1. Gambaran Umum
Mauritania, secara resmi Republik Islam Mauritania (الجمهورية الإسلامية الموريتانيةal-Jumhūriyyah al-Islāmiyyah al-MūrītāniyyahBahasa Arab), adalah sebuah negara berdaulat di Afrika Barat Laut, yang terletak di persimpangan dunia Arab dan Afrika Sub-Sahara. Negara ini menghadapi tantangan signifikan terkait hak asasi manusia, terutama isu perbudakan modern yang masih mengakar meskipun telah dihapuskan secara hukum, serta diskriminasi etnis dan represi politik yang berdampak pada perkembangan demokrasi dan keadilan sosial. Sebagian besar wilayahnya merupakan bagian dari Gurun Sahara, dengan populasi sekitar 4,3 juta jiwa yang terkonsentrasi di wilayah selatan yang lebih subur dan di ibu kota, Nouakchott, di pesisir Samudra Atlantik. Sejarahnya ditandai oleh peradaban kuno, Islamisasi, kolonialisme Prancis, dan periode pasca-kemerdekaan yang penuh dengan ketidakstabilan politik, termasuk kudeta militer dan upaya demokratisasi yang berkelanjutan. Ekonomi Mauritania bergantung pada sumber daya alam seperti bijih besi, emas, tembaga, dan perikanan, namun negara ini masih menghadapi kemiskinan yang meluas dan tantangan pembangunan. Masyarakat Mauritania beragam secara etnis, dengan bahasa Arab (dialek Hassaniyah) sebagai bahasa resmi dan Islam Sunni sebagai agama dominan. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai aspek Mauritania, termasuk sejarah, geografi, politik, ekonomi, masyarakat, dan budaya, dengan penekanan khusus pada isu-isu hak asasi manusia, dampak sosial dari kebijakan, dan upaya menuju masyarakat yang lebih demokratis dan inklusif.
2. Etimologi
Nama Mauritania berasal dari kerajaan Berber kuno yang berkembang mulai abad ke-3 SM dan kemudian menjadi provinsi Romawi Mauretania. Wilayah Mauretania kuno ini terletak jauh lebih utara daripada Mauritania modern, membentang di sepanjang bagian barat pantai Laut Mediterania di Afrika, mencakup wilayah yang kini menjadi bagian tengah Aljazair hingga Samudra Atlantik. Istilah "Mauretania" sendiri berasal dari eksnonim Yunani dan Romawi untuk suku-suku Berber di kerajaan tersebut, yaitu suku Mauri. Kata "Mauri" juga merupakan akar dari nama Moor.
Secara historis, wilayah yang kini dikenal sebagai Mauritania lebih umum disebut oleh para ahli geografi Arab sebagai بلاد شنقيطBilād ShinqītBahasa Arab, yang berarti "tanah Chinguetti", merujuk pada kota Chinguetti yang merupakan pusat keilmuan Islam penting. Istilah "Mauritanie occidentale" (Mauritania Barat) secara resmi digunakan dalam surat edaran kementerian Prancis pada tahun 1899, berdasarkan proposal dari Xavier Coppolani, seorang pemimpin militer dan kolonial Prancis yang berperan penting dalam pendudukan kolonial dan pembentukan Mauritania modern. Istilah yang digunakan oleh Prancis ini secara bertahap menggantikan sebutan-sebutan lain yang sebelumnya digunakan untuk merujuk negara tersebut.
3. Sejarah
Sejarah Mauritania mencakup periode panjang dari peradaban kuno yang mendiami wilayah tersebut, penyebaran Islam, masa kolonial Prancis, hingga pembentukan negara modern dan tantangan politik serta sosial yang dihadapinya. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh interaksi antara kelompok etnis Berber, Arab, dan Afrika Sub-Sahara, serta kekuatan eksternal.
3.1. Sejarah awal dan abad pertengahan

Suku-suku kuno yang mendiami wilayah Mauritania adalah orang-orang Berber, penutur bahasa Niger-Kongo, dan orang-orang Bafour. Orang Bafour termasuk di antara masyarakat Sahara pertama yang meninggalkan gaya hidup nomaden dan mengadopsi cara hidup agraris. Sebagai respons terhadap penggurunan Sahara yang bertahap, mereka akhirnya bermigrasi ke selatan. Banyak suku Berber mengklaim memiliki asal-usul dari Yaman (dan terkadang wilayah Arab lainnya), meskipun hanya sedikit bukti yang mendukung klaim tersebut. Studi DNA pada tahun 2000 terhadap orang Yaman menunjukkan kemungkinan adanya hubungan kuno antara kedua bangsa tersebut.
Dinasti Umayyah adalah Muslim Arab pertama yang memasuki Mauritania. Selama penaklukan Islam, mereka melakukan serangan ke Mauritania dan hadir di wilayah tersebut pada akhir abad ke-7. Banyak suku Berber di Mauritania melarikan diri dari kedatangan orang Arab ke wilayah Gao di Mali.
Pada abad ke-8 (ada juga yang menyebut abad ke-4), Kerajaan Ghana berkembang pesat di bagian tenggara Mauritania modern, dengan ibu kotanya Koumbi Saleh. Kerajaan ini makmur berkat penguasaan jalur perdagangan emas dari Bambuk (di hulu Sungai Senegal), garam dari Sahara, serta barang-barang manufaktur seperti tembaga, pakaian, dan perhiasan dari utara. Kemakmuran ini berlanjut hingga kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Dinasti Almoravid pada sekitar tahun 1076, yang berusaha menguasai perdagangan trans-Sahara.
Pada abad ke-11, beberapa konfederasi Berber nomaden di wilayah gurun yang kini menjadi Mauritania bersatu membentuk gerakan Almoravid. Mereka berekspansi ke utara dan selatan, membentuk sebuah kekaisaran penting yang membentang dari Sahara hingga Semenanjung Iberia di Eropa. Kota-kota karavan seperti Chinguetti, Ouadane, Tichitt, dan Oualata, yang kini menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO, berkembang sejajar dengan Kerajaan Ghana dan tetap makmur bahkan setelah keruntuhan Ghana pada abad ke-11 dan ke-12. Chinguetti, yang terletak di barat laut Mauritania, menjadi pusat budaya Islam penting dan titik awal bagi para peziarah Makkah. Ouadane, sekitar 100 km timur laut Chinguetti, menjadi pusat perdagangan garam dan emas dari Kekaisaran Mali. Tichitt juga makmur karena perdagangan garam dari Ijil.
Dari tahun 1644 hingga 1674, penduduk asli wilayah yang kini menjadi Mauritania melakukan upaya terakhir untuk mengusir orang-orang Arab Maqil dari Yaman yang menyerbu wilayah mereka. Upaya ini, yang dikenal sebagai Perang Char Bouba, tidak berhasil. Para penyerbu dipimpin oleh suku Bani Hassan. Keturunan para prajurit Bani Hassan menjadi lapisan atas masyarakat Moor. Hassaniyah, sebuah dialek Arab Badui yang dinamai menurut Bani Hassan, menjadi bahasa dominan di antara populasi yang sebagian besar nomaden.
3.2. Masa kolonial Prancis


