1. Gambaran Umum
Mohammed V adalah tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Maroko dan dikenal sebagai pemimpin yang berani membela kedaulatan bangsanya di tengah tekanan kolonial. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan Prancis dan berhasil memimpin negaranya menuju kemerdekaan. Selain perannya dalam perjuangan kemerdekaan, Mohammed V juga diakui atas kontribusinya dalam menjaga persatuan nasional dan, yang paling menonjol, upayanya untuk melindungi komunitas Yahudi Maroko selama Perang Dunia II dari penganiayaan rezim Vichy, menunjukkan komitmennya terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Setelah kemerdekaan, ia memimpin Maroko dalam transisi menuju negara berdaulat, meletakkan dasar bagi demokrasi multipartai dan institusi negara modern. Meskipun menghadapi tantangan domestik dan regional, warisannya sebagai pemimpin yang memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan tetap kuat dalam sejarah Maroko.
2. Biografi
Mohammed V, yang memiliki nama lengkap Mohammed al-Khamis bin Yusef bin Hassan al-Alawi, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kerajaan di bawah protektorat Prancis. Perjalanannya dari seorang sultan muda menjadi raja pertama Maroko dan pahlawan kemerdekaan ditandai dengan perubahan signifikan dalam kebijakannya yang semakin pro-nasionalis.
2.1. Masa Muda dan Pendidikan

Sidi Mohammed bin Yusef lahir pada 10 Agustus 1909 di Fes dan merupakan putra ketiga dari ayahnya. Pada Maret 1912, Perjanjian Fes ditandatangani, mengubah Maroko menjadi protektorat Prancis setelah invasi Prancis dari barat dan timur, yang akhirnya mengarah pada penaklukan ibu kota, Fes.
Sidi Mohammed memulai pendidikannya di rumah, di dalam kompleks istana qasr al-amami (istana depan) di Fes. Di sana, ia belajar membaca dan menulis serta menerima pelajaran Al-Qur'an pertama. Ketika ayahnya, Yusef, menetapkan Rabat sebagai ibu kota kerajaan dan pusat administrasi, Sidi Mohammed dipindahkan ke sana bersama sebagian besar saudara-saudaranya. Di Rabat, ia melanjutkan pendidikan di rumah dengan guru-guru privat. Ia belajar Al-Qur'an hingga menjadi seorang hafiz, setelah itu ia memulai pembelajaran akademiknya. Ia belajar Bahasa Arab dan Bahasa Prancis, dengan ayahnya menunjuk guru-guru khusus untuk tugas ini. Mohammed Mammeri, salah satu gurunya, sangat memperhatikan pendidikan bahasa Prancisnya dan kemudian tetap melayaninya sebagai kepala protokol. Sidi Mohammed kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah umum di Rabat.
2.2. Awal Pemerintahan dan Kebijakan
Mohammed V adalah salah satu putra Sultan Yusef dan Yaqut. Pada 18 November 1927, Mohammed bin Yusef yang berusia 17 tahun dinobatkan sebagai sultan setelah ayahnya meninggal dunia dan Hubert Lyautey pergi. Ia digambarkan sebagai sosok yang "muda dan pemalu" saat naik takhta.
Pada awal pemerintahannya, otoritas kolonial Prancis mendorong kebijakan "pribumi" yang lebih tegas. Pada 16 Mei 1930, Sultan Muhammad V menandatangani Berber Dahir, sebuah dekret yang mengubah sistem hukum di beberapa wilayah Maroko yang didominasi penutur Bahasa Berber (Bled es-Siba), sementara sistem hukum di wilayah lain (Bled al-Makhzen) tetap seperti sebelum invasi Prancis. Meskipun sultan tidak berada di bawah paksaan langsung, ia baru berusia 20 tahun saat menandatangani dekret tersebut. Dahir ini "membangkitkan semangat bangsa"; dahir ini dikritik keras oleh nasionalis Maroko dan menjadi katalis bagi gerakan nasionalis Maroko.
