1. Gambaran Umum
Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) adalah sebuah negara dengan pengakuan terbatas yang diproklamasikan oleh Front Polisario pada tanggal 27 Februari 1976. Negara ini mengklaim kedaulatan atas seluruh wilayah Sahara Barat, sebuah bekas koloni Spanyol yang terletak di Maghreb, Afrika Utara. Saat ini, RDAS mengendalikan sekitar 20-25% wilayah Sahara Barat, yang dikenal sebagai Zona Bebas atau Wilayah yang Dibebaskan, terutama di bagian timur Tembok Maroko. Sebagian besar wilayah sisanya, termasuk kota-kota utama dan sumber daya alam, berada di bawah pendudukan dan administrasi Maroko, yang menyebutnya sebagai Provinsi Selatan. Pemerintah RDAS beroperasi di pengasingan, dengan sebagian besar administrasi hariannya dilakukan di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di Tindouf, Aljazair, meskipun Tifariti berfungsi sebagai ibu kota sementara secara de facto di Zona Bebas. Artikel ini akan mengulas secara komprehensif berbagai aspek RDAS, mulai dari sejarah perjuangan untuk hak menentukan nasib sendiri, struktur politik dan konstitusionalnya, status hukum internasional yang kompleks, hingga kondisi hak asasi manusia, geografi, ekonomi, masyarakat, dan budaya rakyat Sahrawi. Penulisan artikel ini didasarkan pada perspektif kiri-tengah dan liberalisme sosial, dengan penekanan khusus pada hak menentukan nasib sendiri, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pencapaian keadilan sosial bagi rakyat Sahrawi dalam menghadapi konflik yang berkepanjangan.
2. Nama
Nama Republik Demokratik Arab Sahrawi dalam bahasa Arab adalah الجمهورية العربية الصحراوية الديمقراطيةAl-Jumhūrīyah al-ʿArabīyah aṣ-Ṣaḥrāwīyah ad-DīmuqrāṭiyyahBahasa Arab dan dalam bahasa Spanyol adalah República Árabe Saharaui DemocráticaRepúblika Árabe Saharaui DemokrátikaBahasa Spanyol. Singkatan yang umum digunakan adalah RDAS (dari bahasa Indonesia) atau SADR (dari bahasa Inggris, Sahrawi Arab Democratic Republic). Kadang-kadang negara ini juga disebut sebagai Republik Sahrawi.
Istilah "Sahrawi" (صحراويṢaḥrāwīBahasa Arab) sendiri merupakan romanisasi dari kata Arab yang berarti 'Penduduk Gurun' atau 'dari Gurun', yang berasal dari kata Arab صحراءṢaḥrāʼBahasa Arab, yang berarti 'gurun'. Nama ini merujuk kepada penduduk asli wilayah Sahara Barat. Dalam konteks internasional, terutama dalam dokumen-dokumen resmi, nama lengkap sering digunakan, namun dalam pemberitaan atau diskusi yang lebih informal, "Sahrawi" sering merujuk kepada rakyat atau entitas politik RDAS. Penulisan dan transkripsi nama ini dapat bervariasi tergantung pada bahasa dan sistem transliterasi yang digunakan. Dalam bahasa Indonesia, "Republik Demokratik Arab Sahrawi" adalah penulisan yang umum diadopsi.
3. Sejarah
Sejarah wilayah Sahara Barat, yang diklaim oleh Republik Demokratik Arab Sahrawi, ditandai oleh periode panjang kolonialisme dan perjuangan berkelanjutan untuk menentukan nasib sendiri. Dari masa pra-kolonial yang didominasi oleh suku-suku nomaden Sahrawi, wilayah ini kemudian jatuh ke tangan kekuasaan kolonial Spanyol. Setelah Spanyol menarik diri, konflik atas kedaulatan wilayah ini meletus antara Maroko dan Front Polisario, yang mewakili aspirasi kemerdekaan rakyat Sahrawi. Perjuangan ini mencakup proklamasi kemerdekaan RDAS, perang bertahun-tahun, gencatan senjata yang ditengahi PBB, dan hingga kini, kebuntuan politik serta pelanggaran gencatan senjata yang kembali memicu ketegangan.
3.1. Masa Kolonial Spanyol
Periode kolonial Spanyol di Sahara Barat dimulai pada akhir abad ke-19 dan berlangsung hingga pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1884, Spanyol mendeklarasikan protektorat atas wilayah pesisir dari Tanjung Bojador hingga Tanjung Blanc (sekarang Nouadhibou). Penetapan batas-batas wilayah ini tidak terjadi secara definitif hingga adanya perjanjian antara Spanyol dan Prancis pada awal abad ke-20, yang membagi pengaruh kolonial di Afrika Barat Laut. Sahara Spanyol, sebagaimana wilayah ini kemudian dikenal, secara administratif terdiri dari dua bagian utama: Saguia el-Hamra di utara dan Río de Oro di selatan.
Administrasi kolonial Spanyol pada awalnya terbatas pada daerah pesisir dan pos-pos perdagangan. Spanyol baru dapat memperluas kendali efektifnya ke wilayah pedalaman pada tahun 1934. Metode administrasi Spanyol melibatkan kombinasi kontrol militer dan upaya untuk memerintah melalui struktur kesukuan lokal yang telah ada, meskipun seringkali dengan intervensi yang signifikan. Salah satu upaya Spanyol untuk mengelola penduduk asli adalah pembentukan Djema'a, sebuah majelis konsultatif yang terdiri dari para pemimpin suku Sahrawi, meskipun kekuasaannya sangat terbatas.
Dampak sosial-ekonomi dari penjajahan Spanyol cukup signifikan. Penemuan deposit fosfat besar di Bou Craa pada tahun 1960-an meningkatkan nilai strategis dan ekonomi wilayah ini bagi Spanyol, yang kemudian memulai eksploitasi sumber daya tersebut. Pembangunan infrastruktur terbatas pada kebutuhan administrasi kolonial dan eksploitasi sumber daya. Kebijakan Spanyol juga mendorong urbanisasi sebagian penduduk nomaden Sahrawi dan mengubah pola kehidupan tradisional mereka. Meskipun demikian, resistensi terhadap kekuasaan kolonial terus ada, dan pada tahun 1960-an, tuntutan untuk dekolonisasi mulai menguat, didorong oleh gerakan kemerdekaan di seluruh Afrika dan tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1967, PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan Spanyol untuk mengadakan referendum penentuan nasib sendiri bagi rakyat Sahrawi. Namun, pelaksanaan referendum ini tertunda karena berbagai faktor, termasuk klaim teritorial dari negara-negara tetangga seperti Maroko dan Mauritania.
3.2. Konflik Sahara Barat
Konflik Sahara Barat adalah sengketa berkepanjangan mengenai kedaulatan wilayah Sahara Barat, terutama antara Kerajaan Maroko dan Front Polisario, sebuah gerakan kemerdekaan nasional Sahrawi yang didukung oleh Aljazair. Konflik ini berakar pada dekolonisasi wilayah tersebut dari Spanyol pada tahun 1975 dan telah melalui berbagai fase, mulai dari perang terbuka hingga gencatan senjata yang rapuh dan upaya perdamaian yang berulang kali gagal. Dampaknya sangat besar terhadap rakyat Sahrawi, banyak di antaranya terpaksa mengungsi dan hidup dalam kondisi sulit di kamp-kamp pengungsian selama beberapa dekade, sementara mereka yang tetap berada di wilayah yang dikuasai Maroko menghadapi berbagai tantangan terkait hak asasi manusia dan identitas budaya.

3.2.1. Proklamasi Kemerdekaan dan Konflik Awal (1975-1991)
Latar belakang proklamasi kemerdekaan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) sangat terkait dengan berakhirnya kekuasaan kolonial Spanyol di Sahara Barat. Pada tahun 1975, Spanyol, di bawah tekanan dari Gerakan Hijau Maroko dan klaim teritorial dari Mauritania, menandatangani Perjanjian Madrid pada 14 November 1975. Perjanjian ini mengatur penarikan Spanyol dan pembagian administrasi sementara wilayah tersebut antara Maroko dan Mauritania, tanpa konsultasi yang memadai dengan rakyat Sahrawi.
Menanggapi perkembangan ini dan untuk mengisi kekosongan politik yang ditinggalkan Spanyol, serta menolak aneksasi oleh Maroko dan Mauritania, Front Polisario memproklamasikan kemerdekaan RDAS pada 27 Februari 1976, di Bir Lehlou. Proklamasi ini didasarkan pada hak rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri, sebagaimana diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Mahkamah Internasional dalam pendapat nasihatnya pada tahun 1975 yang menyatakan bahwa tidak ada ikatan kedaulatan teritorial antara Sahara Barat dengan Maroko atau Mauritania yang dapat menghalangi penerapan prinsip penentuan nasib sendiri melalui ekspresi kehendak rakyat yang bebas dan asli.
Segera setelah proklamasi, konflik bersenjata skala penuh meletus. Maroko menduduki bagian utara dan tengah Sahara Barat, sementara Mauritania mengambil alih bagian selatan. Front Polisario, dengan dukungan dari Aljazair dan Libya, melancarkan perang gerilya melawan kedua negara tersebut. Ribuan pengungsi Sahrawi melarikan diri dari pertempuran dan pemboman, mencari perlindungan di kamp-kamp di dekat Tindouf, Aljazair.
Pada tahun 1979, Mauritania, setelah mengalami kekalahan militer dan ketidakstabilan internal, menandatangani perjanjian damai dengan Front Polisario, menarik diri dari Sahara Barat, dan mengakui RDAS. Namun, Maroko segera menduduki wilayah yang ditinggalkan Mauritania, memperluas kontrolnya atas sebagian besar Sahara Barat. Konflik antara Maroko dan Front Polisario berlanjut dengan sengit sepanjang tahun 1980-an. Maroko membangun serangkaian tembok pertahanan pasir dan batu, yang dikenal sebagai Tembok Maroko, untuk mengkonsolidasikan kontrolnya atas wilayah yang kaya fosfat dan daerah pesisir. Perang ini berlangsung hingga tahun 1991 ketika gencatan senjata yang ditengahi PBB mulai berlaku, membuka jalan bagi upaya penyelesaian politik.
3.2.2. Gencatan Senjata 1991 dan Proses Perdamaian
Perjanjian gencatan senjata antara Maroko dan Front Polisario, yang ditengahi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mulai berlaku pada 6 September 1991. Gencatan senjata ini merupakan bagian dari Rencana Penyelesaian (Settlement Plan) yang lebih luas, yang bertujuan untuk memungkinkan rakyat Sahrawi menentukan status masa depan wilayah tersebut melalui referendum yang bebas dan adil. Untuk mengawasi gencatan senjata dan menyelenggarakan referendum, PBB membentuk Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Referendum di Sahara Barat (MINURSO).