Dimulai pada akhir abad ke-19, Prancis mulai mengklaim wilayah-wilayah Mauritania modern, dari wilayah Sungai Senegal ke arah utara. Pada tahun 1901, Xavier Coppolani memimpin misi kekaisaran. Melalui kombinasi aliansi strategis dengan suku-suku Zawaya dan tekanan militer terhadap para nomaden prajurit Hassane, ia berhasil memperluas kekuasaan Prancis atas emirat-emirat Mauritania. Mulai tahun 1903 dan 1904, pasukan Prancis berhasil menduduki Trarza, Brakna, dan Tagant. Namun, emirat utara Adrar bertahan lebih lama, dibantu oleh pemberontakan anti-kolonial (atau jihad) dari shaykh Ma al-'Aynayn dan pemberontak dari Tagant serta wilayah-wilayah pendudukan lainnya. Pada tahun 1904, Prancis mengorganisasi wilayah Mauritania, yang kemudian menjadi bagian dari Afrika Barat Prancis, pertama sebagai protektorat dan kemudian sebagai koloni. Pada tahun 1912, pasukan Prancis berhasil mengalahkan Adrar dan menggabungkannya ke dalam wilayah Mauritania.
Pemerintahan Prancis membawa larangan hukum terhadap perbudakan dan mengakhiri perang antar-klan. Selama periode kolonial, 90% populasi tetap nomaden. Secara bertahap, banyak individu yang berasal dari masyarakat menetap, yang leluhurnya telah diusir berabad-abad sebelumnya, mulai bermigrasi ke Mauritania. Hingga tahun 1902, ibu kota Afrika Barat Prancis berada di Senegal modern, awalnya di Saint-Louis dan kemudian, dari tahun 1902 hingga 1960, di Dakar. Ketika Senegal memperoleh kemerdekaannya pada tahun itu, Prancis memilih Nouakchott sebagai lokasi ibu kota baru Mauritania. Pada saat itu, Nouakchott hanyalah sebuah desa berbenteng (atau ksar).
Setelah kemerdekaan Mauritania, sejumlah besar penduduk asli Afrika Sub-Sahara (Haalpulaar, Soninke, dan Wolof) bermigrasi ke dalamnya, sebagian besar menetap di daerah utara Sungai Senegal. Banyak dari pendatang baru ini telah dididik dalam bahasa dan adat istiadat Prancis, dan menjadi juru tulis, tentara, dan administrator di negara baru tersebut. Pada saat yang sama, Prancis secara militer menekan suku-suku Hassane yang paling keras kepala di utara. Tekanan Prancis terhadap suku-suku tersebut mengubah keseimbangan kekuasaan yang ada, dan konflik baru muncul antara populasi selatan dan suku Moor.
Kekeringan besar Sahel pada awal 1970-an menyebabkan kehancuran besar-besaran di Mauritania, memperburuk masalah kemiskinan dan konflik. Para elite dominan yang ter-Arabisasi bereaksi terhadap perubahan keadaan, dan terhadap seruan nasionalisme Arab dari luar negeri, dengan meningkatkan tekanan untuk Arabisasi banyak aspek kehidupan Mauritania, seperti hukum dan sistem pendidikan. Ini juga merupakan reaksi terhadap konsekuensi dominasi Prancis di bawah pemerintahan kolonial. Berbagai model untuk mempertahankan keragaman budaya negara telah diusulkan, tetapi tidak ada yang berhasil diterapkan.
Perselisihan etnis ini terlihat jelas selama kekerasan antarkomunitas yang meletus pada April 1989 ("Perang Perbatasan Mauritania-Senegal"), tetapi sejak itu telah mereda. Mauritania mengusir sekitar 70.000 warga Mauritania Afrika sub-Sahara pada akhir 1980-an. Ketegangan etnis dan isu sensitif perbudakan - di masa lalu dan, di beberapa daerah, saat ini - masih menjadi tema kuat dalam debat politik negara tersebut. Sejumlah besar dari semua kelompok mencari masyarakat yang lebih beragam dan pluralistik.
3.3. Pasca kemerdekaan
Sejarah politik Mauritania sejak kemerdekaan pada tahun 1960 hingga saat ini ditandai oleh berbagai kudeta, upaya demokratisasi yang rapuh, dan konflik sosial yang berkelanjutan, yang berdampak signifikan terhadap hak-hak sipil dan perkembangan sosial masyarakat.
3.3.1. Era Moktar Ould Daddah (1960-1978)
Pada tahun 1960, Mauritania menjadi negara merdeka dengan Moktar Ould Daddah sebagai presiden pertama. Pada tahun 1964, Presiden Daddah, yang awalnya didukung oleh Prancis, secara resmi menetapkan Mauritania sebagai negara satu partai dengan konstitusi baru, yang membentuk rezim presidensial otoriter. Partai Rakyat Mauritania (Parti du Peuple Mauritanien, PPM) yang dipimpin Daddah menjadi organisasi penguasa. Presiden membenarkan tindakan ini dengan alasan bahwa Mauritania belum siap untuk demokrasi multipartai gaya Barat. Di bawah konstitusi satu partai ini, Daddah terpilih kembali dalam pemilihan tanpa lawan pada tahun 1976 dan 1978.
Awalnya, pemerintahan Daddah bersifat pro-Prancis, tetapi secara bertahap beralih ke dunia Arab. Pada tahun 1973, Mauritania keluar dari zona Franc CFA dan memperkenalkan mata uang sendiri, Ouguiya, serta bergabung dengan Liga Arab.
Pemerintahan Daddah berakhir dengan kudeta tak berdarah pada 10 Juli 1978. Keterlibatan Mauritania dalam Perang Sahara Barat untuk mencaplok bagian selatan Sahara Barat (dikenal sebagai Tiris al-Gharbiyya), yang dibingkai sebagai upaya untuk menciptakan "Mauritania Raya", telah membawa negara itu ke ambang kehancuran. Perang ini membebani ekonomi dan militer Mauritania yang kecil. Serangan dari Front Polisario terhadap fasilitas industri penting seperti tambang besi Zouérat dan Kereta Api Mauritania menyebabkan kekacauan ekonomi. Meskipun mendapat dukungan dari Prancis, militer Mauritania tidak mampu menahan serangan Polisario, yang bahkan mencapai ibu kota Nouakchott.
3.3.2. Era rezim militer (1978-1984)
Setelah kudeta 1978, Kolonel Mustafa Ould Salek membentuk Komite Militer untuk Pemulihan Nasional (CMRN), sebuah junta militer. Namun, junta ini tidak mampu membangun basis kekuasaan yang kuat maupun mengeluarkan negara dari konflik yang merusak dengan gerakan perlawanan Sahrawi, Front Polisario. Pemerintahan Salek dengan cepat runtuh dan digantikan oleh pemerintahan militer lainnya, yaitu Komite Militer untuk Keselamatan Nasional (CMSN).
Kolonel Mohamed Khouna Ould Haidalla segera muncul sebagai tokoh kuat dalam CMSN. Dengan melepaskan semua klaim atas Sahara Barat, ia berhasil mencapai perdamaian dengan Polisario pada tahun 1979 dan memperbaiki hubungan dengan pendukung utama Polisario, Aljazair. Namun, hubungan dengan Maroko, pihak lain dalam konflik, dan sekutunya di Eropa, Prancis, memburuk. Ketidakstabilan politik terus berlanjut, dan upaya reformasi ambisius Haidallah gagal. Rezimnya diganggu oleh upaya kudeta dan intrik di dalam lembaga militer. Pemerintahannya semakin ditentang karena tindakan keras dan tanpa kompromi terhadap lawan-lawannya; banyak pembangkang dipenjara, dan beberapa dieksekusi.
Meskipun perbudakan secara resmi telah dihapuskan beberapa kali (pada tahun 1905 oleh administrasi kolonial Prancis, dan kemudian pada tahun 1981 oleh pemerintahan Haidallah), praktik ini masih berlanjut. Penghapusan pada tahun 1981 tidak disertai dengan undang-undang pidana yang efektif untuk menegakkannya, sehingga dampaknya terbatas. Aktivis anti-perbudakan sering mengalami persekusi, dipenjara, dan disiksa. Periode ini ditandai oleh ketidakstabilan politik yang parah, serta konsekuensi sosial dan ekonomi yang signifikan akibat perang dan pemerintahan militer yang tidak efektif.
3.3.3. Era Maaouya Ould Sid'Ahmed Taya (1984-2005)
Pada bulan Desember 1984, Haidallah digulingkan oleh Kolonel Maaouya Ould Sid'Ahmed Taya, yang meskipun mempertahankan kontrol militer yang ketat, melonggarkan iklim politik. Ould Taya memoderasi sikap pro-Aljazair Mauritania sebelumnya dan membangun kembali hubungan dengan Maroko selama akhir 1980-an. Ia memperdalam hubungan ini selama akhir 1990-an dan awal 2000-an sebagai bagian dari upaya Mauritania untuk menarik dukungan dari negara-negara Barat dan negara-negara Arab yang bersekutu dengan Barat. Posisi Mauritania terhadap konflik Sahara Barat sejak 1980-an adalah netralitas yang ketat.
Perang Perbatasan Mauritania-Senegal dimulai sebagai akibat dari konflik di Diawara antara para penggembala Mauritania Moor dan petani Senegal mengenai hak penggembalaan. Pada tanggal 9 April 1989, penjaga Mauritania membunuh dua warga Senegal. Menyusul insiden tersebut, beberapa kerusuhan meletus di Bakel, Dakar, dan kota-kota lain di Senegal, yang ditujukan terhadap warga Mauritania yang sebagian besar ter-Arabisasi yang mendominasi bisnis ritel lokal. Kerusuhan tersebut, yang menambah ketegangan yang sudah ada, menyebabkan kampanye teror terhadap warga Mauritania kulit hitam, yang sering dianggap sebagai 'orang Senegal' oleh Bidān (Moor Putih), terlepas dari kewarganegaraan mereka. Saat konflik skala kecil dengan Senegal berlanjut hingga 1990/91, pemerintah Mauritania terlibat dalam dan mendorong tindakan kekerasan serta penyitaan properti yang ditujukan terhadap kelompok etnis Halpularen. Ketegangan memuncak dalam sebuah pengangkutan udara internasional yang disepakati oleh Senegal dan Mauritania di bawah tekanan internasional untuk mencegah kekerasan lebih lanjut. Pemerintah Mauritania mengusir ribuan warga Mauritania kulit hitam. Sebagian besar dari mereka yang disebut 'orang Senegal' ini memiliki sedikit atau tidak ada hubungan dengan Senegal, dan banyak yang telah dipulangkan dari Senegal dan Mali setelah tahun 2007. Jumlah pasti pengusiran tidak diketahui tetapi Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memperkirakan bahwa, pada Juni 1991, 52.995 pengungsi Mauritania tinggal di Senegal dan setidaknya 13.000 di Mali.
Partai-partai oposisi dilegalkan, dan konstitusi baru disetujui pada tahun 1991 yang mengakhiri pemerintahan militer formal. Namun, kemenangan pemilu Presiden Ould Taya dianggap curang oleh beberapa kelompok oposisi.
Pada akhir 1980-an, Ould Taya menjalin kerja sama erat dengan Irak, dan menjalankan garis nasionalisme Arab yang kuat. Mauritania semakin terisolasi secara internasional, dan ketegangan dengan negara-negara Barat meningkat secara dramatis setelah mengambil posisi pro-Irak selama Perang Teluk 1991.
Selama pertengahan hingga akhir 1990-an, Mauritania mengalihkan kebijakan luar negerinya ke arah peningkatan kerja sama dengan AS dan Eropa. Kebijakan ini dihargai dengan normalisasi diplomatik dan proyek-proyek bantuan. Pada tanggal 28 Oktober 1999, Mauritania bergabung dengan Mesir, Palestina, dan Yordania sebagai satu-satunya anggota Liga Arab yang secara resmi mengakui Israel. Ould Taya juga memulai kerja sama dengan Amerika Serikat dalam kegiatan anti-terorisme, sebuah kebijakan yang dikritik oleh beberapa organisasi hak asasi manusia.
Selama rezim Presiden Ould Taya, Mauritania berkembang secara ekonomi; minyak ditemukan pada tahun 2001 oleh Perusahaan Woodside. Peningkatan konflik sosial dan isu-isu hak asasi manusia menjadi sorotan selama pemerintahannya, termasuk penindasan terhadap aktivis dan diskriminasi etnis.
3.3.4. Perubahan politik sejak 2005

Pada tanggal 3 Agustus 2005, sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Kolonel Ely Ould Mohamed Vall mengakhiri 21 tahun pemerintahan Presiden Maaouya Ould Sid'Ahmed Taya. Memanfaatkan kehadiran Ould Taya di pemakaman Raja Fahd dari Arab Saudi, militer, termasuk anggota pengawal presiden (BASEP), menguasai titik-titik penting di ibu kota Nouakchott. Kudeta berlangsung tanpa korban jiwa. Menyebut diri mereka Dewan Militer untuk Keadilan dan Demokrasi, para perwira merilis pernyataan yang mengakhiri "kegiatan menindas dari otoritas yang sudah tidak berfungsi." Kolonel Ould Mohamed Vall diangkat sebagai presiden dan direktur kepolisian nasional. Junta militer berjanji menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu dua tahun. Dalam sebuah referendum pada 26 Juni 2006, 97% warga Mauritania menyetujui konstitusi baru yang membatasi masa jabatan presiden. Pemilihan parlemen dan kota diadakan pada November dan Desember 2006.

Pemilihan presiden pertama yang sepenuhnya demokratis di Mauritania berlangsung pada 11 Maret 2007. Ini adalah transfer terakhir dari pemerintahan militer ke sipil setelah kudeta 2005 dan pertama kalinya sejak kemerdekaan pada tahun 1960 Mauritania memilih presiden dalam pemilihan multi-kandidat. Sidi Ould Cheikh Abdallahi memenangkan pemilihan dalam putaran kedua, dengan Ahmed Ould Daddah sebagai runner-up.

Namun, pada tanggal 6 Agustus 2008, terjadi lagi kudeta militer. Kepala pengawal presiden mengambil alih istana presiden di Nouakchott, sehari setelah 48 anggota parlemen dari partai berkuasa mengundurkan diri sebagai protes terhadap kebijakan Presiden Abdallahi. Tentara mengepung fasilitas pemerintah utama setelah presiden memecat perwira senior, termasuk kepala pengawal presiden. Presiden, Perdana Menteri Yahya Ould Ahmed El Waghef, dan Menteri Dalam Negeri Mohamed Ould R'zeizim ditangkap. Kudeta dikoordinasikan oleh Jenderal Mohamed Ould Abdel Aziz, mantan kepala staf Angkatan Darat Mauritania.
Rezim Abdel Aziz diisolasi secara internasional dan dikenai sanksi diplomatik serta pembatalan beberapa proyek bantuan. Di dalam negeri, sejumlah partai berkumpul di sekitar Abdallahi untuk terus memprotes kudeta, yang menyebabkan junta melarang demonstrasi dan menindak aktivis oposisi. Tekanan internasional dan internal akhirnya memaksa pembebasan Abdallahi, yang kemudian ditempatkan di bawah tahanan rumah. Pemerintah baru memutuskan hubungan dengan Israel.
Abdel Aziz bersikeras mengadakan pemilihan presiden baru. Setelah negosiasi pada musim semi 2009, Abdallahi secara resmi mengundurkan diri di bawah protes. Pemilihan umum pada 18 Juli 2009 dimenangkan oleh Abdel Aziz dengan 52% suara. Banyak pendukung Abdallahi mengkritik ini sebagai taktik politik dan menolak mengakui hasilnya. Meskipun ada keluhan, pemilihan tersebut hampir secara bulat diterima oleh negara-negara Barat, Arab, dan Afrika, yang mencabut sanksi dan melanjutkan hubungan dengan Mauritania. Abdel Aziz memenangkan pemilihan kembali pada tahun 2014.
Pada Februari 2011, gelombang Musim Semi Arab menyebar ke Mauritania, di mana ribuan orang turun ke jalan-jalan di ibu kota. Bendera nasional Mauritania diubah pada 5 Agustus 2017 dengan penambahan dua garis merah sebagai simbol pengorbanan dan pertahanan negara.
Pada Agustus 2019, Mohamed Ould Ghazouani dilantik sebagai presiden setelah pemilihan umum 2019, yang dianggap sebagai transisi kekuasaan damai pertama Mauritania sejak kemerdekaan. Pada Juni 2021, mantan presiden Mohamed Ould Abdel Aziz ditangkap di tengah penyelidikan korupsi atas tuduhan penggelapan. Pada Desember 2023, Aziz dijatuhi hukuman 5 tahun penjara karena korupsi.
Pada Januari dan Februari 2024, terjadi peningkatan tajam pengungsi dari Mali ke Mauritania, mencapai sekitar 12.000 orang yang tiba dengan perahu di Kepulauan Canary. PBB memperkirakan 150.000 orang dari Mali telah melarikan diri ke Mauritania. Pada Maret 2024, Uni Eropa membuat kesepakatan senilai 210.00 M EUR dengan Mauritania untuk mengurangi aliran migran Afrika melalui wilayahnya menuju Kepulauan Canary. Pada Juni 2024, Presiden Ghazouani terpilih kembali untuk masa jabatan kedua.
Selama periode ini, tantangan hak asasi manusia tetap signifikan, termasuk praktik perbudakan yang terus berlanjut, diskriminasi etnis, dan pembatasan kebebasan berekspresi. Upaya menuju demokrasi yang substantif seringkali terhambat oleh kepentingan militer dan elit politik yang mapan.
3.4. Hubungan dengan konflik Sahara Barat

