1. Gambaran Umum
Republik Guinea, sebuah negara di Afrika Barat, memiliki lanskap geografi yang beragam mulai dari pesisir Atlantik hingga dataran tinggi di pedalaman. Sejarahnya diwarnai oleh kekaisaran-kekaisaran besar Afrika Barat, periode kolonial Prancis, dan perjuangan kemerdekaan yang dilanjutkan dengan era pemerintahan otoriter serta transisi menuju demokrasi yang penuh tantangan. Secara politik, Guinea telah mengalami berbagai kudeta militer dan upaya reformasi konstitusi, dengan isu hak asasi manusia dan perkembangan demokrasi menjadi sorotan utama. Ekonomi Guinea sangat bergantung pada pertanian dan kekayaan sumber daya mineral, terutama bauksit, namun masih menghadapi tantangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Masyarakat Guinea terdiri dari berbagai kelompok etnis dengan budaya yang kaya, tercermin dalam musik, seni pertunjukan, dan tradisi lokal. Artikel ini akan menguraikan aspek-aspek tersebut dengan penekanan pada dampak sosial dari berbagai kebijakan dan peristiwa, perkembangan hak asasi manusia, upaya demokratisasi, serta perhatian terhadap isu-isu kelompok minoritas dan rentan, sejalan dengan perspektif kiri-tengah atau liberalisme sosial.
2. Etimologi
Nama "Guinea" diambil dari kawasan Guinea yang lebih luas di Afrika Barat, yang membentang di sepanjang Teluk Guinea. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Portugis Guiné, yang muncul pada pertengahan abad ke-15. Kata Guiné digunakan untuk merujuk pada daratan yang dihuni oleh Guineus, sebuah istilah umum yang digunakan bangsa Portugis untuk menyebut masyarakat Afrika berkulit hitam yang tinggal di sebelah selatan Sungai Senegal. Istilah ini membedakan mereka dari suku Berber Zenaga yang berkulit lebih terang di utara sungai tersebut, yang disebut Azengues atau Moor. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa nama "Guinea" mungkin berasal dari bahasa Berber yang berarti "tanah orang kulit hitam".
Untuk membedakannya dari negara-negara lain di kawasan yang juga menggunakan nama "Guinea", seperti Guinea-Bissau dan Guinea Khatulistiwa, Republik Guinea sering disebut sebagai Guinea-Conakry, yang merujuk pada nama ibu kotanya, Conakry.
Secara historis, nama resmi negara ini pernah berubah. Pada tahun 1978, di bawah pemerintahan Presiden Ahmed Sékou Touré, nama negara diubah menjadi Republik Revolusioner Rakyat Guinea (République Populaire Révolutionnaire de GuinéeRepublik Populer Revolusioner de GineBahasa Prancis). Setelah kematian Sékou Touré dan kudeta tahun 1984 yang membawa Lansana Conté ke tampuk kekuasaan, nama negara dikembalikan menjadi Republik Guinea.
3. Sejarah
Sejarah Guinea mencakup periode kekaisaran-kekaisaran besar di Afrika Barat, era kolonialisme Prancis, perjuangan kemerdekaan yang penuh gejolak, dan periode pasca-kemerdekaan yang ditandai oleh pemerintahan otoriter serta transisi menuju demokrasi yang kompleks dan sering kali diwarnai instabilitas politik. Dampak dari berbagai peristiwa ini terhadap hak asasi manusia, perkembangan demokrasi, dan kesejahteraan sosial masyarakat Guinea menjadi fokus penting.
3.1. Sejarah Awal dan Era Kekaisaran
Wilayah yang kini dikenal sebagai Guinea merupakan bagian penting dari beberapa kekaisaran besar di Afrika Barat. Kekaisaran paling awal yang berpengaruh adalah Kekaisaran Ghana, yang berkembang pesat melalui perdagangan trans-Sahara. Namun, kekaisaran ini akhirnya runtuh setelah serangkaian invasi dari Almoravid. Pada periode inilah agama Islam pertama kali masuk ke kawasan ini, dibawa oleh para pedagang dari Afrika Utara.
Setelah Ghana, Kekaisaran Sosso muncul dan berkuasa dari abad ke-12 hingga ke-13. Kekaisaran Sosso dikenal sebagai kekuatan anti-Islam yang mencoba melawan pengaruh Murabithun. Kemudian, Kekaisaran Mali bangkit setelah Sundiata Keita mengalahkan penguasa Sosso, Soumaoro Kanté, dalam Pertempuran Kirina sekitar tahun 1235. Kekaisaran Mali diperintah oleh para Mansa (Kaisar), termasuk Kanku Musa yang terkenal karena ibadah hajinya ke Mekkah pada tahun 1324, yang menunjukkan kekayaan dan pengaruh kekaisaran. Setelah masa pemerintahan Kanku Musa, Kekaisaran Mali mulai mengalami kemunduran dan akhirnya digantikan oleh negara-negara bawahannya pada abad ke-15.
Kekaisaran Songhai kemudian memperluas kekuasaannya sekitar tahun 1460 dan terus berkembang hingga terjadi perang saudara terkait suksesi setelah kematian Askia Daoud pada tahun 1582. Kekaisaran ini akhirnya jatuh ke tangan penyerbu dari Maroko pada tahun 1591, meskipun kemudian terpecah menjadi kerajaan-kerajaan yang lebih kecil. Jatuhnya kekaisaran-kekaisaran besar ini membuka jalan bagi munculnya berbagai kerajaan lokal di wilayah Guinea.
3.2. Kekaisaran Fouta Djallon dan Wassoulou

Setelah runtuhnya kekaisaran-kekaisaran besar Afrika Barat, beberapa kerajaan penting muncul di wilayah yang kini menjadi Guinea. Salah satu yang paling signifikan adalah Imamah Fouta Djallon. Pada abad ke-18, Muslim Fulani (juga dikenal sebagai Peuhl atau Fula) bermigrasi ke dataran tinggi Fouta Djallon di Guinea tengah. Mereka melancarkan jihad (perang suci) dan mendirikan negara Islam teokratis pada sekitar tahun 1725 atau 1727, dengan Timbo sebagai ibu kotanya. Negara ini memiliki konstitusi tertulis dan sistem pemerintahan dengan penguasa yang bergantian. Imamah Fouta Djallon bertahan hingga tahun 1896 ketika ditaklukkan oleh Prancis.
Pada abad ke-19, Kekaisaran Wassoulou (juga disebut Wassulu atau Ouassoulou) muncul sebagai kekuatan dominan lainnya. Kekaisaran ini didirikan dan dipimpin oleh Samori Touré, seorang pemimpin Mandinka (Malinké) yang karismatik dan ahli strategi militer. Berdiri dari tahun 1878 hingga 1898, Kekaisaran Wassoulou berpusat di wilayah yang didominasi suku Malinké di Guinea hulu dan Mali barat daya saat ini (Wassoulou), dengan Bissandugu sebagai ibu kotanya. Samori Touré melakukan perlawanan sengit terhadap ekspansi kolonial Prancis selama bertahun-tahun sebelum akhirnya kekaisarannya dipindahkan ke Pantai Gading dan ia ditangkap oleh Prancis pada tahun 1898. Perjuangan Samori Touré melawan Prancis menjadi simbol perlawanan anti-kolonial di Afrika Barat dan berdampak besar pada pembentukan identitas nasional di kemudian hari, meskipun seringkali mengorbankan hak-hak kelompok etnis lain yang ditaklukkannya.
