1. Gambaran Umum
Lesotho, secara resmi Kerajaan Lesotho (Muso oa LesothoKerajaan LesothoBahasa Sotho, Kingdom of LesothoKerajaan LesothoBahasa Inggris), adalah sebuah negara kerajaan konstitusional yang terkurung daratan sepenuhnya oleh Afrika Selatan di bagian selatan Afrika. Sebelumnya dikenal sebagai Basutoland, negara ini memperoleh kemerdekaannya dari Britania Raya pada tanggal 4 Oktober 1966. Dengan luas wilayah lebih dari 30.00 K km2 dan populasi sekitar dua juta jiwa, ibu kota sekaligus kota terbesarnya adalah Maseru. Nama "Lesotho" dapat diartikan sebagai "tanah orang-orang yang berbicara bahasa Sesotho". Negara ini juga dijuluki sebagai "Kerajaan Gunung" atau "Kerajaan di Langit" karena topografinya yang didominasi pegunungan tinggi.
Lesotho merupakan negara yang unik karena seluruh wilayahnya berada di atas ketinggian 1.00 K m di atas permukaan laut, menjadikannya negara dengan titik terendah tertinggi di dunia. Sejarahnya ditandai oleh pembentukan bangsa Basotho di bawah kepemimpinan Raja Moshoeshoe I pada awal abad ke-19, yang berhasil menyatukan berbagai suku dalam menghadapi periode kekacauan Mfecane dan ekspansi Boer. Setelah menjadi protektorat Inggris, Lesotho mengalami berbagai dinamika politik pasca kemerdekaan, termasuk kudeta dan ketidakstabilan, sebelum akhirnya memulihkan pemerintahan konstitusional.
Secara politik, Lesotho adalah monarki parlementer dengan Raja Letsie III sebagai kepala negara seremonial dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan yang memegang otoritas eksekutif. Sistem hukumnya merupakan campuran antara hukum Romawi-Belanda dan hukum adat. Perekonomian Lesotho bergantung pada pertanian subsisten, peternakan, manufaktur (terutama tekstil yang diuntungkan oleh AGOA), pertambangan intan, serta pengiriman uang dari pekerja migran di Afrika Selatan dan pendapatan dari Proyek Air Dataran Tinggi Lesotho yang memasok air ke Afrika Selatan. Meskipun demikian, negara ini menghadapi tantangan sosial-ekonomi yang signifikan, termasuk tingkat kemiskinan yang tinggi dan prevalensi HIV/AIDS yang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Namun, Lesotho juga mencapai tingkat melek huruf yang tinggi di Afrika.
Lesotho adalah anggota aktif Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Afrika, Persemakmuran Bangsa-Bangsa, dan Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC). Hubungannya dengan Afrika Selatan sangat penting karena ketergantungan geografis, ekonomi, dan sosial. Masyarakat Lesotho didominasi oleh etnis Basotho dengan bahasa Sesotho dan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, serta mayoritas penduduknya menganut agama Kristen. Budaya Lesotho kaya akan tradisi, tercermin dalam pakaian khas seperti selimut Basotho dan topi mokorotlo, serta berbagai festival seni dan musik. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai aspek Lesotho, mulai dari sejarah, geografi, politik, ekonomi, hingga masyarakat dan budayanya, dengan perspektif yang menekankan pada perkembangan demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.
2. Sejarah
Sejarah Lesotho mencakup periode panjang dari pemukiman awal oleh suku San, pembentukan negara Basotho oleh Raja Moshoeshoe I di tengah gejolak regional, masa protektorat Inggris sebagai Basutoland, hingga kemerdekaan dan perkembangan politik modern yang penuh tantangan. Bagian ini akan menguraikan perjalanan historis Lesotho secara kronologis, dengan penekanan pada dinamika sosial, perjuangan menuju demokrasi, dan dampaknya terhadap masyarakat.
2.1. Sejarah Awal dan Basutoland
Wilayah Lesotho modern awalnya dihuni oleh suku San (juga dikenal sebagai Bushmen). Pada abad ke-16, kelompok-kelompok berbahasa Bantu dari suku Sotho mulai bermigrasi dari utara dan secara bertahap menggantikan suku San sebagai penghuni dominan di wilayah tersebut. Periode awal abad ke-19 di Afrika bagian selatan ditandai oleh Mfecane (atau Lifaqane), sebuah era kekacauan dan peperangan yang dipicu oleh ekspansi Kerajaan Zulu di bawah Shaka Zulu (berkuasa 1818-1828). Di tengah gejolak ini, Moshoeshoe I, putra Mokhachane, seorang kepala suku kecil dari garis keturunan Bakoteli, muncul sebagai pemimpin yang berpengaruh. Sekitar tahun 1804, ia membentuk klannya sendiri dan menjadi kepala suku. Antara tahun 1820 dan 1823, Moshoeshoe I dan para pengikutnya menetap di gunung Butha-Buthe, menyatukan berbagai kelompok, termasuk mantan musuh, untuk melawan invasi dari suku-suku seperti Ngwane dan Ndebele. Ia kemudian memindahkan benteng pertahanannya ke Thaba Bosiu, sebuah dataran tinggi yang sulit ditembus, yang menjadi pusat kekuatan bangsa Basotho yang sedang terbentuk.

Perkembangan negara Basotho selanjutnya dipengaruhi oleh konflik dengan para pemukim Belanda (Boer) yang meninggalkan Koloni Tanjung setelah diambil alih oleh Inggris dari Belanda (sekutu Prancis) pada tahun 1795, serta dengan Kedaulatan Sungai Oranye dan kemudian Negara Bebas Oranye. Pada tahun 1830-an, para misionaris dari Paris Evangelical Missionary Society, seperti Thomas Arbousset, Eugène Casalis, dan Constant Gosselin, diundang oleh Moshoeshoe I dan ditempatkan di Morija. Mereka memainkan peran penting dalam mengembangkan ortografi bahasa Sesotho dan mencetak karya-karya dalam bahasa tersebut antara tahun 1837 dan 1855. Casalis juga bertindak sebagai penerjemah dan penasihat Moshoeshoe I dalam urusan luar negeri, membantu membangun saluran diplomatik dan memperoleh senjata untuk melawan ancaman dari Eropa dan suku Griqua.
Pada tahun 1838, Trekboer (petani pengembara Boer) mulai tiba di perbatasan barat Basutoland dan mengklaim hak atas tanah tersebut. Para pendatang Boer berusaha untuk menjajah tanah di antara dua sungai dan di utara Sungai Caledon, dengan dalih bahwa tanah itu telah ditinggalkan oleh orang-orang Sotho. Untuk menghadapi tekanan ini, Moshoeshoe I menandatangani perjanjian dengan Gubernur Inggris di Koloni Tanjung, Sir George Thomas Napier, yang mencaplok Kedaulatan Sungai Oranye tempat para Boer telah menetap. Tindakan ini memicu kemarahan Boer, yang kemudian berhasil diredam dalam sebuah pertempuran kecil pada tahun 1848. Pada tahun 1851, pasukan Basotho berhasil mengalahkan pasukan Inggris di Kolonyama. Setelah menangkis serangan Inggris lainnya pada tahun 1852, Moshoeshoe I mengirimkan permohonan kepada komandan Inggris yang berhasil menyelesaikan perselisihan secara diplomatis. Ia kemudian mengalahkan suku Batlokoa pada tahun 1853.
Inggris menarik diri dari wilayah tersebut pada tahun 1854. Pada tahun 1858, Moshoeshoe I terlibat dalam serangkaian perang dengan Boer yang dikenal sebagai Perang Negara Bebas-Basotho. Akibat perang ini, Moshoeshoe I kehilangan sebagian wilayah dataran rendah di bagian barat. Perang terakhir dengan Boer berakhir pada tahun 1867 ketika Moshoeshoe I meminta bantuan Ratu Victoria dari Inggris. Ratu Victoria setuju untuk menjadikan Basutoland sebagai protektorat Inggris pada tahun 1868. Pada tahun 1869, Inggris menandatangani Perjanjian Aliwal North dengan Boer yang menetapkan batas-batas Basutoland. Perjanjian ini secara signifikan mengurangi wilayah kerajaan Moshoeshoe I hingga setengah dari ukuran sebelumnya, dengan menyerahkan wilayah barat yang subur di seberang Sungai Caledon. Inggris kemudian memindahkan pusat administrasi dari ibu kota Moshoeshoe I di Thaba Bosiu ke sebuah pos polisi di perbatasan barat laut, Maseru.
Administrasi Basutoland diserahkan kepada Koloni Tanjung pada tahun 1871. Moshoeshoe I wafat pada tanggal 11 Maret 1870, menandai dimulainya era kolonial Basutoland. Selama periode Koloni Tanjung (1871-1884), Basutoland diperlakukan serupa dengan wilayah-wilayah lain yang dianeksasi secara paksa, yang menimbulkan penghinaan bagi rakyat Basotho dan memicu Perang Senjata Basotho (Basuto Gun War) pada tahun 1880-1881. Akibat perlawanan ini, pada tahun 1884, Basutoland diubah statusnya menjadi Koloni Mahkota (Crown Colony) dengan Maseru sebagai ibu kotanya. Wilayah ini tetap berada di bawah pemerintahan langsung seorang gubernur Inggris, sementara kekuasaan internal yang efektif dipegang oleh para kepala suku. Pada tahun 1905, jalur kereta api dibangun untuk menghubungkan Maseru dengan jaringan kereta api Afrika Selatan, yang semakin memperkuat pengaruh Inggris dan integrasi ekonomi dengan wilayah sekitarnya.
2.2. Pemerintahan Inggris dan Gerakan Kemerdekaan