Keterlibatan Mauritania dalam konflik Sahara Barat berawal dari klaim historis dan ambisi teritorial pasca-kolonial. Setelah Spanyol menarik diri dari wilayah tersebut pada tahun 1975, Mauritania, bersama dengan Maroko, berupaya untuk mencaplok Sahara Barat. Berdasarkan Persetujuan Madrid, Mauritania mengambil alih bagian selatan wilayah tersebut, yang kemudian dinamai Tiris al-Gharbiyya.
Namun, keterlibatan ini membawa konsekuensi berat bagi Mauritania. Front Polisario, gerakan kemerdekaan Sahrawi yang didukung oleh Aljazair, melancarkan perang gerilya yang efektif. Militer Mauritania yang kecil dan kurang perlengkapan tidak mampu menahan serangan Polisario, yang bahkan mencapai ibu kota Nouakchott dan menyerang infrastruktur ekonomi vital seperti tambang besi di Zouérat dan jalur Kereta Api Mauritania. Perang ini menguras sumber daya negara dan menyebabkan ketidakstabilan politik yang parah, yang berpuncak pada kudeta tahun 1978 yang menggulingkan Presiden Moktar Ould Daddah.
Rezim militer baru di bawah Kolonel Mustafa Ould Salek dan kemudian Kolonel Mohamed Khouna Ould Haidalla menyadari bahwa perang tidak dapat dimenangkan. Pada tahun 1979, Mauritania menandatangani perjanjian damai dengan Front Polisario, melepaskan semua klaim atas Sahara Barat dan menarik pasukannya. Wilayah yang sebelumnya dikuasai Mauritania kemudian diduduki oleh Maroko.
Sejak penarikan diri tersebut, Mauritania secara resmi mengambil posisi netral dalam konflik Sahara Barat. Negara ini mengakui Republik Demokratik Arab Sahrawi (SADR) yang diproklamasikan oleh Polisario pada tahun 1984, tetapi kemudian membekukan pengakuan tersebut sebagai bagian dari upaya menyeimbangkan hubungan dengan Maroko dan Aljazair. Posisi netral ini bertujuan untuk menjaga stabilitas regional dan menghindari keterlibatan lebih lanjut dalam konflik yang berkepanjangan.
Dari perspektif kemanusiaan, konflik Sahara Barat berdampak pada Mauritania melalui arus pengungsi Sahrawi yang mencari perlindungan di wilayahnya, terutama di dekat perbatasan. Meskipun jumlahnya tidak sebesar di Aljazair, kehadiran pengungsi ini menambah beban sosial dan ekonomi bagi Mauritania. Isu hak asasi manusia bagi masyarakat Sahrawi, baik di wilayah yang dikuasai Maroko maupun di kamp-kamp pengungsi, tetap menjadi perhatian komunitas internasional. Posisi netral Mauritania saat ini mencerminkan keinginan untuk solusi damai yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam sengketa wilayah ini, sambil tetap berhati-hati untuk tidak memihak secara eksplisit yang dapat mengganggu hubungan diplomatik dan keamanannya.
4. Geografi

Mauritania terletak di wilayah barat benua Afrika. Wilayahnya umumnya datar, dengan luas 1.03 M km2 yang membentuk dataran luas dan gersang yang diselingi oleh punggung bukit dan singkapan batuan menyerupai tebing. Negara ini berbatasan dengan Samudra Atlantik Utara di sebelah barat, antara Senegal dan Sahara Barat; serta dengan Mali dan Aljazair di sebelah timur dan timur laut. Mauritania dianggap sebagai bagian dari wilayah Sahel dan Maghreb.
Sebagian besar, atau sekitar tiga perempat, wilayah Mauritania berupa gurun atau semi-gurun. Akibat kekeringan parah yang berkepanjangan, gurun telah meluas sejak pertengahan tahun 1960-an.

4.1. Topografi dan iklim
Serangkaian lereng curam (scarps) membentang dari timur laut ke barat daya, membelah dataran-dataran ini di bagian tengah negara. Lereng-lereng ini juga memisahkan serangkaian dataran tinggi batu pasir, yang tertinggi di antaranya adalah Dataran Tinggi Adrar, mencapai ketinggian 500 m. Oasis-oasis yang dialiri mata air terletak di kaki beberapa lereng curam ini. Puncak-puncak terisolasi, yang seringkali kaya akan mineral, menjulang di atas dataran tinggi; puncak-puncak yang lebih kecil disebut guelb dan yang lebih besar disebut kedia. Struktur Richat (Guelb er Richat) yang berbentuk konsentris adalah fitur menonjol di wilayah utara-tengah. Kediet ej Jill, dekat kota Zouérat, memiliki ketinggian 915 m dan merupakan puncak tertinggi di negara ini.
Dataran tinggi secara bertahap menurun ke arah timur laut menuju El Djouf, atau "Kawasan Kosong," sebuah wilayah luas dengan bukit-bukit pasir besar yang menyatu dengan Gurun Sahara. Di sebelah barat, antara samudra dan dataran tinggi, terdapat area bergantian antara dataran tanah liat (regs) dan bukit-bukit pasir (ergs), beberapa di antaranya berpindah tempat secara bertahap karena tiupan angin kencang. Ukuran dan mobilitas bukit pasir umumnya meningkat ke arah utara.
Iklim Mauritania didominasi oleh kondisi gurun yang kering. Curah hujan sangat rendah dan tidak merata, dengan sebagian besar wilayah menerima kurang dari 100 mm hujan per tahun. Suhu udara sangat tinggi pada siang hari, terutama di musim panas, dan dapat turun drastis pada malam hari. Wilayah pesisir mengalami suhu yang sedikit lebih moderat karena pengaruh Samudra Atlantik dan Arus Canary yang dingin. Bagian selatan negara, yang termasuk dalam zona Sahel, menerima curah hujan sedikit lebih banyak selama musim hujan singkat (biasanya Juli-September), memungkinkan tumbuhnya vegetasi sabana. Di musim dingin, angin Harmattan yang kering dan berdebu bertiup dari timur laut.
4.2. Margasatwa
Margasatwa Mauritania dipengaruhi oleh dua alam biogeografi utama: bagian utara berada di alam Palearktik yang membentang ke selatan dari Sahara hingga sekitar 19° Lintang Utara, dan bagian selatan berada di alam Afrotropis. Selain itu, Mauritania merupakan wilayah penting bagi banyak burung yang bermigrasi dari Palearktik untuk menghabiskan musim dingin di sana.
Sebagian besar wilayah utara hingga sekitar 19° Lintang Utara dianggap sebagai bagian dari Palearktik, dan sebagian besar terdiri dari Gurun Sahara serta habitat pesisir yang berdekatan. Wilayah di selatan garis ini dianggap berada dalam alam biogeografi Afrotropis, yang berarti spesies dengan distribusi dominan Afrotropis mendominasi fauna di sana. Di selatan Sahara terdapat ekoregion stepa dan hutan Sahara Selatan, yang berintegrasi dengan ekoregion sabana akasia Sahel. Bagian paling selatan negara ini terletak di ekoregion sabana Sudan Barat.
Lahan basah sangat penting, dan dua kawasan lindung utama adalah Taman Nasional Banc d'Arguin, yang melindungi ekosistem pesisir dan laut dangkal yang kaya yang berintegrasi dengan Gurun Sahara yang gersang, dan Taman Nasional Diawling, yang membentuk bagian utara delta Sungai Senegal. Di tempat lain di Mauritania, lahan basah biasanya bersifat sementara dan bergantung pada curah hujan musiman.
Fauna Mauritania mencakup berbagai mamalia gurun seperti kijang dorkas, addax, oryx bertanduk pedang (meskipun sangat langka atau mungkin punah secara lokal), rubah pasir, dan berbagai jenis hewan pengerat. Reptil seperti ular dan kadal juga umum ditemukan. Di wilayah Sahel, fauna lebih beragam dengan kehadiran beberapa spesies antelop, babun, dan karnivora kecil. Kawasan pesisir, terutama Taman Nasional Banc d'Arguin, adalah salah satu tempat persinggahan burung air migran terpenting di dunia, menjadi rumah bagi jutaan burung flamingo, pelikan, gajahan, dan camar. Perairan lepas pantai juga kaya akan kehidupan laut, termasuk ikan lumba-lumba, penyu laut, dan berbagai jenis ikan yang mendukung industri perikanan negara. Flora di Mauritania sebagian besar terdiri dari vegetasi yang tahan kekeringan seperti pohon akasia, semak belukar, dan rumput-rumputan di daerah gurun dan Sahel. Di sepanjang Sungai Senegal dan di beberapa oasis, vegetasi lebih lebat, termasuk pohon kurma.
4.3. Isu lingkungan
Mauritania menghadapi sejumlah masalah lingkungan yang serius, yang berdampak signifikan terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat, terutama kelompok rentan. Salah satu isu utama adalah desertifikasi atau penggurunan. Perluasan Gurun Sahara ke arah selatan dipercepat oleh perubahan iklim, penggundulan hutan untuk kayu bakar dan lahan pertanian, serta praktik penggembalaan berlebihan. Proses ini menyebabkan hilangnya lahan subur, penurunan produktivitas pertanian, dan degradasi ekosistem alami.
Kekeringan berkala adalah masalah kronis lainnya, yang seringkali diperburuk oleh variabilitas iklim. Kekeringan menyebabkan kelangkaan air untuk konsumsi manusia, ternak, dan pertanian, serta memicu migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan, menambah tekanan pada sumber daya di kota.
Serangan belalang gurun (Schistocerca gregariaBahasa Inggris) juga menjadi ancaman berulang bagi Mauritania. Kawanan belalang dapat menghancurkan tanaman pangan dan vegetasi dalam skala besar, mengancam ketahanan pangan dan mata pencaharian petani serta peternak. Upaya pengendalian seringkali mahal dan sulit dilakukan di wilayah yang luas dan terpencil.
Di wilayah pesisir, eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan oleh armada penangkapan ikan domestik dan asing menjadi perhatian. Hal ini dapat menyebabkan penurunan stok ikan, merusak ekosistem laut, dan mengancam mata pencaharian nelayan tradisional. Selain itu, polusi dari kegiatan perkotaan dan pelabuhan juga dapat mempengaruhi kualitas air pesisir.
Masalah lain termasuk pengelolaan sampah yang tidak memadai di daerah perkotaan, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan. Akses terbatas terhadap air bersih dan sanitasi yang layak juga menjadi tantangan, terutama di daerah pedesaan dan permukiman kumuh perkotaan.
Dampak dari isu-isu lingkungan ini paling dirasakan oleh kelompok masyarakat yang paling rentan, seperti petani kecil, peternak nomaden, dan penduduk miskin perkotaan yang sangat bergantung pada sumber daya alam untuk kelangsungan hidup mereka. Upaya untuk mengatasi masalah ini memerlukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, adaptasi terhadap perubahan iklim, dan kerjasama internasional.
5. Politik dan Pemerintahan