3.3. Era Kolonial

Periode kolonial Guinea dimulai dengan penetrasi militer Prancis ke wilayah tersebut pada pertengahan abad ke-19. Para pedagang Eropa telah bersaing untuk perdagangan di pesisir sejak abad ke-17, namun Prancis secara sistematis memperluas kendalinya. Kekalahan pasukan Samori Touré, Mansa (Kaisar) negara Ouassoulou dan pemimpin keturunan Malinké, pada tahun 1898 memberikan Prancis kendali atas wilayah yang sekarang menjadi Guinea dan daerah sekitarnya.
Pada tahun 1890, Prancis secara resmi mendirikan koloni Guinea Prancis (Guinée françaiseGine FransezBahasa Prancis), dengan Conakry sebagai ibu kotanya dan Noël Ballay sebagai gubernur pertama. Prancis kemudian menegosiasikan batas-batas Guinea saat ini pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dengan Inggris untuk Sierra Leone, Portugis untuk koloni Guinea mereka (sekarang Guinea-Bissau), dan Liberia. Di bawah pemerintahan Prancis, negara ini menjadi bagian dari Afrika Barat Prancis (Afrique-Occidentale françaiseAfrik Oksidantal FransezBahasa Prancis, AOF), yang dikelola oleh seorang gubernur jenderal yang berkedudukan di Dakar. Letnan gubernur mengelola masing-masing koloni, termasuk Guinea.
Untuk memfasilitasi eksploitasi sumber daya alam dan kontrol administratif, Prancis membangun infrastruktur seperti jalur kereta api dari Conakry ke Kankan, yang selesai pada tahun 1913. Pemerintahan kolonial Prancis membawa perubahan sosial-ekonomi yang signifikan, termasuk pengenalan ekonomi uang, penanaman tanaman ekspor, dan sistem administrasi serta hukum Prancis. Namun, pemerintahan kolonial juga ditandai dengan eksploitasi tenaga kerja, perampasan tanah, dan penindasan terhadap penduduk lokal. Kebijakan asimilasi Prancis bertujuan untuk menciptakan elite lokal yang berbudaya Prancis, namun seringkali mengabaikan budaya dan tradisi asli.
Pada tahun 1946, seperti wilayah Afrika Barat Prancis lainnya, Guinea Prancis memperoleh hak pilih terbatas. Dalam pemilihan-pemilihan berikutnya, Partai Demokratik Guinea-Rapat Demokratik Afrika (PDG-RDA), yang berafiliasi dengan Rapat Demokratik Afrika (RDA), secara konsisten memenangkan mayoritas kursi. Pada tahun 1952, Ahmed Sékou Touré menjadi sekretaris jenderal PDG dan muncul sebagai tokoh utama dalam gerakan kemerdekaan Guinea. Gerakan ini semakin menguat pasca-Perang Dunia II, didorong oleh meningkatnya kesadaran politik dan keinginan untuk menentukan nasib sendiri di kalangan rakyat Guinea.
3.4. Kemerdekaan dan Rezim Ahmed Sékou Touré (1958-1984)

Pada tahun 1958, Republik Keempat Prancis runtuh akibat ketidakstabilan politik dan kegagalannya dalam menangani koloni-koloninya, terutama di Indochina dan Aljazair. Republik Kelima Prancis yang baru, di bawah pimpinan Charles de Gaulle, memberi pilihan kepada koloninya: otonomi dalam Komunitas Prancis yang baru atau kemerdekaan segera melalui referendum pada 28 September 1958. Di bawah kepemimpinan Ahmed Sékou Touré dan partainya, Partai Demokratik Guinea-Rapat Demokratik Afrika (PDG), yang telah memenangkan 56 dari 60 kursi dalam pemilihan teritorial tahun 1957, Guinea dengan suara mayoritas memilih kemerdekaan penuh. Akibatnya, Prancis segera menarik seluruh personel, teknisi, dan fasilitasnya, yang menyebabkan lumpuhnya fungsi administratif Guinea dan memburuknya hubungan kedua negara hingga pemutusan hubungan diplomatik pada tahun 1965. Prancis bahkan merencanakan Operasi Persil untuk menciptakan hiperinflasi mata uang Franc Guinea dan mempersenjatai oposisi Touré, meskipun operasi ini bocor.
Pada tanggal 2 Oktober 1958, Guinea memproklamasikan dirinya sebagai republik yang berdaulat dan merdeka, dengan Sékou Touré sebagai presiden pertamanya. Untuk mengatasi isolasi dan kesulitan ekonomi, Touré menerapkan kebijakan sosialis dan menjalin hubungan erat dengan Blok Timur, meskipun ia juga berupaya menjaga hubungan dengan negara-negara Barat. Pada tahun 1960, Touré mendeklarasikan PDG sebagai satu-satunya partai politik yang sah, dan selama 24 tahun berikutnya, pemerintah dan PDG menjadi satu kesatuan. Touré terpilih kembali tanpa lawan dalam empat masa jabatan presiden selama tujuh tahun, dan setiap lima tahun, para pemilih disajikan dengan daftar tunggal kandidat PDG untuk Majelis Nasional. Rezim Touré menindas para penentang politik dan aktivis hak asasi manusia.
Pada tahun 1958, Guinea bersama Ghana membentuk Persatuan Negara-Negara Afrika, sebagai upaya menuju persatuan Afrika. Pada 22 November 1970, pasukan Portugal dari Guinea Portugis (sekarang Guinea-Bissau) melancarkan Operasi Laut Hijau, sebuah serangan ke Conakry oleh beberapa ratus pasukan oposisi Guinea yang diasingkan. Tujuan mereka termasuk membunuh atau menangkap Sékou Touré karena dukungannya terhadap PAIGC, gerakan kemerdekaan di Guinea Portugis. Setelah pertempuran, pasukan yang didukung Portugal mundur. Insiden ini semakin memperkuat paranoia rezim Touré dan memicu gelombang penindasan yang lebih besar. Tokoh-tokoh seperti Diallo Telli, sekretaris jenderal pertama Organisasi Kesatuan Afrika, menjadi korban pembunuhan politik di Kamp Boiro. Diperkirakan sekitar 50.000 orang tewas dan 2 juta orang (dari total populasi 5 juta saat itu) mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Senegal dan Pantai Gading untuk menghindari kekerasan dan kesulitan ekonomi.
Pada tahun 1977, penurunan ekonomi dan larangan semua transaksi ekonomi swasta menyebabkan Pemberontakan Wanita Pasar, serangkaian kerusuhan anti-pemerintah yang dimulai oleh para wanita yang bekerja di Pasar Madina, Conakry. Menjelang akhir 1970-an dan awal 1980-an, terjadi beberapa reformasi ekonomi, dan hubungan dengan Prancis mulai membaik setelah terpilihnya Valéry Giscard d'Estaing sebagai presiden Prancis.
Rezim Sékou Touré, meskipun awalnya membawa harapan kemerdekaan dan kedaulatan, secara signifikan berdampak negatif pada hak asasi manusia dan perkembangan demokrasi di Guinea. Sistem satu partai dan penindasan terhadap oposisi menciptakan iklim ketakutan dan menghambat partisipasi politik yang luas. Kebijakan ekonomi sosialis yang terpusat, ditambah dengan isolasi internasional, menyebabkan stagnasi ekonomi dan penderitaan bagi rakyat Guinea.