MINURSO diberi mandat untuk memantau gencatan senjata, memverifikasi pengurangan pasukan Maroko, mengidentifikasi dan mendaftarkan pemilih yang memenuhi syarat untuk referendum, dan menyelenggarakan referendum itu sendiri. Namun, proses identifikasi pemilih menjadi sangat kontroversial dan menjadi sumber utama kebuntuan. Maroko dan Front Polisario memiliki perbedaan pendapat yang mendasar mengenai siapa yang berhak memilih, terutama terkait dengan status suku-suku yang menurut Maroko memiliki ikatan historis dengan Sahara Barat dan penduduk yang telah pindah ke wilayah tersebut setelah tahun 1975.
Selama bertahun-tahun, berbagai upaya negosiasi perdamaian dilakukan di bawah naungan PBB, termasuk beberapa putaran perundingan langsung antara para pihak. Proposal-proposal perdamaian, seperti Rencana Baker I dan II, diajukan untuk mencoba memecahkan kebuntuan. Rencana Baker II, misalnya, mengusulkan periode otonomi lima tahun untuk Sahara Barat di bawah administrasi Maroko, yang diikuti oleh referendum yang menawarkan pilihan kemerdekaan, integrasi dengan Maroko, atau otonomi lanjutan. Front Polisario menerima Rencana Baker II, tetapi Maroko menolaknya, dan kemudian mengusulkan rencana otonomi sendiri untuk wilayah tersebut sebagai satu-satunya solusi.
Dari perspektif rakyat Sahrawi, terutama mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsian dan di Zona Bebas yang dikendalikan Polisario, referendum penentuan nasib sendiri tetap menjadi tujuan utama dan hak yang tidak dapat dicabut. Mereka telah berulang kali menyatakan frustrasi atas penundaan yang terus-menerus dalam pelaksanaan referendum dan kurangnya kemajuan dalam proses perdamaian. Kondisi kehidupan yang sulit di kamp-kamp pengungsian, ketergantungan pada bantuan kemanusiaan internasional, dan ketidakpastian mengenai masa depan telah berkontribusi pada meningkatnya ketegangan dan kekecewaan di kalangan generasi muda Sahrawi. Upaya perdamaian terus berlanjut secara sporadis, tetapi solusi politik yang dapat diterima oleh semua pihak tetap sulit dicapai.
3.2.3. Pelanggaran Gencatan Senjata dan Konflik Terbaru (2020-sekarang)
Gencatan senjata yang telah berlangsung selama hampir tiga dekade antara Maroko dan Front Polisario runtuh pada November 2020. Pemicu utamanya adalah insiden di Guerguerat, sebuah zona penyangga dekat perbatasan dengan Mauritania, di mana Maroko melancarkan operasi militer untuk membubarkan sekelompok demonstran Sahrawi yang memblokir jalan yang menghubungkan wilayah yang dikuasai Maroko dengan Mauritania. Front Polisario menganggap tindakan Maroko sebagai pelanggaran gencatan senjata dan sebagai respons, mengumumkan berakhirnya komitmen terhadap gencatan senjata tahun 1991 dan dimulainya kembali perjuangan bersenjata.
Sejak itu, terjadi peningkatan serangan sporadis yang dilaporkan oleh Front Polisario terhadap posisi militer Maroko di sepanjang Tembok Maroko. Sementara itu, Maroko cenderung mengecilkan skala pertempuran atau tidak secara resmi mengakui bentrokan tersebut. Situasi di lapangan sulit diverifikasi secara independen karena akses terbatas bagi media dan pengamat internasional.
Reaksi internasional terhadap runtuhnya gencatan senjata beragam. Beberapa negara dan organisasi internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Afrika, menyatakan keprihatinan dan menyerukan de-eskalasi serta kembalinya ke proses politik. Namun, perkembangan signifikan terjadi pada Desember 2020 ketika Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat sebagai imbalan atas normalisasi hubungan Maroko dengan Israel. Keputusan ini memicu kontroversi dan dikritik oleh Front Polisario serta banyak pihak yang mendukung hak menentukan nasib sendiri rakyat Sahrawi, karena dianggap merusak upaya PBB dan hukum internasional.
Dampak kemanusiaan dari konflik yang kembali memanas ini menambah penderitaan rakyat Sahrawi, terutama mereka yang berada di kamp-kamp pengungsian yang sudah rentan. Ketidakpastian politik dan keamanan mengancam stabilitas regional dan memperumit upaya untuk menemukan solusi damai yang adil dan berkelanjutan. Upaya diplomatik untuk menghidupkan kembali proses perdamaian terus dilakukan, tetapi tantangan tetap besar di tengah posisi yang saling bertentangan antara pihak-pihak yang terlibat.
4. Politik
Sistem politik Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) beroperasi sebagai pemerintahan di pengasingan, dengan Front Polisario sebagai kekuatan politik utama yang memimpin perjuangan untuk kemerdekaan Sahara Barat. Struktur pemerintahannya dirancang untuk berfungsi baik dalam kondisi pengasingan maupun sebagai dasar bagi negara Sahrawi yang merdeka di masa depan. Upaya menuju pembangunan demokrasi tercermin dalam konstitusi dan deklarasi kebijakan, meskipun tantangan praktis yang dihadapi akibat pendudukan dan konflik yang sedang berlangsung sangat signifikan.


4.1. Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) didasarkan pada prinsip-prinsip republik dengan sistem presidensial dan pembagian kekuasaan, meskipun dalam praktiknya banyak fungsi dijalankan dalam konteks pemerintahan di pengasingan dan perjuangan kemerdekaan.
- Presiden: Presiden RDAS adalah kepala negara dan juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Front Polisario. Saat ini, jabatan ini dipegang oleh Brahim Ghali. Presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang signifikan, termasuk mengangkat Perdana Menteri, memimpin angkatan bersenjata (Tentara Pembebasan Rakyat Sahrawi), dan mewakili negara dalam hubungan internasional.
- Perdana Menteri dan Kabinet: Perdana Menteri diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab untuk memimpin Dewan Menteri (Kabinet). Saat ini, Bouchraya Hammoudi Bayoun menjabat sebagai Perdana Menteri. Kabinet terdiri dari para menteri yang mengepalai berbagai departemen yang bertanggung jawab atas sektor-sektor seperti urusan luar negeri, dalam negeri, pertahanan, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi di wilayah yang dikendalikan RDAS dan di kamp-kamp pengungsi. Fungsi aktual kabinet seringkali difokuskan pada pengelolaan kamp-kamp pengungsi, diplomasi internasional, dan koordinasi upaya kemerdekaan.
- Dewan Nasional Sahrawi (SNC): Dewan Nasional Sahrawi (Consejo Nacional SaharauiKonseho Nasional SahrawiBahasa Spanyol) berfungsi sebagai badan legislatif unikameral RDAS. Anggotanya dipilih melalui kongres Front Polisario dan dari berbagai konstituen masyarakat Sahrawi. SNC memiliki wewenang untuk membuat undang-undang, mengawasi pemerintah, dan meratifikasi perjanjian. Namun, dalam praktiknya, peran legislatifnya mungkin terbatas oleh kondisi pengasingan dan dominasi Front Polisario. Hamma Salama saat ini menjabat sebagai Ketua SNC.
- Yudikatif: Sistem yudikatif RDAS terdiri dari berbagai tingkatan pengadilan, termasuk pengadilan tingkat pertama, pengadilan banding, dan Mahkamah Agung. Para hakim diangkat oleh Presiden. Sistem peradilan ini beroperasi terutama di kamp-kamp pengungsi dan di Zona Bebas, menangani masalah hukum sipil dan pidana sesuai dengan hukum Sahrawi, yang seringkali merupakan campuran dari hukum Islam, tradisi lokal, dan prinsip-prinsip hukum modern. Asosiasi Pengacara Sahrawi juga ada dan aktif dalam isu-isu hukum dan hak asasi manusia.
Sejak pembentukannya pada tahun 1976, struktur pemerintahan RDAS telah mengalami beberapa revisi konstitusional yang bertujuan untuk memperkuat institusi dan memisahkan secara lebih jelas antara struktur negara dan struktur Front Polisario, meskipun keterkaitan erat antara keduanya tetap menjadi ciri khas sistem politik Sahrawi.
4.2. Konstitusi
Konstitusi Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) merupakan landasan hukum dan politik negara. Konstitusi yang berlaku saat ini diadopsi oleh Kongres ke-14 Front Polisario pada Desember 2015, menggantikan versi-versi sebelumnya. Proses penyusunan dan amendemen konstitusi mencerminkan evolusi politik dan aspirasi rakyat Sahrawi dalam perjuangan mereka untuk menentukan nasib sendiri dan membangun negara yang merdeka.
Isi utama Konstitusi RDAS mencakup beberapa aspek fundamental:
- Hak-Hak Dasar: Konstitusi menjamin berbagai hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi warga Sahrawi, termasuk hak untuk hidup, kebebasan berekspresi, berkumpul, berserikat, dan beragama. Ini juga menekankan kesetaraan di depan hukum tanpa diskriminasi.
- Struktur Pemerintahan: Konstitusi menguraikan pembagian kekuasaan antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Presiden, yang juga Sekretaris Jenderal Front Polisario, adalah kepala negara. Perdana Menteri mengepalai kabinet, dan Dewan Nasional Sahrawi berfungsi sebagai badan legislatif.
- Identitas Nasional: Konstitusi mendefinisikan rakyat Sahrawi sebagai bagian dari bangsa Arab dan Afrika, dengan Islam sebagai agama negara dan sumber hukum. Bahasa Arab adalah bahasa resmi, sementara bahasa Spanyol diakui sebagai bahasa kedua yang penting.
- Komitmen terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi: Konstitusi secara eksplisit menyatakan komitmen RDAS terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia universal dan pembangunan sistem demokrasi multi-partai di masa depan, setelah kemerdekaan penuh tercapai. Beberapa ketentuan konstitusional dirancang untuk masa transisi menuju negara yang sepenuhnya berfungsi.
- Tujuan Nasional: Tujuan utama yang ditegaskan dalam konstitusi adalah pencapaian kemerdekaan penuh untuk Sahara Barat dan pemulihan kedaulatan atas seluruh wilayah nasional.