Mauritania adalah sebuah republik dengan sistem presidensial. Konstitusi saat ini diadopsi pada tahun 1991 dan telah mengalami beberapa kali amandemen. Sistem politik negara ini secara historis ditandai oleh ketidakstabilan, termasuk serangkaian kudeta militer sejak kemerdekaan pada tahun 1960. Meskipun telah ada upaya menuju demokratisasi, militer tetap memiliki pengaruh signifikan dalam politik. Aspek partisipasi demokratis dan supremasi hukum masih menghadapi tantangan berat, dengan catatan hak asasi manusia yang sering dikritik oleh organisasi internasional, terutama terkait isu perbudakan, kebebasan berekspresi, dan diskriminasi etnis. Kekuatan politik utama terkonsentrasi pada presiden dan lingkaran dekatnya. Tren politik terkini menunjukkan upaya konsolidasi kekuasaan oleh pemerintah yang berkuasa sambil menghadapi tekanan dari oposisi dan masyarakat sipil untuk reformasi yang lebih substantif.
5.1. Struktur pemerintahan
Struktur pemerintahan Mauritania didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan, meskipun dalam praktiknya kekuasaan eksekutif cenderung dominan.
- Presiden: Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, dipilih secara langsung melalui pemilihan umum untuk masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali. Presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang luas, termasuk mengangkat dan memberhentikan Perdana Menteri dan anggota kabinet, memimpin angkatan bersenjata, dan memiliki peran signifikan dalam perumusan kebijakan. Keputusan presiden seringkali memiliki dampak langsung pada hak-hak warga negara dan arah kebijakan negara.
- Perdana Menteri dan Kabinet: Perdana Menteri ditunjuk oleh Presiden dan bertanggung jawab untuk mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Kabinet, yang terdiri dari para menteri, juga ditunjuk oleh Presiden atas usulan Perdana Menteri. Meskipun Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan secara formal, kekuasaannya sangat bergantung pada Presiden.
- Parlemen: Parlemen Mauritania saat ini bersifat unikameral, terdiri dari Majelis Nasional (الجمعية الوطنيةAl Jamiya Al WataniyaBahasa Arab). Anggotanya dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan lima tahun. Sebelumnya, Mauritania memiliki parlemen bikameral dengan Senat sebagai majelis tinggi, namun Senat dihapuskan melalui referendum pada tahun 2017. Majelis Nasional memiliki fungsi legislatif, termasuk membuat undang-undang dan mengawasi pemerintah, tetapi pengaruhnya seringkali dibatasi oleh dominasi eksekutif. Partisipasi berbagai kelompok dalam parlemen dan efektivitasnya dalam mewakili kepentingan warga negara menjadi isu penting terkait hak-hak sipil.
- Yudikatif: Sistem peradilan Mauritania secara teoritis independen, tetapi dalam praktiknya sering dipengaruhi oleh eksekutif. Sistem hukumnya merupakan campuran dari hukum sipil Prancis dan hukum Islam. Terdapat berbagai tingkatan pengadilan, termasuk pengadilan tingkat pertama, pengadilan banding, dan Mahkamah Agung. Implementasi supremasi hukum dan akses yang adil terhadap keadilan bagi semua warga negara, terutama kelompok minoritas dan mereka yang rentan, masih menjadi tantangan signifikan. Isu-isu seperti penahanan sewenang-wenang dan kurangnya proses hukum yang adil sering dilaporkan.
Dampak struktur dan praktik pemerintahan terhadap hak-hak warga negara seringkali menjadi perhatian. Pembatasan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat, serta perlakuan terhadap aktivis hak asasi manusia dan oposisi politik, mencerminkan tantangan dalam penegakan hak-hak sipil dan politik. Isu diskriminasi etnis dan praktik perbudakan yang berkelanjutan juga menunjukkan keterbatasan negara dalam melindungi hak-hak semua warganya secara setara.
5.2. Militer
Angkatan Bersenjata Mauritania (الجيش الوطني الموريتانيAl-Jaish Al-Watani Al-MuritaniBahasa Arab; Armée Nationale MauritanienneBahasa Prancis) adalah kekuatan pertahanan Republik Islam Mauritania. Angkatan bersenjata ini terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Gendarmerie, dan Garda Presiden. Layanan lain termasuk Garda Nasional dan kepolisian nasional, meskipun keduanya berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Pada tahun 2018, anggaran angkatan bersenjata Mauritania mencapai 3,9% dari PDB negara tersebut.
Menteri Pertahanan saat ini (per data terakhir yang tersedia) adalah Hanena Ould Sidi, dan Panglima Staf Angkatan Darat Nasional adalah Jenderal Mokhtar Ould Bolla Chaabane. Meskipun ukurannya relatif kecil, militer Mauritania telah berpartisipasi dalam berbagai konflik di masa lalu, termasuk Perang Sahara Barat dan Perang Perbatasan Mauritania-Senegal, dan saat ini terlibat dalam Operasi Enduring Freedom - Trans Sahara.
Tugas utama militer Mauritania meliputi pertahanan integritas teritorial negara, keamanan perbatasan, operasi kontra-terorisme (terutama di wilayah Sahel yang bergejolak), dan partisipasi dalam misi penjaga perdamaian internasional. Mengingat lokasinya yang strategis di persimpangan Afrika Arab dan Sub-Sahara, serta ancaman dari kelompok ekstremis di Sahel, militer memainkan peran penting dalam keamanan nasional dan regional.
Mauritania telah menjalin kerjasama militer dengan berbagai negara, termasuk Prancis (bekas kekuatan kolonial), Amerika Serikat (terutama dalam kerangka AFRICOM dan inisiatif kontra-terorisme seperti Trans-Sahara Counterterrorism Partnership), serta negara-negara tetangga dan Liga Arab. Bantuan dan pelatihan militer dari mitra internasional ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas angkatan bersenjata Mauritania dalam menghadapi tantangan keamanan.
Pada tahun 2024, Mauritania menduduki peringkat ke-95 dari 163 negara paling damai di dunia menurut Indeks Perdamaian Global.
6. Pembagian Administratif
Birokrasi pemerintah Mauritania terdiri dari kementerian tradisional, badan-badan khusus, dan perusahaan parastatal. Kementerian Dalam Negeri memimpin sistem gubernur regional dan prefek yang meniru model administrasi lokal Prancis. Di bawah sistem ini, Mauritania dibagi menjadi 15 region (dikenal sebagai wilayah atau régions). Otonomi daerah terbatas, dengan kontrol yang sebagian besar terkonsentrasi pada cabang eksekutif pemerintah pusat, meskipun serangkaian pemilihan nasional dan kota sejak tahun 1992 telah menghasilkan desentralisasi yang terbatas. Region-region ini selanjutnya dibagi menjadi 44 departemen (moughataa).
Berikut adalah daftar region dan distrik ibu kota beserta ibu kotanya masing-masing:
Region | Ibu Kota | # Peta |
---|---|---|
Adrar | Atar | 1 |
Assaba | Kiffa | 2 |
Brakna | Aleg | 3 |
Dakhlet Nouadhibou | Nouadhibou | 4 |
Gorgol | Kaédi | 5 |
Guidimaka | Sélibaby | 6 |
Hodh Ech Chargui | Néma | 7 |
Hodh El Gharbi | Ayoun el Atrous | 8 |
Inchiri | Akjoujt | 9 |
Nouakchott-Nord (Nouakchott Utara) | Dar-Naim | 10 |
Nouakchott-Ouest (Nouakchott Barat) | Tevragh-Zeina | 10 |
Nouakchott-Sud (Nouakchott Selatan) | Arafat | 10 |
Tagant | Tidjikdja | 11 |
Tiris Zemmour | Zouérat | 12 |
Trarza | Rosso | 13 |
Distrik ibu kota, Nouakchott, dibagi menjadi tiga region yang lebih kecil (Nouakchott-Nord, Nouakchott-Ouest, dan Nouakchott-Sud) sebagai bagian dari reformasi administratif baru-baru ini untuk mengelola pertumbuhan pesat kota tersebut. Setiap region memiliki karakteristik geografis, demografis, dan ekonomi yang berbeda, yang mencerminkan keragaman negara tersebut dari wilayah pesisir Atlantik hingga pedalaman gurun Sahara dan zona Sahel di selatan.
6.1. Kota-kota utama
Kota-kota utama di Mauritania memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi, politik, dan budaya negara tersebut.
- Nouakchott: Sebagai ibu kota dan kota terbesar, Nouakchott adalah pusat administrasi, politik, ekonomi, dan budaya Mauritania. Terletak di pesisir Samudra Atlantik, kota ini didirikan pada tahun 1958 dan berkembang pesat setelah kemerdekaan pada tahun 1960. Populasinya diperkirakan lebih dari satu juta jiwa, menjadikannya salah satu kota terbesar di Sahara. Nouakchott memiliki pelabuhan penting (Port de l'Amitié), bandara internasional, dan merupakan lokasi bagi sebagian besar lembaga pemerintah, perusahaan, dan institusi pendidikan tinggi, termasuk Universitas Nouakchott Al Aasriya. Pertumbuhan kota yang cepat telah menimbulkan tantangan terkait urbanisasi, infrastruktur, dan layanan publik.
- Nouadhibou: Terletak di semenanjung Ras Nouadhibou di pesisir utara, Nouadhibou adalah kota terbesar kedua dan pusat ekonomi utama, terutama untuk industri perikanan dan ekspor bijih besi. Pelabuhan Nouadhibou adalah salah satu yang tersibuk di Afrika Barat, menangani sebagian besar ekspor bijih besi negara yang diangkut melalui Kereta Api Mauritania dari tambang di Zouérat. Kota ini juga merupakan pusat perdagangan dan memiliki populasi yang signifikan. Kedekatannya dengan perbatasan Sahara Barat juga memberinya signifikansi strategis.
- Kiffa: Terletak di wilayah selatan-tengah Mauritania, Kiffa adalah ibu kota Region Assaba. Kota ini merupakan pusat perdagangan regional yang penting, terutama untuk ternak dan produk pertanian dari daerah sekitarnya. Kiffa juga memiliki signifikansi budaya, dikenal dengan pasar tradisionalnya dan sebagai persimpangan penting di jalur yang menghubungkan bagian selatan dan timur negara.
- Kaédi: Terletak di Region Gorgol di tepi Sungai Senegal, Kaédi adalah pusat pertanian penting dan salah satu kota terbesar di selatan Mauritania. Kota ini mendapat manfaat dari tanah yang relatif subur di lembah sungai dan merupakan pusat perdagangan regional untuk produk pertanian dan ternak. Kaédi juga memiliki rumah sakit regional dan beberapa institusi pendidikan.
- Zouérat: Terletak di Region Tiris Zemmour di bagian utara-tengah negara, Zouérat adalah kota pertambangan utama, yang berpusat di sekitar eksploitasi cadangan bijih besi yang besar. Hampir seluruh ekonomi kota bergantung pada industri pertambangan yang dikelola oleh perusahaan negara SNIM (Société Nationale Industrielle et Minière). Bijih besi diangkut dari Zouérat ke pelabuhan Nouadhibou melalui jalur kereta api terpanjang di dunia.
- Rosso: Terletak di Region Trarza di tepi Sungai Senegal, Rosso adalah kota perbatasan penting yang berhadapan langsung dengan kota Rosso di Senegal. Kota ini merupakan pusat perdagangan dan transportasi utama antara Mauritania dan Senegal, dengan layanan feri yang menghubungkan kedua negara. Pertanian juga penting bagi ekonomi lokal.
- Atar: Terletak di Dataran Tinggi Adrar, Atar adalah ibu kota Region Adrar dan merupakan pusat pariwisata penting karena kedekatannya dengan situs-situs kuno seperti Chinguetti dan Ouadane, serta oasis dan formasi batuan yang indah. Kota ini memiliki bandara dan merupakan pangkalan untuk menjelajahi wilayah gurun.
Kota-kota ini, bersama dengan pusat-pusat regional lainnya, mencerminkan keragaman geografis dan ekonomi Mauritania, dari pusat-pusat pesisir yang dinamis hingga kota-kota pedalaman yang bergantung pada pertanian, peternakan, atau pertambangan.
7. Hubungan Luar Negeri
Kebijakan dasar luar negeri Mauritania secara tradisional berpegang pada prinsip non-blok dan netralitas, meskipun dalam praktiknya negara ini seringkali menjalin hubungan erat dengan berbagai blok kekuatan tergantung pada dinamika regional dan internasional serta kepentingan nasionalnya. Sebagai anggota Liga Arab dan Uni Afrika, Mauritania berusaha menyeimbangkan identitas Arab dan Afrikanya. Kebijakan luar negerinya juga dipengaruhi oleh kebutuhan akan bantuan pembangunan dan investasi asing, serta tantangan keamanan di wilayah Sahel. Aspek kerjasama untuk pembangunan dan promosi hak asasi manusia menjadi semakin penting dalam diplomasi Mauritania, meskipun catatan domestik negara ini dalam hal hak asasi manusia sering mendapat sorotan.
7.1. Hubungan dengan negara tetangga
Mauritania berbagi perbatasan dan hubungan yang kompleks dengan negara-negara tetangganya:
- Maroko: Hubungan dengan Maroko secara historis rumit, terutama karena isu Sahara Barat. Meskipun Mauritania pernah mengklaim bagian dari Sahara Barat, negara ini kemudian menarik diri dan sekarang mempertahankan posisi netral. Hubungan ekonomi dan budaya tetap ada, tetapi ketegangan politik terkait Sahara Barat kadang-kadang muncul.
- Aljazair: Aljazair adalah pendukung utama Front Polisario dalam konflik Sahara Barat, yang menciptakan dinamika tersendiri dalam hubungan dengan Mauritania. Meskipun demikian, kedua negara berupaya menjaga hubungan kerja sama, terutama dalam isu keamanan regional dan ekonomi. Terdapat jalur perbatasan resmi dan upaya untuk meningkatkan perdagangan.
- Mali: Mauritania dan Mali berbagi perbatasan panjang yang sebagian besar berupa gurun dan sulit dikontrol, menjadikannya rentan terhadap aktivitas penyelundupan dan kelompok bersenjata. Kedua negara bekerja sama dalam isu keamanan, terutama dalam konteks G5 Sahel. Terdapat juga hubungan sosial dan ekonomi yang erat antara komunitas di kedua sisi perbatasan, termasuk migrasi dan perdagangan ternak. Ketidakstabilan di Mali berdampak langsung pada keamanan Mauritania.
- Senegal: Hubungan dengan Senegal umumnya erat karena kedekatan geografis, budaya, dan ekonomi. Sungai Senegal membentuk perbatasan alami dan merupakan sumber daya bersama yang penting. Namun, pernah terjadi konflik perbatasan pada tahun 1989-1991 yang dipicu oleh sengketa hak penggembalaan dan sumber daya air, yang menyebabkan ketegangan etnis dan pengusiran puluhan ribu orang dari kedua negara. Saat ini, hubungan telah membaik dengan fokus pada kerjasama ekonomi, pengelolaan sumber daya bersama, dan isu-isu keamanan.
Isu-isu perbatasan utama umumnya terkait dengan pengelolaan sumber daya bersama (seperti air Sungai Senegal dan lahan penggembalaan), pergerakan lintas batas (termasuk pengungsi dan migran), serta keamanan dari kelompok ekstremis dan jaringan kriminal. Kerjasama regional, seperti melalui Uni Afrika, Uni Arab Maghreb (meskipun kurang aktif), dan inisiatif seperti G5 Sahel, penting bagi Mauritania dalam mengatasi tantangan-tantangan ini.
7.2. Hubungan dengan negara-negara besar lainnya
Mauritania menjalin hubungan diplomatik dan kerjasama ekonomi dengan berbagai negara besar di dunia:
- Prancis: Sebagai bekas kekuatan kolonial, Prancis mempertahankan pengaruh budaya, ekonomi, dan politik yang signifikan di Mauritania. Prancis adalah mitra dagang penting, investor utama, dan penyedia bantuan pembangunan serta kerjasama militer. Banyak elit Mauritania dididik di Prancis, dan bahasa Prancis masih digunakan secara luas.
- Amerika Serikat: Hubungan dengan Amerika Serikat telah berkembang, terutama dalam bidang keamanan dan kontra-terorisme. AS memberikan bantuan militer dan pelatihan kepada Mauritania untuk memerangi kelompok ekstremis di Sahel. Kerjasama ekonomi dan program bantuan pembangunan juga ada, meskipun hubungan ini kadang dipengaruhi oleh catatan hak asasi manusia Mauritania.
- Tiongkok: Tiongkok telah menjadi mitra ekonomi yang semakin penting bagi Mauritania, terutama dalam investasi di sektor infrastruktur, pertambangan, dan perikanan. Tiongkok juga merupakan pasar ekspor utama untuk beberapa komoditas Mauritania. Hubungan ini umumnya berfokus pada ekonomi tanpa banyak menyinggung isu politik dalam negeri.
- Negara-negara Arab lainnya: Sebagai anggota Liga Arab, Mauritania memiliki hubungan erat dengan negara-negara Arab lainnya, terutama negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang merupakan sumber penting bantuan keuangan dan investasi. Hubungan dengan negara-negara Maghreb lainnya seperti Aljazair dan Maroko dipengaruhi oleh dinamika regional, termasuk isu Sahara Barat. Mauritania juga pernah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 1999, menjadi salah satu dari sedikit anggota Liga Arab yang melakukannya pada saat itu, meskipun hubungan ini kemudian dibekukan pada tahun 2009 dan diputus secara resmi pada tahun 2010 sebagai respons terhadap tekanan domestik dan regional terkait konflik Israel-Palestina.
8. Ekonomi
Ekonomi Mauritania, meskipun kaya akan sumber daya alam, memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) yang relatif rendah dan menghadapi tantangan pembangunan yang signifikan. Mayoritas penduduk masih bergantung pada pertanian dan peternakan untuk mata pencaharian, meskipun banyak nomaden dan petani subsisten terpaksa pindah ke kota akibat kekeringan berulang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Indikator ekonomi utama menunjukkan ketergantungan yang besar pada ekspor komoditas primer. Tren ekonomi terkini dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas global, investasi asing di sektor pertambangan dan perikanan, serta upaya pemerintah untuk diversifikasi ekonomi. Rencana pembangunan nasional seringkali berfokus pada pengurangan kemiskinan, peningkatan infrastruktur, dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Namun, isu distribusi kekayaan yang tidak merata dan dampak sosial dari kebijakan ekonomi, seperti penggusuran untuk proyek pembangunan atau kondisi kerja di sektor tertentu, tetap menjadi perhatian utama dari perspektif keadilan sosial. Korupsi dan tata kelola yang lemah juga menghambat potensi ekonomi negara.
8.1. Industri utama