Sebagai Koloni Mahkota, Basutoland diperintah secara tidak langsung oleh Inggris, yang mengandalkan struktur kekuasaan tradisional para kepala suku untuk menjalankan administrasi sehari-hari. Meskipun demikian, Inggris tetap memegang kendali tertinggi atas urusan politik dan ekonomi. Perubahan sosial mulai terasa dengan masuknya pendidikan gaya Barat yang dibawa oleh para misionaris, yang secara bertahap meningkatkan tingkat melek huruf dan kesadaran politik di kalangan rakyat Basotho. Hubungan dengan Koloni Tanjung, dan kemudian dengan Uni Afrika Selatan (dibentuk tahun 1910), tetap erat, terutama dalam hal ekonomi dan tenaga kerja, di mana banyak pria Basotho bekerja di tambang-tambang Afrika Selatan.
Pada awal abad ke-20, benih-benih nasionalisme mulai tumbuh di Basutoland. Aspirasi untuk pemerintahan sendiri dan penolakan terhadap kemungkinan penggabungan dengan Afrika Selatan menjadi pendorong utama gerakan ini. Pada tahun 1903, Dewan Nasional Basutoland (Basutoland National Council) didirikan, awalnya sebagai badan penasihat bagi Residen Komisioner Inggris, namun secara bertahap menjadi forum bagi para pemimpin Basotho untuk menyuarakan kepentingan mereka.
Partai-partai politik utama mulai terbentuk pada pertengahan abad ke-20. Partai Kongres Basutoland (BCP), didirikan pada tahun 1952 oleh Ntsu Mokhehle, menjadi salah satu kekuatan politik nasionalis yang vokal. Partai Nasional Basotho (BNP), yang lebih konservatif dan didukung oleh beberapa kepala suku serta Gereja Katolik, didirikan pada tahun 1959 oleh Leabua Jonathan. Partai-partai ini memainkan peran sentral dalam proses politik menuju kemerdekaan.
Pada tahun 1960, Basutoland diberikan otonomi pemerintahan yang lebih besar. Pemilihan umum pra-kemerdekaan diadakan pada tahun 1965, di mana BNP berhasil memenangkan mayoritas tipis dan Leabua Jonathan membentuk pemerintahan. Proses negosiasi dengan pemerintah Inggris mengenai kemerdekaan penuh terus berlanjut, didorong oleh keinginan kuat rakyat Basotho untuk menentukan nasib sendiri dan mengakhiri status kolonial. Akhirnya, pada tanggal 4 Oktober 1966, Basutoland meraih kemerdekaannya dan mengubah namanya menjadi Kerajaan Lesotho, dengan Raja Moshoeshoe II sebagai kepala negara konstitusional dan Leabua Jonathan sebagai Perdana Menteri pertama. Kemerdekaan ini dirayakan sebagai puncak dari perjuangan panjang untuk kedaulatan dan identitas nasional.
2.3. Pasca Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan pada tahun 1966, Kerajaan Lesotho memulai babak baru dalam sejarahnya, yang sayangnya diwarnai oleh ketidakstabilan politik, kudeta, dan perjuangan panjang menuju sistem demokrasi yang matang. Partai Nasional Basotho (BNP) di bawah pimpinan Perdana Menteri Leabua Jonathan memerintah sejak kemerdekaan hingga Januari 1970.
Pada pemilihan umum pertama pasca-kemerdekaan yang diadakan pada Januari 1970, BNP yang berkuasa kalah dari Partai Kongres Basutoland (BCP) yang memperoleh 36 kursi berbanding 23 kursi untuk BNP. Namun, Perdana Menteri Jonathan menolak untuk menyerahkan kekuasaan kepada BCP. Sebaliknya, ia menyatakan keadaan darurat, menangguhkan konstitusi, membubarkan parlemen, dan memenjarakan para pemimpin BCP. Jonathan kemudian memerintah secara de facto. Raja Moshoeshoe II, yang menunjukkan dukungan terhadap oposisi, sempat diasingkan namun kembali pada tahun yang sama meskipun dengan kekuasaan seremonial yang terbatas. Tindakan Jonathan ini memicu perlawanan dari BCP, yang membentuk sayap militer bernama Tentara Pembebasan Lesotho (LLA). LLA menerima pelatihan di Libya dengan menyamar sebagai tentara Tentara Pembebasan Rakyat Azania (APLA) dari Kongres Pan Afrikanis Azania (PAC). Meskipun LLA melancarkan perang gerilya sporadis, kampanye mereka terhambat ketika pemimpin BCP, Ntsu Mokhehle, pergi ke Pretoria. Selama tahun 1980-an, simpatisan BCP yang diasingkan sering menjadi sasaran ancaman dan serangan dari pemerintah Jonathan. Insiden kekerasan politik, seperti serangan terhadap keluarga Benjamin Masilo pada tahun 1981 yang menewaskan cucunya yang berusia 3 tahun, dan pembunuhan editor surat kabar Leselinyana la Lesotho, Edgar Mahlomola Motuba, bersama dua temannya, menandai periode represif ini. Kebijakan Jonathan yang awalnya pro-Afrika Selatan berbalik menjadi anti-apartheid, yang memperburuk hubungan dengan negara tetangga tersebut dan mengakibatkan sanksi ekonomi.
Pada Januari 1986, pemerintahan Jonathan digulingkan dalam sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Justin Metsing Lekhanya. Dewan Militer Transisi yang berkuasa memberikan kekuasaan eksekutif kepada Raja Moshoeshoe II, yang hingga saat itu perannya bersifat seremonial. Namun, pada tahun 1987, Raja Moshoeshoe II kembali diasingkan setelah ia menyusun sebuah memorandum yang mengusulkan perubahan konstitusi untuk memberinya lebih banyak kekuasaan eksekutif daripada yang disetujui oleh pemerintah militer. Putranya kemudian diangkat sebagai Raja Letsie III.
Pemerintahan militer Lekhanya sendiri berakhir pada tahun 1991 ketika ia digulingkan oleh Mayor Jenderal Elias Phisoana Ramaema. Ramaema berkomitmen pada proses demokratisasi dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan BCP yang terpilih secara demokratis pada tahun 1993, dengan Ntsu Mokhehle sebagai Perdana Menteri. Moshoeshoe II kembali dari pengasingan pada tahun 1992 sebagai warga biasa. Raja Letsie III berusaha meyakinkan pemerintah BCP untuk mengembalikan ayahnya sebagai kepala negara, namun tidak berhasil. Pada Agustus 1994, Letsie III melancarkan kudeta yang didukung militer yang menggulingkan pemerintah BCP setelah pemerintah menolak memulihkan ayahnya sesuai dengan konstitusi Lesotho. Negara-negara anggota Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC) melakukan negosiasi untuk memulihkan pemerintahan BCP. Salah satu syarat yang diajukan Letsie III adalah agar ayahnya diangkat kembali sebagai kepala negara. Setelah negosiasi yang panjang, pemerintah BCP dipulihkan, dan Letsie III turun takhta demi ayahnya pada tahun 1995. Namun, Moshoeshoe II meninggal dunia dalam usia 57 tahun akibat kecelakaan mobil pada 15 Januari 1996. Letsie III kemudian naik takhta kembali.
Pada tahun 1997, BCP yang berkuasa pecah karena sengketa kepemimpinan. Perdana Menteri Ntsu Mokhehle membentuk partai baru, Kongres Demokrasi Lesotho (LCD), dan diikuti oleh mayoritas anggota parlemen, yang memungkinkannya membentuk pemerintahan baru. Pakalitha Mosisili menggantikan Mokhehle sebagai pemimpin partai, dan LCD memenangkan pemilihan umum pada tahun 1998. Namun, hasil pemilu ini diprotes oleh oposisi, yang memuncak dalam demonstrasi di luar istana kerajaan pada Agustus 1998 dan dugaan upaya kudeta pada bulan September. Atas permintaan pemerintah Lesotho, SADC melakukan intervensi militer dengan mengirim pasukan dari Afrika Selatan dan Botswana. Meskipun pasukan Botswana disambut baik, ketegangan dengan pasukan Pertahanan Nasional Afrika Selatan (SANDF) mengakibatkan pertempuran. Insiden kerusuhan meningkat ketika pasukan Afrika Selatan mengibarkan bendera Afrika Selatan di atas Istana Kerajaan. Pada saat pasukan SADC ditarik mundur pada Mei 1999, sebagian besar ibu kota Maseru hancur, dan kota-kota provinsi selatan seperti Mafeteng dan Mohale's Hoek kehilangan lebih dari sepertiga properti komersial mereka.
Sebuah Otoritas Politik Interim (IPA) dibentuk pada Desember 1998 untuk meninjau struktur pemilihan umum. IPA merancang sistem pemilihan proporsional untuk memastikan perwakilan oposisi di Majelis Nasional. Sistem baru ini mempertahankan 80 kursi yang dipilih secara langsung dan menambahkan 40 kursi yang diisi secara proporsional. Pemilihan umum diadakan di bawah sistem baru ini pada Mei 2002, dan LCD menang dengan 54% suara. Sembilan partai oposisi memegang semua 40 kursi proporsional, dengan BNP memiliki bagian terbesar (21 kursi). LCD memperoleh 79 dari 80 kursi berbasis konstituensi.
Pada 30 Agustus 2014, terjadi dugaan upaya kudeta militer yang gagal, memaksa Perdana Menteri Thomas Thabane saat itu untuk melarikan diri ke Afrika Selatan selama tiga hari. Krisis politik terus berlanjut. Pada 19 Mei 2020, Thomas Thabane secara resmi mengundurkan diri sebagai perdana menteri setelah berbulan-bulan mendapat tekanan karena ia disebut sebagai tersangka dalam pembunuhan mantan istrinya. Moeketsi Majoro, seorang ekonom dan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan, terpilih sebagai pengganti Thabane. Pada 13 Mei 2020, Lesotho menjadi negara Afrika terakhir yang melaporkan kasus COVID-19.
Pada 28 Oktober 2022, Sam Matekane dilantik sebagai Perdana Menteri baru Lesotho setelah membentuk pemerintahan koalisi baru. Partainya, Revolusi untuk Kemakmuran (RFP), yang dibentuk pada tahun yang sama, memenangkan pemilihan umum pada 7 Oktober. Era pasca-kemerdekaan Lesotho menunjukkan perjuangan berkelanjutan untuk stabilitas politik, supremasi hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dengan intervensi regional seringkali diperlukan untuk menyelesaikan krisis.
3. Geografi
Lesotho adalah negara yang unik secara geografis, terletak di bagian selatan benua Afrika dan sepenuhnya dikelilingi oleh wilayah Afrika Selatan. Luas totalnya adalah sekitar 30.36 K km2. Ciri khas utama geografi Lesotho adalah ketinggiannya; negara ini merupakan satu-satunya negara merdeka di dunia yang seluruh wilayahnya berada di atas 1.00 K m di atas permukaan laut.
3.1. Topografi