Sejarah amendemen Konstitusi RDAS menunjukkan adaptasi terhadap perkembangan politik dan kebutuhan perjuangan. Revisi-revisi sebelumnya dilakukan untuk memperkuat institusi negara, memperjelas peran Front Polisario, dan menyesuaikan dengan dinamika internasional. Misalnya, beberapa amendemen bertujuan untuk memperkuat peran Dewan Nasional Sahrawi dan memulai proses pemisahan antara struktur partai (Front Polisario) dan struktur negara, meskipun dalam praktiknya hubungan ini tetap sangat erat. Konstitusi juga menegaskan komitmen terhadap penyelesaian damai konflik dan penghormatan terhadap hukum internasional.
4.3. Front Polisario
Front Polisario (akronim dari bahasa Spanyol: Frente Popular de Liberación de Saguía el Hamra y Río de Oro, atau Front Populer untuk Pembebasan Saguia el-Hamra dan Río de Oro) adalah gerakan pembebasan nasional rakyat Sahrawi. Didirikan pada 10 Mei 1973, Front Polisario muncul sebagai respons terhadap pendudukan kolonial Spanyol dan kemudian menentang upaya aneksasi Sahara Barat oleh Maroko dan Mauritania.
- Latar Belakang Pendirian: Pembentukan Front Polisario didorong oleh keinginan rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri dan meraih kemerdekaan. Gerakan ini menyatukan berbagai elemen masyarakat Sahrawi, termasuk mahasiswa, mantan tentara dalam pasukan kolonial Spanyol, dan kaum nomaden. Tokoh-tokoh pendiri awal termasuk El-Ouali Mustapha Sayed, yang menjadi Sekretaris Jenderal pertama.
- Ideologi: Ideologi Front Polisario pada awalnya cenderung sosialis dan nasionalis, dengan penekanan kuat pada anti-kolonialisme dan hak menentukan nasib sendiri. Seiring waktu, terutama setelah runtuhnya Blok Timur, ideologinya telah berkembang menjadi lebih pragmatis, dengan fokus pada demokrasi, hak asasi manusia, dan ekonomi pasar dalam kerangka negara Sahrawi yang merdeka. Namun, prinsip inti kemerdekaan dan kedaulatan nasional tetap tidak tergoyahkan.
- Struktur Organisasi: Front Polisario memiliki struktur organisasi yang kompleks, yang mencakup sayap politik dan militer. Badan tertinggi adalah Kongres Rakyat Umum, yang bertemu secara berkala untuk menetapkan kebijakan dan memilih Sekretaris Jenderal serta anggota Sekretariat Nasional. Sekretariat Nasional berfungsi sebagai badan eksekutif utama. Sayap militer Front Polisario adalah Tentara Pembebasan Rakyat Sahrawi (SPLA), yang bertanggung jawab atas operasi militer.
- Peran Politik: Front Polisario adalah kekuatan politik dominan di dalam RDAS dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai perwakilan sah rakyat Sahara Barat. Ia memimpin pemerintahan RDAS di pengasingan, mengelola kamp-kamp pengungsi Sahrawi di Tindouf, Aljazair, dan melakukan upaya diplomatik internasional untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan bagi kemerdekaan Sahara Barat.
- Pengaruh: Pengaruh Front Polisario sangat besar dalam kehidupan politik, sosial, dan militer rakyat Sahrawi. Selama lebih dari empat dekade, ia telah memimpin perjuangan bersenjata dan politik untuk kemerdekaan. Di kamp-kamp pengungsi, Front Polisario bertanggung jawab atas administrasi, penyediaan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, serta mobilisasi politik. Meskipun menghadapi tantangan besar, termasuk pendudukan sebagian besar wilayah oleh Maroko dan kondisi pengungsian yang sulit, Front Polisario tetap menjadi simbol utama aspirasi nasional Sahrawi.
5. Status Hukum dan Hubungan Internasional
Status hukum internasional Sahara Barat dan kedudukan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) dalam komunitas internasional merupakan isu yang kompleks dan telah menjadi subjek perdebatan panjang. Fokus utama dalam pembahasan ini adalah prinsip penentuan nasib sendiri rakyat Sahrawi, yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berbagai instrumen hukum internasional.
5.1. Status Hukum Sahara Barat
Status hukum internasional wilayah Sahara Barat sangat unik dan kompleks. Sejak tahun 1963, Sahara Barat telah terdaftar oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri. Ini berarti bahwa PBB mengakui bahwa rakyat Sahara Barat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, yaitu hak untuk secara bebas menentukan status politik mereka dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Spanyol, sebagai kekuatan administratif sebelumnya, memiliki tanggung jawab untuk mendekolonisasi wilayah tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip Piagam PBB.
Pada tahun 1975, Majelis Umum PBB meminta pendapat nasihat dari Mahkamah Internasional (ICJ) mengenai status Sahara Barat. Dalam pendapat nasihatnya yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1975, ICJ menyimpulkan dua hal penting:
1. Ketika Sahara Barat dikolonisasi oleh Spanyol, wilayah tersebut bukanlah terra nullius (tanah tak bertuan).
2. Meskipun ada beberapa bukti ikatan hukum kesetiaan antara Sultan Maroko dan beberapa suku yang tinggal di Sahara Barat, serta beberapa hak terkait tanah dan bentuk hubungan lainnya antara wilayah Mauritania dengan Sahara Barat, ICJ menemukan bahwa materi dan informasi yang disajikan kepadanya tidak menunjukkan adanya ikatan kedaulatan teritorial antara wilayah Sahara Barat dengan Kerajaan Maroko atau entitas Mauritania.
Oleh karena itu, ICJ menyimpulkan bahwa tidak ada ikatan kedaulatan teritorial yang dapat mempengaruhi penerapan Resolusi Majelis Umum 1514 (XV) tentang pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan rakyat kolonial, khususnya mengenai prinsip penentuan nasib sendiri melalui ekspresi kehendak rakyat yang bebas dan asli.
Setelah Spanyol menarik diri pada tahun 1976 dan Maroko serta Mauritania (hingga 1979) menduduki wilayah tersebut, PBB tidak mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat. PBB terus menganggap Sahara Barat sebagai Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri yang menunggu proses dekolonisasi yang lengkap, yang idealnya mencakup pelaksanaan referendum di mana rakyat Sahrawi dapat memilih antara kemerdekaan, integrasi dengan Maroko, atau bentuk pemerintahan sendiri lainnya. Pendudukan Maroko atas sebagian besar wilayah Sahara Barat dianggap oleh banyak negara dan organisasi internasional sebagai pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri rakyat Sahrawi.
5.2. Pengakuan Internasional
Pengakuan internasional terhadap Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) merupakan aspek krusial dalam perjuangan rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri dan kedaulatan. Sejak proklamasi kemerdekaannya pada tahun 1976, RDAS telah diakui oleh sejumlah negara di seluruh dunia, meskipun status pengakuan ini seringkali bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh pertimbangan geopolitik.
Pada puncaknya, RDAS diakui oleh lebih dari 80 negara. Namun, jumlah ini berfluktuasi karena beberapa negara kemudian mencabut, membekukan, atau menangguhkan pengakuan mereka, seringkali akibat tekanan diplomatik atau insentif ekonomi dari Maroko. Hingga saat ini, RDAS diakui oleh sekitar 40-an negara anggota PBB, dengan mayoritas berasal dari Afrika dan Amerika Latin. RDAS juga merupakan anggota penuh Uni Afrika (AU), sebuah fakta yang menggarisbawahi dukungan signifikan di benua Afrika terhadap hak Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri.
Latar belakang geopolitik yang mempengaruhi pengakuan RDAS sangat kompleks. Selama Perang Dingin, beberapa negara Blok Timur dan negara-negara berkembang yang menganut ideologi non-blok atau sosialis cenderung mendukung RDAS sebagai bagian dari perjuangan anti-kolonial dan anti-imperialisme. Di sisi lain, Maroko, sebagai sekutu Barat, sering menerima dukungan dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Keputusan beberapa negara untuk mengakui, tidak mengakui, mencabut, atau membekukan pengakuan seringkali terkait dengan kepentingan nasional mereka, hubungan bilateral dengan Maroko atau Aljazair (pendukung utama RDAS), serta dinamika regional dan internasional. Misalnya, beberapa negara Afrika mencabut pengakuan setelah menerima tekanan ekonomi atau politik dari Maroko, sementara negara lain mempertahankan atau bahkan memperkuat hubungan dengan RDAS sebagai wujud solidaritas dan komitmen terhadap prinsip penentuan nasib sendiri.
Implikasi dari status pengakuan ini bagi rakyat Sahrawi sangat signifikan. Pengakuan diplomatik memberikan legitimasi internasional bagi RDAS dan perjuangannya, memungkinkan pembukaan kedutaan atau misi diplomatik, serta memfasilitasi partisipasi dalam forum-forum internasional tertentu. Namun, kurangnya pengakuan universal, terutama dari negara-negara besar dan berpengaruh, serta status non-keanggotaan di PBB, menjadi kendala besar bagi RDAS dalam menjalankan fungsi kenegaraan secara penuh dan memperjuangkan hak-haknya di panggung global. Bagi rakyat Sahrawi, khususnya para pengungsi, pengakuan internasional adalah sumber harapan dan dukungan moral dalam perjuangan mereka yang panjang untuk kembali ke tanah air mereka dan menentukan masa depan mereka sendiri.
5.2.1. Negara-negara yang Mengakui RDAS
Sejumlah negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa secara resmi mengakui Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) dan menjalin hubungan diplomatik. Mayoritas negara-negara ini berasal dari benua Afrika dan Amerika Latin, yang memiliki sejarah solidaritas dengan gerakan kemerdekaan dan prinsip penentuan nasib sendiri. Hingga data terakhir, sekitar 40-an negara anggota PBB mengakui RDAS.
Negara-negara yang mengakui RDAS antara lain adalah:
- Afrika: Aljazair (pendukung utama), Afrika Selatan, Angola, Ethiopia, Ghana, Kenya, Lesotho, Liberia, Libya, Mali, Mauritania, Mozambik, Namibia, Nigeria, Rwanda, Sierra Leone, Tanzania, Uganda, Zimbabwe, dan lainnya. Keanggotaan penuh RDAS di Uni Afrika menunjukkan dukungan luas di benua ini.
- Amerika Latin dan Karibia: Bolivia, Kuba, Ekuador, El Salvador (sempat mencabut, lalu mengakui kembali), Guyana, Honduras, Meksiko, Nikaragua, Panama, Peru (sempat membekukan, lalu memulihkan hubungan), Uruguay, Venezuela, dan beberapa negara Karibia.