Sektor-sektor industri inti yang membentuk ekonomi Mauritania meliputi:
- Pertambangan: Ini adalah sektor ekspor utama.
- Bijih Besi: Mauritania memiliki deposit bijih besi yang luas, yang menyumbang sebagian besar pendapatan ekspor negara. Perusahaan negara SNIM (Société Nationale Industrielle et Minière) mendominasi produksi dan ekspor bijih besi. Kondisi kerja di sektor ini terkadang menjadi sorotan, terutama terkait keselamatan dan upah.
- Emas dan Tembaga: Beberapa tahun terakhir, penambangan emas dan tembaga semakin berkembang dengan masuknya perusahaan asing. Produksi emas pada tahun 2015 mencapai 9 metrik ton. Sektor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap ekspor, tetapi isu terkait dampak lingkungan dan pembagian keuntungan dengan komunitas lokal sering muncul.
- Perikanan: Perairan pesisir Mauritania di Samudra Atlantik adalah salah satu yang terkaya di dunia. Sektor perikanan merupakan sumber penting pendapatan ekspor dan lapangan kerja. Ikan dan produk laut lainnya diekspor terutama ke Eropa dan Asia. Namun, eksploitasi berlebihan oleh armada penangkapan ikan asing dan domestik menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan sumber daya ini. Kondisi kerja bagi nelayan, terutama nelayan skala kecil dan pekerja di kapal asing, seringkali buruk dan tidak aman.
- Pertanian: Meskipun sebagian besar wilayah Mauritania adalah gurun, pertanian tetap penting untuk mata pencaharian sebagian penduduk, terutama di wilayah selatan di sepanjang Sungai Senegal dan di oasis-oasis. Tanaman utama meliputi millet, sorgum, padi, jagung, dan kurma. Sektor ini sangat rentan terhadap kekeringan dan perubahan iklim. Akses terhadap lahan dan air sering menjadi sumber konflik.
- Peternakan: Peternakan, terutama unta, sapi, kambing, dan domba, adalah kegiatan ekonomi tradisional yang penting, khususnya bagi populasi nomaden dan semi-nomaden. Ternak menyediakan sumber makanan, pendapatan, dan merupakan bagian integral dari budaya Mauritania. Kekeringan dan degradasi lahan penggembalaan menjadi tantangan utama bagi sektor ini.
Isu keadilan sosial dalam industri-industri ini mencakup upah yang rendah, kondisi kerja yang tidak aman, kurangnya perlindungan bagi pekerja, dampak lingkungan terhadap komunitas lokal (terutama dari pertambangan), dan distribusi manfaat ekonomi yang tidak merata. Praktik perburuhan paksa dan perbudakan, meskipun ilegal, dilaporkan masih terjadi di beberapa sektor informal, termasuk pertanian dan peternakan.
8.2. Sumber daya alam
Mauritania diberkahi dengan berbagai sumber daya alam yang signifikan, yang memainkan peran penting dalam ekonominya, meskipun pengelolaannya dan distribusi manfaatnya sering menjadi subjek perdebatan.
- Bijih Besi: Ini adalah sumber daya alam paling penting Mauritania. Cadangan bijih besi berkualitas tinggi terdapat di wilayah utara, terutama di sekitar Zouérat. Bijih besi menyumbang porsi terbesar dari pendapatan ekspor negara. Eksploitasi dilakukan oleh perusahaan negara SNIM.
- Emas: Penemuan cadangan emas yang signifikan telah menarik investasi asing dan meningkatkan produksi emas dalam beberapa tahun terakhir. Wilayah seperti Tasiast memiliki tambang emas skala besar.
- Tembaga: Tembaga juga ditambang di Mauritania, seringkali berasosiasi dengan deposit emas. Tambang Guelb Moghrein di dekat Akjoujt adalah salah satu produsen tembaga utama.
- Minyak Bumi dan Gas Alam: Minyak ditemukan di lepas pantai Mauritania pada tahun 2001 di ladang Chinguetti. Produksi dimulai pada tahun 2006, meskipun hasilnya tidak sebesar yang diharapkan dan telah menurun. Namun, eksplorasi terus berlanjut, dan penemuan cadangan gas alam lepas pantai yang besar, seperti ladang Greater Tortue Ahmeyim, yang dikembangkan bersama dengan Senegal, menjanjikan potensi pendapatan signifikan di masa depan. Pengembangan sumber daya gas ini diharapkan dapat mengubah lanskap energi dan ekonomi negara.
- Fosfat: Terdapat juga cadangan fosfat, meskipun pengembangannya belum sebesar mineral lain.
- Sumber Daya Perikanan: Perairan Atlantik Mauritania sangat kaya akan berbagai jenis ikan dan hasil laut lainnya, menjadikannya salah satu zona penangkapan ikan paling produktif di dunia.
- Gipsum: Mauritania memiliki cadangan gipsum yang besar, yang sebagian diekspor.
Pengembangan sumber daya alam ini memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB dan pendapatan ekspor Mauritania. Namun, ketergantungan yang besar pada komoditas ini membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga global. Dampak sosial dan lingkungan dari eksploitasi sumber daya alam juga menjadi perhatian. Isu-isu seperti pembagian keuntungan yang adil dengan komunitas lokal, transparansi dalam pengelolaan pendapatan sumber daya alam (Mauritania adalah anggota EITI), kondisi kerja di sektor pertambangan dan perikanan, serta kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan dan penangkapan ikan berlebihan, terus menjadi tantangan. Keadilan sosial dalam pemanfaatan sumber daya ini, termasuk pencegahan korupsi dan memastikan manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan.
8.3. Transportasi