2.3. Selama Perang Dunia II dan Upaya Melindungi Yahudi

Sultan Muhammad V berpartisipasi dalam Konferensi Anfa yang diselenggarakan di Casablanca selama Perang Dunia II. Pada 22 Januari 1943, ia bertemu secara pribadi dengan Presiden AS Franklin Delano Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Dalam pertemuan ini, Roosevelt meyakinkan sultan bahwa "situasi pasca-perang dan pra-perang akan... sangat berbeda, terutama terkait masalah kolonial." Putra sulung sultan yang berusia 14 tahun dan calon Raja Maroko, Hassan II, juga hadir dan kemudian menyatakan bahwa Roosevelt berkata, "Sepuluh tahun dari sekarang negaramu akan merdeka."
Mengenai upaya Mohammed V dalam melindungi Yahudi Maroko selama Holocaust, ada berbagai pendapat. Namun, sebagian besar cendekiawan menekankan kemurahan hati Mohammed V terhadap orang Yahudi selama era Vichy. Mohammed dilaporkan menolak untuk menandatangani upaya pejabat Vichy untuk memberlakukan undang-undang anti-Yahudi di Maroko dan mendeportasi 250.000 orang Yahudi di negara itu ke kamp-kamp konsentrasi dan pemusnahan di Eropa. Sikap sultan didasarkan pada "penghinaan yang ditimbulkan oleh diktat Vichy terhadap klaim kedaulatannya atas semua rakyatnya, termasuk orang Yahudi, dan juga pada naluri kemanusiaannya." Meskipun demikian, langkah-langkah rasial Nazi sebagian diberlakukan di Maroko meskipun Mohammed menentang, dan Mohammed memang menandatangani, di bawah instruksi pejabat Vichy, dua dekret yang melarang orang Yahudi dari sekolah dan posisi tertentu.
Namun demikian, Mohammed sangat dihormati oleh orang Yahudi Maroko yang memujinya karena melindungi komunitas mereka dari pemerintah Nazi dan Prancis Vichy. Mohammed V telah dihormati oleh organisasi Yahudi atas perannya dalam melindungi rakyatnya yang Yahudi selama Holocaust. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa peran anti-Nazi Mohammed telah dilebih-lebihkan; sejarawan Michel Abitol menulis bahwa meskipun Mohammed V dipaksa oleh pejabat Vichy untuk menandatangani dekret anti-Yahudi, "ia lebih pasif daripada Moncef Bey (penguasa Tunisia selama Perang Dunia Kedua) karena ia tidak memihak dan tidak melakukan tindakan publik yang dapat diartikan sebagai penolakan terhadap kebijakan Vichy."
2.4. Perjuangan Kemerdekaan

Sultan Mohammad adalah tokoh sentral dalam gerakan kemerdekaan di Maroko, yang juga dikenal sebagai Revolusi Raja dan Rakyat (ثورة الملك والشعبBahasa Arab). Gerakan nasionalis Maroko ini tumbuh dari protes terkait Berber Dahir pada 16 Mei 1930. Ia awalnya kritis terhadap gerakan-gerakan awal untuk reformasi administrasi kolonial Prancis di Maroko, sebelum kemudian menjadi pendukung kemerdekaan.
Posisi sentralnya dalam Proklamasi Kemerdekaan Maroko semakin meningkatkan citranya sebagai simbol nasional. Pada 9 dan 10 April 1947, ia menyampaikan dua pidato penting secara berurutan di Mendoubia dan Masjid Agung Tangier, yang secara bersama dikenal sebagai Pidato Tangier. Dalam pidatonya, ia menyerukan kemerdekaan Maroko tanpa menyebut secara spesifik kekuatan kolonial. Pidatonya juga menyerukan persatuan Arab dan keanggotaan Maroko dalam Liga Arab yang didirikan pada tahun 1945, di mana ia memuji dan menekankan hubungan erat antara Maroko dan negara-negara Arab lainnya.
Pendekatan antara monarki dan gerakan nasionalis, meskipun memiliki proyek yang berbeda, dapat dijelaskan, menurut sejarawan Bernard Cubertafond, oleh fakta bahwa "masing-masing pihak membutuhkan yang lain: gerakan nasional melihat popularitas raja yang berkembang dan emansipasinya yang hati-hati tetapi bertahap dari protektor yang, pada kenyataannya, meninggalkan perjanjian tahun 1912 untuk beralih ke administrasi langsung; raja tidak dapat, kecuali untuk mendiskreditkan dirinya sendiri, memisahkan diri dari gerakan nasionalis yang menyatukan kekuatan hidup negaranya dan elit mudanya, dan ia membutuhkan kekuatan protes ini untuk memaksakan perubahan pada Prancis."