- Asia dan Oseania: Iran, Kamboja (status hubungan diplomatik terkadang tidak jelas), Laos, Suriah, Timor Leste, Vanuatu, Vietnam, Yaman.
- Eropa: Tidak ada negara Uni Eropa yang secara resmi mengakui RDAS, meskipun beberapa partai politik dan parlemen regional di Eropa telah menyatakan dukungan.
Karakteristik hubungan diplomatik bervariasi. Beberapa negara memiliki kedutaan besar RDAS di ibu kota mereka, sementara yang lain menjalin hubungan melalui kedutaan non-residen atau misi diplomatik di negara ketiga, seringkali di Aljir atau Addis Ababa (markas Uni Afrika). Hubungan ini seringkali mencakup dukungan politik di forum internasional, bantuan kemanusiaan, dan program kerja sama di bidang pendidikan atau kesehatan. Pengakuan ini penting bagi RDAS sebagai bentuk legitimasi internasional dan dukungan moral bagi perjuangan rakyat Sahrawi.
5.2.2. Negara-negara yang Mencabut atau Membekukan Pengakuan
Sejumlah negara yang sebelumnya mengakui Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) kemudian memutuskan untuk mencabut pengakuan tersebut atau membekukan hubungan diplomatik. Keputusan ini seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tekanan diplomatik dari Maroko, perubahan pemerintahan di negara yang bersangkutan, pertimbangan ekonomi, atau pergeseran dalam kebijakan luar negeri.
Beberapa contoh negara yang pernah mengakui RDAS namun kemudian mencabut atau membekukan pengakuannya antara lain (status dapat berubah):
- Banyak negara di Afrika dan Amerika Latin yang sebelumnya mengakui kemudian mengubah posisinya. Contohnya termasuk India (mencabut tahun 2000), Kolombia (sempat membekukan, lalu mengakui kembali pada 2022), Paraguay (status berfluktuasi), Serbia (sebagai penerus Yugoslavia yang pernah mengakui, kemudian mencabut), dan beberapa negara kepulauan Karibia dan Pasifik.
- Negara-negara seperti Albania, Chad, Madagaskar, dan Malawi juga tercatat pernah mengubah status pengakuan mereka.
Alasan utama yang dikemukakan oleh negara-negara ini untuk mencabut atau membekukan pengakuan seringkali bersifat diplomatik atau pragmatis. Beberapa menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil untuk mendukung upaya penyelesaian konflik yang dinegosiasikan melalui PBB dan untuk menjaga netralitas dalam sengketa tersebut. Dalam kasus lain, normalisasi hubungan atau peningkatan kerja sama ekonomi dengan Maroko menjadi faktor pendorong. Maroko secara aktif melobi negara-negara untuk menarik pengakuan terhadap RDAS, seringkali dengan menawarkan bantuan ekonomi atau investasi.
Bagi RDAS dan perjuangan rakyat Sahrawi, pencabutan atau pembekuan pengakuan ini merupakan kemunduran diplomatik dan dapat melemahkan posisi mereka di panggung internasional. Namun, Front Polisario terus berupaya untuk mempertahankan dan memperluas dukungan internasional bagi hak menentukan nasib sendiri.
5.3. Organisasi Internasional
Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) memiliki status yang beragam dalam berbagai organisasi internasional, yang mencerminkan kompleksitas pengakuan internasionalnya.
- Uni Afrika (AU): RDAS adalah anggota penuh Uni Afrika (sebelumnya Organisasi Persatuan Afrika, OAU) sejak tahun 1982. Keanggotaan ini merupakan pencapaian diplomatik penting bagi RDAS dan menunjukkan dukungan kuat dari banyak negara Afrika terhadap hak menentukan nasib sendiri rakyat Sahrawi. Masuknya RDAS ke OAU menyebabkan Maroko menarik diri dari organisasi tersebut pada tahun 1984 sebagai protes. Maroko baru bergabung kembali dengan Uni Afrika pada tahun 2017, dan kini RDAS dan Maroko sama-sama menjadi anggota, yang terkadang menimbulkan ketegangan dalam pertemuan-pertemuan AU.
- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB): RDAS bukan merupakan negara anggota PBB. Sahara Barat terdaftar oleh PBB sebagai Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri, dan proses dekolonisasi wilayah ini berada di bawah pengawasan Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi (Komite 24). Front Polisario diakui oleh PBB sebagai perwakilan rakyat Sahara Barat dan berpartisipasi sebagai pengamat atau pemohon dalam berbagai pertemuan PBB yang membahas isu Sahara Barat, terutama di Komite Keempat Majelis Umum (Dekolonisasi) dan Dewan Keamanan.
- Organisasi Internasional Lainnya:
- RDAS berpartisipasi sebagai tamu dalam pertemuan Gerakan Non-Blok (GNB) dan Kemitraan Strategis Asia-Afrika Baru (NAASP), meskipun partisipasinya terkadang mendapat tentangan dari Maroko.
- RDAS juga telah berpartisipasi dalam konferensi Konferensi Permanen Partai Politik Amerika Latin dan Karibia (COPPPAL) dan pertemuan COPPPAL dengan Konferensi Internasional Partai Politik Asia (ICAPP).
- RDAS bukan anggota Liga Arab maupun Uni Arab Maghreb, di mana Maroko adalah anggota penuh.
Kegiatan RDAS dalam organisasi internasional, terutama di Uni Afrika, memberikan platform penting untuk menyuarakan aspirasi rakyat Sahrawi, mencari dukungan internasional, dan mengadvokasi penyelesaian konflik yang adil berdasarkan hak menentukan nasib sendiri.
5.4. Peran PBB dan Isu Referendum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memainkan peran sentral dalam upaya penyelesaian konflik Sahara Barat sejak dekolonisasi wilayah tersebut dari Spanyol. Pada tahun 1991, PBB menengahi gencatan senjata antara Maroko dan Front Polisario dan membentuk Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Referendum di Sahara Barat (MINURSO). Mandat utama MINURSO adalah untuk mengawasi gencatan senjata dan menyelenggarakan referendum yang bebas dan adil di mana rakyat Sahara Barat dapat memilih antara kemerdekaan atau integrasi dengan Maroko.
Namun, penyelenggaraan referendum telah tertunda selama beberapa dekade karena berbagai sebab. Penyebab utama kebuntuan adalah ketidaksepakatan yang mendalam antara Maroko dan Front Polisario mengenai siapa yang berhak memilih dalam referendum tersebut. Maroko bersikeras untuk memasukkan puluhan ribu orang yang telah pindah ke Sahara Barat sejak 1975, serta anggota suku-suku tertentu yang diklaim memiliki ikatan historis dengan wilayah tersebut, sebagai pemilih yang sah. Sebaliknya, Front Polisario berpendapat bahwa hanya penduduk yang terdaftar dalam sensus Spanyol tahun 1974 dan keturunan mereka yang berhak memilih, untuk memastikan bahwa referendum mencerminkan kehendak asli rakyat Sahrawi. Proses identifikasi pemilih yang dilakukan oleh MINURSO menjadi sangat rumit dan kontroversial, dan akhirnya terhenti tanpa kesepakatan.
Berbagai proposal perdamaian telah diajukan oleh PBB dan utusan khususnya untuk mencoba memecahkan kebuntuan. Salah satu yang paling terkenal adalah Rencana Penyelesaian (Settlement Plan) awal tahun 1990-an yang menjadi dasar gencatan senjata, dan kemudian Rencana Baker (Baker Plan I dan Baker Plan II) yang diusulkan oleh James Baker, mantan Utusan Pribadi Sekretaris Jenderal PBB untuk Sahara Barat.
- Rencana Baker I (2001) mengusulkan otonomi substansial bagi Sahara Barat di dalam Maroko, dengan referendum mengenai status akhir setelah beberapa tahun. Proposal ini ditolak oleh Front Polisario karena tidak secara eksplisit menawarkan pilihan kemerdekaan.
- Rencana Baker II (2003), secara resmi disebut "Rencana Perdamaian untuk Penentuan Nasib Sendiri Rakyat Sahara Barat", mengusulkan periode transisi pemerintahan otonom di bawah administrasi Maroko, yang diikuti oleh referendum dalam waktu empat hingga lima tahun. Referendum ini akan menawarkan tiga pilihan: kemerdekaan, integrasi dengan Maroko, atau kelanjutan otonomi. Rencana Baker II didukung oleh Dewan Keamanan PBB, dan diterima oleh Front Polisario dan Aljazair. Namun, Maroko akhirnya menolak rencana tersebut, dan sebagai gantinya mengajukan proposal otonomi sendiri untuk wilayah tersebut sebagai satu-satunya solusi, tanpa pilihan kemerdekaan.
PBB terus menyerukan negosiasi langsung antara para pihak untuk mencapai solusi politik yang dapat diterima bersama yang akan menyediakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Sahara Barat. Namun, hingga saat ini, proses politik tetap macet, dan hak rakyat Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum yang dijanjikan belum terpenuhi. Utusan Pribadi Sekretaris Jenderal PBB untuk Sahara Barat terus berupaya memfasilitasi dialog, tetapi kemajuan signifikan masih sulit dicapai.
6. Hak Asasi Manusia
Isu hak asasi manusia merupakan aspek krusial dalam konflik Sahara Barat, dengan keprihatinan yang signifikan dilaporkan baik di wilayah yang diduduki Maroko maupun di kamp-kamp pengungsian Sahrawi di Aljazair. Berbagai organisasi hak asasi manusia internasional dan badan-badan PBB telah mendokumentasikan pelanggaran dan menyuarakan keprihatinan terhadap situasi kelompok rentan, termasuk aktivis, perempuan, dan anak-anak. Fokus utama adalah pada hak menentukan nasib sendiri, kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat, serta kondisi kehidupan para pengungsi.
6.1. Situasi HAM di Wilayah Pendudukan Maroko
Situasi hak asasi manusia di wilayah Sahara Barat yang berada di bawah kendali efektif Maroko telah menjadi sumber keprihatinan berkelanjutan bagi organisasi hak asasi manusia internasional dan PBB. Laporan-laporan secara konsisten menyoroti pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan berserikat, terutama bagi individu dan kelompok yang mendukung kemerdekaan Sahara Barat atau hak menentukan nasib sendiri rakyat Sahrawi.
Aktivis Sahrawi yang mengadvokasi hak-hak ini sering menghadapi intimidasi, pelecehan, penangkapan sewenang-wenang, dan pengadilan yang dianggap tidak adil. Tuduhan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap para tahanan Sahrawi juga telah didokumentasikan. Pihak berwenang Maroko seringkali membubarkan demonstrasi pro-kemerdekaan secara paksa, terkadang dengan penggunaan kekerasan yang berlebihan.
