas Transnistria dan menjadi subjek konflik politik (lihat sub-bagian "Masalah Sekolah Berbahasa Rumania"). Akses yang setara terhadap pendidikan berkualitas dalam bahasa ibu, terutama bagi kelompok minoritas, tetap menjadi isu yang signifikan dan diawasi oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional.
9.4. Hak Asasi Manusia
Situasi hak asasi manusia di Transnistria telah menjadi perhatian komunitas internasional dan sering dikritik oleh berbagai pemerintah dan organisasi hak asasi manusia. Laporan-laporan, seperti dari Freedom House (yang pada tahun 2007 menggambarkan Transnistria sebagai wilayah "tidak bebas") dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, secara konsisten menyoroti berbagai masalah. Beberapa isu utama meliputi:
- Pembatasan Hak Politik: Hak warga negara untuk mengubah pemerintahan mereka melalui pemilihan umum yang bebas dan adil sangat terbatas. Pemilu sering dianggap tidak memenuhi standar internasional, dengan laporan mengenai intimidasi terhadap oposisi, kontrol media oleh pemerintah, dan hasil yang dipertanyakan.
- Kebebasan Sipil: Terdapat laporan mengenai penggunaan penyiksaan dan penangkapan serta penahanan sewenang-wenang oleh pihak berwenang. Kebebasan berbicara dan pers sangat dibatasi, dengan sebagian besar media dikendalikan oleh pemerintah atau kelompok bisnis yang bersekutu dengannya. Kebebasan berkumpul dan berserikat juga seringkali tidak diizinkan atau dihalangi.
- Hak Kelompok Minoritas dan Rentan: Kelompok agama minoritas tertentu dilaporkan menghadapi kesulitan dalam pendaftaran dan mengalami pelecehan. Komunitas LGBTQ+ menghadapi diskriminasi sosial dan hukum (lihat sub-bagian terpisah). Akses terhadap pendidikan dalam bahasa Rumania (Moldova) dengan aksara Latin juga menjadi masalah hak asasi manusia yang berkelanjutan (lihat sub-bagian terpisah).
- Perdagangan Manusia: Transnistria dilaporkan menjadi sumber dan wilayah transit yang signifikan untuk perdagangan manusia.
Upaya untuk perbaikan situasi hak asasi manusia di Transnistria terhambat oleh status politik wilayah yang tidak diakui, yang membatasi pengawasan dan intervensi efektif dari mekanisme hak asasi manusia internasional. Meskipun otoritas Transnistria mengklaim menghormati hak asasi manusia, kurangnya transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi masalah serius.
9.4.1. Hak LGBTQ+
Situasi hak-hak LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer/Bertanya) di Transnistria mencerminkan kondisi yang menantang, baik dari segi hukum maupun sosial. Transnistria tidak mengakui pernikahan sesama jenis atau bentuk kemitraan sipil lainnya untuk pasangan sesama jenis. Kode Pernikahan dan Keluarga yang berlaku sejak tahun 2002 secara eksplisit mendefinisikan pernikahan sebagai persatuan sukarela antara seorang pria dan seorang wanita. Tidak ada perlindungan hukum terhadap diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender.
Persepsi sosial terhadap komunitas LGBTQ+ di Transnistria cenderung konservatif dan seringkali negatif, dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional dan pandangan yang dianut di banyak wilayah bekas Uni Soviet. Diskriminasi dalam pekerjaan, perumahan, dan layanan publik dilaporkan terjadi, meskipun sulit untuk didokumentasikan secara resmi karena banyak individu LGBTQ+ memilih untuk tidak terbuka mengenai identitas mereka karena takut akan stigma dan pembalasan.
Tidak ada organisasi LGBTQ+ yang terdaftar secara resmi di Transnistria, dan ruang untuk advokasi hak-hak LGBTQ+ sangat terbatas. Acara-acara publik yang terkait dengan komunitas LGBTQ+ hampir tidak pernah terjadi, dan kebebasan berekspresi mengenai isu-isu LGBTQ+ sangat dibatasi. Upaya-upaya untuk mencapai kesetaraan hak dan perlindungan dari kekerasan bagi komunitas LGBTQ+ di Transnistria masih sangat minim dan menghadapi tantangan besar dari lingkungan hukum dan sosial yang tidak mendukung.
