1. Gambaran Umum
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (شيخ ٱحمد خاطب بن عبدالطيف الميننكاباويBahasa Arab, lahir pada 26 Juni 1860 atau 6 Dzulhijjah 1276 Hijriyah, meninggal pada 9 Oktober 1915 atau 9 Jumadil Awal 1334 Hijriyah) adalah seorang ulama besar dan guru besar Islam terkemuka asal Minangkabau, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Ia dikenal luas karena menjabat sebagai Imam Besar dan Khatib di Masjidil Haram, Mekah, serta mufti untuk mazhab Syafii pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kontribusi intelektualnya mencakup upayanya untuk mendamaikan sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau dengan hukum waris yang ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Ia merupakan guru bagi banyak pemimpin reformis Islam di Indonesia, termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
2. Kehidupan Awal
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi melalui masa kecil dan pendidikan dasarnya di tanah kelahirannya di Minangkabau, sebelum kemudian menempuh perjalanan pendidikan mendalam hingga ke Mekah.
2.1. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Ahmad Khatib lahir dengan nama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Minangkabawi al-Jawi al-Makki asy-Syafi'i al-Asy'ari. Ia dilahirkan pada hari Senin, 26 Juni 1860 Masehi (atau 6 Dzulhijjah 1276 Hijriyah) di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda. Ada juga sumber yang menyebutkan tempat kelahirannya di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia adalah putra dari pasangan Abdul Lathif Khatib dan Limbak Urai. Kakeknya, Abdullah, adalah seorang ulama yang disegani di Koto Tuo dan ditunjuk sebagai imam serta khatib oleh masyarakat setempat. Sejak kecil, Ahmad Khatib juga sering dipanggil dengan julukan "Ahmad Kecil".
q=Koto Tuo, Ampek Angkek, Agam, Sumatera Barat|position=right
2.2. Pendidikan
Ketika masih tinggal di kampung halamannya, Ahmad Khatib sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah dasar dan kemudian melanjutkan studinya di Kweekschool (Sekolah Guru) di Bukittinggi, Sumatera. Ia berhasil menamatkan pendidikannya di Kweekschool pada tahun 1871 Masehi. Selain pendidikan formal, Ahmad kecil juga belajar mabadi' (dasar-dasar) ilmu agama dan hafalan Al-Qur'an dari sang ayah, Abdul Lathif.
Pada tahun 1287 Hijriyah, Ahmad diajak oleh ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai, Abdul Lathif kembali ke Sumatera Barat, sementara Ahmad memutuskan untuk tetap tinggal di Mekah. Di kota suci tersebut, ia melanjutkan pendalaman ilmu agamanya dari para ulama terkemuka, terutama yang mengajar di Masjidil Haram.
Selama di Mekah, Ahmad Khatib menimba ilmu dari sejumlah guru besar, di antaranya Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha al-Makki asy-Syafi'i, Utsman bin Muhammad Syatha al-Makki asy-Syafi'i, Bakri bin Muhammad Zainul 'Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi'i, Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (seorang mufti Syafii di Mekah), Yahya Al Qalyubi, dan Muhammad Shalih al-Kurdi. Selain mendalami ilmu agama, Ahmad Khatib juga mempelajari berbagai disiplin ilmu umum seperti matematika, fisika, dan bahasa Inggris.
3. Karier Keagamaan dan Aktivitas
Karier keagamaan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ditandai dengan perannya sebagai ulama, guru, dan pemimpin spiritual, terutama posisinya yang sangat berpengaruh di Masjidil Haram dan dampaknya terhadap tokoh-tokoh Islam terkemuka di Indonesia.
3.1. Imam Besar Masjidil Haram
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dilantik menjadi imam, khatib, dan staf pengajar di Masjidil Haram berkat tingkat keilmuannya yang tinggi. Terdapat dua versi mengenai sebab pengangkatannya sebagai Imam dan khatib utama Masjidil Haram. Versi pertama, yang dicatat oleh Umar 'Abdul Jabbar dalam kamus biografinya Siyar wa Tarajim, menyatakan bahwa jabatan tersebut diperoleh berkat permintaan Shalih al-Kurdi, sang mertua, kepada Syarif Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Ahmad Khatib.