Akses bagi pemantau hak asasi manusia independen, termasuk organisasi internasional dan jurnalis, ke wilayah tersebut seringkali dibatasi oleh pemerintah Maroko. Hal ini menyulitkan verifikasi independen atas klaim pelanggaran hak asasi manusia. Isu-isu lain yang diangkat mencakup dugaan diskriminasi terhadap etnis Sahrawi dalam hal pekerjaan dan akses ke layanan publik, serta eksploitasi sumber daya alam Sahara Barat tanpa persetujuan atau manfaat bagi penduduk asli.
Meskipun pemerintah Maroko mengklaim telah membuat kemajuan dalam bidang hak asasi manusia dan telah membentuk lembaga-lembaga nasional untuk menangani keluhan, banyak pengamat internasional berpendapat bahwa langkah-langkah ini belum cukup untuk mengatasi pelanggaran sistemik dan memastikan penghormatan penuh terhadap hak-hak dasar rakyat Sahrawi di wilayah pendudukan.
6.2. Situasi HAM di Kamp Pengungsian

Kamp-kamp pengungsi Sahrawi, yang terletak di wilayah Tindouf, barat daya Aljazair, telah menampung puluhan ribu rakyat Sahrawi sejak pertengahan tahun 1970-an. Kondisi kehidupan di kamp-kamp ini sangat sulit, ditandai oleh iklim gurun yang keras, keterbatasan sumber daya alam seperti air bersih, dan ketergantungan yang tinggi pada bantuan kemanusiaan internasional untuk kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan layanan kesehatan.
Pemerintahan di dalam kamp sebagian besar dijalankan oleh Front Polisario, yang mengorganisir layanan publik seperti pendidikan dan perawatan kesehatan dengan sumber daya yang terbatas. Meskipun ada upaya untuk menciptakan struktur pemerintahan sendiri, otonomi penuh sulit dicapai karena status pengungsi dan ketergantungan pada dukungan eksternal.
Isu-isu hak asasi manusia spesifik yang menjadi keprihatinan di kamp-kamp pengungsi meliputi:
- Hak atas standar hidup yang layak: Keterbatasan bantuan kemanusiaan terkadang menyebabkan kekurangan pangan, malnutrisi, dan akses terbatas ke layanan kesehatan yang memadai.
- Kebebasan bergerak: Meskipun para pengungsi dapat bergerak di dalam kamp, kemampuan mereka untuk meninggalkan kamp atau wilayah Tindouf mungkin terbatas.
- Akses terhadap keadilan: Sistem peradilan di kamp-kamp dijalankan oleh otoritas Polisario, dan ada pertanyaan mengenai independensi dan kepatuhannya terhadap standar internasional.
- Pendaftaran pengungsi: Selama bertahun-tahun, ada perdebatan mengenai jumlah pasti pengungsi di kamp-kamp dan perlunya pendaftaran individu oleh UNHCR untuk memastikan akuntabilitas bantuan dan identifikasi kebutuhan spesifik.
- Dampak psikologis: Kehidupan yang berkepanjangan dalam kondisi pengungsian, tanpa prospek solusi yang jelas, memiliki dampak psikologis yang signifikan terhadap para pengungsi, terutama generasi muda yang lahir dan besar di kamp.
Organisasi hak asasi manusia juga menyoroti pentingnya memastikan bahwa semua bantuan kemanusiaan sampai kepada mereka yang membutuhkan dan dikelola secara transparan. Meskipun Front Polisario telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi beberapa masalah ini, tantangan tetap besar karena kondisi yang sulit dan sifat konflik yang berlarut-larut.
6.3. Laporan dan Keprihatinan Internasional

Berbagai organisasi hak asasi manusia internasional terkemuka, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, serta badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan berbagai Pelapor Khusus PBB, secara berkala mengeluarkan laporan dan menyatakan keprihatinan mengenai situasi hak asasi manusia di Sahara Barat.
Laporan-laporan ini umumnya mencakup beberapa tema utama:
- Di wilayah yang dikuasai Maroko: Organisasi-organisasi ini sering menyoroti pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan berserikat, terutama bagi para pembela hak asasi manusia Sahrawi dan mereka yang mendukung penentuan nasib sendiri. Mereka mendokumentasikan kasus-kasus penangkapan sewenang-wenang, tuduhan penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap tahanan, serta penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan Maroko dalam menanggapi protes. Rekomendasi umum termasuk seruan kepada Maroko untuk menghormati kebebasan fundamental, menyelidiki tuduhan pelanggaran secara independen, dan memastikan akuntabilitas bagi pelaku. Mereka juga sering mendesak Maroko untuk mengizinkan akses tanpa hambatan bagi pemantau hak asasi manusia internasional.
- Di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di Tindouf, Aljazair: Keprihatinan di kamp-kamp sering berpusat pada kondisi kehidupan yang sulit, ketergantungan pada bantuan kemanusiaan, dan hak-hak sosial ekonomi pengungsi. Laporan-laporan juga dapat membahas isu-isu terkait kebebasan bergerak, akses terhadap keadilan di dalam sistem yang dikelola Polisario, dan kebutuhan akan pendaftaran pengungsi yang komprehensif oleh UNHCR. Organisasi internasional menyerukan kepada komunitas internasional untuk terus memberikan bantuan kemanusiaan yang memadai dan kepada pihak-pihak terkait, termasuk Front Polisario dan Aljazair sebagai negara tuan rumah, untuk memastikan penghormatan terhadap hak-hak pengungsi.
- Mandat pemantauan HAM untuk MINURSO: Salah satu rekomendasi yang konsisten dari banyak organisasi hak asasi manusia adalah perlunya perluasan mandat Misi PBB untuk Referendum di Sahara Barat (MINURSO) untuk mencakup pemantauan dan pelaporan hak asasi manusia. Saat ini, MINURSO adalah salah satu dari sedikit misi penjaga perdamaian PBB modern yang tidak memiliki komponen hak asasi manusia formal dalam mandatnya, yang dianggap sebagai kekurangan signifikan oleh banyak pihak.
Secara keseluruhan, laporan dan keprihatinan internasional menggarisbawahi perlunya solusi politik yang adil dan berkelanjutan untuk konflik Sahara Barat yang menempatkan hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri rakyat Sahrawi sebagai inti dari setiap penyelesaian.
7. Geografi
Wilayah Sahara Barat, yang diklaim oleh Republik Demokratik Arab Sahrawi, terletak di bagian barat laut Afrika, di tepi barat Gurun Sahara. Wilayah ini memiliki lingkungan alam yang keras dan didominasi oleh lanskap gurun, dengan ciri-ciri geografis yang khas.
7.1. Topografi dan Iklim
Topografi Sahara Barat sebagian besar terdiri dari dataran gurun yang luas, berbatu, dan berpasir. Wilayah pesisir di sepanjang Samudra Atlantik umumnya merupakan dataran rendah yang sempit, yang secara bertahap naik ke plato pedalaman. Bagian timur dan timur laut wilayah ini memiliki beberapa daerah yang lebih tinggi, dengan beberapa pegunungan rendah dan formasi batuan. Wilayah ini tidak memiliki sungai permanen; aliran air biasanya hanya muncul setelah hujan langka dalam bentuk wadi (sungai kering). Sumber air utama adalah akuifer bawah tanah.
Karakteristik utama topografi meliputi:
- Dataran Pantai: Membentang di sepanjang pesisir Atlantik, relatif datar dan sering berkabut karena pengaruh arus laut dingin Canary.
- Plato dan Dataran Tinggi: Wilayah pedalaman didominasi oleh plato berbatu (hamada) dan dataran kerikil (reg).
- Gurun Pasir: Terdapat area gurun pasir dengan bukit-bukit pasir (erg), meskipun tidak seluas di bagian lain Sahara.
Iklim Sahara Barat adalah iklim gurun panas (BWh menurut klasifikasi iklim Köppen) yang ekstrem. Karakteristik utamanya adalah:
- Curah Hujan: Sangat rendah dan tidak teratur, rata-rata kurang dari 50 mm per tahun. Hujan biasanya turun dalam bentuk badai singkat dan sporadis.
- Variasi Suhu: Suhu sangat bervariasi antara siang dan malam, serta antara musim. Suhu siang hari di musim panas dapat sangat tinggi, seringkali melebihi 40 °C atau bahkan 50 °C di pedalaman. Suhu malam hari bisa turun drastis. Di musim dingin, suhu siang hari lebih sejuk, tetapi malam hari bisa sangat dingin, terkadang mendekati titik beku di beberapa daerah pedalaman. Wilayah pesisir memiliki suhu yang lebih moderat karena pengaruh laut.
- Angin: Angin kencang dan badai pasir sering terjadi, terutama selama musim semi dan musim panas. Angin Harmattan yang kering dan berdebu dari timur laut juga dapat mempengaruhi wilayah ini.
Secara keseluruhan, kondisi geografis dan iklim di Sahara Barat menciptakan lingkungan yang menantang bagi kehidupan manusia dan pertanian.
7.2. Wilayah di Bawah Kontrol De Facto
Wilayah Sahara Barat secara de facto terbagi menjadi dua bagian utama oleh Tembok Maroko, sebuah sistem penghalang pertahanan pasir dan batu yang dibangun oleh Maroko sepanjang lebih dari 2.70 K km.
- Wilayah yang Dikendalikan Maroko: Bagian barat tembok, yang mencakup sekitar 80% dari total wilayah Sahara Barat, berada di bawah kendali efektif Maroko. Wilayah ini mencakup sebagian besar kota-kota besar (termasuk El-Aaiún, Dakhla, dan Smara), deposit fosfat utama, dan garis pantai Atlantik yang kaya ikan. Maroko menganggap wilayah ini sebagai bagian integral dari kerajaannya dan menyebutnya "Provinsi Selatan".
- Zona Bebas (Wilayah yang Dibebaskan): Bagian timur tembok, yang mencakup sekitar 20-25% dari total wilayah, dikendalikan oleh Front Polisario dan disebut sebagai "Zona Bebas" (Free ZoneZona BebasBahasa Inggris) atau "Wilayah yang Dibebaskan". Wilayah ini sebagian besar merupakan daerah gurun yang jarang penduduknya, dengan beberapa oasis kecil dan permukiman sementara. Kota-kota seperti Tifariti dan Bir Lehlou, yang berfungsi sebagai pusat administratif sementara RDAS, terletak di zona ini. Zona Bebas berbatasan dengan Aljazair di timur laut dan Mauritania di timur dan selatan.