Topografi Lesotho didominasi oleh pegunungan dan dataran tinggi. Lebih dari 80% wilayah negara ini berada di atas ketinggian 1.80 K m. Titik terendah Lesotho adalah 1.40 K m di atas permukaan laut, yang merupakan titik terendah tertinggi dari semua negara di dunia. Lesotho terletak di dalam rangkaian Pegunungan Drakensberg yang megah, dengan Pegunungan Maloti membentuk bagian penting dari lanskap negara ini. Puncak tertinggi di Lesotho, sekaligus di Afrika bagian selatan, adalah Thabana Ntlenyana, yang mencapai ketinggian 3.48 K m.
Bagian tengah dan timur Lesotho terdiri dari pegunungan tinggi yang terjal dengan ketinggian rata-rata di atas 2.00 K m. Wilayah ini merupakan hulu bagi banyak sungai penting. Sungai Oranye, salah satu sungai terpanjang di Afrika, berhulu di dekat perbatasan timur Lesotho dengan Afrika Selatan. Sungai ini mengalir ke arah barat daya melintasi bagian selatan negara, seringkali membentuk lembah-lembah yang dalam akibat erosi yang kuat. Sungai utama lainnya adalah Sungai Caledon, anak Sungai Oranye, yang mengalir di bagian utara Lesotho dan membentuk sebagian besar perbatasan barat laut dengan Afrika Selatan. Wilayah dataran rendah di bagian barat laut, di sekitar lembah Sungai Caledon, memiliki ketinggian yang relatif lebih rendah dan kontur yang lebih landai. Wilayah ini merupakan daerah terpadat di Lesotho dan menjadi lokasi ibu kota, Maseru. Hampir seluruh wilayah Lesotho berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Oranye. Titik terendah negara ini berada di barat daya, tempat Sungai Oranye mengalir keluar dari Lesotho menuju Afrika Selatan. Sekitar 12% dari luas daratan Lesotho dapat ditanami, namun rentan terhadap erosi tanah; diperkirakan 40 juta ton tanah hilang setiap tahun akibat erosi.
3.2. Iklim

Meskipun terletak di garis lintang subtropis, iklim Lesotho secara signifikan dipengaruhi oleh ketinggiannya, menjadikannya lebih sejuk sepanjang tahun dibandingkan wilayah lain pada garis lintang yang sama. Sebagian besar curah hujan turun dalam bentuk badai petir musim panas. Suhu di Maseru dan dataran rendah di sekitarnya dapat mencapai 30 °C pada musim panas (Oktober hingga April). Sebaliknya, musim dingin (Mei hingga September) dapat membawa suhu serendah -7 °C di dataran rendah dan bahkan hingga -18 °C di dataran tinggi.
Salju adalah fenomena umum di dataran tinggi antara bulan Mei dan September, dan puncak-puncak tertinggi bahkan dapat mengalami hujan salju sepanjang tahun. Curah hujan di Lesotho bervariasi baik dalam hal waktu maupun distribusi geografis. Rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 500 mm di beberapa daerah hingga 1.20 K mm di daerah lain, terutama dipengaruhi oleh ketinggian. Musim panas adalah musim hujan utama, dengan sebagian besar negara menerima lebih dari 100 mm curah hujan per bulan dari Desember hingga Februari. Curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Juni, di mana sebagian besar wilayah menerima kurang dari 15 mm hujan. Secara umum, iklim Lesotho dapat diklasifikasikan sebagai iklim sedang atau iklim dataran tinggi subtropis. Vegetasi alaminya didominasi oleh padang rumput dengan sedikit pepohonan.
3.3. Bencana Alam

Bencana alam utama yang sering melanda Lesotho adalah kekeringan periodik. Kekeringan ini berdampak parah pada mayoritas penduduk pedesaan yang bergantung pada pertanian subsisten atau pertanian skala kecil sebagai sumber pendapatan utama mereka. Praktik pertanian tertentu juga dapat memperburuk dampak kekeringan. The World Factbook mencantumkan kekeringan periodik sebagai 'Bahaya Alam' utama di Lesotho.
Pada tahun 2007, Lesotho mengalami kekeringan parah, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyarankan negara tersebut untuk menyatakan keadaan darurat guna mendapatkan bantuan dari organisasi internasional. Jaringan Sistem Peringatan Dini Kelaparan (FEWS NET) melaporkan bahwa musim hujan 2018/2019 tidak hanya dimulai sebulan lebih lambat dari biasanya tetapi juga mencatat jumlah curah hujan di bawah rata-rata. Data dari Climate Hazards Group InfraRed Precipitation Station (CHIRP) menunjukkan bahwa curah hujan di Lesotho antara Oktober 2018 dan Februari 2019 berkisar antara 55% hingga 80% di bawah tingkat normal.
Pada Maret 2019, Komite Penilaian dan Analisis Kerentanan Lesotho melakukan laporan yang awalnya memprediksi bahwa 487.857 orang di negara itu memerlukan bantuan kemanusiaan karena dampak kekeringan. Kekeringan di Lesotho berdampak multidimensi. Kurangnya air bersih dapat menyebabkan praktik kebersihan yang buruk, yang pada gilirannya meningkatkan kasus penyakit seperti demam tifoid dan diare. Kelangkaan air juga secara tidak langsung meningkatkan risiko bagi perempuan dan anak perempuan yang bertugas mengambil air untuk kebutuhan rumah tangga, karena mereka harus menghabiskan lebih banyak waktu dan menempuh jarak yang lebih jauh, sehingga rentan terhadap serangan fisik atau seksual. Kekeringan juga memicu migrasi ke daerah perkotaan dan imigrasi ke Afrika Selatan untuk mencari peluang baru dan menghindari kerawanan pangan. Laporan tersebut menemukan bahwa antara Juli 2019 dan Juni 2020, diperkirakan 640.000 orang di Lesotho akan terkena dampak kerawanan pangan akibat panen yang tidak produktif serta kenaikan harga pangan akibat kekeringan. Upaya penanggulangan meliputi seruan bantuan internasional, pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, dan promosi praktik pertanian yang tahan terhadap kekeringan.
3.4. Flora dan Fauna

Karena kondisi geografisnya yang bergunung-gunung tinggi, flora Lesotho sebagian besar bersifat alpin. Tiga ekoregion terestrial berada dalam batas-batas Lesotho: padang rumput dan hutan Drakensberg alti-montane, padang rumput pegunungan Drakensberg, dan padang rumput Highveld. Kebun Raya Katse menyimpan koleksi tanaman obat dan memiliki bank benih tanaman dari daerah Sungai Malibamat'so. Salah satu tanaman endemik yang terkenal adalah Aloe polyphylla, yang memiliki pola spiral yang khas.
Dalam hal fauna, Lesotho adalah rumah bagi berbagai spesies. Terdapat sekitar 339 spesies burung yang diketahui, termasuk 10 spesies yang terancam secara global dan dua spesies yang diperkenalkan. Fauna mamalia mencakup sekitar 60 spesies yang endemik, termasuk tikus berekor putih (Mystromys albicaudatus) yang terancam punah. Spesies reptil yang tercatat meliputi 17 jenis, termasuk tokek, ular, dan kadal.
Kawasan lindung penting di Lesotho adalah Taman Nasional Sehlabathebe, yang merupakan bagian dari Situs Warisan Dunia UNESCO Taman Maloti-Drakensberg (dibagi bersama Afrika Selatan). Taman ini melindungi keanekaragaman hayati yang unik serta situs-situs seni cadas San yang penting secara budaya. Ekosistem Lesotho, terutama di dataran tinggi, rentan terhadap perubahan iklim dan praktik penggembalaan berlebih, yang menjadi tantangan bagi upaya konservasi.
4. Politik
Sistem politik Lesotho didasarkan pada monarki konstitusional dan demokrasi parlementer. Bagian ini akan menguraikan bentuk pemerintahan, lembaga legislatif, yudikatif, partai politik utama, serta situasi hak asasi manusia di negara ini, dengan memberikan perhatian khusus pada isu-isu yang relevan dengan perspektif sosial liberal.
4.1. Bentuk Pemerintahan

Lesotho adalah sebuah kerajaan konstitusional dengan sistem parlementer. Kepala negara adalah Raja, saat ini dijabat oleh Letsie III (nama lahir David Mohato Bereng Seeiso). Peran Raja sebagian besar bersifat seremonial dan simbolis sebagai pemersatu bangsa; ia tidak lagi memiliki otoritas eksekutif dan dilarang berpartisipasi aktif dalam inisiatif politik. Tahta kerajaan diwariskan dalam keluarga Seeiso. Keluarga kerajaan Lesotho berpangkat tinggi lainnya, seperti keluarga Tšiu, juga tidak memiliki otoritas eksekutif.
Kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri, yang saat ini (per Oktober 2022) dijabat oleh Sam Matekane. Perdana Menteri memimpin kabinet dan memegang otoritas eksekutif. Perdana Menteri biasanya adalah pemimpin partai politik atau koalisi partai yang memenangkan mayoritas kursi di Majelis Nasional.
4.2. Legislatif