3.5. Rezim Lansana Conté (1984-2008)
Ahmed Sékou Touré meninggal pada 26 Maret 1984 setelah operasi jantung di Amerika Serikat. Perdana Menteri Louis Lansana Beavogui menjadi presiden sementara, menunggu pemilihan baru. Namun, beberapa jam sebelum PDG dijadwalkan memilih pemimpin baru pada 3 April 1984, Kolonel Lansana Conté dan Diarra Traoré merebut kekuasaan dalam kudeta tak berdarah. Conté mengambil alih peran presiden, dengan Traoré menjabat sebagai perdana menteri hingga Desember.
Conté mengecam catatan hak asasi manusia rezim sebelumnya, membebaskan 250 tahanan politik dan mendorong sekitar 200.000 lainnya untuk kembali dari pengasingan. Ia secara eksplisit berbalik dari sosialisme dan mulai menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih liberal, bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Pada tahun 1992, Conté mengumumkan kembalinya pemerintahan sipil, dengan pemilihan presiden pada tahun 1993, diikuti oleh pemilihan parlemen pada tahun 1995. Partainya, Partai Persatuan dan Kemajuan (PUP), memenangkan 71 dari 114 kursi. Conté memenangkan pemilihan presiden tahun 1993, dan terpilih kembali pada tahun 1998 dan 2003, meskipun pemilihan-pemilihan ini sering dikritik karena kurangnya transparansi dan diwarnai boikot oleh oposisi. Pada bulan September 2001, pemimpin oposisi Alpha Condé dipenjara karena dianggap membahayakan keamanan negara, namun diampuni 8 bulan kemudian dan kemudian menghabiskan waktu di pengasingan di Prancis.
Pada tahun 2001, Conté menyelenggarakan dan memenangkan referendum untuk memperpanjang masa jabatan presiden dari lima menjadi tujuh tahun, yang semakin memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan dan menuai kritik atas kecenderungan otoriternya. Pada Januari 2005, Conté selamat dari dugaan upaya pembunuhan saat tampil di depan umum di Conakry. Para penentangnya menganggapnya sebagai "diktator yang lelah" yang kepergiannya tak terelakkan, sementara para pendukungnya percaya bahwa ia berhasil mengatasi para pembangkang. Menurut majalah Foreign Policy, Guinea berisiko menjadi negara gagal.
Pada tahun 2000, Guinea menderita akibat pemberontak yang melintasi perbatasan dari Liberia dan Sierra Leone, menimbulkan kekhawatiran akan perang saudara. Conté menyalahkan para pemimpin negara tetangga karena menginginkan sumber daya alam Guinea, klaim yang dibantah oleh mereka. Pada tahun 2003, Guinea setuju untuk bekerja sama dengan negara-negara tetangganya untuk mengatasi pemberontak. Pemogokan umum tahun 2007, yang dipicu oleh korupsi yang merajalela, kenaikan harga, dan kesulitan fiskal, mengakibatkan bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan yang menewaskan puluhan orang. Pemogokan ini memaksa Conté untuk menyetujui pembentukan posisi perdana menteri dan mengangkat perdana menteri baru sebagai upaya meredakan ketegangan. Meskipun demikian, rezim Lansana Conté secara umum dikritik karena praktik korupsi yang meluas, pelanggaran hak asasi manusia, dan kegagalan dalam memajukan demokrasi serta meningkatkan kesejahteraan rakyat Guinea.
3.6. Transisi Pasca Kudeta 2008
Presiden Lansana Conté tetap berkuasa hingga kematiannya pada 23 Desember 2008. Beberapa jam setelah kematiannya, Kapten Moussa Dadis Camara merebut kendali dalam kudeta militer, mendeklarasikan dirinya sebagai kepala junta militer yang disebut Dewan Nasional untuk Demokrasi dan Pembangunan (CNDD). Camara menangguhkan konstitusi dan membubarkan lembaga-lembaga pemerintah.
Awalnya, sebagian masyarakat menyambut baik kudeta tersebut dengan harapan akan perubahan, namun rezim Camara dengan cepat menunjukkan sifat otoriternya. Protes terhadap upaya Camara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan yang dijanjikan berubah menjadi kekerasan. Pada tanggal 28 September 2009, junta memerintahkan tentaranya untuk menyerang para demonstran yang berkumpul di sebuah stadion di Conakry. Insiden ini dikenal sebagai pembantaian 28 September, di mana sedikitnya 157 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Para tentara melakukan tindakan brutal termasuk pemerkosaan massal, mutilasi, dan pembunuhan, yang menyebabkan kecaman internasional dan penarikan dukungan dari beberapa pemerintah asing terhadap rezim baru tersebut.
Pada tanggal 3 Desember 2009, seorang ajudan menembak Camara dalam sebuah perselisihan terkait pembantaian bulan September. Camara terluka parah dan diterbangkan ke Maroko untuk perawatan medis. Wakil Presiden (dan Menteri Pertahanan) Sékouba Konaté kemudian mengambil alih kepemimpinan negara. Setelah pertemuan di Ouagadougou pada 13 dan 14 Januari 2010, Camara, Konaté, dan Blaise Compaoré, Presiden Burkina Faso, menghasilkan pernyataan resmi berisi 12 prinsip yang menjanjikan kembalinya Guinea ke pemerintahan sipil dalam waktu enam bulan. Periode transisi ini ditandai dengan ketidakstabilan politik yang parah dan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, menyoroti kerapuhan institusi demokrasi di Guinea dan dampak negatif dari intervensi militer dalam politik.
3.7. Rezim Alpha Condé (2010-2021)

Setelah periode transisi yang bergejolak, pemilihan presiden diadakan pada 27 Juni 2010, dengan putaran kedua pada 7 November 2010. Alpha Condé, pemimpin partai oposisi Rapat Rakyat Guinea (RPG) dan seorang tokoh oposisi veteran, memenangkan pemilihan tersebut. Kemenangannya menandai pemilihan presiden demokratis pertama dalam sejarah Guinea dan membawa harapan baru bagi stabilitas dan reformasi. Condé berjanji untuk mereformasi sektor keamanan dan meninjau kembali kontrak-kontrak pertambangan yang kontroversial.
Namun, masa pemerintahan Condé dihadapkan pada berbagai tantangan. Pada Februari 2013, terjadi kekerasan politik setelah protes jalanan terkait transparansi pemilihan parlemen yang akan datang. Sembilan orang tewas dan sekitar 220 lainnya luka-luka, sebagian disebabkan oleh penggunaan peluru tajam oleh pasukan keamanan terhadap para demonstran. Kekerasan ini juga memicu bentrokan etnis antara pendukung Condé dari suku Malinke dan pendukung oposisi dari suku Fula.
Tantangan besar lainnya adalah wabah virus Ebola yang dimulai pada Maret 2014. Wabah ini pertama kali dilaporkan di sebuah desa bernama Meliandou dan dengan cepat menyebar. Hingga 1 November 2015, tercatat 3.810 kasus dan 2.536 kematian di Guinea akibat Ebola. Wabah ini tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan masyarakat tetapi juga berdampak buruk pada ekonomi dan kehidupan sosial negara. Pada 18 September 2014, delapan anggota tim edukasi kesehatan Ebola dibunuh oleh penduduk desa di kota Womey, menyoroti ketidakpercayaan dan misinformasi yang menghambat upaya penanggulangan.