9.4.2. Media Massa
Lanskap media di Transnistria ditandai oleh campuran media modern, termasuk stasiun televisi, surat kabar, dan stasiun radio. Namun, kebebasan pers dan keragaman informasi sangat terbatas. Sebagian besar media utama dikendalikan oleh otoritas Transnistria atau oleh kelompok bisnis besar yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah, seperti konglomerat Sheriff yang memiliki stasiun televisi TSV dan stasiun radio INTER-FM. Kontrol ini memungkinkan pihak berwenang untuk sebagian besar mendikte kebijakan editorial dan operasi keuangan media.
Menurut organisasi internasional seperti OSCE dan laporan dari Departemen Luar Negeri AS, iklim media di Transnistria bersifat restriktif. Pihak berwenang dilaporkan melanjutkan kampanye yang sudah berlangsung lama untuk membungkam suara-suara oposisi independen dan kelompok-kelompok kritis. Surat kabar independen yang ada, seperti satu di Bender dan satu lagi di kota Rîbnița di utara, dilaporkan mengalami pelecehan karena pemberitaan kritis terhadap rezim Transnistria.
Pada Juli 2005, Dewan Tertinggi Transnistria mengubah undang-undang pemilu untuk melarang media yang dikendalikan oleh otoritas Transnistria menerbitkan hasil jajak pendapat dan perkiraan terkait pemilu. Hal ini semakin membatasi aliran informasi yang objektif kepada publik. Kurangnya media independen yang kuat dan beragam menghambat diskursus demokrasi dan mempersulit warga untuk mendapatkan informasi yang berimbang mengenai isu-isu politik dan sosial di wilayah tersebut.
9.4.3. Masalah Sekolah Berbahasa Rumania
Masalah sekolah berbahasa Rumania (yang secara resmi disebut bahasa Moldova di Transnistria) yang menggunakan aksara Latin merupakan isu hak asasi manusia dan budaya yang signifikan dan telah berlangsung lama di Transnistria. Pendidikan publik dalam bahasa Moldova di Transnistria umumnya menggunakan alfabet Kiril Moldova warisan Soviet. Penggunaan aksara Latin, yang merupakan standar di Moldova dan Rumania, sangat dibatasi.
Hanya ada segelintir sekolah (awalnya enam, kemudian dilaporkan menjadi delapan) yang diizinkan menggunakan aksara Latin untuk pengajaran bahasa Rumania/Moldova. Sekolah-sekolah ini sering menghadapi tekanan dan intimidasi dari otoritas Transnistria. Pada tahun 2004, empat dari sekolah ini ditutup secara paksa oleh pihak berwenang dengan alasan penolakan untuk mengajukan akreditasi resmi di bawah sistem Transnistria. Penutupan ini memicu krisis dan kecaman internasional. Sekolah-sekolah tersebut kemudian didaftarkan sebagai sekolah swasta dan dibuka kembali, kemungkinan karena tekanan dari Uni Eropa dan organisasi internasional lainnya.
Konflik historis seputar pendidikan berbahasa Rumania/Moldova berbasis aksara Latin ini mencerminkan ketegangan politik yang lebih luas antara Transnistria dan Moldova. Otoritas Transnistria seringkali memandang sekolah-sekolah ini sebagai alat pengaruh Moldova. Situasi operasional sekolah-sekolah ini tetap sulit, dengan laporan mengenai masalah gedung, sumber daya, dan tekanan terhadap staf pengajar dan siswa. Kasus yang menonjol adalah Sekolah Menengah Lucian Blaga di Tiraspol, yang pada Agustus 2021, pemerintah Transnistria menolak untuk mendaftarkannya dan memaksanya untuk menangguhkan kegiatannya selama tiga bulan, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Hak-Hak Anak.
Masalah ini berdampak langsung pada hak atas pendidikan dalam bahasa ibu dan pelestarian identitas budaya bagi penutur bahasa Rumania di Transnistria. Organisasi hak asasi manusia internasional terus memantau situasi ini sebagai isu penting terkait akses pendidikan berkualitas yang setara.