Parlemen Lesotho menganut sistem dua kamar (bikameral), yang terdiri dari Senat (dewan tinggi) dan Majelis Nasional (dewan rendah).
Senat (Senate) terdiri dari 33 anggota. Dari jumlah tersebut, 22 anggota adalah para kepala suku utama (Principal Chiefs) yang keanggotaannya bersifat turun-temurun. Sebelas anggota lainnya diangkat oleh Raja atas saran Perdana Menteri. Peran Senat utamanya adalah meninjau undang-undang yang disahkan oleh Majelis Nasional dan memberikan perspektif dari para pemimpin tradisional.
Majelis Nasional (National Assembly) adalah badan legislatif utama. Sejak revisi undang-undang pemilu pada tahun 2001, Majelis Nasional memiliki 120 kursi. Dari jumlah tersebut, 80 kursi dipilih melalui sistem pemilihan umum mayoritas sederhana di daerah pemilihan tunggal (konstituensi), dan 40 kursi sisanya diisi berdasarkan sistem perwakilan proporsional. Anggota Majelis Nasional memiliki masa jabatan lima tahun. Majelis Nasional bertanggung jawab untuk membuat undang-undang, mengawasi pemerintah, dan menyetujui anggaran negara. Partai atau koalisi dengan mayoritas kursi di Majelis Nasional membentuk pemerintahan. Saat ini, partai Revolusi untuk Kemakmuran (RFP) memimpin pemerintahan koalisi.
4.3. Yudikatif
Lesotho memiliki sistem peradilan yang independen secara konstitusional. Struktur peradilannya terdiri dari beberapa tingkatan. Pengadilan Tinggi (High Court) memiliki yurisdiksi asli yang luas atas semua perkara perdata dan pidana, serta yurisdiksi banding dan peninjauan atas keputusan pengadilan yang lebih rendah. Pengadilan Banding (Court of Appeal) adalah pengadilan banding tertinggi di negara ini dan memiliki yurisdiksi untuk mengawasi serta meninjau semua keputusan pengadilan di Lesotho. Menariknya, sebagian besar hakim di Pengadilan Banding adalah ahli hukum dari Afrika Selatan.
Di tingkat yang lebih rendah, terdapat Pengadilan Magistrate (Magistrate's Courts) yang menangani berbagai kasus perdata dan pidana yang lebih ringan. Selain itu, pengadilan adat (traditional courts atau local courts) juga ada, terutama di daerah pedesaan, yang menerapkan hukum adat Basotho. Hukum adat ini, yang sebagian besar telah dikodifikasikan dalam Laws of Lerotholi (Hukum Lerotholi), mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pernikahan, warisan, dan sengketa tanah di tingkat lokal. Kodifikasi hukum adat dimulai setelah sebuah dewan dibentuk pada tahun 1903 untuk menasihati Residen Komisioner Inggris mengenai hukum yang terbaik untuk mengatur masyarakat Basotho, yang sebelumnya hukum adatnya diwariskan secara lisan.
Sistem hukum Lesotho adalah sistem campuran (mixed legal system). Hukum umum (general law) negara ini merupakan perpaduan antara hukum sipil Romawi-Belanda yang diwarisi dari Koloni Tanjung dan hukum umum Inggris, serta undang-undang yang disahkan oleh parlemen Lesotho. Hukum umum ini beroperasi secara independen. Keputusan pengadilan Afrika Selatan hanya bersifat persuasif, meskipun sering dirujuk. Lesotho tidak menggunakan sistem juri; hakim membuat putusan sendiri, atau dalam kasus persidangan pidana, bersama dua hakim lain sebagai pengamat. Keputusan dari Pengadilan Magistrate tidak menjadi preseden. Tulisan-tulisan dari "otoritas lama" serta penulis kontemporer dari yurisdiksi serupa memiliki nilai persuasif di pengadilan Lesotho.
Secara konstitusional, legislasi merujuk pada undang-undang yang telah disahkan oleh kedua kamar parlemen dan telah disetujui oleh Raja (Pasal 78(1) Konstitusi). Legislasi subordinat merujuk pada hukum yang disahkan oleh badan-badan lain yang telah didelegasikan kekuasaan legislatif oleh parlemen berdasarkan Pasal 70(2) Konstitusi, ini termasuk publikasi pemerintah, perintah menteri, peraturan menteri, dan peraturan daerah kota.
4.4. Partai Politik Utama
Sejak penerapan sistem multipartai, lanskap politik Lesotho telah diramaikan oleh berbagai partai politik. Berikut adalah beberapa partai utama yang memainkan peran penting dalam politik Lesotho, terutama dalam beberapa dekade terakhir:
- Revolusi untuk Kemakmuran (Revolution for Prosperity - RFP): Didirikan pada Maret 2022 oleh pengusaha Sam Matekane, RFP dengan cepat menjadi kekuatan politik dominan. Dalam pemilihan umum Oktober 2022, RFP memenangkan 56 dari 120 kursi di Majelis Nasional dan membentuk pemerintahan koalisi. Ideologi RFP umumnya berfokus pada reformasi ekonomi dan tata kelola yang baik.
- Kongres Demokratik (Democratic Congress - DC): Merupakan partai sosial demokrat yang menjadi oposisi utama saat ini. DC memenangkan 29 kursi dalam pemilu 2022. Partai ini sebelumnya pernah menjadi bagian dari pemerintahan.
- Konvensi Semua Basotho (All Basotho Convention - ABC): Partai berhaluan liberal ini pernah menjadi partai penguasa di bawah kepemimpinan Thomas Thabane. Namun, dalam pemilu 2022, ABC mengalami kekalahan signifikan dan hanya memperoleh 8 kursi.
- Partai Kongres Basutoland (Basutoland Congress Party - BCP): Salah satu partai tertua dan paling bersejarah di Lesotho, BCP memainkan peran kunci dalam gerakan kemerdekaan. Meskipun pengaruhnya telah menurun, BCP tetap menjadi bagian dari lanskap politik.
- Partai Nasional Basotho (Basotho National Party - BNP): Juga merupakan partai bersejarah yang memerintah Lesotho pada periode awal pasca-kemerdekaan di bawah Leabua Jonathan. BNP cenderung lebih konservatif.
- Kongres Demokrasi Lesotho (Lesotho Congress for Democracy - LCD): Didirikan pada tahun 1997 sebagai pecahan dari BCP oleh Ntsu Mokhehle, LCD pernah menjadi partai penguasa dari tahun 1997 hingga 2012 di bawah kepemimpinan Pakalitha Mosisili. Dalam pemilu 2022, LCD memperoleh 3 kursi.
- Partai Aksi Basotho (Basotho Action Party - BAP): Didirikan pada April 2021 oleh Nqosa Mahao, mantan wakil ketua ABC. BAP memperoleh 6 kursi dalam pemilu 2022.
- Aliansi Demokrat (Alliance of Democrats - AD): Merupakan bagian dari koalisi pemerintahan saat ini bersama RFP, memenangkan 5 kursi pada pemilu 2022.
- Gerakan untuk Perubahan Ekonomi (Movement for Economic Change - MEC): Juga merupakan bagian dari koalisi pemerintahan saat ini, memperoleh 4 kursi pada pemilu 2022.
- Revolusioner Sosialis (Socialist Revolutionaries - SR): Didirikan pada Oktober 2017 oleh Teboho Mojapela, mantan anggota ABC. SR memperoleh 2 kursi.
Partai-partai ini bersaing dalam pemilihan umum yang seringkali menghasilkan pemerintahan koalisi karena sulitnya satu partai untuk memenangkan mayoritas absolut. Dinamika antar partai, perpecahan, dan pembentukan aliansi baru merupakan ciri khas politik Lesotho.
4.5. Hak Asasi Manusia
Konstitusi Lesotho menjamin berbagai hak asasi manusia dan kebebasan sipil dasar, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul secara damai, dan kebebasan beragama. Pada tahun 2008, Lesotho menempati peringkat ke-12 dari 48 negara Afrika sub-Sahara dalam Indeks Pemerintahan Afrika Ibrahim, yang mengindikasikan tingkat tata kelola yang relatif baik pada saat itu.
Namun, situasi hak asasi manusia di Lesotho menghadapi berbagai tantangan. Tingginya prevalensi HIV/AIDS (hampir seperempat populasi) dan dampak sosial-ekonominya telah memicu seruan ekstrem seperti Gerakan Piagam Rakyat pada tahun 2010 yang menginginkan aneksasi oleh Afrika Selatan. Meskipun ide aneksasi ditolak, hal ini menyoroti krisis yang dihadapi negara tersebut. Sebuah laporan Uni Afrika menyerukan integrasi ekonomi yang lebih erat dengan Afrika Selatan. Para akademisi seperti Jeffrey Herbst berpendapat bahwa kurangnya sengketa perbatasan bagi negara-negara seperti Lesotho dan Eswatini secara historis berkontribusi pada kelemahan politik internal, yang diperparah oleh warisan pemerintahan kolonial yang tidak dirancang untuk melayani rakyat Basotho.
Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi isu. Meskipun Perdana Menteri Sam Matekane bekerja sama dengan Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC) untuk reformasi hukum, pemerintahannya masih menunjukkan tanda-tanda masalah, seperti insiden penggunaan kekuatan berlebihan terhadap 40.000 pekerja garmen yang berdemonstrasi menuntut kondisi kerja yang lebih baik, yang mengakibatkan dua pengunjuk rasa tewas. Pergantian perdana menteri yang sering, seperti pengunduran diri Tom Thabane pada tahun 2020 di tengah tuduhan pembunuhan dan pengunduran diri penggantinya, Moeketsi Majoro, pada tahun 2022 setelah mosi tidak percaya terkait penanganan militer dan COVID-19, juga mencerminkan ketidakstabilan yang dapat mempengaruhi penegakan hak asasi manusia.
Meskipun ada jaminan konstitusional, implementasi dan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia terus menjadi area yang memerlukan perhatian dan perbaikan dari pemerintah Lesotho serta dukungan dari komunitas internasional. Isu-isu seperti kebrutalan polisi, kondisi penjara yang buruk, dan akses terhadap keadilan tetap menjadi perhatian.
4.5.1. Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah hak asasi manusia yang serius di Lesotho. Berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan praktik budaya yang merugikan, tersebar luas. Menurut data PBB, Lesotho pernah memiliki tingkat pemerkosaan tertinggi di dunia (91,6 per 100.000 penduduk yang dilaporkan pada tahun 2008). Sebuah studi di Lesotho menemukan bahwa 61% perempuan melaporkan pernah mengalami kekerasan seksual, dengan 22% di antaranya melaporkan dipaksa melakukan hubungan seksual.
Survei Demografi dan Kesehatan (DHS) tahun 2009 menunjukkan bahwa 15,7% pria berpendapat bahwa seorang suami dibenarkan memukul istrinya jika ia menolak berhubungan seks, sementara 16% berpendapat bahwa suami dibenarkan menggunakan paksaan untuk berhubungan seks. Sikap-sikap ini mencerminkan norma sosial yang mengakar yang berkontribusi terhadap tingginya angka kekerasan berbasis gender. Tingginya prevalensi HIV/AIDS di Lesotho memperparah dampak kekerasan seksual, karena meningkatkan risiko penularan virus. Para peneliti menekankan pentingnya program yang menangani hak perempuan untuk mengendalikan seksualitas mereka.
Penyebab kekerasan terhadap perempuan bersifat kompleks, melibatkan faktor-faktor seperti ketidaksetaraan gender yang mengakar, norma budaya patriarkal, kemiskinan, dan kurangnya penegakan hukum yang efektif. Dampak sosialnya sangat merusak, tidak hanya bagi korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Upaya hukum telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Married Persons Equality Act 2006 (Undang-Undang Kesetaraan Pasangan Menikah 2006) memberikan hak yang sama kepada istri dalam hubungannya dengan suami mereka, menghapuskan kekuasaan perkawinan suami (marital power). Namun, implementasi undang-undang dan akses terhadap keadilan bagi korban masih menjadi tantangan. Berbagai organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil aktif dalam memberikan dukungan kepada korban, melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan, dan meningkatkan kesadaran publik. Meskipun demikian, Laporan Kesenjangan Gender Forum Ekonomi Dunia 2020 menempatkan Lesotho di peringkat 88 dunia untuk kesetaraan gender, jauh di bawah negara tetangga Afrika Selatan (peringkat 17), menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender dan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
5. Pembagian Administratif
Untuk keperluan administrasi, Lesotho dibagi menjadi beberapa tingkatan unit pemerintahan. Struktur ini membantu dalam pengelolaan pemerintahan, penyediaan layanan publik, dan pelaksanaan program pembangunan di seluruh negeri.
5.1. Distrik