Menjelang akhir masa jabatan keduanya, Condé mengupayakan amandemen konstitusi melalui referendum pada Maret 2020 yang memungkinkannya untuk mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga. Langkah ini memicu kerusuhan sipil massal dan protes dengan kekerasan yang dimulai pada 14 Oktober 2019, yang mengakibatkan lebih dari 800 orang tewas dalam bentrokan. Meskipun demikian, Condé memenangkan pemilihan presiden 2020, tetapi hasilnya ditentang keras oleh oposisi yang menuduh adanya kecurangan. Upaya Condé untuk memperpanjang masa kekuasaannya dianggap sebagai kemunduran bagi demokrasi dan hak-hak sipil di Guinea, serta memicu ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat dan militer.
3.8. Pasca Kudeta 2021

Ketidakpuasan terhadap upaya Presiden Alpha Condé untuk memperpanjang masa jabatannya dan tuduhan korupsi serta pelanggaran hak asasi manusia memuncak pada kudeta militer tanggal 5 September 2021. Setelah beberapa jam baku tembak di dekat istana kepresidenan di Conakry, Letnan Kolonel Mamady Doumbouya, seorang mantan anggota Legiun Asing Prancis dan kepala pasukan khusus Guinea, mengumumkan di televisi negara bahwa pemerintahan Condé telah dibubarkan, konstitusi ditangguhkan, dan perbatasan negara ditutup. Condé ditahan oleh pasukan kudeta.
Pada malam hari, para pemimpin kudeta mengklaim telah menguasai seluruh Conakry dan angkatan bersenjata negara. Pada 6 September, militer sepenuhnya mengendalikan administrasi negara dan mulai menggantikan administrasi sipil dengan militer. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, Uni Afrika, Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) - yang kemudian menangguhkan keanggotaan Guinea - dan La Francophonie mengecam kudeta tersebut dan menyerukan pembebasan tanpa syarat Presiden Condé. Negara-negara tetangga, negara-negara Barat (termasuk Amerika Serikat), dan Tiongkok (yang sangat bergantung pada Guinea untuk separuh bijih aluminiumnya) juga menyuarakan penentangan terhadap kudeta.
Meskipun demikian, pada 1 Oktober 2021, Mamady Doumbouya dilantik sebagai presiden interim. Pemerintahan transisi dibentuk dengan janji untuk menyelenggarakan pemilihan umum dan mengembalikan negara ke pemerintahan sipil. Namun, proses transisi ini menghadapi berbagai tantangan. Pada 11 Mei 2023, setidaknya tujuh orang tewas tertembak dalam demonstrasi anti-pemerintah di berbagai kota di Guinea, yang menuntut diakhirinya pemerintahan militer dan transisi menuju demokrasi.
Situasi semakin memburuk dengan terjadinya ledakan besar di depot minyak utama negara di Conakry pada 18 Desember 2023, yang menewaskan 24 orang dan menyebabkan kelangkaan bahan bakar yang parah di seluruh negeri selama beberapa minggu berikutnya. Insiden ini memperparah kerusuhan sipil dan ekonomi yang sudah ada, dengan beberapa konfrontasi antara pengunjuk rasa dan polisi di Conakry, peningkatan biaya bahan bakar dan perjalanan, serta inflasi harga secara umum di seluruh negeri. Upaya menuju pemulihan pemerintahan sipil yang stabil dan demokratis terus menghadapi tantangan signifikan terkait isu-isu hak asasi manusia, keadilan sosial, dan partisipasi politik yang inklusif.
4. Geografi


Guinea terletak di Afrika Barat, membentuk bulan sabit yang melengkung dari wilayah tenggara ke utara dan barat, hingga ke perbatasan barat lautnya dengan Guinea-Bissau dan pesisir barat daya di Samudra Atlantik. Negara ini berbatasan dengan Guinea-Bissau di barat laut, Senegal di utara, Mali di timur laut, Pantai Gading di timur, Sierra Leone di barat daya, dan Liberia di selatan. Luas total Guinea adalah 636774477 K m2 (245.86 K mile2), kira-kira seukuran Britania Raya. Guinea memiliki garis pantai sepanjang 514989 m (320 mile) dan total perbatasan darat sepanjang 5472 K m (3.40 K mile). Sebagian besar wilayahnya terletak di antara garis lintang 7°LU dan 13°LU, serta garis bujur 7°BB dan 15°BB, dengan sebagian kecil wilayah berada di sebelah barat 15°BB. Guinea merupakan hulu bagi sungai-sungai penting di Afrika Barat seperti Sungai Niger, Sungai Gambia, dan Sungai Senegal.
4.1. Topografi

Guinea dibagi menjadi empat wilayah geografis utama dengan karakteristik topografi yang berbeda:
1. Guinea Maritim (Guinée MaritimeGine MaritimBahasa Prancis), juga dikenal sebagai Guinea Hilir atau dataran rendah Basse-Coté: Wilayah pesisir ini mencakup 18% dari luas negara dan didominasi oleh dataran rendah yang membentang dari Samudra Atlantik ke pedalaman. Daerah ini memiliki banyak rawa bakau di sepanjang pantai dan dataran aluvial yang subur. Wilayah ini terutama dihuni oleh kelompok etnis Susu.
2. Fouta Djallon atau Guinea Tengah (Moyenne-GuinéeMwayen-GineBahasa Prancis): Wilayah ini mencakup 20% dari luas negara dan merupakan dataran tinggi bergunung-gunung yang membentang dari utara ke selatan di bagian tengah negara. Fouta Djallon adalah sumber bagi banyak sungai besar di Afrika Barat, termasuk Sungai Niger, Sungai Senegal, dan Sungai Gambia. Iklimnya lebih sejuk dibandingkan wilayah pesisir dan dihuni terutama oleh suku Fula.
3. Guinea Hulu (Haute-GuinéeOt-GineBahasa Prancis): Terletak di timur laut, wilayah ini mencakup 38% dari luas negara dan merupakan daerah sabana yang lebih kering, bagian dari zona Sahel. Wilayah ini dialiri oleh Sungai Niger bagian hulu dan dihuni terutama oleh suku Mandinka.
4. Guinea Hutan (Guinée forestièreGine ForestierBahasa Prancis): Wilayah ini terletak di tenggara, mencakup 23% dari luas negara. Topografinya bergunung-gunung dan ditutupi oleh hutan hujan tropis. Wilayah ini memiliki keanekaragaman etnolinguistik yang tinggi. Di sini terdapat titik tertinggi Guinea, Gunung Nimba (0.5 K m (1.75 K ft)), yang sebagian merupakan Cagar Alam Ketat UNESCO. Bagian dari pegunungan ini, yang dikenal sebagai Punggung Bukit Guinea, berlanjut hingga ke Liberia di mana telah terjadi penambangan selama beberapa dekade, menyebabkan kerusakan lingkungan yang terlihat di Region Nzérékoré. q=7.538056,-8.497222|position=right
4.2. Iklim
Iklim Guinea secara umum adalah tropis. Wilayah pesisir dan sebagian besar daerah pedalaman memiliki iklim monsun tropis, yang ditandai dengan musim hujan (Mei hingga November) dengan angin monsun barat daya yang membawa kelembapan tinggi dan curah hujan yang melimpah, serta musim kemarau (Desember hingga April) yang didominasi oleh angin harmattan timur laut yang kering dan berdebu dari Sahara. Conakry memiliki curah hujan tahunan rata-rata sekitar 0.1 K m (4.30 K in).