Infrastruktur transportasi di Mauritania masih terbatas dan menghadapi banyak tantangan, terutama karena luasnya wilayah gurun dan kepadatan penduduk yang rendah.
- Jalan Raya: Jaringan jalan raya utama menghubungkan ibu kota Nouakchott dengan kota-kota besar lainnya dan negara-negara tetangga. Jalan lintas utama adalah jalan raya Nouakchott-Nouadhibou yang membentang di sepanjang pesisir, dan jalan raya yang menghubungkan Nouakchott ke selatan menuju Rosso (perbatasan Senegal) dan ke timur menuju Néma dan Mali. Namun, banyak jalan sekunder dan pedesaan yang tidak beraspal dan sulit dilalui, terutama selama musim hujan atau badai pasir. Pemeliharaan jalan yang ada juga menjadi tantangan. Di perkotaan, keledai yang menarik gerobak, yang dikenal sebagai charrette, masih umum digunakan sebagai alat transportasi barang, meskipun dapat menyebabkan kemacetan. Aturan lalu lintas sering diabaikan, dan kondisi jalan yang buruk serta keberadaan hewan di jalan raya menjadi risiko.
- Kereta Api: Mauritania memiliki satu jalur kereta api utama, yaitu Kereta Api Mauritania, yang membentang sekitar 704 km dari pusat pertambangan bijih besi di Zouérat di pedalaman hingga pelabuhan Nouadhibou di pesisir Atlantik. Jalur ini dibangun pada tahun 1963 dan utamanya digunakan untuk mengangkut bijih besi, yang merupakan ekspor utama negara. Kereta api ini terkenal karena merupakan salah satu kereta terpanjang dan terberat di dunia, seringkali membawa lebih dari 200 gerbong dengan panjang total mencapai 3 km. Selain bijih besi, kereta ini juga mengangkut penumpang dan barang-barang lain, meskipun fasilitas untuk penumpang sangat terbatas.
- Pelabuhan: Pelabuhan utama Mauritania adalah:
- Pelabuhan Nouakchott (Port de l'Amitié): Pelabuhan serbaguna yang menangani sebagian besar kargo umum, kontainer, dan produk minyak impor. Dibuka pada tahun 1986, pelabuhan ini penting untuk perdagangan internasional Mauritania.
- Pelabuhan Nouadhibou: Terutama merupakan pelabuhan untuk ekspor bijih besi dan pusat penting bagi industri perikanan. Pelabuhan ini memiliki terminal khusus untuk bijih besi dan fasilitas untuk armada penangkapan ikan.
- Bandar Udara: Bandar udara internasional utama adalah Bandar Udara Internasional Nouakchott-Oumtounsy (menggantikan bandara lama Nouakchott). Terdapat juga bandara di kota-kota regional lain seperti Nouadhibou dan Atar, yang melayani penerbangan domestik dan beberapa penerbangan internasional terbatas. Transportasi udara penting untuk menghubungkan wilayah-wilayah terpencil di negara yang luas ini.
Tantangan utama dalam pengembangan infrastruktur transportasi meliputi pendanaan yang terbatas, kondisi geografis yang sulit (gurun pasir yang luas), kurangnya pemeliharaan, dan kapasitas teknis yang terbatas. Peningkatan infrastruktur transportasi dianggap krusial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, integrasi regional, dan aksesibilitas layanan bagi penduduk di seluruh negeri.
9. Masyarakat
Masyarakat Mauritania mencerminkan perpaduan kompleks antara budaya Arab-Berber dan Afrika Sub-Sahara, dengan struktur sosial yang seringkali dipengaruhi oleh garis keturunan, etnis, dan tradisi historis, termasuk warisan perbudakan. Upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil menghadapi tantangan signifikan terkait diskriminasi, ketidaksetaraan, dan penegakan hak asasi manusia.
9.1. Demografi
Populasi Mauritania | |
---|---|
Tahun | Juta |
1950 | 0,7 |
2000 | 2,7 |
2021 (Perk.) | 4,3 |
Pada tahun 2021, Mauritania memiliki populasi sekitar 4,3 juta jiwa. Sebagian besar penduduk, kira-kira sepertiga, terkonsentrasi di ibu kota dan kota terbesar, Nouakchott, di pesisir Atlantik.
- Laju Pertumbuhan Penduduk: Tingkat pertumbuhan penduduk Mauritania relatif tinggi, didorong oleh angka kelahiran yang tinggi.
- Kepadatan Penduduk: Kepadatan penduduk secara keseluruhan sangat rendah karena sebagian besar wilayah negara adalah gurun. Populasi terkonsentrasi di wilayah selatan (terutama di sepanjang Sungai Senegal), di wilayah pesisir, dan di beberapa oasis.
- Struktur Usia: Populasi Mauritania sangat muda, dengan persentase besar penduduk berusia di bawah 15 tahun. Ini memberikan potensi bonus demografi tetapi juga tekanan pada layanan pendidikan, kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja.
- Tingkat Urbanisasi: Terjadi urbanisasi yang cepat dalam beberapa dekade terakhir, sebagian besar disebabkan oleh kekeringan yang memaksa penduduk pedesaan pindah ke kota untuk mencari peluang ekonomi dan layanan yang lebih baik. Nouakchott dan Nouadhibou adalah pusat perkotaan utama.
Data demografis ini penting untuk perencanaan pembangunan dan alokasi sumber daya, serta untuk memahami tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi negara.
9.2. Kelompok etnis
Komposisi etnis Mauritania beragam dan seringkali menjadi faktor penting dalam dinamika sosial dan politik. Kelompok-kelompok utama meliputi:
- Bidhan (juga dikenal sebagai "Moor Putih"): Merupakan sekitar 30% dari populasi. Mereka adalah penutur dialek Arab Hassaniyah dan secara historis merupakan kelompok dominan secara politik dan sosial. Asal-usul mereka adalah campuran Arab dan Berber. Budaya mereka sangat dipengaruhi oleh tradisi nomaden gurun.
- Haratin (juga dikenal sebagai "Moor Hitam"): Merupakan kelompok etnis terbesar, sekitar 40% dari populasi. Mereka juga penutur Hassaniyah dan berbagi banyak aspek budaya dengan Bidhan, tetapi secara historis memiliki status sosial yang lebih rendah dan banyak di antara mereka adalah keturunan mantan budak. Meskipun perbudakan secara resmi dihapuskan, Haratin terus menghadapi diskriminasi sosial dan ekonomi yang signifikan. Perjuangan untuk hak-hak Haratin adalah isu sentral dalam politik hak asasi manusia di Mauritania.
- Afrika Sub-Sahara (sering disebut sebagai Afro-Mauritania): Merupakan sekitar 30% dari populasi dan terdiri dari beberapa kelompok etnis utama, termasuk:
- Fulani (juga dikenal sebagai Halpulaar atau Peul): Kelompok penggembala semi-nomaden yang tersebar luas di Sahel.
- Soninke: Kelompok agraris dan pedagang yang secara historis terkait dengan Kerajaan Ghana kuno.
- Wolof: Terutama ditemukan di selatan, dekat perbatasan dengan Senegal, dan memiliki hubungan budaya yang erat dengan Wolof di Senegal.
- Bambara: Kelompok lain yang ditemukan di wilayah selatan.
Setiap kelompok etnis ini memiliki bahasa, tradisi budaya, dan sejarahnya sendiri. Dinamika antar-etnis seringkali kompleks dan kadang-kadang tegang, terutama terkait dengan akses terhadap sumber daya, perwakilan politik, dan isu-isu identitas. Diskriminasi terhadap kelompok Haratin dan Afrika Sub-Sahara oleh kelompok Bidhan yang dominan telah menjadi sumber konflik sosial dan kritik hak asasi manusia. Upaya untuk mempromosikan kesetaraan dan inklusivitas sosial menghadapi tantangan dari struktur sosial yang mengakar dan ketidaksetaraan historis.
9.3. Bahasa
Bahasa resmi dan nasional Mauritania adalah bahasa Arab. Varietas lokal yang dituturkan, dikenal sebagai Hassaniyah, mengandung banyak kata dari bahasa-bahasa Berber dan secara signifikan berbeda dari bahasa Arab Baku Modern yang digunakan untuk komunikasi resmi dan pengajaran formal.
Bahasa Prancis, warisan dari periode kolonial, tidak memiliki status resmi tetapi digunakan secara luas sebagai bahasa administrasi, bisnis, dan media, serta sebagai bahasa pengantar di beberapa tingkat pendidikan, terutama untuk mata pelajaran ilmiah. Penggunaannya umum di kalangan kelas terdidik.
Selain itu, beberapa bahasa etnis Afrika Sub-Sahara diakui sebagai bahasa nasional dan digunakan secara luas dalam komunitas masing-masing. Ini termasuk:
- Bahasa Pulaar (dituturkan oleh Fulani)
- Bahasa Soninke (dituturkan oleh Soninke)
- Bahasa Wolof (dituturkan oleh Wolof)
Penggunaan bahasa Inggris juga meningkat, terutama di kalangan pemuda dan dalam konteks bisnis internasional serta pendidikan tinggi.
Kebijakan bahasa, terutama dalam sistem pendidikan, terkadang menjadi isu yang sensitif, mencerminkan dinamika identitas budaya dan etnis di negara tersebut. Ada upaya untuk mempromosikan penggunaan bahasa Arab Baku Modern sambil mengakui pentingnya bahasa-bahasa nasional lainnya.
9.4. Agama

Islam adalah agama negara dan dianut oleh hampir 100% populasi Mauritania, dengan mayoritas penduduk menganut Islam Sunni dari mazhab Maliki. Praktik keagamaan sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari, hukum, dan budaya. Sufisme, khususnya tarekat Tijaniyyah dan Qadiriyyah, memiliki pengaruh besar tidak hanya di negara ini tetapi juga di Maroko, Aljazair, Senegal, dan negara-negara tetangga lainnya.
Konstitusi Mauritania menetapkan Islam sebagai agama negara dan Syariah sebagai sumber hukum. Meskipun demikian, interpretasi dan penerapan Syariah bervariasi. Kebebasan beragama sangat dibatasi. Murtad dari Islam, atau apostasi, adalah ilegal dan dapat dihukum mati. Pada tanggal 27 April 2018, Majelis Nasional mengesahkan undang-undang yang mewajibkan hukuman mati bagi siapa pun yang terbukti bersalah atas "ujaran menghujat" dan tindakan yang dianggap "penistaan agama," menghapus kemungkinan penggantian hukuman mati dengan hukuman penjara jika pelaku segera bertobat. Undang-undang tersebut juga mengatur hukuman penjara hingga dua tahun dan denda hingga 600.00 K MRU (sekitar 14.60 K EUR pada saat itu) untuk "menyinggung kesusilaan publik dan nilai-nilai Islam" serta "melanggar larangan Allah" atau membantu pelanggaraannya.
Agama minoritas sangat kecil jumlahnya. Keuskupan Katolik Roma Nouakchott, yang didirikan pada tahun 1965, melayani sekitar 4.500 umat Katolik, sebagian besar adalah warga asing dari Afrika Barat dan Eropa. Pada tahun 2020, jumlah umat Kristen di Mauritania diperkirakan sekitar 10.000 orang. Kegiatan penyebaran agama selain Islam kepada warga Mauritania dilarang keras.
Isu kebebasan beragama dan perlakuan terhadap mereka yang dianggap menyimpang dari interpretasi Islam yang dominan menjadi perhatian organisasi hak asasi manusia internasional.
9.5. Pendidikan