Lesotho dibagi menjadi 10 distrik. Setiap distrik dikepalai oleh seorang administrator distrik (district administrator) atau sekretaris distrik, yang bertanggung jawab atas koordinasi kegiatan pemerintahan di tingkat distrik. Setiap distrik memiliki ibu kota yang dikenal sebagai camptown. Berikut adalah daftar 10 distrik di Lesotho:
- Berea
- Butha-Buthe
- Leribe
- Mafeteng
- Maseru
- Mohale's Hoek
- Mokhotlong
- Qacha's Nek
- Quthing
- Thaba-Tseka
Distrik-distrik ini selanjutnya dibagi lagi menjadi 80 konstituensi untuk keperluan pemilihan umum, dan terdapat 129 dewan komunitas lokal (local community councils) yang berperan dalam pemerintahan di tingkat akar rumput.
5.2. Kota Utama
Selain ibu kota nasional, Lesotho memiliki beberapa kota lain yang berfungsi sebagai pusat regional atau distrik. Berikut adalah beberapa kota utama di Lesotho:
- Maseru: Terletak di Distrik Maseru, Maseru adalah ibu kota dan kota terbesar di Lesotho. Dengan populasi wilayah metropolitan sekitar 519.186 jiwa (berdasarkan beberapa perkiraan, meskipun angka bervariasi), Maseru adalah pusat politik, ekonomi, dan budaya negara. Kota ini terletak di tepi Sungai Caledon, yang membentuk perbatasan dengan Afrika Selatan.
- Teyateyaneng: Sering disingkat TY, kota ini adalah ibu kota Distrik Berea. Dikenal dengan kerajinan tangan tradisionalnya, Teyateyaneng memiliki populasi sekitar 75.115 jiwa.
- Mafeteng: Ibu kota Distrik Mafeteng, kota ini terletak di bagian barat daya Lesotho. Populasinya sekitar 57.059 jiwa dan berfungsi sebagai pusat perdagangan dan layanan untuk wilayah sekitarnya.
- Hlotse (juga dikenal sebagai Leribe): Merupakan ibu kota Distrik Leribe dan salah satu kota tertua di Lesotho. Terletak di utara Maseru, Hlotse memiliki populasi sekitar 47.675 jiwa dan merupakan pusat administrasi dan komersial penting di wilayah utara.
- Maputsoe: Terletak di Distrik Leribe, dekat perbatasan dengan Afrika Selatan (berseberangan dengan Ficksburg). Kota ini adalah pusat industri dan perdagangan yang penting, terutama karena kedekatannya dengan Afrika Selatan. Populasinya sekitar 32.117 jiwa.
- Mohale's Hoek: Ibu kota Distrik Mohale's Hoek, terletak di bagian selatan negara. Populasinya sekitar 24.992 jiwa.
Kota-kota ini, meskipun lebih kecil dibandingkan Maseru, memainkan peran vital dalam menghubungkan daerah pedesaan dengan pusat-pusat ekonomi dan administrasi, serta menyediakan layanan penting bagi penduduk di distrik masing-masing.
6. Hubungan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri Lesotho sangat dipengaruhi oleh posisinya sebagai negara enklave yang sepenuhnya dikelilingi oleh Afrika Selatan. Negara ini berusaha menjaga hubungan baik dengan tetangganya sambil tetap aktif dalam forum regional dan internasional untuk mempromosikan kepentingannya.
6.1. Hubungan dengan Afrika Selatan
Hubungan Lesotho dengan Afrika Selatan adalah yang paling krusial dan kompleks. Secara geografis, Lesotho adalah sebuah enklave di dalam Afrika Selatan, yang berarti semua akses darat ke dunia luar harus melalui Afrika Selatan. Ketergantungan ini meluas ke bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Secara ekonomi, Lesotho sangat terintegrasi dengan Afrika Selatan. Negara ini adalah anggota Serikat Pabean Afrika Selatan (SACU), dan pendapatan dari SACU merupakan bagian signifikan dari anggaran negara Lesotho. Mata uang Lesotho, loti, dipatok setara dengan rand Afrika Selatan, dan rand juga diterima secara luas sebagai alat pembayaran di Lesotho. Banyak warga Basotho bekerja di Afrika Selatan, terutama di sektor pertambangan, dan pengiriman uang dari mereka merupakan sumber pendapatan penting bagi banyak rumah tangga di Lesotho. Proyek Air Dataran Tinggi Lesotho (LHWP) adalah proyek kerja sama bilateral utama, di mana Lesotho mengekspor air ke provinsi Gauteng yang padat penduduk dan industri di Afrika Selatan, menghasilkan pendapatan ekspor yang signifikan dan tenaga listrik untuk Lesotho.
Secara historis, hubungan ini tidak selalu mulus. Selama era apartheid, Lesotho, meskipun secara ekonomi bergantung pada Afrika Selatan, secara terbuka menentang sistem apartheid dan memberikan suaka kepada banyak pengungsi politik Afrika Selatan. Hal ini terkadang menyebabkan ketegangan. Setelah berakhirnya apartheid dan kunjungan Nelson Mandela pada tahun 1995, hubungan membaik secara signifikan, didasarkan pada kepentingan bersama. Namun, dinamika politik internal di Lesotho terkadang memerlukan mediasi atau intervensi dari Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC), di mana Afrika Selatan memainkan peran utama.
6.2. Keanggotaan Organisasi Internasional
Lesotho adalah anggota aktif dari berbagai organisasi internasional dan regional. Keanggotaan ini memungkinkan Lesotho untuk berpartisipasi dalam diplomasi multilateral, mendapatkan bantuan pembangunan, dan menyuarakan kepentingannya di panggung dunia. Organisasi utama di mana Lesotho menjadi anggota meliputi:
- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB): Lesotho bergabung dengan PBB tak lama setelah kemerdekaannya dan berpartisipasi dalam berbagai badan dan program PBB. Pada tahun 2019, Lesotho menandatangani Traktat Pelarangan Senjata Nuklir PBB.
- Uni Afrika (AU): Sebagai negara Afrika, Lesotho adalah anggota Uni Afrika dan pendahulunya, Organisasi Persatuan Afrika (OAU). Lesotho berpartisipasi dalam upaya AU untuk mempromosikan perdamaian, keamanan, dan pembangunan di benua itu.
- Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC): Keanggotaan dalam SADC sangat penting bagi Lesotho, mengingat lokasinya di Afrika bagian selatan. SADC memainkan peran penting dalam mediasi konflik politik di Lesotho dan mempromosikan integrasi ekonomi regional.
- Persemakmuran Bangsa-Bangsa: Sebagai bekas jajahan Inggris, Lesotho adalah anggota Persemakmuran dan mendapat manfaat dari program kerja sama dan dukungan teknis yang ditawarkan oleh organisasi ini.
- Gerakan Non-Blok (GNB): Lesotho juga merupakan anggota GNB, yang mencerminkan kebijakan luar negerinya yang berusaha menjaga independensi dalam urusan internasional.
- Serikat Pabean Afrika Selatan (SACU): Keanggotaan dalam SACU, bersama dengan Botswana, Eswatini, Namibia, dan Afrika Selatan, sangat vital bagi ekonomi Lesotho karena menyediakan sumber pendapatan bea cukai yang signifikan.
Selain itu, Lesotho juga menjalin hubungan bilateral dengan berbagai negara di dunia, termasuk Britania Raya (khususnya Wales), Jerman, Amerika Serikat, dan negara-negara Barat lainnya. Lesotho pernah memutuskan hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok dan menjalin hubungan dengan Taiwan pada tahun 1990, namun kemudian memulihkan hubungan dengan Tiongkok. Lesotho mengakui Negara Palestina. Antara tahun 2014 hingga 2018, Lesotho juga mengakui Kosovo.
Hubungan diplomatik dengan Korea Selatan dijalin pada tahun 1966, sempat terputus pada tahun 1983 setelah kunjungan Perdana Menteri Jonathan ke Pyongyang, namun dipulihkan pada tahun 1986. Hubungan dengan Korea Utara dijalin pada tahun 1980 namun diputus pada tahun 1986.
Jepang tidak memiliki kedutaan besar di Lesotho; urusan diplomatik ditangani oleh Kedutaan Besar Jepang di Afrika Selatan. Lesotho membuka kedutaan besarnya di Jepang pada tahun 2007.
7. Militer dan Keamanan
Postur pertahanan dan keamanan Lesotho berpusat pada beberapa lembaga utama yang bertanggung jawab atas pertahanan teritorial, keamanan dalam negeri, dan penegakan hukum.
7.1. Angkatan Pertahanan Lesotho
Angkatan Pertahanan Lesotho (Lesotho Defence Force - LDF) adalah angkatan bersenjata utama negara ini. LDF bertanggung jawab atas pemeliharaan keamanan internal dan pertahanan kedaulatan wilayah Lesotho dari ancaman eksternal. Sebagai negara yang terkurung daratan, LDF terdiri dari angkatan darat dan sayap angkatan udara kecil; tidak ada angkatan laut. Ukuran LDF relatif kecil, dengan perkiraan kekuatan sekitar 2.000 personel. Komandan LDF adalah perwira tertinggi yang mengepalai angkatan bersenjata. Anggaran pertahanan dan alutsista utama LDF terbatas, mencerminkan status ekonomi negara. LDF terkadang terlibat dalam politik dalam negeri, termasuk dalam beberapa upaya kudeta di masa lalu, yang menjadi tantangan bagi stabilitas demokrasi. Lesotho menerapkan sistem wajib militer selektif (selective conscription) atau sistem rekrutmen sukarela (voluntary military service), sumber lain menyebutkan sistem wajib militer (conscription).
7.2. Kepolisian dan Keamanan Nasional
Untuk pemeliharaan hukum dan ketertiban sipil, Lesotho mengandalkan Layanan Polisi Berkuda Lesotho (Lesotho Mounted Police Service - LMPS). LMPS bertanggung jawab atas kepolisian berseragam, deteksi kriminal, dan kepolisian lalu lintas. Lembaga ini memiliki unit-unit spesialis yang menangani kejahatan teknologi tinggi, imigrasi, kejahatan terhadap satwa liar, dan terorisme. LMPS memiliki sejarah panjang, telah ada (dengan berbagai perubahan nama) secara berkelanjutan sejak tahun 1872. Pejabat tertinggi LMPS adalah Komisaris Polisi.
Layanan Keamanan Nasional Lesotho (Lesotho National Security Service - LNSS) adalah badan intelijen utama negara yang bertanggung jawab atas perlindungan keamanan nasional. Didirikan dalam bentuk modernnya berdasarkan Undang-Undang Layanan Keamanan Nasional tahun 1998, LNSS bertugas mengumpulkan dan menganalisis intelijen terkait ancaman terhadap negara. Pejabat tertinggi LNSS adalah Direktur Jenderal, yang diangkat dan diberhentikan oleh Perdana Menteri. LNSS merupakan bagian dari Kementerian Pertahanan dan Keamanan Nasional dan melapor langsung kepada Pemerintah.
8. Ekonomi
Perekonomian Lesotho dikategorikan sebagai negara berkembang berpenghasilan menengah ke bawah, dengan tantangan sosial-ekonomi yang signifikan. Ekonomi negara ini sangat bergantung pada beberapa sektor kunci dan memiliki ketergantungan eksternal yang tinggi, terutama pada Afrika Selatan. Indikator ekonomi makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat pertumbuhan ekonomi, dan inflasi seringkali berfluktuasi dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Hampir separuh populasinya hidup di bawah garis kemiskinan.
8.1. Industri Utama
Struktur industri Lesotho didominasi oleh beberapa sektor utama yang memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional dan penyerapan tenaga kerja. Sektor-sektor ini meliputi pertanian dan peternakan, pertambangan dan manufaktur, serta pariwisata.
8.1.1. Pertanian dan Peternakan
Pertanian dan peternakan secara tradisional menjadi tulang punggung mata pencaharian bagi sebagian besar penduduk Lesotho, meskipun kontribusinya terhadap PDB mungkin lebih kecil dibandingkan sektor lain. Mayoritas rumah tangga di pedesaan terlibat dalam pertanian subsisten. Tanaman pangan utama yang ditanam adalah jagung dan sorgum. Peternakan utama meliputi domba (untuk wol) dan kambing (untuk mohair dan daging). Wol dan mohair merupakan komoditas ekspor penting.
Produktivitas pertanian umumnya rendah karena beberapa faktor, termasuk kondisi lahan yang bergunung-gunung dan hanya sebagian kecil (sekitar 9-12%) yang cocok untuk bercocok tanam, praktik pertanian tradisional, serta kerentanan terhadap erosi tanah dan dampak perubahan iklim seperti kekeringan periodik. Akibatnya, Lesotho seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan domestiknya dan harus mengimpor sebagian besar makanannya. Masalah ketahanan pangan menjadi tantangan serius. Kebijakan pemerintah umumnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, mempromosikan diversifikasi tanaman, dan meningkatkan pengelolaan sumber daya alam.
8.1.2. Pertambangan dan Manufaktur
Sektor pertambangan di Lesotho terutama didominasi oleh penambangan intan. Tambang-tambang seperti Letšeng, Mothae, Liqhobong, dan Kao dikenal menghasilkan intan berkualitas tinggi, termasuk beberapa temuan intan besar yang bernilai tinggi. Tambang Letšeng, misalnya, dikenal sebagai salah satu tambang terkaya di dunia berdasarkan harga rata-rata per karat. Ekspor intan merupakan sumber pendapatan devisa yang penting bagi Lesotho. Sektor ini sempat mengalami kemunduran pada tahun 2008 akibat resesi global tetapi kemudian pulih.
Industri manufaktur, khususnya sektor pakaian jadi dan tekstil, berkembang pesat sejak awal tahun 2000-an, sebagian besar didorong oleh manfaat dari African Growth and Opportunity Act (AGOA) yang memberikan akses bebas bea ke pasar Amerika Serikat. Lesotho menjadi salah satu pengekspor pakaian terbesar ke AS dari Afrika sub-Sahara. Banyak merek dan pengecer internasional seperti Foot Locker, Gap, JCPenney, Levi Strauss, dan Wal-Mart mendapatkan sumber produk dari Lesotho. Sektor ini menyerap banyak tenaga kerja, terutama perempuan, dan pada satu titik jumlah pekerja di sektor manufaktur melebihi pegawai pemerintah. Namun, persaingan internasional yang ketat di sektor garmen telah menyebabkan fluktuasi dalam tingkat pekerjaan. Aliansi Tekstil Lesotho untuk Melawan AIDS (ALAFA) adalah program industri yang menyediakan pencegahan dan pengobatan penyakit bagi para pekerja.
8.1.3. Pariwisata