Di Guinea Hulu, iklimnya lebih mirip iklim sabana tropis dengan musim hujan yang lebih pendek dan musim kemarau yang lebih panjang dan lebih panas. Dataran tinggi Fouta Djallon memiliki iklim yang lebih sedang karena ketinggiannya, dengan suhu yang lebih sejuk dan curah hujan yang cukup tinggi, meskipun lebih rendah daripada wilayah pesisir. Curah hujan tahunan bervariasi, mulai dari sekitar 0.0 K m (1.50 K in) di timur laut hingga lebih dari 0.1 K m (4.00 K in) di beberapa bagian pesisir. Perbedaan antara musim hujan dan kemarau sangat signifikan, mempengaruhi vegetasi, pertanian, dan ketersediaan air.
4.3. Sungai dan Gunung Utama

Guinea dikenal sebagai "menara air Afrika Barat" karena menjadi hulu bagi beberapa sungai terpanjang dan terpenting di kawasan tersebut. Sungai-sungai utama yang berasal dari Guinea antara lain:
- Sungai Niger: Sungai terpanjang ketiga di Afrika, hulunya berada di Dataran Tinggi Guinea dekat perbatasan dengan Sierra Leone dan mengalir ke timur laut melalui Guinea sebelum berbelok ke selatan menuju Nigeria dan akhirnya bermuara di Teluk Guinea.
- Sungai Senegal: Hulunya juga berada di Dataran Tinggi Fouta Djallon dan mengalir ke utara dan barat, membentuk sebagian perbatasan antara Guinea dan Mali, serta antara Senegal dan Mauritania, sebelum bermuara di Samudra Atlantik.
- Sungai Gambia: Berasal dari Fouta Djallon dan mengalir ke barat melalui Senegal dan Gambia sebelum mencapai Samudra Atlantik.
Sungai-sungai lain yang penting termasuk sungai-sungai yang mengalir ke barat menuju laut di sisi barat pegunungan, seperti yang menuju Sierra Leone dan Pantai Gading.
Gunung-gunung utama di Guinea sebagian besar merupakan bagian dari Dataran Tinggi Guinea dan Fouta Djallon. Puncak tertinggi di Guinea adalah Gunung Nimba (juga dikenal sebagai Gunung Richard-Molard) dengan ketinggian 0.5 K m (1.75 K ft) di atas permukaan laut. Gunung ini terletak di perbatasan dengan Pantai Gading dan Liberia dan merupakan bagian dari Pegunungan Nimba. Sisi Guinea dan Pantai Gading dari Pegunungan Nimba telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Ketat UNESCO karena keanekaragaman hayatinya yang unik. Gunung-gunung penting lainnya termasuk Mont Loura dengan formasi batuan La Dame de Mali yang terkenal di dekat Mali-ville di Prefektur Mali.
4.4. Ekologi dan Margasatwa


Guinea memiliki lima ekoregion utama yang mencerminkan keragaman habitatnya: Hutan pegunungan Guinea, Hutan dataran rendah Guinea Barat, Mosaik sabana hutan Guinea, Sabana Sudan Barat, dan Hutan bakau Guinea. Bagian selatan Guinea terletak di dalam kawasan titik panas keanekaragaman hayati Hutan Guinea Afrika Barat, sementara bagian timur laut ditandai oleh hutan sabana kering.
- Hutan pegunungan Guinea ditemukan di dataran tinggi seperti Fouta Djallon dan Gunung Nimba. Ekoregion ini merupakan rumah bagi banyak spesies endemik tumbuhan dan hewan karena isolasi geografis dan kondisi iklim yang unik.
- Hutan dataran rendah Guinea Barat menutupi sebagian besar wilayah selatan dan pesisir, meskipun banyak yang telah terdegradasi akibat penebangan dan pertanian. Hutan ini kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk berbagai jenis primata, burung, dan serangga.
- Mosaik sabana hutan Guinea merupakan zona transisi antara hutan lembap di selatan dan sabana yang lebih kering di utara.
- Sabana Sudan Barat mendominasi bagian timur laut negara itu, dengan vegetasi yang didominasi oleh rerumputan dan pohon-pohon yang tahan kekeringan.
- Hutan bakau Guinea melapisi daerah pesisir dan muara sungai, menyediakan habitat penting bagi ikan, krustasea, dan burung air.
Margasatwa Guinea beragam, meskipun populasinya menurun akibat perburuan dan hilangnya habitat. Beberapa spesies hewan yang ditemukan di Guinea antara lain:
- Mamalia: Simpanse Afrika Barat (subspesies yang terancam punah, dengan populasi penting di Taman Nasional Haut Niger dan sekitar Bossou), berbagai jenis monyet (seperti monyet colobus, monyet Diana), Kuda nil kerdil, Gajah hutan Afrika (jarang), Babi hutan raksasa, berbagai jenis antelop dan duiker.
- Burung: Lebih dari 600 spesies burung telah tercatat, termasuk Melaniparus guineensis (Tit Guinea).
- Reptil dan Amfibi: Termasuk Acanthodactylus guineensis, Mochlus guineensis, Hemisus guineensis, dan Phrynobatrachus guineensis.
- Serangga dan Arachnida: Termasuk Zorotypus guineensis, Euchromia guineensis, Malloneta guineensis, dan Dictyna guineensis.
Upaya konservasi dilakukan melalui taman nasional dan cagar alam, seperti Taman Nasional Badiar dan Cagar Alam Ketat Gunung Nimba. Namun, tantangan lingkungan seperti deforestasi, penambangan (terutama bauksit yang merusak lanskap), perburuan liar, dan perubahan iklim terus mengancam keanekaragaman hayati Guinea. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan penegakan hukum lingkungan menjadi krusial untuk melindungi warisan alam negara ini, sekaligus memastikan bahwa manfaat dari eksploitasi sumber daya dapat dirasakan secara adil oleh masyarakat lokal dan tidak merusak prospek pembangunan jangka panjang serta hak-hak generasi mendatang atas lingkungan yang sehat.
5. Politik

Guinea adalah sebuah republik. Secara historis, sistem politik Guinea telah mengalami periode pemerintahan otoriter dan beberapa kudeta militer, dengan transisi menuju demokrasi multipartai yang seringkali rapuh dan penuh tantangan. Sejak kudeta militer pada September 2021, konstitusi telah ditangguhkan dan negara dipimpin oleh pemerintahan transisi militer. Namun, secara umum, struktur politik Guinea dirancang sebagai sistem presidensial. Perkembangan demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia terus menjadi isu sentral dalam politik Guinea.
5.1. Struktur Pemerintahan
Sebelum kudeta 2021, struktur pemerintahan Guinea didasarkan pada konstitusi yang menetapkan pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
- Presiden: Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu (biasanya lima tahun, dengan batasan masa jabatan yang menjadi sumber konflik politik). Presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang luas, termasuk mengangkat dan memberhentikan perdana menteri dan anggota kabinet (dewan menteri).
- Perdana Menteri dan Kabinet: Perdana menteri, yang ditunjuk oleh presiden, mengepalai kabinet dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan pemerintah. Kabinet terdiri dari para menteri yang memimpin berbagai departemen pemerintah.