Pembangunan Tembok Maroko dimulai pada awal tahun 1980-an dan selesai dalam beberapa tahap. Tembok ini terdiri dari berm (tanggul pasir), parit, kawat berduri, dan ladang ranjau yang luas, serta dilengkapi dengan pos-pos pengamatan dan patroli militer Maroko. Tujuan utama pembangunan tembok ini adalah untuk menghalangi infiltrasi pejuang Front Polisario ke wilayah yang dikuasai Maroko dan untuk mengkonsolidasikan kontrol Maroko atas area strategis dan kaya sumber daya. Keberadaan tembok ini menjadi simbol fisik dari konflik yang belum terselesaikan dan pemisahan rakyat Sahrawi. MINURSO memantau gencatan senjata di kedua sisi tembok.
7.3. Kota Utama dan Ibu Kota Sementara

Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) mengklaim seluruh wilayah Sahara Barat, namun kota-kota utamanya saat ini berada di bawah kendali Maroko. RDAS memiliki pusat-pusat administratif sementara di wilayah yang dikendalikannya (Zona Bebas) dan di kamp-kamp pengungsi.
- El-Aaiún (Laayoune): Ini adalah kota terbesar dan secara historis merupakan ibu kota administratif Sahara Spanyol. RDAS mengklaim El-Aaiún sebagai ibu kota resminya (de jure). Namun, kota ini saat ini berada di bawah administrasi Maroko dan berfungsi sebagai pusat utama "Provinsi Selatan" Maroko. El-Aaiún memiliki infrastruktur yang relatif berkembang, termasuk pelabuhan dan bandara.
- Tifariti: Terletak di Zona Bebas yang dikendalikan oleh Front Polisario, Tifariti telah berfungsi sebagai ibu kota sementara de facto atau pusat administratif utama RDAS di dalam wilayah Sahara Barat sejak 2008, menggantikan Bir Lehlou. Tifariti menjadi lokasi penyelenggaraan beberapa acara penting RDAS, termasuk kongres Front Polisario dan perayaan nasional. Terdapat beberapa bangunan administratif, fasilitas kesehatan (seperti Rumah Sakit Navarra yang dibangun dengan bantuan Spanyol), dan sekolah.
- Bir Lehlou: Juga terletak di Zona Bebas, Bir Lehlou adalah tempat di mana kemerdekaan RDAS diproklamasikan pada tahun 1976. Sebelum Tifariti, Bir Lehlou berfungsi sebagai ibu kota sementara RDAS. Kota ini masih memiliki signifikansi simbolis dan historis yang penting bagi perjuangan Sahrawi dan menampung beberapa infrastruktur komunikasi seperti stasiun radio nasional RDAS.
Selain itu, administrasi sehari-hari pemerintahan RDAS di pengasingan banyak dilakukan di Rabouni, yang merupakan pusat administratif kamp-kamp pengungsi Sahrawi di dekat Tindouf, Aljazair. Di sinilah sebagian besar kementerian dan lembaga RDAS memiliki kantor pusat mereka. Kota-kota lain yang signifikan di wilayah yang dikuasai Maroko termasuk Dakhla (sebuah kota pelabuhan penting di selatan) dan Smara (pusat keagamaan dan budaya historis). Front Polisario juga mengklaim kota-kota ini sebagai bagian dari wilayah RDAS.
8. Militer
Kemampuan pertahanan dan organisasi militer Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) terpusat pada Tentara Pembebasan Rakyat Sahrawi (SPLA), yang merupakan sayap bersenjata dari Front Polisario.

8.1. Tentara Pembebasan Rakyat Sahrawi

Tentara Pembebasan Rakyat Sahrawi (جيش التحرير الشعبي الصحراويJaysh al-Taḥrīr al-Shaʿbī al-ṢaḥrāwīBahasa Arab; Sahrawi People's Liberation ArmyTentara Pembebasan Rakyat SahrawiBahasa Inggris, SPLA) adalah angkatan bersenjata resmi Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) dan merupakan sayap militer dari Front Polisario.
- Proses Pembentukan: SPLA dibentuk tak lama setelah pendirian Front Polisario pada tahun 1973. Awalnya terdiri dari kelompok-kelompok kecil pejuang gerilya, SPLA dengan cepat berkembang menjadi kekuatan militer yang lebih terorganisir, terutama setelah dimulainya perang melawan Maroko dan Mauritania pada tahun 1975.
- Kekuatan Pasukan: Perkiraan kekuatan pasukan SPLA bervariasi. Pada masa puncak konflik, jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan ribu pejuang. Saat ini, setelah gencatan senjata tahun 1991 dan runtuhnya gencatan senjata pada tahun 2020, perkiraan kekuatan aktif dan cadangan sulit diverifikasi secara independen, namun diperkirakan beberapa ribu hingga belasan ribu personel. Banyak anggota SPLA adalah veteran perang yang berpengalaman.
- Peralatan Utama: Peralatan SPLA sebagian besar berasal dari era Soviet dan diperoleh melalui dukungan dari negara-negara seperti Aljazair dan Libya (pada masa lalu). Persenjataannya meliputi berbagai macam tank tempur utama (seperti T-54/55 dan T-62), kendaraan tempur infanteri (seperti BMP-1), pengangkut personel lapis baja (seperti BTR-60), mobil lapis baja (seperti EE-9 Cascavel, BRDM-2), artileri (termasuk peluncur roket ganda seperti BM-21 Grad), senjata anti-tank, dan sistem pertahanan udara (termasuk rudal permukaan-ke-udara portabel seperti 9K32 Strela-2 dan sistem yang lebih besar seperti 2K12 Kub dan 9K33 Osa). Sebagian peralatan juga merupakan hasil rampasan dari pasukan Maroko atau Mauritania.
- Organisasi: SPLA diorganisir ke dalam beberapa wilayah militer dan unit-unit khusus. Strukturnya mencerminkan taktik perang gerilya dan kemampuan untuk beroperasi di medan gurun yang sulit. Presiden RDAS adalah panglima tertinggi SPLA.
- Kegiatan Operasional Utama: Sejak 1975 hingga gencatan senjata 1991, SPLA terlibat dalam perang intensif melawan pasukan Maroko dan Mauritania. Taktik utama mereka adalah serangan cepat, penyergapan, dan mobilitas tinggi di gurun. Setelah runtuhnya gencatan senjata pada November 2020, SPLA mengumumkan dimulainya kembali operasi militer, dengan klaim serangan rutin terhadap posisi militer Maroko di sepanjang Tembok Maroko.
SPLA memainkan peran sentral tidak hanya dalam aspek militer tetapi juga dalam identitas nasional dan perjuangan kemerdekaan rakyat Sahrawi.
9. Ekonomi
Struktur ekonomi Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) dan Sahara Barat secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh konflik yang berkepanjangan dan status politik wilayah yang belum terselesaikan. Wilayah yang dikuasai RDAS (Zona Bebas) memiliki kegiatan ekonomi yang terbatas, sementara wilayah yang dikuasai Maroko memiliki sumber daya alam yang lebih signifikan. Perspektif RDAS menekankan perlunya distribusi sumber daya yang adil dan dampak sosial yang positif bagi seluruh rakyat Sahrawi.

9.1. Mata Uang dan Kegiatan Ekonomi Utama
Sistem moneter dan kegiatan ekonomi di wilayah yang diklaim oleh Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) sangat terfragmentasi karena pembagian de facto wilayah tersebut.
- Mata Uang:
- Di wilayah yang dikendalikan oleh Front Polisario (Zona Bebas) dan di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di Tindouf, Aljazair, mata uang yang paling umum digunakan adalah Dinar Aljazair (DZD) karena kedekatan dan ketergantungan ekonomi pada Aljazair. Ouguiya Mauritania (MRU) juga dapat digunakan di daerah perbatasan dengan Mauritania.
- RDAS secara resmi memiliki mata uang sendiri, yaitu Peseta Sahrawi, yang dipatok setara dengan Peseta Spanyol lama. Namun, mata uang ini lebih bersifat simbolis dan tidak beredar secara luas sebagai alat tukar sehari-hari. Koin Peseta Sahrawi telah dicetak untuk tujuan koleksi dan sebagai penegasan kedaulatan.
- Di wilayah Sahara Barat yang dikuasai oleh Maroko, mata uang resmi yang digunakan adalah Dirham Maroko (MAD).
- Kegiatan Ekonomi Utama:
- Penambangan Fosfat: Sahara Barat memiliki salah satu cadangan fosfat terbesar di dunia, terutama di tambang Bou Craa. Saat ini, tambang ini dioperasikan oleh perusahaan milik negara Maroko, OCP Group. Eksploitasi fosfat ini menjadi sumber kontroversi, karena Front Polisario dan pendukungnya menganggapnya sebagai penjarahan sumber daya alam milik rakyat Sahrawi tanpa persetujuan mereka. Pendapatan dari fosfat merupakan kontributor signifikan bagi ekonomi Maroko.
- Perikanan: Perairan Atlantik di lepas pantai Sahara Barat sangat kaya akan ikan. Perjanjian perikanan antara Maroko dan Uni Eropa yang mencakup perairan ini juga kontroversial dan telah menjadi subjek gugatan hukum di pengadilan Eropa, dengan argumen bahwa perjanjian tersebut tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat Sahrawi. Industri perikanan menyediakan lapangan kerja dan pendapatan ekspor yang signifikan bagi Maroko.
- Penggembalaan Nomaden: Di Zona Bebas yang dikendalikan Polisario dan di beberapa bagian wilayah yang dikuasai Maroko, penggembalaan unta, kambing, dan domba secara nomaden masih menjadi kegiatan ekonomi tradisional yang penting bagi sebagian masyarakat Sahrawi. Namun, kegiatan ini terhambat oleh konflik, ladang ranjau, dan Tembok Maroko.
- Pertanian Terbatas: Pertanian hanya mungkin dilakukan di beberapa oasis dan daerah dengan akses air tanah. Produk utamanya adalah sayuran, buah-buahan (terutama kurma), dan barli. Sebagian besar makanan untuk penduduk perkotaan di wilayah yang dikuasai Maroko harus diimpor.
- Perdagangan dan Pariwisata (di wilayah yang dikuasai Maroko): Maroko telah berinvestasi dalam pengembangan infrastruktur di kota-kota yang dikuasainya, termasuk pariwisata di beberapa daerah pesisir seperti Dakhla. Perdagangan juga dikendalikan oleh pemerintah Maroko.