Sektor pariwisata di Lesotho memiliki potensi yang cukup besar, terutama berkat lanskap alamnya yang spektakuler dan budaya tradisionalnya yang unik. Daya tarik utama meliputi keindahan Pegunungan Maloti dan Pegunungan Drakensberg, yang menawarkan peluang untuk kegiatan luar ruangan seperti trekking, berkuda (menggunakan poni Basotho yang terkenal), dan pengamatan burung. Resor ski Afriski di Pegunungan Maloti adalah salah satu dari sedikit resor ski di Afrika bagian selatan dan menarik wisatawan selama musim dingin. Bendungan Katse, bagian dari Proyek Air Dataran Tinggi Lesotho, dengan ukuran dan pemandangannya yang mengesankan, juga menjadi objek wisata. Budaya Basotho, termasuk desa-desa tradisional, kerajinan tangan, dan festival seperti Festival Seni dan Budaya Morija, juga menarik minat wisatawan.
Statistik wisatawan dan pendapatan pariwisata menunjukkan pertumbuhan, meskipun sektor ini masih dapat dikembangkan lebih lanjut. Kebijakan pemerintah bertujuan untuk mempromosikan Lesotho sebagai destinasi wisata petualangan dan ekowisata. Tantangan yang dihadapi termasuk infrastruktur yang terbatas di beberapa daerah dan kebutuhan untuk pemasaran yang lebih efektif.
8.2. Ekspor Tenaga Kerja dan Pengiriman Uang
Secara historis, ekspor tenaga kerja, terutama ke tambang-tambang di Afrika Selatan, telah menjadi fitur penting dalam ekonomi Lesotho. Sejak abad ke-19, banyak pria Basotho bermigrasi untuk bekerja di Afrika Selatan, dan pengiriman uang (remitansi) dari mereka menjadi sumber pendapatan vital bagi banyak rumah tangga di Lesotho serta berkontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional. Pada puncaknya, sebagian besar tenaga kerja pria dewasa Lesotho bekerja di Afrika Selatan.
Meskipun pertumbuhan sektor domestik seperti manufaktur telah sedikit mengurangi ketergantungan pada ekspor tenaga kerja, jumlah pekerja migran Basotho di Afrika Selatan (baik legal maupun ilegal) masih cukup besar. Remitansi ini membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan daya beli di Lesotho. Namun, ketergantungan pada remitansi juga membuat ekonomi Lesotho rentan terhadap fluktuasi ekonomi di Afrika Selatan dan perubahan kebijakan ketenagakerjaan di sana. Kontraksi di sektor pertambangan Afrika Selatan atau pengetatan aturan imigrasi dapat berdampak negatif pada aliran remitansi.
8.3. Sumber Daya Air dan Proyek Air Dataran Tinggi Lesotho (LHWP)


Lesotho diberkahi dengan sumber daya air yang melimpah karena topografi pegunungannya yang menjadi daerah tangkapan hujan bagi banyak sungai, termasuk hulu Sungai Oranye. Sumber daya ini dimanfaatkan melalui Proyek Air Dataran Tinggi Lesotho (Lesotho Highlands Water Project - LHWP), sebuah proyek infrastruktur air bilateral skala besar antara Lesotho dan Afrika Selatan yang dimulai pada tahun 1986.
LHWP dirancang untuk menangkap, menyimpan, dan mentransfer air dari sistem Sungai Oranye di dataran tinggi Lesotho ke provinsi Gauteng di Afrika Selatan, yang merupakan pusat industri dan populasi padat namun kekurangan air. Proyek ini melibatkan pembangunan serangkaian bendungan raksasa (seperti Bendungan Katse dan Bendungan Mohale), terowongan, dan pembangkit listrik tenaga air.
Dampak ekonomi LHWP bagi Lesotho sangat signifikan. Penjualan air ke Afrika Selatan menghasilkan pendapatan ekspor yang besar bagi negara. Selain itu, proyek ini memungkinkan Lesotho menjadi hampir sepenuhnya swasembada dalam produksi listrik, dan bahkan mengekspor sebagian ke Afrika Selatan. Pembangunan proyek ini juga menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan di sektor konstruksi.
Namun, LHWP juga menimbulkan dampak lingkungan dan sosial. Pembangunan bendungan besar menyebabkan genangan lahan, pemindahan komunitas lokal, dan perubahan ekosistem sungai. Upaya mitigasi dan kompensasi telah dilakukan, tetapi isu-isu terkait dampak lingkungan dan sosial tetap menjadi perhatian. Proyek ini dilaksanakan dalam beberapa tahap; penyelesaian tahap pertama telah memberikan manfaat besar, dan tahap-tahap selanjutnya terus dikembangkan.
8.4. Mata Uang dan Keuangan
Mata uang resmi Lesotho adalah loti (jamak: maloti), dengan kode ISO 4217 LSL. Loti dipatok pada nilai yang sama (1:1) dengan rand Afrika Selatan (ZAR). Rand Afrika Selatan juga diterima secara luas sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh Lesotho dan dapat digunakan secara bergantian dengan loti.
Lesotho adalah anggota Area Moneter Bersama (Common Monetary Area - CMA), bersama dengan Afrika Selatan, Eswatini, dan Namibia. CMA adalah serikat moneter yang memungkinkan pergerakan bebas modal di antara negara-negara anggota dan mempertahankan sistem nilai tukar tetap terhadap rand Afrika Selatan. Bank Sentral Lesotho (Central Bank of Lesotho) bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas harga, mengelola nilai tukar loti, dan mengawasi sistem keuangan negara. Pasar keuangan di Lesotho relatif kecil dan kurang berkembang dibandingkan dengan negara tetangganya, Afrika Selatan.
9. Masyarakat
Masyarakat Lesotho memiliki karakteristik demografi, etnis, bahasa, dan agama yang khas, serta menghadapi berbagai isu sosial termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan. Bagian ini akan mengulas aspek-aspek tersebut dengan fokus pada kondisi sosial dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
9.1. Demografi
Populasi Lesotho diperkirakan sekitar 2 hingga 2,3 juta jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk telah melambat dalam beberapa dekade terakhir, sebagian dipengaruhi oleh tingginya prevalensi HIV/AIDS. Angka kelahiran masih relatif tinggi, tetapi angka kematian juga meningkat akibat HIV/AIDS, yang berdampak pada harapan hidup. Harapan hidup di Lesotho termasuk yang terendah di dunia, sekitar 51 tahun untuk pria dan 55 tahun untuk wanita (data 2016).
Struktur usia penduduk menunjukkan populasi yang muda, dengan sekitar 34,8% penduduk berusia di bawah 15 tahun, dan sekitar 60,2% berusia antara 15 hingga 64 tahun. Tingkat urbanisasi relatif rendah, dengan sekitar 25% penduduk tinggal di daerah perkotaan dan 75% di daerah pedesaan, meskipun laju urbanisasi tahunan sekitar 3,5%. Kepadatan penduduk rata-rata sekitar 74 jiwa per kilometer persegi (data 2017), namun distribusi penduduk tidak merata; sebagian besar penduduk terkonsentrasi di dataran rendah bagian barat yang lebih subur, sementara daerah pegunungan di timur lebih jarang penduduknya. Keterbatasan lahan subur di tengah populasi yang terus bertambah menjadi salah satu faktor pendorong migrasi tenaga kerja ke Afrika Selatan.
9.2. Etnis dan Bahasa