- Majelis Nasional (Assemblée NationaleAsemble NasionalBahasa Prancis): Merupakan badan legislatif unikameral negara. Anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Fungsi utamanya adalah membuat undang-undang, mengawasi pemerintah, dan menyetujui anggaran negara. Sebelum kudeta 2021, Majelis Nasional memiliki 114 anggota. Majelis Nasional tidak berfungsi dari tahun 2008 hingga 2013 setelah kudeta militer Desember 2008. Pemilihan legislatif telah ditunda berkali-kali sejak 2007. Pada April 2012, Presiden Condé menunda pemilihan tanpa batas waktu, dengan alasan perlunya memastikan bahwa pemilihan tersebut "transparan dan demokratis". Pemilihan legislatif Guinea 2013 diadakan pada 24 September. Partai Presiden Alpha Condé, Rapat Rakyat Guinea (RPG), memenangkan pluralitas kursi di Majelis Nasional Guinea, dengan 53 dari 114 kursi. Partai Cellou Dalein Diallo, UFDG, memenangkan 37 kursi, dan para pemimpin oposisi mengecam hasil resmi sebagai penipuan. Setelah kudeta 2021, Majelis Nasional dibubarkan dan digantikan oleh Dewan Transisi Nasional (CNT) yang bertugas sebagai badan legislatif sementara.
5.2. Yudikatif
Sistem peradilan Guinea secara teoretis independen, meskipun dalam praktiknya sering menghadapi tantangan terkait intervensi politik dan kurangnya sumber daya. Lembaga yudikatif tertinggi adalah Mahkamah Agung (Cour SuprêmeKur SupremBahasa Prancis), yang berfungsi sebagai pengadilan banding tertinggi dan terakhir di negara ini. Terdapat juga pengadilan-pengadilan yang lebih rendah, termasuk pengadilan banding, pengadilan tingkat pertama, dan pengadilan hakim (justice of the peace). Isu-isu terkait independensi peradilan, akses terhadap keadilan bagi semua warga negara, dan penegakan hukum yang adil merupakan tantangan berkelanjutan yang berdampak pada hak asasi manusia dan supremasi hukum di Guinea.
5.3. Partai Politik dan Pemilihan Umum
Guinea menganut sistem multipartai, meskipun lanskap politik sering didominasi oleh beberapa partai besar yang basis dukungannya cenderung bersifat etnis atau regional. Partai-partai politik utama yang berpengaruh antara lain:
- Rapat Rakyat Guinea (Rassemblement du Peuple GuinéenRasemblĕmang du Pĕplĕ GineĕngBahasa Prancis, RPG): Partai mantan Presiden Alpha Condé, yang secara tradisional mendapat dukungan dari kelompok etnis Malinke.
- Persatuan Kekuatan Demokratik Guinea (Union des Forces Démocratiques de GuinéeUnion de Fors Demokratik de GineBahasa Prancis, UFDG): Dipimpin oleh Cellou Dalein Diallo, partai oposisi utama yang basis dukungannya kuat di kalangan etnis Fula.
- Partai-partai lain yang lebih kecil juga berpartisipasi dalam proses politik.
Sistem pemilihan presiden dan parlemen diatur oleh undang-undang pemilu. Pemilihan presiden biasanya dilakukan melalui sistem dua putaran jika tidak ada kandidat yang memperoleh mayoritas mutlak pada putaran pertama. Pemilihan umum di Guinea seringkali diwarnai oleh tuduhan kecurangan, ketegangan etnis, dan kekerasan, yang berdampak negatif pada partisipasi demokratis dan legitimasi hasil pemilu. Hasil pemilu penting terakhir sebelum kudeta 2021 adalah pemilihan presiden 2020, yang dimenangkan oleh Alpha Condé untuk masa jabatan ketiga yang kontroversial, yang kemudian memicu ketidakstabilan lebih lanjut. Upaya untuk memastikan pemilihan yang bebas, adil, dan transparan menjadi kunci bagi kemajuan demokrasi di Guinea.
5.4. Hak Asasi Manusia
Situasi hak asasi manusia di Guinea secara umum masih menjadi perhatian komunitas internasional. Meskipun ada kemajuan di beberapa bidang, berbagai pelanggaran hak asasi manusia terus dilaporkan.
- Hak-hak Perempuan dan Anak: Perempuan dan anak-anak di Guinea menghadapi berbagai tantangan, termasuk diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan anak, dan terbatasnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Tingkat perkawinan anak di Guinea termasuk yang tertinggi di dunia.
- Sunat perempuan (FGM): Praktik sunat perempuan (pemotongan/mutilasi alat kelamin perempuan) sangat lazim di Guinea, dengan salah satu tingkat prevalensi tertinggi di dunia. Menurut perkiraan tahun 2009, lebih dari 98% perempuan di Guinea telah mengalami FGM. Meskipun ada undang-undang yang melarang praktik ini, penegakannya lemah dan praktik ini masih tersebar luas di hampir semua budaya, agama, dan etnis. Upaya untuk mengakhiri FGM menghadapi tantangan budaya yang kuat.
- Kebebasan Pers: Kebebasan pers di Guinea mengalami pasang surut. Meskipun media swasta berkembang, jurnalis sering menghadapi intimidasi, penangkapan, dan pembatasan dalam melaporkan isu-isu sensitif, terutama yang berkaitan dengan politik dan hak asasi manusia.
- Kebebasan Berkumpul dan Berserikat: Hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai dijamin oleh hukum, namun dalam praktiknya, demonstrasi oposisi atau kelompok masyarakat sipil seringkali dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan, kadang-kadang dengan penggunaan kekerasan yang berlebihan dan mengakibatkan korban jiwa.
- Hak-hak Kelompok Minoritas dan LGBT: Diskriminasi terhadap kelompok etnis minoritas tertentu masih terjadi. Terkait hak-hak LGBT, homoseksualitas adalah ilegal di Guinea dan dianggap tabu secara sosial. Belum ada perlindungan hukum bagi individu LGBT dari diskriminasi atau kekerasan. Perdana menteri pada tahun 2010 menyatakan bahwa ia tidak menganggap orientasi seksual sebagai hak asasi manusia yang sah.
Laporan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan organisasi hak asasi manusia internasional secara konsisten menyoroti masalah-masalah seperti penyiksaan dan perlakuan buruk oleh pasukan keamanan, kondisi penjara yang buruk, impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM, dan korupsi dalam sistem peradilan. Pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya bagi seluruh warga Guinea tetap menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat sipil.
6. Pembagian Administratif

Republik Guinea dibagi menjadi delapan wilayah administratif (régions administrativesRezhiong AdministrativBahasa Prancis) sebagai tingkat tertinggi. Ibu kota negara, Conakry, memiliki status sebagai wilayah khusus (zone spéciale de ConakryZon Spesial de KonakriBahasa Prancis) yang setingkat dengan region. Kedelapan region tersebut (termasuk Conakry) adalah:
Region | Ibu kota | Populasi (Sensus 2014) |
---|---|---|
Boké | Boké | 1092291 |
Conakry | Conakry | 1675069 |
Faranah | Faranah | 949589 |
Kankan | Kankan | 1979038 |
Kindia | Kindia | 1573690 |
Labé | Labé | 1001392 |
Mamou | Mamou | 737062 |
Nzérékoré | Nzérékoré | 1591716 |
Setiap region (kecuali Conakry) dibagi lagi menjadi unit administratif yang lebih kecil yang disebut prefektur (préfecturesPrefekturBahasa Prancis). Terdapat total 33 prefektur di Guinea. Conakry sendiri dibagi menjadi beberapa komune (communesKomunBahasa Prancis). Prefektur selanjutnya dibagi menjadi sub-prefektur (sous-préfecturesSu-prefekturBahasa Prancis), dan kemudian menjadi distrik atau desa. Struktur administratif ini bertujuan untuk memfasilitasi tata kelola dan penyediaan layanan publik di seluruh negeri.