- Ekonomi di Kamp Pengungsian: Ekonomi di kamp-kamp pengungsi Sahrawi sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan internasional. Ada beberapa kegiatan ekonomi skala kecil seperti kerajinan tangan, usaha kecil, dan pekerjaan yang terkait dengan administrasi kamp dan layanan LSM.
Dampak ekonomi dari pendudukan dan konflik terhadap penduduk lokal Sahrawi sangat signifikan. Banyak yang merasa terpinggirkan dari manfaat eksploitasi sumber daya alam di tanah air mereka. Isu pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan menjadi salah satu poin penting dalam setiap diskusi mengenai penyelesaian konflik di masa depan. Front Polisario juga telah menandatangani beberapa kontrak eksplorasi minyak dan gas di Zona Bebas, tetapi belum ada aktivitas lapangan yang signifikan karena situasi politik dan keamanan.
10. Masyarakat
Masyarakat Sahrawi memiliki struktur sosial, karakteristik demografis, dan menghadapi isu-isu sosial utama yang sangat dipengaruhi oleh sejarah panjang konflik dan pengungsian. Ketahanan mereka dalam menghadapi tantangan ini menjadi ciri khas yang menonjol, namun berbagai kesulitan terus membayangi kehidupan sehari-hari mereka.
10.1. Demografi

Data demografis mengenai Sahara Barat seringkali sulit diperoleh secara akurat dan dapat bervariasi tergantung sumbernya, terutama karena situasi konflik dan pergerakan penduduk.
- Penduduk Asli Sahrawi: Jumlah pasti penduduk asli Sahrawi sulit ditentukan. Sebelum konflik tahun 1975, populasi diperkirakan sekitar 70.000 hingga 100.000 jiwa, sebagian besar hidup secara nomaden. Saat ini, diaspora Sahrawi tersebar di berbagai lokasi.
- Pengungsi di Aljazair: Sejumlah besar pengungsi Sahrawi, diperkirakan antara 90.000 (angka UNHCR untuk penerima bantuan) hingga lebih dari 170.000 (angka yang sering dikutip oleh Front Polisario dan Aljazair), tinggal di kamp-kamp pengungsi di dekat Tindouf, Aljazair, sejak pertengahan 1970-an. Kamp-kamp ini, yaitu Laayoune, Awserd, Smara, Dakhla, dan Boujdour (dinamai menurut kota-kota di Sahara Barat), telah menjadi rumah bagi beberapa generasi Sahrawi.
- Penduduk di Wilayah yang Dikuasai Maroko: Di bagian Sahara Barat yang dikuasai Maroko, populasi telah meningkat secara signifikan karena masuknya pemukim Maroko yang didorong oleh pemerintah Maroko sejak tahun 1975. Perkiraan populasi total di wilayah ini mencapai lebih dari 500.000 jiwa, dengan pemukim Maroko kini kemungkinan merupakan mayoritas. Identifikasi etnis Sahrawi di wilayah ini bisa menjadi kompleks.
- Penduduk di Zona Bebas: Zona Bebas yang dikendalikan oleh Front Polisario memiliki populasi yang jauh lebih kecil, sebagian besar terdiri dari nomaden dan personel militer, diperkirakan sekitar 30.000 orang.
- Diaspora Lain: Sejumlah kecil Sahrawi juga tinggal sebagai pengungsi atau migran di Mauritania, Spanyol (bekas kekuatan kolonial), dan negara-negara lain.
Ketidakpastian jumlah dan komposisi penduduk menjadi salah satu isu krusial dalam upaya penyelesaian konflik, terutama terkait dengan penentuan siapa yang berhak memilih dalam referendum penentuan nasib sendiri yang telah lama tertunda. Pemerintah Maroko telah mensponsori skema pemukiman yang menarik ribuan warga Maroko untuk pindah ke wilayah Sahara Barat yang didudukinya. Berdasarkan hukum internasional, pemindahan warga sipil oleh kekuatan pendudukan ke wilayah pendudukan merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa Keempat.
10.2. Bahasa
Situasi linguistik di Sahara Barat dan di kalangan masyarakat Sahrawi mencerminkan sejarah dan identitas budaya mereka.
- Bahasa Arab Hassaniya: Ini adalah dialek bahasa Arab lisan utama yang digunakan oleh mayoritas rakyat Sahrawi. Hassaniya juga dituturkan di Mauritania, sebagian Mali, Senegal selatan, dan Maroko selatan. Bahasa ini kaya akan tradisi lisan, puisi, dan musik.
- Bahasa Arab Standar Modern (MSA): MSA adalah bahasa resmi Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) sebagaimana ditetapkan dalam konstitusinya. Bahasa ini digunakan dalam administrasi pemerintahan, pendidikan formal, media resmi, dan komunikasi tertulis. Di wilayah yang dikuasai Maroko, MSA juga merupakan bahasa resmi bersama dengan bahasa Amazigh (Berber).
- Bahasa Spanyol: Karena sejarah kolonialisme Spanyol, bahasa Spanyol memiliki status penting sebagai bahasa kedua atau bahasa kerja de facto di RDAS. Bahasa ini banyak dipahami dan digunakan, terutama oleh generasi yang lebih tua dan mereka yang menerima pendidikan selama atau setelah periode kolonial. Di kamp-kamp pengungsi, bahasa Spanyol juga diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan dalam beberapa komunikasi resmi dan media. Presiden RDAS, Brahim Ghali, pernah menyatakan bahwa RDAS adalah satu-satunya negara Arab di dunia di mana bahasa Spanyol merupakan bahasa resmi (secara de facto atau sebagai bahasa kedua yang diakui). Instituto Cervantes memperkirakan sekitar 20.000 orang Sahrawi memiliki kompetensi terbatas dalam bahasa Spanyol.
- Bahasa Prancis: Di wilayah yang dikuasai Maroko, bahasa Prancis juga memiliki peran signifikan sebagai bahasa bisnis, administrasi, dan pendidikan tinggi, sebagaimana halnya di Maroko.
Penggunaan bahasa-bahasa ini mencerminkan identitas Sahrawi yang multi-lapis, dengan akar Arab-Berber yang kuat dan pengaruh signifikan dari kontak dengan dunia Hispanik dan, dalam konteks pendudukan Maroko, dengan dunia Frankofon.
10.3. Agama

Mayoritas penduduk asli Sahrawi menganut agama Islam, khususnya mazhab Maliki dari denominasi Sunni. Islam memainkan peran sentral dalam kehidupan sosial, budaya, dan hukum masyarakat Sahrawi. Konstitusi Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) mengakui Islam sebagai agama negara dan salah satu sumber legislasi.
Pengaruh Islam terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, termasuk praktik keagamaan seperti salat lima waktu, puasa selama bulan Ramadan, perayaan hari-hari besar Islam (seperti Idul Fitri dan Idul Adha), serta norma-norma sosial dan etika. Banyak tradisi dan adat istiadat Sahrawi juga berakar atau dipengaruhi oleh ajaran Islam.
Selama periode kolonial Spanyol, ada kehadiran minoritas Katolik Roma, terutama di kalangan penduduk Eropa (Spanyol). Setelah penarikan Spanyol, kehadiran Katolik menurun drastis. Saat ini, di wilayah yang dikuasai Maroko, masih terdapat komunitas Katolik kecil, sebagian besar terdiri dari ekspatriat atau keturunan Spanyol, dengan gereja-gereja seperti Katedral Santo Fransiskus dari Assisi di El-Aaiún dan Gereja Bunda Maria dari Gunung Karmel di Dakhla.
Secara umum, masyarakat Sahrawi dikenal religius dan mempraktikkan bentuk Islam yang moderat dan toleran, seringkali dipadukan dengan tradisi lokal dan pengaruh Sufisme. Konflik dan pengungsian tidak mengurangi pentingnya agama dalam kehidupan mereka; sebaliknya, Islam sering menjadi sumber kekuatan spiritual dan identitas kolektif dalam menghadapi kesulitan. Tidak ada laporan signifikan mengenai keberadaan minoritas agama non-Islam yang besar di antara penduduk asli Sahrawi.
10.4. Kehidupan di Kamp Pengungsian


Selama beberapa dekade, puluhan ribu rakyat Sahrawi telah tinggal di kamp-kamp pengungsi yang terletak di provinsi Tindouf, barat daya Aljazair. Kehidupan sehari-hari di kamp-kamp ini, yang sering disebut sebagai wilayat (provinsi) dan dinamai menurut kota-kota di Sahara Barat (Laayoune, Awserd, Smara, Dakhla, dan Boujdour), ditandai oleh kondisi lingkungan gurun yang keras dan ketergantungan pada bantuan internasional.
- Sistem Pendidikan: Meskipun dalam kondisi sulit, Front Polisario, dengan dukungan dari Aljazair, Kuba, Spanyol, dan organisasi internasional lainnya, telah berhasil membangun sistem pendidikan dasar dan menengah di kamp-kamp. Sekolah-sekolah beroperasi dengan sumber daya terbatas, namun tingkat partisipasi cukup tinggi. Bahasa pengantar utama adalah Arab dan Spanyol. Banyak siswa Sahrawi juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Aljazair, Kuba, Spanyol, dan negara-negara lain.
- Lingkungan Kesehatan dan Medis: Layanan kesehatan di kamp-kamp disediakan melalui jaringan klinik dan rumah sakit kecil yang dikelola oleh otoritas Sahrawi dengan dukungan dari LSM internasional dan negara-negara donor. Tantangan utama termasuk kekurangan obat-obatan, peralatan medis, dan tenaga kesehatan spesialis. Penyakit yang umum terkait dengan kondisi sanitasi yang kurang ideal, kekurangan gizi, dan iklim gurun.
- Ketergantungan pada Bantuan Internasional: Kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, tempat tinggal (tenda dan bangunan lumpur sederhana), dan pakaian sebagian besar dipenuhi melalui bantuan dari Program Pangan Dunia (WFP), Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Komisi Eropa (ECHO), Palang Merah/Bulan Sabit Merah, dan berbagai LSM. Ketergantungan ini membuat para pengungsi rentan terhadap fluktuasi dalam pendanaan bantuan.
- Organisasi Sosial: Masyarakat di kamp-kamp terorganisir dengan baik di bawah administrasi Front Polisario. Terdapat komite-komite lokal yang bertanggung jawab atas berbagai aspek kehidupan kamp, seperti distribusi makanan, keamanan, dan pendidikan. Peran perempuan dalam organisasi sosial dan administrasi kamp sangat signifikan. Meskipun menghadapi kesulitan, masyarakat Sahrawi di kamp-kamp telah berhasil mempertahankan kohesi sosial dan identitas budaya yang kuat.