Sejak saat itu, hubungan dengan otoritas Prancis menjadi tegang, khususnya dengan Residen Jenderal yang baru, Jenderal Alphonse Juin, yang menerapkan langkah-langkah keras dan menekan sultan untuk menarik kembali pernyataan Istiqlal dan menjauhkan diri dari tuntutan nasionalis. Perpecahan dengan Prancis terjadi pada tahun 1951, dan Sidi Mohammed menyimpulkan dengan para nasionalis sebuah pakta di Tangier untuk memperjuangkan kemerdekaan. Penunjukan Residen Jenderal baru, Jenderal Augustin Guillaume, semakin memperburuk perselisihan antara Mohammed dan Prancis. Demonstrasi lebih lanjut berubah menjadi kerusuhan di Maroko pada tahun 1952, terutama di Casablanca, sementara Sidi Mohammed mengangkat isu Maroko ke tingkat internasional di UN dengan dukungan Amerika Serikat.
2.5. Pencopotan dan Pengasingan
Pada 20 Agustus 1953 (malam Iduladha), otoritas kolonial Prancis memaksa Mohammed V, yang merupakan simbol nasional penting dalam gerakan kemerdekaan Maroko yang sedang tumbuh, untuk mengasingkan diri ke Korsika bersama keluarganya. Sepupu pertamanya, Mohammed Ben Aarafa, yang dijuluki "sultan Prancis," dijadikan monarki boneka dan ditempatkan di takhta. Sebagai tanggapan, Muhammad Zarqtuni membom Pasar Sentral Casablanca pada Malam Natal tahun itu.
Mohammed dan keluarganya kemudian dipindahkan ke Madagaskar pada Januari 1954. Mohammed kembali dari pengasingan pada 16 November 1955, dan kembali diakui sebagai Sultan setelah adanya perlawanan aktif terhadap protektorat Prancis. Kepulangannya yang penuh kemenangan bagi banyak orang merupakan tanda berakhirnya era kolonial. Situasi menjadi begitu tegang sehingga pada tahun 1955, para nasionalis Maroko, yang mendapat dukungan dari Libya, Aljazair (dengan FLN), dan Mesir (di bawah Gamal Abdel Nasser), memaksa pemerintah Prancis untuk bernegosiasi dan memanggil kembali sultan. Pada Februari 1956, ia berhasil bernegosiasi dengan Prancis dan Spanyol untuk kemerdekaan Maroko.
2.6. Pemulihan dan Pemerintahan Pasca-Kemerdekaan

Setelah kembali dari pengasingan, Mohammed V mengambil alih kepemimpinan penuh. Pada tahun 1957, ia mengambil gelar Raja Maroko, untuk melambangkan persatuan negara meskipun ada perbedaan antara Arab dan Berber. Dalam hal kebijakan domestik, sekembalinya ia mengizinkan kongres pertama Istiqlal, yang membentuk berbagai pemerintahan di bawah pemerintahannya. Ia mengizinkan pembentukan serikat pekerja, tetapi gejolak dan pemogokan menyebabkan ia mengambil kekuasaan penuh pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya.

Kunjungan kenegaraannya ke Amerika Serikat pada tahun yang sama "memperkuat posisinya sebagai satu-satunya perwakilan sah kerajaan". Dengan cara ini, ia berhasil menggantikan anggota gerakan nasionalis di panggung global dan mengubah perjalanannya menjadi keberhasilan publisitas yang besar. Kunjungan ini menandai upaya strategis untuk menyelaraskan Maroko secara erat dengan AS, menunjukkan pentingnya monarki di panggung global. Ia menggunakan berbagai teknik untuk memproyeksikan otoritas kerajaan, seperti secara pribadi mengucapkan terima kasih kepada mantan pendukung gerakan nasionalis atas nama rakyat Maroko. Mohammed V juga bertindak sebagai pelindung Pertemuan Internasional, konferensi tentang isu-isu kontemporer dan dialog antaragama yang diselenggarakan di biara Toumliline Benediktin yang menarik para cendekiawan dan intelektual dari seluruh dunia.