6.1. Kota-kota Utama
Berikut adalah daftar kota-kota terbesar di Guinea berdasarkan populasi menurut sensus 2014:
Peringkat | Kota | Region | Populasi (Sensus 2014) | Gambar |
---|---|---|---|---|
1 | Conakry | Conakry | 1.660.973 | ![]() |
2 | Nzérékoré | Nzérékoré | 195.027 | ![]() |
3 | Kankan | Kankan | 190.722 | |
4 | Manéah | Kindia | 167.354 | |
5 | Dubréka | Kindia | 157.017 | |
6 | Kindia | Kindia | 138.695 | |
7 | Siguiri | Kankan | 127.492 | |
8 | Kissidougou | Faranah | 99.931 | |
9 | Labé | Labé | 92.654 | |
10 | Kamsar | Boké | 83.428 |
Selain ibu kota Conakry, yang merupakan pusat politik, ekonomi, dan budaya terbesar, beberapa kota utama lainnya di Guinea memainkan peran penting di region masing-masing:
- Nzérékoré: Kota terbesar di region Nzérékoré dan di wilayah Guinea Hutan. Merupakan pusat perdagangan penting, terutama untuk produk pertanian dari daerah sekitarnya.
- Kankan: Kota terbesar kedua di Guinea dan pusat utama di region Kankan serta wilayah Guinea Hulu. Secara historis merupakan pusat perdagangan dan kebudayaan Islam yang penting, serta ujung timur jalur kereta api dari Conakry (meskipun jalur ini tidak lagi beroperasi penuh).
- Kindia: Ibu kota region Kindia, terletak di kaki bukit Fouta Djallon. Dikenal dengan produksi buah-buahan dan sayuran, serta merupakan pusat pendidikan dan militer.
- Labé: Pusat utama di region Labé dan jantung budaya Fouta Djallon. Terkenal dengan pasar, kerajinan tangan, dan sebagai pusat penyebaran Islam oleh suku Fula.
- Boké: Ibu kota region Boké, penting karena kedekatannya dengan tambang bauksit besar dan pelabuhan Kamsar.
- Mamou: Ibu kota region Mamou, terletak di persimpangan jalan penting yang menghubungkan berbagai bagian negara.
- Siguiri: Terletak di region Kankan, kota ini dikenal dengan tambang emasnya.
- Kissidougou: Kota penting di region Faranah, berfungsi sebagai pusat administrasi dan perdagangan regional.
- Kamsar: Meskipun bukan ibu kota region, Kamsar adalah kota pelabuhan utama di Region Boké yang sangat penting untuk ekspor bauksit.
Kota-kota ini, bersama dengan pusat-pusat urban lainnya, menghadapi tantangan urbanisasi yang cepat, termasuk penyediaan layanan dasar seperti air bersih, sanitasi, perumahan, dan lapangan kerja, serta isu-isu terkait tata kelola perkotaan dan dampak lingkungan.
7. Hubungan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri Guinea secara tradisional didasarkan pada prinsip non-blok, meskipun dalam praktiknya telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan dinamika politik domestik dan internasional. Sejak kemerdekaan, Guinea telah berupaya menjalin hubungan dengan berbagai negara dan berpartisipasi aktif dalam organisasi internasional.
Guinea adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Afrika (UA), Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Gerakan Non-Blok (GNB), dan Organisation internationale de la Francophonie (OIF). Keanggotaan Guinea dalam ECOWAS sempat ditangguhkan setelah kudeta 2021, yang mencerminkan tekanan regional terhadap pemulihan tatanan konstitusional.
Hubungan Guinea dengan negara-negara tetangganya di Afrika Barat seringkali kompleks, dipengaruhi oleh isu-isu perbatasan, pergerakan pengungsi (terutama selama konflik di Liberia, Sierra Leone, dan Pantai Gading), dan tuduhan saling campur tangan dalam urusan dalam negeri. Namun, Guinea juga terlibat dalam upaya kerja sama regional melalui ECOWAS untuk mempromosikan perdamaian, keamanan, dan integrasi ekonomi.
Dalam konteks global, Guinea berupaya menjaga hubungan baik dengan negara-negara donor utama dan mitra dagang. Isu-isu hak asasi manusia, tata kelola yang baik, dan demokrasi seringkali menjadi faktor penting dalam hubungan Guinea dengan negara-negara Barat dan lembaga keuangan internasional. Dampak dari kebijakan luar negeri dan hubungan internasional terhadap isu-isu kemanusiaan dan hak asasi di dalam negeri menjadi perhatian penting, terutama terkait bantuan pembangunan, investasi asing, dan tekanan diplomatik untuk reformasi.
7.1. Hubungan dengan Negara-Negara Kunci
- Prancis: Sebagai bekas kekuatan kolonial, Prancis secara historis memiliki hubungan yang erat namun terkadang rumit dengan Guinea. Setelah kemerdekaan pada tahun 1958, hubungan sempat tegang di bawah rezim Ahmed Sékou Touré, tetapi kemudian membaik. Prancis tetap menjadi mitra penting dalam bidang ekonomi, budaya, dan politik, meskipun pengaruhnya diimbangi oleh aktor-aktor global lainnya. Isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia sering menjadi bagian dari dialog bilateral.
- Amerika Serikat: Amerika Serikat memiliki hubungan diplomatik dengan Guinea dan telah mendukung upaya demokratisasi serta pembangunan ekonomi. Namun, AS juga menyuarakan keprihatinan atas isu hak asasi manusia dan tata kelola. Bantuan pembangunan dan kerja sama keamanan menjadi aspek penting dalam hubungan ini. Setelah kudeta 2008 dan 2021, AS mengutuk pengambilalihan kekuasaan secara tidak konstitusional.
- Tiongkok: Tiongkok telah menjadi mitra ekonomi yang semakin penting bagi Guinea, terutama dalam sektor pertambangan (khususnya bauksit dan bijih besi) dan infrastruktur. Investasi besar dari Tiongkok telah membantu pembangunan beberapa proyek, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang dampak lingkungan, sosial, dan keberlanjutan utang. Tiongkok secara terbuka menentang kudeta 2021, mengingat kepentingannya dalam stabilitas pasokan bijih aluminium dari Guinea.
- Rusia: Rusia juga memiliki kepentingan di Guinea, terutama dalam sektor pertambangan dan kerja sama militer. Hubungan ini telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan upaya Rusia untuk memperluas pengaruhnya di Afrika.
- Negara-negara Tetangga dan Regional: Hubungan dengan negara-negara seperti Senegal, Pantai Gading, Sierra Leone, dan Liberia sangat penting bagi stabilitas regional. Isu-isu keamanan perbatasan, perdagangan lintas batas, dan pengelolaan sumber daya bersama menjadi agenda utama. ECOWAS memainkan peran kunci dalam mediasi politik dan promosi tata kelola yang baik di Guinea.
7.2. Hubungan dengan Indonesia
Hubungan diplomatik antara Republik Guinea dan Republik Indonesia secara resmi dijalin pada tahun 1960-an, tidak lama setelah Guinea meraih kemerdekaannya. Kedua negara berbagi sejarah sebagai negara yang baru merdeka dan menjadi anggota Gerakan Non-Blok, yang menjadi landasan awal bagi kerja sama.