Kehidupan yang berkepanjangan di pengasingan, dengan harapan yang terus menyusut untuk kembali ke tanah air dalam waktu dekat, telah menciptakan tantangan psikologis dan sosial, terutama bagi generasi muda yang lahir dan besar di kamp. Namun, semangat perlawanan dan keinginan untuk menentukan nasib sendiri tetap tinggi.
11. Budaya
Budaya rakyat Sahrawi kaya akan tradisi nomaden, puisi, musik, dan kerajinan tangan, yang telah dibentuk oleh lingkungan gurun Sahara, interaksi dengan budaya Arab dan Berber, serta pengaruh periode kolonial Spanyol. Konflik yang berkepanjangan dan kehidupan di pengasingan juga telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan identitas budaya kontemporer mereka, seringkali mengekspresikan tema-tema perlawanan, kerinduan akan tanah air, dan harapan untuk masa depan.
11.1. Hari Libur Nasional
Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) memperingati beberapa hari libur nasional dan hari peringatan penting yang mencerminkan sejarah perjuangan dan identitas nasionalnya. Hari-hari ini sering dirayakan dengan upacara resmi, kegiatan budaya, dan pertemuan masyarakat baik di Zona Bebas maupun di kamp-kamp pengungsi.
Berikut adalah beberapa hari libur nasional utama RDAS:
Tanggal | Nama Hari Libur | Latar Belakang, Signifikansi, dan Peringatan |
---|---|---|
27 Februari | Hari Kemerdekaan (Proklamasi RDAS) | Memperingati proklamasi Republik Demokratik Arab Sahrawi pada 27 Februari 1976 di Bir Lehlou. Ini adalah hari libur nasional terpenting, dirayakan dengan parade militer, pidato kenegaraan, dan acara budaya. |
8 Maret | Hari Martir Pertama | Memperingati gugurnya martir pertama dalam perjuangan kemerdekaan pada tahun 1974. |
10 Mei | Pendirian Front Polisario | Memperingati pembentukan Front Polisario pada 10 Mei 1973, sebagai gerakan pembebasan nasional rakyat Sahrawi. |
20 Mei | Revolusi 20 Mei / Awal Perjuangan Bersenjata | Menandai dimulainya perjuangan bersenjata melawan penjajahan Spanyol pada 20 Mei 1973, dengan serangan pertama oleh Front Polisario. |
9 Juni | Hari Para Martir | Memperingati hari wafatnya El-Ouali Mustapha Sayed, presiden pertama RDAS dan salah satu pendiri Front Polisario, yang gugur dalam pertempuran pada 9 Juni 1976. Hari ini didedikasikan untuk semua martir perjuangan Sahrawi. |
17 Juni | Intifada Zemla | Memperingati pemberontakan damai di Zemla, El-Aaiún, pada 17 Juni 1970 terhadap administrasi kolonial Spanyol, yang ditindas secara brutal. Ini dianggap sebagai salah satu titik awal penting dalam gerakan nasionalis Sahrawi modern. |
12 Oktober | Hari Persatuan Nasional | Merayakan ulang tahun peringatan Konferensi Ain Ben Tili pada tahun 1975, di mana berbagai komponen masyarakat Sahrawi bersatu di bawah kepemimpinan Front Polisario dan menegaskan tekad untuk meraih kemerdekaan. |
Selain hari-hari libur nasional tersebut, perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Hijriah, dan Maulid Nabi Muhammad SAW juga dirayakan secara luas oleh masyarakat Sahrawi sesuai dengan kalender lunar Islam.
11.2. Olahraga
Kegiatan olahraga di Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS), baik di Zona Bebas maupun di kamp-kamp pengungsi, menghadapi keterbatasan sumber daya dan infrastruktur. Namun, olahraga, terutama sepak bola, memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan sebagai sarana ekspresi identitas nasional.
- Sepak Bola: Sepak bola adalah olahraga paling populer. Tim nasional sepak bola Sahara Barat telah dibentuk dan berpartisipasi dalam beberapa pertandingan tidak resmi dan turnamen internasional yang tidak berafiliasi dengan FIFA. Federasi Sepak Bola Sahrawi (FSF) adalah badan pengatur sepak bola di RDAS, tetapi bukan anggota FIFA maupun Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF). Tim nasional seringkali terdiri dari pemain dari kamp-kamp pengungsi dan diaspora Sahrawi. Ada juga kompetisi sepak bola lokal yang diselenggarakan di kamp-kamp.
- Partisipasi Internasional: RDAS pernah diundang untuk berpartisipasi dalam Pesta Olahraga Afrika 2015 di Brazzaville, Kongo, yang akan menjadi debut negara tersebut di ajang olahraga internasional besar. Namun, delegasi atlet mereka tidak diizinkan berkompetisi oleh panitia penyelenggara Kongo karena tekanan politik. Meskipun demikian, partisipasi dalam acara-acara olahraga non-resmi atau regional terus diupayakan sebagai bentuk pengakuan dan visibilitas.
- Olahraga Lain: Selain sepak bola, olahraga lain seperti lari, bola voli, dan beberapa bentuk atletik juga dipraktikkan, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Kegiatan olahraga seringkali diselenggarakan dengan dukungan dari organisasi non-pemerintah dan inisiatif solidaritas internasional.
Olahraga tidak hanya berfungsi sebagai sarana rekreasi tetapi juga sebagai alat untuk mempromosikan kesehatan, membangun semangat komunitas, dan menyuarakan perjuangan rakyat Sahrawi di panggung internasional.
11.3. Media
Media di Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) dan yang terkait dengan Front Polisario memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, memobilisasi dukungan, dan menjaga identitas nasional di tengah konflik dan pengungsian. Sebagian besar media bersifat resmi dan dioperasikan oleh pemerintah RDAS atau Front Polisario.
- Sahara Press Service (SPS): Ini adalah kantor berita resmi RDAS. SPS didirikan pada tahun 1999 dan menyediakan berita serta informasi dalam berbagai bahasa (termasuk Arab, Spanyol, Inggris, dan Prancis) mengenai perkembangan politik, sosial, dan diplomatik terkait Sahara Barat dan perjuangan Sahrawi. [http://www.spsrasd.info SPS] dapat diakses secara daring.
- RASD TV: Ini adalah saluran televisi resmi RDAS. RASD TV menyiarkan program berita, dokumenter, acara budaya, dan pidato resmi. Siarannya bertujuan untuk menjangkau masyarakat Sahrawi di kamp-kamp pengungsi, Zona Bebas, dan diaspora, serta untuk menginformasikan komunitas internasional. [http://www.rasd.tv RASD TV] juga memiliki platform daring.
- Radio Nasional RDAS (Radio Nacional de la R.A.S.D.): Stasiun radio resmi ini telah beroperasi selama bertahun-tahun, menyiarkan program dalam bahasa Arab Hassaniya, Arab Standar Modern, dan Spanyol. Radio memainkan peran penting dalam menjangkau penduduk di daerah-daerah terpencil dan di kamp-kamp di mana akses ke media lain mungkin terbatas.
- Surat Kabar dan Publikasi Cetak: Terdapat beberapa publikasi cetak, seperti surat kabar Esahra Elhora, yang telah beredar sejak tahun 1975 dan diterbitkan oleh Front Polisario. Publikasi-publikasi ini seringkali berisi berita, analisis, dan opini terkait perjuangan kemerdekaan.
- Media Daring dan Sosial: Dengan berkembangnya teknologi internet, banyak aktivis dan pendukung Sahrawi menggunakan platform media sosial dan situs web independen untuk berbagi informasi, mengorganisir kampanye, dan menyuarakan perspektif mereka.
- Status Media Independen: Keberadaan media yang sepenuhnya independen di dalam struktur RDAS atau di kamp-kamp pengungsi terbatas, mengingat kondisi konflik dan dominasi Front Polisario sebagai gerakan pembebasan nasional. Sebagian besar outlet media yang ada beroperasi di bawah arahan atau dengan dukungan dari otoritas RDAS/Polisario. Namun, ada beberapa jurnalis dan penulis Sahrawi yang bekerja secara independen atau untuk media internasional, seringkali dari pengasingan. Kesatuan Wartawan dan Penulis Sahrawi (UPES) adalah organisasi yang menghimpun para profesional media Sahrawi.
Secara keseluruhan, media resmi RDAS berfungsi sebagai alat penting untuk komunikasi pemerintah, propaganda politik, dan pemeliharaan budaya nasional, sementara media daring dan sosial menawarkan platform alternatif untuk ekspresi dan aktivisme.
11.4. Film

Film telah menjadi media yang penting untuk mengangkat isu Sahara Barat, mendokumentasikan perjuangan rakyat Sahrawi, dan mengekspresikan budaya mereka. Berbagai film dokumenter dan beberapa film cerita telah diproduksi oleh sineas Sahrawi maupun internasional, yang menyoroti aspek-aspek berbeda dari konflik, kehidupan di pengungsian, dan harapan untuk masa depan.
Salah satu acara budaya terkait film yang paling signifikan adalah Festival Film Internasional FiSahara (Festival Internacional de Cine del Sáhara). FiSahara adalah festival film tahunan yang unik karena diselenggarakan di kamp-kamp pengungsi Sahrawi di dekat Tindouf, Aljazair. Festival ini bertujuan untuk:
- Menyediakan hiburan dan akses budaya bagi para pengungsi Sahrawi.
- Meningkatkan kesadaran internasional tentang situasi Sahara Barat dan perjuangan rakyat Sahrawi.
- Menggunakan film sebagai alat untuk pendidikan hak asasi manusia dan advokasi.
FiSahara menarik partisipasi dari sineas, aktor, aktivis, dan jurnalis dari seluruh dunia. Selain pemutaran film, festival ini juga menyelenggarakan lokakarya, debat, dan kegiatan budaya lainnya. Aktris Spanyol terkenal seperti Verónica Forqué pernah hadir dalam festival ini, menunjukkan solidaritas dari komunitas seni internasional.
Beberapa film dokumenter yang terkenal tentang isu Sahara Barat meliputi karya-karya yang mengeksplorasi sejarah konflik, kondisi hak asasi manusia, kehidupan di kamp-kamp, dan dampak Tembok Maroko. Film-film ini sering diputar di festival-festival film internasional dan digunakan oleh kelompok-kelompok solidaritas untuk kampanye advokasi. Ada juga upaya untuk mengembangkan kapasitas pembuatan film di kalangan pemuda Sahrawi melalui lokakarya dan sekolah film, seperti Sekolah Audiovisual Abidin Kaid Saleh, untuk memungkinkan mereka menceritakan kisah mereka sendiri.