Versi kedua, yang dicatat oleh Hamka dalam bukunya Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, mengisahkan bahwa suatu ketika Ahmad Khatib mengikuti salat berjamaah yang diimami langsung oleh Syarif Aunur Rafiq. Di tengah salat, terdapat bacaan Rafiq yang keliru, dan Ahmad Khatib, sebagai makmum, memberanikan diri untuk membetulkan bacaan tersebut. Setelah salat selesai, Rafiq bertanya siapa yang telah memperbaiki bacaannya. Ahmad Khatib kemudian ditunjukkan kepada Rafiq, dan ternyata ia adalah menantu dari sahabat karibnya, Shalih al-Kurdi, yang dikenal akan kesalehan dan kecerdasannya. Terlepas dari perbedaan kisah tersebut, Syarif Aunur Rafiq akhirnya mengangkat Ahmad Khatib sebagai Imam dan Khatib Masjidil Haram untuk mazhab Syafii.
3.2. Aktivitas Mengajar dan Pengaruh
Sebagai Imam Besar Masjidil Haram, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga menjadi seorang pendidik yang sangat berpengaruh. Ia mengajarkan fikih Mazhab Syafii kepada banyak murid dari berbagai penjuru Nusantara, menjadikan beliau sebagai tiang tengah dari mazhab Syafii di dunia Islam pada awal abad ke-20. Banyak dari murid-muridnya ini kemudian menjadi ulama besar dan pemimpin reformis Islam di Indonesia.
Murid-murid terkenalnya antara lain:
- Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayah dari Hamka.
- Syaikh Muhammad Jamil Jambek dari Bukittinggi.
- Sulaiman Ar-Rasuli, pendiri PERTI.
- Muhammad Jamil Jaho.
- Syaikh Abbas Qadhi.
- Syaikh Abbas Abdullah.
- Syaikh Khatib Ali.
- Syaikh Ibrahim Musa.
- Musthafa Husein al-Mandili.
- Syaikh Hasan Maksum.
- Dua muridnya yang paling menonjol adalah Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Melalui pengajarannya, Syeikh Ahmad Khatib memiliki pengaruh signifikan terhadap gerakan reformasi Islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat menaruh perhatian terhadap pencerahan dan pencerdasan umat.
4. Pandangan dan Gagasan Intelektual
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang intelektual yang mendalam, pandangannya mencakup teologi, hukum Islam, serta kontribusi keilmuan dalam berbagai bidang.
4.1. Harmonisasi Tradisi dan Hukum Islam
Meskipun Syeikh Ahmad Khatib adalah seorang Muslim Sunni yang ortodoks, ia sangat peduli untuk mendamaikan sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau dengan hukum waris yang ditetapkan dalam Al-Qur'an. Sistem matrilineal ini, yang mengatur garis keturunan dan pewarisan harta berdasarkan pihak ibu, dipandang oleh Ahmad Khatib seringkali bertentangan dengan ketentuan waris dalam Islam.
Melalui murid-murid Minangkabau yang belajar langsung di Mekah maupun mereka yang diajarnya di Indonesia, ia mendorong modifikasi dan adaptasi budaya Minangkabau agar selaras dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah. Perhatiannya yang tinggi terhadap hukum waris (mawarits) membawa pembaharuan dalam adat Minangkabau yang menyimpang dari prinsip Islam. Sikap reformis inilah yang membuatnya semakin dikenal.
4.2. Kritik dan Perdebatan Akademis
Syeikh Ahmad Khatib dikenal sebagai kritikus tajam terhadap pemikiran ulama sezamannya, terutama ulama-ulama Jawi (istilah untuk ulama Nusantara pada abad ke-17 dan abad ke-18 yang banyak menulis dalam huruf Jawi dan bahasa Melayu klasik). Ia mengkritik beberapa karya mereka yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam yang ortodoks. Misalnya, ia mengoreksi pernyataan yang ditemukan dalam beberapa literatur Jawi bahwa Nabi Muhammad adalah "leluhur roh segala sesuatu" sementara Adam adalah "leluhur fisik segala sesuatu", dengan menegaskan pandangan ortodoks bahwa pena (qalam) adalah ciptaan pertama Allah.