9.5. Hari Libur Nasional
Transnistria menetapkan beberapa hari libur nasional yang mencerminkan sejarah, budaya, dan pengaruh politiknya. Beberapa hari libur utama meliputi:
- 1-2 Januari: Tahun Baru (Новый ГодNovy GodBahasa Rusia) - Sejak 2006, dirayakan selama dua hari.
- 7 Januari: Natal Ortodoks (Рождество ХристовоRozhdestvo KhristovoBahasa Rusia) - Sesuai kalender Julian yang digunakan Gereja Ortodoks.
- 23 Februari: Hari Pembela Tanah Air (День защитника ОтечестваDen' zashchitnika OtechestvaBahasa Rusia) - Warisan Soviet, menghormati personel militer.
- 8 Maret: Hari Perempuan Internasional (Международный женский деньMezhdunarodnyy zhenskiy den'Bahasa Rusia).
- 1-2 Mei: Hari Solidaritas Buruh (День солидарности трудящихсяDen' solidarnosti trudyashchikhsyaBahasa Rusia) - Dikenal juga sebagai Hari Buruh.
- 9 Mei: Hari Kemenangan (День ПобедыDen' PobedyBahasa Rusia) - Merayakan kemenangan Uni Soviet atas Jerman Nazi dalam Perang Dunia II.
- 2 September: Hari Republik (День РеспубликиDen' RespublikiBahasa Rusia) - Merupakan hari kemerdekaan Transnistria, memperingati proklamasi Republik Sosialis Soviet Moldavia Pridnestrovia pada tahun 1990.
- 24 Desember: Hari Konstitusi (День конституцииDen' konstitutsiiBahasa Rusia) - Sejak 1996.
- 25 Desember: Natal (Рождество Христово по григорианскому календарюRozhdestvo Khristovo po grigorianskomu kalendaryuBahasa Rusia) - Perayaan Natal menurut kalender Gregorian, kemungkinan untuk mengakomodasi minoritas Katolik atau pengaruh Barat.
Hari-hari libur ini dirayakan dengan berbagai acara publik, upacara, dan kegiatan budaya yang mencerminkan identitas yang coba dibangun oleh otoritas Transnistria.
10. Olahraga
Olahraga yang paling populer di Transnistria adalah sepak bola. Tim sepak bola profesional yang paling terkenal dan mewakili wilayah ini adalah FC Sheriff Tiraspol. Klub ini mencapai kesuksesan signifikan di tingkat Eropa ketika pada musim 2021-2022 menjadi tim pertama yang mewakili Moldova (karena Transnistria secara internasional dianggap bagian dari Moldova dan berkompetisi di bawah asosiasi sepak bola Moldova) yang lolos ke babak penyisihan grup Liga Champions UEFA. Prestasi ini menarik perhatian internasional ke wilayah tersebut.
Meskipun FC Sheriff Tiraspol berkompetisi di bawah bendera Moldova dalam kompetisi UEFA, klub ini berbasis di Tiraspol dan dimiliki oleh konglomerat Sheriff, yang memiliki pengaruh besar di Transnistria. Stadion kandang mereka, Sheriff Stadium, adalah fasilitas modern yang juga menjadi salah satu simbol perkembangan infrastruktur olahraga di wilayah tersebut.
Namun, pada tahun 2022, akibat situasi keamanan terkait konflik di Ukraina, UEFA memutuskan untuk melarang FC Sheriff memainkan pertandingan kandang kompetisi Eropa di Transnistria. Pertandingan kandang mereka kemudian dipindahkan ke Chișinău, ibu kota Moldova.
Selain sepak bola, cabang olahraga lain seperti bola voli, bola basket, dan berbagai jenis bela diri juga populer di kalangan masyarakat Transnistria. Meskipun status politiknya membatasi partisipasi resmi sebagai entitas terpisah dalam kompetisi internasional besar seperti Olimpiade (atlet Transnistria biasanya berkompetisi di bawah bendera Moldova atau negara lain jika memiliki kewarganegaraan ganda), kegiatan olahraga lokal dan kompetisi internal tetap aktif.