Sistem pendidikan di Mauritania menghadapi banyak tantangan dalam menyediakan akses yang adil dan berkualitas bagi seluruh penduduknya, terutama mengingat wilayah geografis yang luas, tingkat kemiskinan, dan keragaman bahasa. Pendidikan dasar (usia 6-12 tahun) secara resmi gratis dan wajib, diikuti oleh pendidikan menengah dan tinggi.
- Jenjang Pendidikan:
- Pendidikan Dasar: Berlangsung selama enam tahun.
- Pendidikan Menengah: Terbagi menjadi siklus pertama (college) selama tiga tahun dan siklus kedua (lycée) selama tiga tahun, yang mengarah ke ujian Baccalauréat.
- Pendidikan Tinggi: Universitas Nouakchott Al Aasriya adalah institusi pendidikan tinggi utama di negara ini. Terdapat juga beberapa institut teknis dan kejuruan lainnya. Namun, banyak warga Mauritania yang berpendidikan tinggi menempuh studi di luar negeri.
- Bahasa Pengantar: Sejak tahun 1999, semua pengajaran pada tahun pertama sekolah dasar menggunakan Bahasa Arab Baku Modern. Bahasa Prancis diperkenalkan pada tahun kedua dan digunakan untuk mengajar semua mata pelajaran ilmiah. Penggunaan Bahasa Inggris juga semakin meningkat. Kebijakan bahasa dalam pendidikan sering menjadi isu yang kompleks.
- Lembaga Pendidikan Utama: Selain sekolah negeri, terdapat juga sekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah agama tradisional (mahadra) yang mengajarkan studi Islam. Mahadra memainkan peran penting dalam pelestarian tradisi keilmuan Islam.
- Tingkat Melek Huruf: Tingkat melek huruf di Mauritania masih relatif rendah, meskipun ada peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Terdapat kesenjangan yang signifikan dalam tingkat melek huruf antara laki-laki dan perempuan, serta antara daerah perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2003, tingkat melek huruf untuk penduduk berusia 15 tahun ke atas adalah 51,2%.
- Tantangan: Sistem pendidikan menghadapi berbagai tantangan, termasuk:
- Kurangnya infrastruktur sekolah yang memadai, terutama di daerah pedesaan.
- Kekurangan guru yang berkualitas dan terlatih.
- Tingginya angka putus sekolah, terutama di kalangan anak perempuan dan di daerah miskin.
- Kurikulum yang terkadang dianggap kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
- Akses terbatas ke sumber daya pendidikan seperti buku pelajaran dan teknologi.
- Dampak praktik tradisional seperti pernikahan anak terhadap partisipasi pendidikan anak perempuan.
Pengeluaran publik untuk pendidikan adalah 10,1% dari pengeluaran pemerintah tahun 2000-2007. Pada tahun 2024, Mauritania menduduki peringkat ke-126 dari 139 dalam Indeks Inovasi Global. Peningkatan kualitas dan aksesibilitas pendidikan dianggap krusial untuk pembangunan sosial dan ekonomi jangka panjang Mauritania.
9.6. Kesehatan
Sistem kesehatan di Mauritania menghadapi tantangan besar karena kemiskinan yang meluas, infrastruktur yang terbatas, dan kondisi geografis yang sulit.
- Indikator Kesehatan Utama:
- Harapan Hidup: Pada tahun 2011, harapan hidup saat lahir adalah 61,14 tahun.
- Angka Kematian Bayi: Angka kematian bayi pada tahun 2011 diperkirakan 60,42 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini tetap menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, mencerminkan kurangnya akses ke perawatan neonatal dan maternal yang berkualitas.
- Aksesibilitas Layanan Kesehatan: Akses ke layanan kesehatan sangat terbatas, terutama di daerah pedesaan. Fasilitas kesehatan seringkali kekurangan staf, peralatan medis, dan obat-obatan esensial. Jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan juga menjadi kendala bagi banyak penduduk. Pengeluaran per kapita untuk kesehatan adalah 43 USD (PPP) pada tahun 2004. Pengeluaran publik untuk kesehatan adalah 2% dari PDB pada tahun 2004, dan swasta 0,9% dari PDB pada tahun 2004. Pada awal abad ke-21, terdapat 11 dokter per 100.000 penduduk.
- Penyakit Utama dan Masalah Kesehatan Masyarakat:
- Penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis, dan penyakit diare masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian, terutama di kalangan anak-anak.
- Malnutrisi merupakan masalah serius, khususnya pada anak-anak dan ibu hamil, yang diperburuk oleh kekeringan dan kerawanan pangan.
- Penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung mulai meningkat, terutama di daerah perkotaan, seiring dengan perubahan gaya hidup.
- Akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak masih terbatas, berkontribusi pada penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air.
- Praktik Tradisional dan Dampaknya terhadap Kesehatan:
- Leblouh (juga dikenal sebagai gavage dalam bahasa Prancis): Ini adalah praktik pemberian makan paksa kepada anak perempuan dan wanita muda untuk membuat mereka gemuk, karena obesitas secara tradisional dianggap sebagai tanda kecantikan dan status sosial di beberapa komunitas. Praktik ini dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius, termasuk obesitas, diabetes, penyakit jantung, masalah persendian, dan komplikasi kehamilan. Tingkat obesitas di kalangan wanita Mauritania tinggi, sebagian karena praktik ini. Meskipun kesadaran akan dampak negatifnya meningkat, praktik ini dilaporkan masih ada.
- Mutilasi alat kelamin perempuan (FGM): Meskipun ilegal, FGM masih dipraktikkan di beberapa komunitas dan memiliki konsekuensi kesehatan fisik dan psikologis yang parah bagi perempuan dan anak perempuan.
- Penggunaan obat-obatan tradisional dan praktik penyembuhan tradisional lainnya tersebar luas, terkadang menunda atau menghalangi akses ke perawatan medis modern.
Upaya untuk meningkatkan sistem kesehatan di Mauritania mencakup peningkatan infrastruktur, pelatihan tenaga kesehatan, program vaksinasi, dan kampanye kesadaran kesehatan masyarakat. Namun, kemajuan terhambat oleh sumber daya yang terbatas dan tantangan sosial-ekonomi yang lebih luas.
10. Hak Asasi Manusia

Situasi hak asasi manusia di Mauritania secara umum masih memprihatinkan dan menjadi sorotan komunitas internasional. Tantangan dalam penegakan hak asasi manusia sangat signifikan, terutama dari perspektif liberal sosial yang menekankan kesetaraan, kebebasan, dan martabat individu. Pemerintahan Abdallahi secara luas dianggap korup dan membatasi akses terhadap informasi pemerintah. Isu-isu seperti seksisme, rasisme, mutilasi alat kelamin perempuan, pekerja anak, perdagangan manusia, dan marginalisasi politik kelompok etnis yang sebagian besar berbasis di selatan terus menjadi masalah.
- Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Berserikat: Kebebasan ini seringkali dibatasi. Jurnalis, aktivis hak asasi manusia, dan anggota oposisi politik menghadapi intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, dan pembatasan dalam menjalankan kegiatan mereka. Undang-undang yang ambigu tentang pencemaran nama baik dan penyebaran berita palsu digunakan untuk menekan kritik terhadap pemerintah.
- Hak-hak Perempuan dan Anak: Perempuan menghadapi diskriminasi dalam hukum dan praktik, termasuk dalam hal warisan, perkawinan, dan partisipasi politik. Kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual masih menjadi masalah serius. Pernikahan anak masih umum terjadi, terutama di daerah pedesaan. Anak-anak juga rentan terhadap eksploitasi kerja, terutama di sektor informal. Praktik mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) tetap meluas meskipun ilegal.
- Diskriminasi Etnis dan Rasial: Diskriminasi terhadap kelompok etnis minoritas, khususnya Haratin (Moor Hitam) dan komunitas Afrika Sub-Sahara, sangat mengakar. Diskriminasi ini termanifestasi dalam akses terbatas terhadap pendidikan, pekerjaan, layanan publik, dan perwakilan politik. Ketegangan etnis kadang-kadang memicu kekerasan.
- Represi Politik dan Penahanan Sewenang-wenang: Pemerintah sering menggunakan sistem peradilan untuk menekan perbedaan pendapat. Penahanan sewenang-wenang, penahanan pra-sidang yang berkepanjangan, dan kondisi penjara yang buruk adalah masalah umum. Penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap tahanan juga dilaporkan terjadi, dan impunitas bagi aparat keamanan yang terlibat masih menjadi norma. Amnesty International pada tahun 2008 menuduh bahwa penyiksaan adalah hal biasa di Mauritania, dan menyatakan bahwa penggunaannya "sangat mengakar dalam budaya pasukan keamanan," yang menggunakannya "sebagai sistem investigasi dan represi." Bentuk-bentuk penyiksaan yang digunakan termasuk luka bakar rokok, sengatan listrik, dan kekerasan seksual. Pada tahun 2014, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengidentifikasi penyiksaan oleh penegak hukum Mauritania sebagai salah satu "masalah hak asasi manusia utama" di negara itu. Juan E. Méndez, seorang ahli independen hak asasi manusia dari PBB, melaporkan pada tahun 2016 bahwa perlindungan hukum terhadap penyiksaan ada tetapi tidak diterapkan di Mauritania, menunjuk pada "hampir tidak adanya penyelidikan atas tuduhan penyiksaan."
- Hak-hak LGBT: Homoseksualitas adalah ilegal dan merupakan tindak pidana berat di Mauritania, yang dapat dihukum mati.
- Kebebasan Beragama: Kebebasan beragama sangat dibatasi. Murtad dari Islam dapat dihukum mati.
Upaya pemerintah untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia seringkali dianggap tidak memadai. Meskipun ada beberapa kemajuan legislatif, implementasi dan penegakan hukum tetap lemah. Organisasi masyarakat sipil lokal dan internasional terus memainkan peran penting dalam memantau situasi hak asasi manusia dan mengadvokasi reformasi.
Menurut Laporan Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri AS tahun 2010, pelanggaran di Mauritania meliputi: perlakuan buruk terhadap tahanan dan narapidana; impunitas pasukan keamanan; penahanan pra-sidang yang berkepanjangan; kondisi penjara yang keras; penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; pembatasan kebebasan pers dan berkumpul; korupsi; diskriminasi terhadap perempuan; mutilasi alat kelamin perempuan (FGM); pernikahan anak; marginalisasi politik kelompok etnis berbasis selatan; diskriminasi ras dan etnis; perbudakan dan praktik terkait perbudakan; dan pekerja anak. Inisiatif seperti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) bertujuan untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Melalui perbaikan ekonomi biru dan transisi energi hijau, UNDP berupaya menciptakan peluang kerja, terutama bagi kaum muda dan perempuan, yang kurang terwakili di pasar kerja Mauritania.
10.1. Perbudakan modern
Perbudakan modern, meskipun secara resmi telah dihapuskan beberapa kali (tahun 1905 oleh administrasi kolonial Prancis, tahun 1981 melalui dekrit presiden, dan dikriminalisasi pada tahun 2007 serta diperkuat dengan undang-undang pada tahun 2015), tetap menjadi kenyataan pahit dan isu hak asasi manusia yang paling mendesak di Mauritania. Praktik ini sangat mengakar dalam sejarah dan struktur sosial negara, terutama sebagai bentuk perbudakan berdasarkan keturunan.
- Latar Belakang Sejarah: Perbudakan di Mauritania secara historis terkait dengan sistem kasta yang kompleks. Kelompok Haratin (Moor Hitam) adalah yang paling terdampak, di mana banyak dari mereka adalah keturunan orang-orang yang diperbudak oleh Bidhan (Moor Putih). Status budak diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan siklus perbudakan yang sulit diputus. Meskipun perbudakan juga ada di antara populasi Mauritania Sub-Sahara di bagian selatan negara, dengan beberapa orang Mauritania Sub-Sahara memiliki budak dengan warna kulit yang sama dengan mereka, dan beberapa perkiraan bahkan menyatakan bahwa perbudakan saat ini lebih tersebar luas di bagian populasi tersebut.
- Realitas Saat Ini: Diperkirakan ratusan ribu orang Mauritania masih hidup dalam kondisi perbudakan atau praktik serupa perbudakan. Global Slavery Index tahun 2018 memperkirakan ada sekitar 90.000 budak di negara itu (atau 2,1% dari populasi), angka yang sangat tinggi secara global. Sebuah dokumenter CNN pada tahun 2012 memperkirakan bahwa 10% hingga 20% populasi Mauritania (antara 340.000 dan 680.000 orang) hidup dalam perbudakan, meskipun beberapa akademisi menganggap perkiraan ini terlalu tinggi. Bentuk-bentuk perbudakan modern meliputi kerja paksa tanpa bayaran (terutama di sektor pertanian, peternakan, dan pekerjaan rumah tangga), perbudakan seksual, dan eksploitasi anak. Para budak seringkali tidak memiliki hak dasar, tidak memiliki akses ke pendidikan atau layanan kesehatan, dan hidup dalam kondisi yang sangat miskin.
- Penghapusan Secara Hukum dan Kesulitan Implementasi: Meskipun Mauritania adalah negara terakhir di dunia yang secara resmi menghapuskan perbudakan pada tahun 1981, dan kemudian mengkriminalisasikannya pada tahun 2007 dengan hukuman hingga 10 tahun penjara bagi pemilik budak, penegakan hukum tetap sangat lemah. Hanya sedikit kasus yang berhasil dituntut di bawah undang-undang anti-perbudakan. Pemerintah seringkali menyangkal atau meremehkan keberadaan perbudakan.
- Kritik Domestik dan Internasional serta Upaya Mengatasi: Organisasi hak asasi manusia lokal seperti Initiative for the Resurgence of the Abolitionist Movement (IRA-Mauritania), yang dipimpin oleh aktivis seperti Biram Dah Abeid, telah menjadi ujung tombak dalam memerangi perbudakan. Namun, para aktivis anti-perbudakan sering menghadapi intimidasi, penangkapan, pemenjaraan, dan penyiksaan dari pihak berwenang. Komunitas internasional, termasuk PBB dan berbagai LSM, terus menekan pemerintah Mauritania untuk mengambil tindakan yang lebih efektif.
- Hambatan Mengakhiri Perbudakan: Beberapa faktor menghambat upaya pemberantasan perbudakan, antara lain:
- Kesulitan menegakkan hukum di wilayah gurun yang luas.
- Kemiskinan yang membatasi peluang bagi mantan budak untuk mandiri jika dibebaskan.
- Keyakinan yang mengakar di sebagian masyarakat bahwa perbudakan adalah bagian dari tatanan sosial yang alami.
- Kurangnya kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif.
- Struktur sosial dan sistem kasta yang mendukung praktik perbudakan.
Isu perbudakan modern di Mauritania mencerminkan pelanggaran berat terhadap martabat manusia dan keadilan sosial. Upaya untuk memberantasnya memerlukan tindakan hukum yang tegas, dukungan bagi korban, perubahan sosial budaya, dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah, serta dukungan berkelanjutan dari komunitas internasional.
11. Budaya
Budaya Mauritania adalah perpaduan unik dari tradisi Arab-Berber dan Afrika Sub-Sahara, yang tercermin dalam musik, seni, kuliner, dan gaya hidup masyarakatnya. Pengaruh Islam sangat kuat dalam semua aspek budaya.
Pengrajin perak Tuareg dan Mauritania telah mengembangkan tradisi perhiasan Berber tradisional dan kerajinan logam yang telah dikenakan oleh wanita dan pria Mauritania. Menurut penelitian tentang perhiasan Tuareg dan Mauritania, yang terakhir biasanya lebih dihias dan mungkin membawa elemen piramida khas.
Pembuatan film untuk beberapa dokumenter, film, dan acara televisi telah berlangsung di Mauritania, termasuk Fort Saganne (1984), The Fifth Element (1997), Winged Migration (2001), Timbuktu (2014), dan The Grand Tour (2024).
Acara TV Atlas of Cursed Places (2020) yang ditayangkan di Discovery Channel dan National Geographic Channel memiliki sebuah episode yang menyebutkan Mauritania sebagai lokasi yang mungkin untuk kota yang hilang Atlantis. Lokasi yang mereka pertimbangkan adalah formasi geologi yang terdiri dari serangkaian cincin yang dikenal sebagai Struktur Richat, yang terletak di Sahara Barat.
T'heydinn adalah bagian dari tradisi lisan Moor. Perpustakaan-perpustakaan di Chinguetti menyimpan ribuan manuskrip abad pertengahan yang bernilai tinggi.