Ahmad Khatib juga mengulas ajaran agama lain, seperti yang tercermin dalam karyanya Irsyadul hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Dalam kitab ini, ia menulis sanggahan terhadap doktrin Tritunggal dalam agama Kristen, yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang mengaburkan.
Selain dalam bidang teologi dan fikih, Syeikh Ahmad Khatib adalah seorang ilmuwan yang menguasai berbagai disiplin ilmu lainnya. Ia pakar dalam ilmu falak (astronomi), yang digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari, perkiraan waktu salat, gerhana bulan dan gerhana matahari, serta posisi bintang-bintang tsabitah (bintang tetap) dan sayyarah (planet), serta galaksi. Keahliannya juga meluas pada geometri dan trigonometri, yang berfungsi untuk meramal dan menentukan arah kiblat, mengetahui putaran bumi, dan membuat kompas yang berguna dalam pelayaran. Hasil kajiannya dalam bidang geometri ini dituangkan dalam karyanya berjudul Raudat al-Hussab dan 'Alam al-Hussab. Ia juga mahir dalam aljabar dan logika.
5. Kehidupan Pribadi
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memiliki kehidupan pribadi yang juga patut diperhatikan, terutama dalam hal pernikahan, keluarga, dan perannya sebagai ayah.
5.1. Pernikahan dan Anak
Selama tinggal di Mekah, Ahmad Khatib sering mengunjungi toko buku milik seorang pria bernama Shalih al-Kurdi. Shalih al-Kurdi tertarik dengan kepribadian dan kecerdasan Ahmad Khatib, lalu menikahkannya dengan salah satu putrinya yang bernama Khadijah, sebagaimana dicatat oleh Hamka dalam Tafsir Al-Azhar. Dari pernikahannya dengan Khadijah, Ahmad Khatib dikaruniai seorang putra bernama Abdul Karim (lahir 1300 H / 1883 M, meninggal 1357 H / 1938 M). Namun, pernikahan ini tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia tak lama kemudian.
Setelah Khadijah wafat, Shalih al-Kurdi meminta Ahmad Khatib untuk menikahi putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Dari pernikahannya dengan Fathimah, Ahmad Khatib dikaruniai beberapa orang anak, di antaranya:
- Abdul Malik, yang kemudian menjadi ketua redaksi koran Al Qiblah dan menempati kedudukan tinggi di al-Hasyimiyyah (Yordania).
- Abdul Hamid, seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan. Ia pernah menjadi staf pengajar di Masjidil Haram dan menjadi Duta Besar pertama Arab Saudi untuk Pakistan. Ia juga dikenal sebagai penulis Tafsir Al Khathib Al Makki dan Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu 'alaihi wa sallam, al-Imam al-Adil.
Ahmad Khatib digambarkan sebagai seorang ayah yang baik dan agamais. Ia secara langsung mengajarkan pendidikan Al-Qur'an dan ilmu-ilmu keislaman kepada putra-putranya, dan dikatakan turut mewariskan ilmu pengetahuannya kepada mereka. Cucunya, Fuad Abdul Hamid al-Khathib, juga menjadi tokoh penting sebagai Duta Besar Saudi, seorang humanitarian, penulis, dan pengusaha. Sebagai diplomat, ia mewakili Arab Saudi di Pakistan, Irak, Amerika Serikat, Nigeria, Turki, Bangladesh, Nepal, dan terakhir sebagai duta besar untuk Malaysia.
6. Karya Tulis
Sepanjang hidupnya, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menulis sekitar 49 buku dan risalah yang membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Karya-karyanya ini banyak tersebar hingga ke wilayah Suriah, Turki, dan Mesir.