Mohammed V mendukung Front Pembebasan Nasional (FLN) Aljazair dalam perjuangan kemerdekaan Aljazair dan menawarkan untuk memfasilitasi partisipasi para pemimpin FLN dalam konferensi dengan Habib Bourguiba di Tunis. Pada 22 Oktober 1956, pasukan Prancis membajak sebuah pesawat Maroko yang membawa para pemimpin FLN selama Perang Aljazair yang sedang berlangsung. Pesawat itu, yang membawa Ahmed Ben Bella, Hocine Aït Ahmed, dan Mohamed Boudiaf, seharusnya berangkat dari Palma de Mallorca menuju Tunis, tetapi pasukan Prancis mengalihkan penerbangan ke Aljir yang didudai, di mana para pemimpin FLN ditangkap.
Selama pemerintahannya, Tentara Pembebasan Maroko melancarkan Perang Ifni melawan Spanyol dan Prancis, dan berhasil merebut sebagian besar Ifni serta Cape Juby dan beberapa bagian Sahara Spanyol. Dengan Perjanjian Angra de Cintra, Maroko menganeksasi Cape Juby dan daerah sekitar Ifni, sementara sisa koloni yang tersisa diserahkan oleh Spanyol pada tahun 1969.
2.7. Kematian
Pada 26 Februari 1961, Mohammed V meninggal dunia karena komplikasi dari operasi sederhana pada septum hidung yang dilakukan oleh seorang ahli bedah dari Vaud. Kematiannya diumumkan di radio nasional oleh putranya, putra mahkota Moulay Hassan, yang menggantikannya sebagai Raja Hassan II. Ia wafat pada usia 51 tahun dan telah menduduki takhta sejak tahun 1927.
3. Kehidupan Pribadi

Mohammed V memiliki tiga istri selama hidupnya.
- Istri pertamanya adalah Hanila bint Mamoun, yang dinikahinya pada tahun 1925. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai seorang putri bernama Fatima Zohra.
- Istri keduanya adalah sepupu pertamanya, Abla bint Tahar, putri dari Mohammed Tahar bin Hassan, putra Hassan I dari Maroko. Ia menikah dengan Mohammed V pada tahun 1928 dan wafat di Rabat pada 1 Maret 1992. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai lima orang anak: calon Raja Hassan II, Aisha, Malika, Abdallah, dan Nuzha.
- Istri ketiganya adalah Bahia bint Antar, yang memberinya seorang putri bernama Amina.
4. Silsilah
Silsilah lengkap Mohammed V adalah Mohammed bin Yusef bin Hassan bin Muhammad bin Abd al-Rahman bin Hisham bin Muhammad bin Abdullah bin Ismail bin Sharif bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Youssef bin Ali bin Al Hassan bin Muhammad bin Al Hassan bin Qasim bin Muhammad bin Abi Al Qasim bin Muhammad bin Al-Hassan bin Abdullah bin Muhammad bin Arafa bin Al-Hassan bin Abi Bakr bin Ali bin Al-Hasan bin Ahmed bin Ismail bin Al-Qasim bin Muhammad al-Nafs al-Zakiyya bin Abdullah al-Kamil bin Hassan al-Muthanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muttalib bin Hashim.
5. Penilaian dan Warisan
Mohammed V meninggalkan warisan yang mendalam bagi Maroko, terutama sebagai pemimpin yang berhasil membawa negaranya menuju kemerdekaan dan seorang pembela hak asasi manusia.
5.1. Penilaian Positif dan Kontribusi

Mohammed V secara luas dipandang sebagai pahlawan nasional dan simbol perjuangan Maroko untuk kemerdekaan. Kepemimpinannya dalam Gerakan Nasionalis Maroko sangat menentukan dalam mengakhiri kekuasaan kolonial Prancis dan Spanyol. Salah satu kontribusi paling menonjolnya adalah sikap beraninya selama Perang Dunia II, di mana ia menunjukkan dukungan bagi Sekutu dan secara aktif berupaya melindungi 250.000 warga Yahudi Maroko dari penganiayaan Vichy Prancis. Penolakannya untuk menandatangani dekret deportasi Yahudi, meskipun ada tekanan, adalah bukti komitmennya terhadap semua rakyatnya, tanpa memandang agama, dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang kuat.