Lesotho adalah salah satu negara yang paling homogen secara etnis di Afrika. Sekitar 99,7% penduduknya adalah etnis Basotho (juga dieja BaSotho), sebuah kelompok etnis berbahasa Bantu. Seorang individu dari etnis ini disebut Mosotho (tunggal), dan secara kolektif disebut Basotho (jamak). Nama negara "Lesotho" sendiri berarti "tanah orang-orang Sotho". Terdapat beberapa sub-kelompok atau klan dalam etnis Basotho, seperti Bafokeng, Batloung, Baphuthi, Bakuena, Bataung, dan Batšoeneng. Sejumlah kecil (sekitar 0,3%) populasi terdiri dari orang-orang Eropa, Asia, dan etnis Afrika lainnya seperti Xhosa dan Matebele.
Bahasa resmi dan nasional Lesotho adalah Sesotho (juga dikenal sebagai Sotho Selatan). Bahasa ini dituturkan oleh lebih dari 90% populasi sebagai bahasa ibu dan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan, dan media. Bahasa Inggris juga merupakan bahasa resmi dan digunakan dalam administrasi pemerintahan, bisnis, dan pendidikan tinggi. Selain itu, bahasa minoritas lain seperti bahasa Zulu juga dituturkan oleh sebagian kecil penduduk, terutama di daerah yang berbatasan dengan wilayah penutur Zulu di Afrika Selatan.
9.3. Agama

Mayoritas penduduk Lesotho, lebih dari 90-95%, menganut agama Kristen. Denominasi Kristen terbesar adalah Gereja Katolik Roma, yang dianut oleh sekitar 45-49,4% populasi. Gereja Katolik memiliki pengaruh signifikan dalam sejarah dan masyarakat Lesotho, terutama dalam bidang pendidikan, dengan mengelola sekitar 75% sekolah dasar dan menengah serta berperan dalam pendirian Universitas Nasional Lesotho. Provinsi gerejawi Katolik di Lesotho terdiri dari Keuskupan Agung Metropolitan Maseru dan tiga keuskupan sufragan (Leribe, Mohale's Hoek, dan Qacha's Nek) yang membentuk konferensi waligereja nasional.
Kelompok Kristen lainnya meliputi Protestan (sekitar 18,2%, termasuk Anglikan sekitar 5,3%), Pentakosta (sekitar 15,4%), dan denominasi Kristen lainnya (sekitar 1,8%). Banyak umat Kristen di Lesotho masih mempraktikkan unsur-unsur kepercayaan tradisional Afrika secara bersamaan dengan ritual Kristen. Misalnya, nyanyian himne dalam kebaktian gereja seringkali telah berkembang menjadi bentuk ritual lokal dan dinyanyikan dalam bahasa Sesotho.
Agama-agama non-Kristen, termasuk Islam (terutama dianut oleh komunitas keturunan Asia di timur laut), Hindu, Buddha, Baha'i, dan kepercayaan adat tradisional, dianut oleh sekitar 1,5% hingga 9,6% populasi, sementara sebagian kecil (sekitar 0,2% hingga 3,5%) menyatakan tidak beragama. Konstitusi Lesotho menjamin kebebasan beragama, dan pemerintah umumnya menghormati hak ini dalam praktiknya. Agama memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Lesotho.
9.4. Pendidikan
Lesotho telah mencapai tingkat melek huruf yang relatif tinggi dibandingkan banyak negara Afrika lainnya. Menurut perkiraan, tingkat melek huruf orang dewasa (usia 15 tahun ke atas) secara keseluruhan adalah sekitar 79,4% hingga 82%. Menariknya, tingkat melek huruf perempuan (sekitar 84,93% hingga 88,3%) lebih tinggi daripada laki-laki (sekitar 67,75% hingga 70,1%). Perbedaan ini sebagian disebabkan oleh peran tradisional anak laki-laki dalam menggembalakan ternak, yang dapat mengganggu partisipasi mereka dalam pendidikan formal. Pemerintah Lesotho menginvestasikan sebagian besar PDB-nya (lebih dari 12%) untuk sektor pendidikan.

Pendidikan dasar di Lesotho tidak diwajibkan secara hukum, namun pemerintah secara bertahap menerapkan program pendidikan dasar gratis untuk meningkatkan angka partisipasi. Sistem pendidikan dikelola bersama oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan) dan tiga gereja utama (Katolik, Evangelis Lesotho, dan Anglikan), yang secara historis memainkan peran besar dalam penyediaan layanan pendidikan. Sistem sekolah dasar terdiri dari enam tingkat yang disebut "standar". Setelah lulus sekolah dasar, siswa dapat melanjutkan ke pendidikan menengah jika memenuhi syarat dan mampu secara finansial.
Menurut sebuah studi oleh Konsorsium Afrika Selatan dan Timur untuk Pemantauan Kualitas Pendidikan (SACMEQ) pada tahun 2000, 37% siswa kelas 6 di Lesotho (rata-rata usia 14 tahun) berada pada atau di atas tingkat membaca 4 ("Membaca untuk Memahami"). Tingkat penggunaan internet masih rendah, sekitar 3,4% populasi menurut data ITU.

Lembaga pendidikan tinggi utama di negara ini adalah Universitas Nasional Lesotho (NUL), yang terletak di Roma, sebuah kota kecil di luar Maseru. Terdapat juga beberapa sekolah kejuruan dan teknik serta institut pelatihan guru. Tantangan utama di sektor pendidikan meliputi kualitas pengajaran, ketersediaan sumber daya yang memadai (terutama di daerah pedesaan), relevansi kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja, dan dampak HIV/AIDS terhadap siswa dan guru. Proyek seperti African Library Project, bekerja sama dengan US Peace Corps Lesotho dan Distrik Pendidikan Butha-Buthe, berupaya mendirikan perpustakaan sekolah dan desa.
9.5. Kesehatan
Status kesehatan masyarakat Lesotho menghadapi tantangan berat, yang tercermin dalam indikator-indikator kesehatan utama. Negara ini termasuk dalam kategori "Pembangunan Manusia Rendah" menurut UNDP. Harapan hidup saat lahir termasuk yang terendah di dunia, sekitar 51 tahun untuk pria dan 55 tahun untuk wanita (data 2016). Angka kematian bayi adalah sekitar 8,3%.
Masalah kesehatan paling mendesak di Lesotho adalah tingginya prevalensi HIV/AIDS. Pada tahun 2018, tingkat prevalensi HIV/AIDS pada orang dewasa (usia 15-49 tahun) adalah 23,6%, tertinggi kedua di dunia setelah Eswatini. Pada tahun 2021, angkanya tercatat 22,8%. Epidemi ini memiliki dampak devastatif terhadap semua aspek kehidupan, termasuk meningkatnya angka kematian, jumlah anak yatim piatu, dan beban berat pada sistem layanan kesehatan. Lesotho juga memiliki insiden tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia, yang seringkali terkait erat dengan infeksi HIV (ko-infeksi HIV/TB).
Sistem layanan kesehatan terdiri dari rumah sakit (terutama di perkotaan), pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), dan klinik. Layanan kesehatan terkonsentrasi di daerah perkotaan dan perbatasan, di mana penduduk dapat mengakses layanan di Afrika Selatan. Pemerintah Lesotho, dengan dukungan dari mitra internasional, telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi HIV/AIDS dan TB, termasuk penyediaan terapi antiretroviral (ART), program pencegahan, dan layanan konseling.
Menurut Sensus Lesotho tahun 2006, sekitar 4% populasi diperkirakan memiliki disabilitas, meskipun angka sebenarnya mungkin lebih mendekati perkiraan global 15% karena potensi masalah metodologi sensus. Sebuah survei oleh Federasi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas Lesotho (LNFOD) bekerja sama dengan SINTEF menemukan bahwa penyandang disabilitas di Lesotho menghadapi hambatan sosial dan budaya yang menghalangi mereka mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan secara setara. Pada 2 Desember 2008, Lesotho menandatangani Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Data WHO menunjukkan bahwa Lesotho memiliki tingkat bunuh diri per kapita tertinggi di dunia sejak tahun 2008.
9.6. Kemiskinan dan Ketidaksetaraan
Kemiskinan dan ketidaksetaraan merupakan tantangan sosial-ekonomi yang signifikan di Lesotho. Sebagian besar penduduk hidup dalam kemiskinan, dengan perkiraan sekitar 40% hingga hampir separuh populasi berada di bawah garis kemiskinan internasional sebesar 1.25 USD per hari. Antara tahun 1995 dan 2003, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan PPP 1.25 USD per hari turun dari 48% menjadi 44%. Negara ini juga memiliki tingkat ketidaksetaraan pendapatan yang tinggi, yang tercermin dalam koefisien Gini yang tinggi (sekitar 54,2 pada tahun 2017).
Penyebab kemiskinan bersifat multidimensi, meliputi keterbatasan lahan subur, produktivitas pertanian yang rendah, tingginya tingkat pengangguran (terutama di kalangan pemuda), dampak epidemi HIV/AIDS yang mengurangi produktivitas dan meningkatkan beban rumah tangga, serta ketergantungan ekonomi pada sektor-sektor yang rentan terhadap fluktuasi eksternal (seperti pengiriman uang dan pendapatan dari SACU). Pola kemiskinan lebih parah di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan.
Kemiskinan dan ketidaksetaraan menyebabkan berbagai masalah sosial, termasuk kerawanan pangan, akses terbatas terhadap layanan dasar seperti pendidikan berkualitas dan perawatan kesehatan, serta peningkatan kerentanan terhadap penyakit. Pemerintah Lesotho, bekerja sama dengan organisasi internasional dan lembaga donor, telah meluncurkan berbagai program dan kebijakan yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketidaksetaraan. Upaya-upaya ini mencakup program jaring pengaman sosial, investasi dalam pembangunan infrastruktur, promosi sektor swasta untuk penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan akses terhadap layanan dasar. Namun, efektivitas dari kebijakan-kebijakan ini seringkali dihadapkan pada tantangan implementasi, keterbatasan sumber daya, dan isu tata kelola.
10. Budaya
Budaya Lesotho kaya akan tradisi yang berakar kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Basotho. Gaya hidup tradisional, pakaian adat, kuliner khas, musik, tarian, festival, dan olahraga membentuk identitas budaya yang unik, meskipun juga mengalami perubahan seiring modernisasi.
10.1. Pakaian Tradisional dan Kerajinan
Pakaian tradisional yang paling ikonik di Lesotho adalah selimut Basotho (Basotho blanket). Selimut tebal ini, awalnya terbuat dari wol tetapi kini banyak dibuat dari serat akrilik, dikenakan oleh pria dan wanita sebagai pakaian luar untuk kehangatan dan sebagai simbol status atau identitas. Setiap desain selimut memiliki makna dan nama tersendiri. Produsen utama selimut Basotho adalah Aranda, yang memiliki pabrik di Afrika Selatan.