6.1. Karya dalam Bahasa Arab
Berikut adalah daftar beberapa karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab:
- Hasyiyah An Nafahat 'ala Syarhil Waraqat lil Mahalli (diselesaikan 20 Ramadhan 1306 H, tentang ushul fikih)
- Al Jawahirun Naqiyyah fil A'malil Jaibiyyah (diselesaikan Senin 28 Dzulhijjah 1303 H, tentang ilmu Miqat)
- Ad Da'il Masmu' 'ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma'a Wujudil Ushul wal Furu
- Raudhatul Hussab (diselesaikan Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Mekah, tentang matematika dan aljabar)
- Mu'inul Jaiz fi Tahqiq Ma'nal Jaiz
- As Suyuf wal Khanajir 'ala Riqab Man Yad'u lil Kafir
- Al Qaulul Mufid 'ala Mathla'is Sa'id
- An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
- Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
- Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
- Al 'Umad fi Man'il Qashr fi Masafah Jiddah
- Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh'il Yad Ma'a Tathawuliz Zaman
- Hallul 'Uqdah fi Tashhihil 'Umdah
- Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
- Kasyful 'Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal 'Ain
- As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba'dhil Aghrar
- Al Mawa'izh Al Hasanah Liman Yarghab minal 'Amal Ahsanah
- Raf'ul Ilbas 'an Hukmil Anwat Al Muta'amil Biha Bainan Nas
- Iqna'un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi 'Amalatil Fulus
- Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata'allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
- Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
- Tanbihul Anam fir Radd 'ala Risalah Kaffil 'Awwam, (sebuah kitab bantahan untuk risalah Kafful 'Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy'ari yang melarang kaum muslimin untuk bergabung di SI)
- Hasyiyah Fathul Jawwad (5 jilid)
- Fatawa Al Khathib 'ala Ma Warada 'Alaih minal Asilah
- Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin 'Abdil Lathif
6.2. Karya dalam Bahasa Indonesia dan Melayu
Berikut adalah daftar beberapa karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu:
- Mu'allimul Hussab fi 'Ilmil Hisab
- Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi'i
- Al Manhajul Masyru' fil Mawarits
- Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra' dan Mi'raj
- Shulhul Jama'attain fi Jawaz Ta'addudil Jumu'attain
- Al Jawahir Al Faridah fi Ajwibah Al Mufidah
- Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
- Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man 'Alaih Qadhaish Shalawat
- Husnud Difa' fin Nahy 'anil Ibtida
- Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
- Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
- Izhhar Zughalil Kadzibin
- Al Ayat Al Bayyinat fi Raf'il Khurafat
- Al Aksara Jawi|Jawi fin Nahw
- Sulamun Nahw
- Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
- Asy Syumus Al Lami'ah fir Rad 'ala Ahlil Maratib As Sab'ah
- Sallul Hussam li Qath'i Thuruf Tanbihil Anam
- Al Bahjah fil A'malil Jaibiyyah
- Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
- Fatawa Al Khathib (terjemahan versi bahasa Melayu)
7. Kematian
Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi meninggal dunia pada tanggal 9 Oktober 1915 Masehi (atau 9 Jumadil Awal 1334 Hijriyah) di Mekah, Arab Saudi.
8. Warisan
Warisan intelektual dan spiritual Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memiliki dampak jangka panjang yang signifikan terhadap perkembangan Islam, pendidikan, dan gerakan sosial di Indonesia. Sebagai seorang Imam Besar dan guru di Masjidil Haram, ia melahirkan banyak ulama besar yang kemudian menjadi pionir dalam reformasi Islam di Nusantara. Murid-muridnya seperti Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari adalah bukti nyata dari pengaruhnya, yang kemudian mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Kontribusinya dalam harmonisasi tradisi lokal Minangkabau dengan hukum waris Islam, serta kritik tajamnya terhadap pemahaman yang dianggap menyimpang, menunjukkan komitmennya terhadap kemurnian ajaran Islam dan modernisasi berpikir. Keahliannya dalam ilmu-ilmu seperti astronomi dan geometri juga mencerminkan pandangannya yang luas tentang ilmu pengetahuan dalam bingkai Islam. Untuk menghormati jasa-jasanya, nama Syeikh Ahmad Khatib diabadikan sebagai nama Masjid Raya Sumatera Barat.