11.1. Tradisi dan gaya hidup
Tradisi nomaden masih memengaruhi gaya hidup banyak orang Mauritania, meskipun urbanisasi meningkat. Keramahan adalah nilai penting dalam budaya Mauritania.
- Pakaian: Pakaian tradisional untuk pria adalah boubou (jubah panjang yang longgar) berwarna biru atau putih, seringkali dengan cheich (sorban) untuk melindungi dari matahari dan pasir. Wanita mengenakan melahfa (kain panjang berwarna-warni yang dililitkan di tubuh dan kepala).
- Tempat Tinggal: Di daerah pedesaan dan di kalangan nomaden, tenda tradisional (khaima) masih digunakan. Di perkotaan, arsitektur campuran antara gaya tradisional dan modern.
- Sistem Keluarga: Keluarga besar dan ikatan kekerabatan sangat penting. Struktur sosial seringkali bersifat hierarkis, dipengaruhi oleh garis keturunan dan status sosial.
11.2. Kuliner
Masakan Mauritania mencerminkan pengaruh gurun dan budaya nomaden, serta kedekatannya dengan Afrika Barat.
- Hidangan Utama:
- Kuskus (couscousBahasa Prancis): Hidangan pokok yang terbuat dari semolina gandum, sering disajikan dengan daging (domba, unta, atau ayam) dan sayuran.
- Thieboudienne (atau cheb-u-jin): Hidangan nasi dengan ikan dan sayuran, mirip dengan hidangan nasional Senegal.
- Mahfe: Daging (biasanya domba atau kambing) yang dimasak dalam saus kacang dan disajikan dengan nasi.
- Yassa: Ayam atau ikan yang dimarinasi dengan lemon, bawang, dan mustard, lalu dipanggang atau direbus.
- Produk Susu: Susu unta (zrig) dan produk olahannya seperti mentega dan keju merupakan bagian penting dari diet tradisional, terutama di kalangan nomaden.
- Kurma: Kurma banyak dikonsumsi, terutama sebagai makanan pembuka atau camilan.
- Teh: Minum teh (dikenal sebagai atai atau ashay) adalah ritual sosial yang sangat penting. Teh hijau disiapkan dengan mint dan banyak gula, dituangkan dari ketinggian untuk menghasilkan busa, dan disajikan dalam gelas kecil dalam tiga putaran, masing-masing dengan rasa yang berbeda.
Daging unta, kambing, dan domba adalah daging yang umum dikonsumsi. Daging babi tidak dikonsumsi karena mayoritas penduduknya Muslim. Di daerah pesisir, ikan dan makanan laut segar juga populer. Sayuran relatif langka di daerah gurun tetapi lebih banyak tersedia di selatan.
11.3. Musik dan seni
Musik dan seni Mauritania kaya akan tradisi lisan dan pengaruh budaya Moor serta Afrika Sub-Sahara.
- Musik Tradisional Moor: Musik klasik Moor sangat kompleks dan didasarkan pada sistem modus (maqam) yang rumit. Instrumen utama termasuk tidinit (sejenis lute yang dimainkan oleh pria), ardin (sejenis harpa yang dimainkan oleh wanita), tbal (drum besar), dan seruling. Para musisi (iggawen) secara tradisional merupakan kasta tersendiri.
- Sastra Lisan: Tradisi penceritaan, puisi (terutama dalam dialek Hassaniyah), dan epik lisan seperti T'heydinn (epik Moor) sangat dihargai.
- Kerajinan Tangan: Kerajinan perak, perhiasan (terutama oleh pengrajin Tuareg dan Moor), barang-barang dari kulit, anyaman, dan ukiran kayu adalah bentuk seni yang penting. Karpet dan tekstil tradisional juga diproduksi.
- Kaligrafi Islam: Merupakan bentuk seni yang dihormati.
Tarian juga merupakan bagian dari perayaan budaya, seringkali diiringi oleh musik tradisional.
11.4. Olahraga
Olahraga paling populer di Mauritania adalah sepak bola. Tim nasional sepak bola Mauritania telah mencapai beberapa keberhasilan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk lolos ke Piala Afrika beberapa kali. Liga sepak bola domestik, Super D1, adalah kompetisi utama. Meskipun berada di peringkat keempat tim terburuk di dunia pada tahun 2012, Mauritania lolos ke Piala Afrika 2019. Pada tahun 2023, Mauritania menjadi berita utama dengan mengalahkan Sudan di kualifikasi AFCON 2023. Negara ini memiliki beberapa stadion sepak bola, seperti Stade Municipal de Nouadhibou di Nouadhibou.
Selain sepak bola, atletik dan bola basket juga dimainkan. Olahraga tradisional seperti balap unta dan gulat juga populer di beberapa daerah.
Mauritania telah menerima dukungan internasional untuk infrastruktur olahraga. Maroko telah berkomitmen untuk membangun kompleks olahraga di negara tersebut.
11.5. Situs Warisan Dunia

Mauritania memiliki dua situs yang terdaftar dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO:
1. Taman Nasional Banc d'Arguin (Parc National du Banc d'ArguinBahasa Prancis): Terdaftar sebagai situs alam pada tahun 1989. Taman ini merupakan salah satu zona intertidal terbesar di dunia dan merupakan tempat persinggahan serta berkembang biak yang sangat penting bagi jutaan burung air migran dari Eropa Utara, Siberia, dan Greenland. Perairan dangkalnya yang kaya akan nutrisi juga mendukung keanekaragaman hayati laut yang melimpah, termasuk berbagai spesies ikan, penyu laut, dan mamalia laut. Komunitas nelayan Imraguen yang tinggal di sekitar taman masih menggunakan teknik penangkapan ikan tradisional.
2. Ksour Kuno Ouadane, Chinguetti, Tichitt, dan Oualata (Anciens Ksour de Ouadane, Chinguetti, Tichitt et OualataBahasa Prancis): Terdaftar sebagai situs budaya pada tahun 1996. Ksour ini adalah kota-kota perdagangan dan pusat keagamaan kuno yang didirikan pada abad ke-11 dan ke-12 untuk melayani rute perdagangan karavan trans-Sahara. Kota-kota ini merupakan contoh luar biasa dari arsitektur gurun tradisional, dengan rumah-rumah batu dan masjid-masjid kuno. Mereka juga menjadi pusat penting pembelajaran Islam, dengan perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan manuskrip-manuskrip kuno yang berharga. Kota-kota ini mencerminkan interaksi budaya antara Berber, Arab, dan masyarakat Afrika Sub-Sahara.
Situs-situs ini menyoroti kekayaan alam dan warisan budaya Mauritania yang unik dan penting bagi sejarah Afrika Barat dan dunia.
11.6. Hari libur nasional
Hari libur nasional utama di Mauritania meliputi hari libur sekuler dan hari libur keagamaan Islam. Tanggal hari libur Islam dapat berubah setiap tahun karena didasarkan pada kalender lunar Hijriah.
- 1 Januari: Tahun Baru Masehi
- 1 Mei: Hari Buruh
- 25 Mei: Hari Afrika (memperingati berdirinya Organisasi Persatuan Afrika, sekarang Uni Afrika)
- 28 November: Hari Kemerdekaan (memperingati kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1960)
Hari libur keagamaan Islam utama (tanggal bergerak):
- Tahun Baru Islam (رأس السنة الهجريةRaʼs al-Sanah al-HijrīyahBahasa Arab - 1 Muharram)
- Maulid Nabi (المولد النبوي الشريفAl-Mawlid al-Nabawī al-SharīfBahasa Arab - 12 Rabiul Awal)
- Idul Fitri (عيد الفطرʻĪd al-FiṭrBahasa Arab - 1-2 Syawal, menandai akhir Ramadan)
- Idul Adha (عيد الأضحىʻĪd al-AḍḥáBahasa Arab - 10-11 Zulhijah, Festival Kurban)
Selama hari libur ini, kantor pemerintah, bank, dan sebagian besar bisnis tutup. Perayaan hari libur Islam seringkali melibatkan shalat berjamaah, pertemuan keluarga, dan kegiatan amal.