Selain selimut, mokorotlo adalah topi jerami berbentuk kerucut yang khas dan menjadi simbol nasional Lesotho. Topi ini bahkan digambarkan pada bendera Lesotho saat ini dan bendera pertama (1966-1987). Mokorotlo biasanya dipakai oleh pria dan melambangkan identitas Basotho.

Kerajinan tangan tradisional Lesotho juga beragam, meliputi tembikar yang indah, anyaman keranjang yang rumit dari rumput lokal, serta ukiran kayu dan perhiasan manik-manik. Kerajinan ini tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dijual sebagai suvenir bagi wisatawan.
10.2. Kuliner
Kuliner Lesotho mencerminkan tradisi Afrika dengan beberapa pengaruh Inggris. Makanan pokok utama adalah papa (juga dikenal sebagai mealies atau pap-pap), sejenis bubur kental yang terbuat dari tepung jagung. Papa biasanya disajikan dengan saus yang terbuat dari sayuran (disebut moroho) atau daging. Motoho adalah hidangan nasional berupa bubur sorgum yang difermentasi. Makanan tradisional lainnya termasuk leqebekoane (roti kukus), nama (daging), dan berbagai hidangan yang menggunakan produk lokal seperti labu, kacang-kacangan, dan sayuran hijau.
Minuman yang populer adalah teh dan bir lokal yang diseduh secara tradisional. Lesotho juga terkenal dengan bir jahe fermentasi, yang sering dijual di pinggir jalan. Sishenyama (daging panggang atau barbeku) juga populer dan sering disajikan dengan lauk seperti salad kubis, papa, dan salad kacang panggang. Etiket makan Lesotho umumnya bersifat komunal, dengan makanan seringkali dibagikan dari piring bersama.
10.3. Musik dan Festival
Musik dan tarian tradisional memainkan peran penting dalam budaya Basotho. Alat musik tradisional meliputi lekolulo (sejenis seruling yang dimainkan oleh anak laki-laki penggembala), setolo-tolo (alat musik yang dimainkan menggunakan mulut oleh pria), dan thomo (alat musik gesek yang dimainkan oleh wanita). Nyanyian dan tarian seringkali bersifat partisipatif dan digunakan dalam berbagai upacara adat, perayaan, dan acara sosial.
Salah satu festival budaya dan seni terbesar di Lesotho adalah Festival Seni dan Budaya Morija (Morija Arts & Cultural Festival). Diadakan setiap tahun di kota bersejarah Morija (tempat para misionaris pertama kali tiba pada tahun 1833), festival ini menampilkan musik, tarian, drama, pameran seni, dan pembacaan puisi, menarik peserta dan pengunjung dari seluruh negeri dan luar negeri. Musik populer kontemporer, termasuk genre seperti famo (musik akordeon) dan hip-hop lokal, juga berkembang pesat di Lesotho. Lagu kebangsaan Lesotho adalah "Lesotho Fatše La Bontat'a Rona" (Lesotho, Tanah Leluhur Kami).
10.4. Olahraga
Olahraga paling populer di Lesotho adalah sepak bola. Liga domestik utama adalah Liga Utama Lesotho, dan tim nasional sepak bola Lesotho berpartisipasi dalam kompetisi regional dan internasional, meskipun belum pernah lolos ke putaran final Piala Dunia FIFA atau Piala Negara-Negara Afrika. Olahraga populer lainnya termasuk atletik (terutama lari jarak jauh, mengingat kondisi dataran tinggi Lesotho), tinju, dan bola jaring. Olahraga tradisional seperti balap kuda (menggunakan poni Basotho yang tangguh) juga masih populer di beberapa daerah.
10.5. Media dan Film
Media di Lesotho terdiri dari penyiaran milik negara (LNBS yang mengoperasikan radio dan televisi), stasiun radio swasta, dan beberapa surat kabar (baik milik negara maupun swasta). Tingkat kebebasan pers bervariasi dan terkadang menghadapi tantangan.
Industri film di Lesotho masih dalam tahap perkembangan. Namun, beberapa karya film dan sutradara Lesotho mulai mendapatkan perhatian internasional. Sutradara film Amerika Ryan Coogler menyatakan bahwa penggambarannya tentang Wakanda dalam film Black Panther (2018) terinspirasi oleh Lesotho. Film This Is Not a Burial, It's a Resurrection (2019), yang disutradarai oleh Lemohang Jeremiah Mosese, menjadi film Lesotho pertama yang diajukan untuk Academy Award untuk Film Internasional Terbaik pada November 2020 dan meraih pujian kritis di berbagai festival film internasional.
10.6. Situs Warisan Dunia
Lesotho memiliki satu Situs Warisan Dunia UNESCO, yaitu Taman Maloti-Drakensberg. Situs ini merupakan properti lintas batas yang dibagi bersama Afrika Selatan dan terdaftar sebagai situs warisan campuran (alam dan budaya) pada tahun 2013 (perluasan dari situs uKhahlamba Drakensberg Park di Afrika Selatan yang terdaftar pada tahun 2000). Bagian Lesotho dari taman ini adalah Taman Nasional Sehlabathebe. Taman ini diakui karena keindahan alamnya yang luar biasa, termasuk pegunungan basal yang dramatis, padang rumput alpin, dan keanekaragaman hayati yang unik dengan banyak spesies endemik. Selain itu, taman ini juga memiliki nilai budaya yang tinggi karena merupakan rumah bagi ribuan situs seni cadas suku San, yang memberikan wawasan tentang kehidupan dan kepercayaan masyarakat pemburu-pengumpul yang pernah mendiami wilayah tersebut. Upaya konservasi terus dilakukan untuk melindungi nilai alam dan budaya situs ini.
11. Transportasi
Sebagai negara yang terkurung daratan dan bergunung-gunung, sistem transportasi Lesotho menghadapi tantangan unik. Infrastruktur transportasi utama terdiri dari jaringan jalan darat, beberapa bandara, dan satu jalur kereta api pendek yang terhubung dengan Afrika Selatan.
11.1. Transportasi Darat
Jaringan jalan darat adalah tulang punggung sistem transportasi di Lesotho. Panjang total jaringan jalan terus berkembang, namun kondisi jalan bervariasi; beberapa jalan arteri utama telah diaspal dan dalam kondisi baik, sementara banyak jalan di daerah pedesaan dan pegunungan masih berupa jalan tanah atau kerikil yang sulit dilalui, terutama saat cuaca buruk. Jalan-jalan arteri utama menghubungkan ibu kota Maseru dengan pusat-pusat distrik dan titik-titik lintas batas dengan Afrika Selatan. Salah satu jalur pegunungan yang terkenal adalah Sani Pass, yang menghubungkan Lesotho dengan provinsi KwaZulu-Natal di Afrika Selatan, meskipun jalur ini memerlukan kendaraan 4x4.
Transportasi umum utama terdiri dari bus dan taksi minibus (sering disebut "taxi" atau "four-plus-one"). Layanan ini menghubungkan berbagai kota dan desa di seluruh negeri, meskipun kenyamanan dan keandalannya dapat bervariasi. Masalah keselamatan jalan raya menjadi perhatian karena kondisi jalan, perilaku pengemudi, dan kondisi kendaraan.
11.2. Transportasi Udara
Transportasi udara di Lesotho dilayani oleh beberapa bandara dan landasan udara. Bandara internasional utama adalah Bandar Udara Internasional Moshoeshoe I, yang terletak di Mazenod, sekitar 18 km tenggara Maseru. Bandara ini melayani penerbangan domestik terbatas dan rute internasional, terutama ke Johannesburg, Afrika Selatan, yang berfungsi sebagai hub utama untuk koneksi lebih lanjut. Terdapat juga beberapa landasan udara kecil yang tersebar di seluruh negeri, seperti Bandar Udara Matekane, yang melayani daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau melalui darat, serta digunakan untuk layanan medis darurat dan pariwisata. Peran transportasi udara penting untuk menghubungkan Lesotho dengan dunia luar dan untuk akses ke daerah-daerah pegunungan yang terisolasi. Terdapat sekitar 28 bandara/landasan udara di Lesotho.
11.3. Transportasi Kereta Api
Lesotho memiliki sistem transportasi kereta api yang sangat terbatas. Hanya ada satu jalur kereta api yang beroperasi, yaitu ruas pendek sepanjang sekitar 1 km (sumber lain menyebutkan 2.6 km) yang menghubungkan Maseru dengan jaringan kereta api Afrika Selatan di Bloemfontein. Jalur ini utamanya digunakan untuk angkutan barang. Keterbatasan ini berarti transportasi kereta api tidak memainkan peran signifikan dalam sistem transportasi penumpang domestik atau angkutan barang internal di Lesotho.