Pidato bersejarahnya di Tangier pada tahun 1947 secara terbuka menyerukan kemerdekaan Maroko dan menekankan ikatan negara dengan Dunia Arab, semakin mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin yang mewakili aspirasi rakyatnya. Setelah kemerdekaan, perubahan gelar dari sultan menjadi raja pada tahun 1957 melambangkan persatuan negara dan transisi menuju modernitas. Ia juga berkontribusi pada pengembangan politik domestik dengan mengizinkan kongres pertama Partai Istiqlal dan mendukung pembentukan serikat pekerja. Kunjungan kenegaraannya ke Amerika Serikat pada tahun 1957 juga memperkuat posisi Maroko di panggung internasional, menunjukkan kemampuannya dalam diplomasi global.
5.2. Kritik dan Kontroversi
Meskipun sebagian besar dihormati, ada beberapa kritik dan kontroversi seputar tindakan Mohammed V. Peran pastinya dalam melindungi komunitas Yahudi selama Holocaust tetap menjadi subjek perdebatan di kalangan sejarawan. Sementara banyak yang memujinya atas sikap kemanusiaannya, beberapa sejarawan, seperti Michel Abitol, berpendapat bahwa Mohammed V lebih pasif dibandingkan dengan pemimpin lain, seperti Moncef Bey dari Tunisia, dalam menentang kebijakan Vichy secara publik. Meskipun ia menolak menandatangani dekret utama untuk deportasi, ia memang menandatangani dua dekret yang membatasi hak-hak Yahudi di bawah instruksi pejabat Vichy, yang menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya kebal terhadap tekanan kolonial. Kontroversi ini menyoroti kompleksitas situasi politik selama periode protektorat dan dilema yang dihadapi oleh para penguasa di bawah kekuasaan kolonial.
5.3. Peringatan dan Monumen
Mohammed V diabadikan dalam berbagai bangunan, lokasi, dan institusi di Maroko dan di luar negeri, yang mencerminkan signifikansi warisannya.
- Bandar Udara Internasional Mohammed V dan Stade Mohammed V di Casablanca.
- Alun-alun Mohammed V di Casablanca.
- Jalan Mohammed V di Rabat, dan di hampir setiap kota di Maroko, serta jalan utama di Tunis, Tunisia, dan di Aljir, Aljazair.
- Universitas Mohammed V dan Sekolah Teknik Mohammadia di Rabat.
- Masjid Mohammed V di Tangier.
- Mausoleum Mohammed V di Rabat, tempat ia dimakamkan.
- Istana Mohammed V di Conakry, Guinea, juga dinamai untuk menghormatinya.
Pada Desember 2007, The Jewish Daily Forward melaporkan inisiatif diplomatik rahasia oleh pemerintah Maroko untuk mengusulkan Mohammed V masuk dalam daftar Righteous Among the Nations oleh Yad Vashem, sebuah pengakuan bagi non-Yahudi yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan Yahudi selama Holocaust.
6. Penghargaan
Mohammed V menerima berbagai gelar kehormatan dan tanda jasa baik nasional maupun internasional:
- Ordo Darah dari Republik Tunisia (1927)
- Salib Agung Legion of Honour dari Republik Prancis (1927)
- Kalung Ordo Charles III dari Kerajaan Spanyol (1929)
- Sahabat Ordo Pembebasan dari Republik Prancis (1945)
- Panglima Utama Legion of Merit dari Amerika Serikat (1945)
- Kalung Agung Ordo Kekaisaran Pasangan dan Panah dari Spanyol Franco (3 April 1956)
- Kalung Agung Ordo Idris I dari Kerajaan Libya (1956)
- Kalung Ordo Hashemites dari Kerajaan Irak (1956)
- Kordon Agung Ordo Umayyah dari Suriah (1960)
- Kordon Agung Ordo Merit dari Lebanon Kelas Khusus (1960)
- Kalung Ordo Nil dari Republik Mesir (1960)
- Kalung Ordo Al-Hussein bin Ali dari Yordania (1960)
- Kordon Agung Ordo Raja Abdulaziz dari Arab Saudi (1960)
Selain itu, ia juga menerima gelar kehormatan:
- 1957: Doktor Hukum dari Universitas George Washington