Pertukaran di bidang politik antara kedua negara umumnya berlangsung dalam kerangka forum internasional seperti PBB, GNB, dan OKI, di mana kedua negara seringkali memiliki pandangan yang serupa mengenai isu-isu global seperti dekolonisasi, pembangunan, dan tatanan ekonomi internasional yang lebih adil. Kunjungan pejabat tingkat tinggi jarang terjadi.
Di bidang ekonomi, volume perdagangan bilateral antara Guinea dan Indonesia relatif kecil. Potensi kerja sama ekonomi lebih lanjut masih perlu dieksplorasi, terutama di sektor-sektor di mana kedua negara memiliki keunggulan komparatif. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dan Guinea, sebagai negara mayoritas Muslim, memiliki potensi untuk meningkatkan kerja sama di bidang keagamaan dan budaya.
Kerja sama di bidang budaya dan pendidikan juga masih terbatas namun memiliki potensi untuk dikembangkan, misalnya melalui pertukaran pelajar atau program pelatihan.
Prospek hubungan di masa depan akan bergantung pada stabilitas politik di Guinea dan upaya kedua negara untuk secara proaktif mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang kerja sama. Peningkatan saling pengertian melalui dialog dan pertukaran dapat membuka jalan bagi hubungan yang lebih erat dan saling menguntungkan, terutama dalam konteks kerja sama Selatan-Selatan. Namun, sumber-sumber yang tersedia tidak memberikan detail mendalam mengenai status pertukaran dan bidang kerja sama utama saat ini.
8. Militer
Angkatan Bersenjata Guinea (Forces armées guinéennesFors Arme GineenBahasa Prancis) terdiri dari lima cabang utama:
1. Angkatan Darat (Armée de terreArme de TerBahasa Prancis)
2. Angkatan Laut (Marine nationaleMarin NasionalBahasa Prancis)
3. Angkatan Udara (Armée de l'airArme de L'erBahasa Prancis)
4. Gendarmerie Nasional (Gendarmerie nationaleZhandarmeri NasionalBahasa Prancis): Sebuah pasukan paramiliter yang bertanggung jawab atas keamanan internal dan penegakan hukum, terutama di daerah pedesaan. Kekuatannya mencapai beberapa ribu personel.
5. Garda Republik (Garde républicaineGard RepublikenBahasa Prancis): Bertugas melindungi presiden dan instalasi penting negara.
Para kepala dari masing-masing cabang ini melapor kepada Ketua Kepala Staf Gabungan, yang berada di bawah Menteri Pertahanan. Selain itu, pasukan keamanan rezim termasuk Kepolisian Nasional (Sûreté NationaleSurete NasionalBahasa Prancis).
Angkatan Darat adalah cabang terbesar dari angkatan bersenjata, dengan perkiraan personel sekitar 15.000. Tanggung jawab utamanya adalah melindungi perbatasan negara, keamanan wilayah yang dikelola, dan mempertahankan kepentingan nasional Guinea. Laporan IISS Military Balance 2020 menyebutkan Angkatan Darat terdiri dari 8.500 personel, dengan satu batalion lapis baja, satu batalion pasukan khusus, lima batalion infanteri, satu batalion ranger, satu batalion komando, satu batalion lintas udara, dan batalion Pengawal Presiden.
Angkatan Udara memiliki personel sekitar 700 orang. Peralatannya mencakup beberapa pesawat tempur dan angkut yang dipasok Rusia.
Angkatan Laut memiliki sekitar 900 personel dan mengoperasikan beberapa kapal patroli kecil dan kapal tongkang.
Anggaran pertahanan dan strategi pertahanan nasional Guinea tidak dipublikasikan secara luas. Militer Guinea secara historis memainkan peran penting dalam politik negara, dengan beberapa intervensi melalui kudeta. Reformasi sektor keamanan, termasuk profesionalisasi militer dan penempatannya di bawah kendali sipil yang efektif, telah menjadi salah satu tantangan utama dalam upaya demokratisasi di Guinea. Keterlibatan militer dalam pelanggaran hak asasi manusia juga menjadi perhatian serius.
9. Ekonomi
Ekonomi Guinea sangat bergantung pada pertanian dan produksi mineral. Meskipun kaya akan sumber daya alam, Guinea tetap menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Menurut survei terbaru pada tahun 2018, 66,2% populasi terkena dampak kemiskinan multidimensi, dan tambahan 16,4% rentan terhadapnya. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Guinea termasuk yang terendah secara global. Volume perdagangan didominasi oleh ekspor komoditas mentah. Tantangan utama pembangunan ekonomi meliputi infrastruktur yang buruk, tata kelola yang lemah, korupsi, ketidakstabilan politik, dan kurangnya diversifikasi ekonomi. Aspek keadilan sosial dalam distribusi kekayaan dari sumber daya alam dan dampak lingkungan dari kegiatan ekonomi, terutama pertambangan, menjadi isu krusial.
9.1. Pertanian

Sektor pertanian mempekerjakan sebagian besar tenaga kerja Guinea, diperkirakan sekitar 75% pada suatu waktu. Tanaman pangan utama yang dibudidayakan meliputi padi, singkong, jagung, dan fonio. Padi ditanam di daerah dataran banjir di antara sungai-sungai. Meskipun demikian, produksi beras lokal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, sehingga Guinea mengimpor beras, terutama dari Asia. Tanaman komersial penting lainnya termasuk kopi, pisang, kakao, kacang tanah, nanas, persik, nektarin, mangga, jeruk, kentang, tomat, mentimun, dan lada. Guinea juga merupakan salah satu produsen apel dan pir regional yang sedang berkembang. Ada perkebunan anggur, delima, dan dalam beberapa tahun terakhir terlihat pengembangan perkebunan stroberi berdasarkan sistem hidroponik vertikal.
Meskipun memiliki potensi pertanian yang besar berkat tanah yang subur, ketersediaan air, dan kondisi iklim yang mendukung, sektor ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk metode pertanian tradisional dengan produktivitas rendah, kurangnya akses terhadap input pertanian modern (pupuk, benih unggul), infrastruktur pedesaan yang buruk (jalan, irigasi, penyimpanan), dan terbatasnya akses terhadap kredit dan pasar. Kebijakan pertanian di masa lalu, terutama di bawah rezim Sékou Touré yang menerapkan kontrol harga dan kolektivisasi, berdampak negatif pada motivasi petani dan produksi tanaman ekspor. Upaya untuk mencapai swasembada pangan dan mengembangkan pertanian berkelanjutan yang dapat meningkatkan pendapatan petani dan ketahanan pangan nasional terus menjadi prioritas.
9.2. Pertambangan dan Sumber Daya Alam
Guinea memiliki kekayaan sumber daya mineral yang sangat besar. Negara ini memiliki sekitar 25% atau lebih dari cadangan bauksit dunia yang diketahui, dan mungkin hingga setengah dari cadangan global. Bauksit dan alumina (bauksit yang telah dimurnikan) adalah ekspor utama Guinea, menyumbang sekitar 80% dari cadangan devisa negara pada masa lalu. Compagnie des Bauxites de Guinée (CBG), sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Guinea (49%) dan konsorsium internasional Halco Mining Inc. (51%), adalah salah satu produsen utama, mengekspor sekitar 14 juta ton bauksit berkualitas tinggi setiap tahun. Perusahaan lain seperti Compagnie des Bauxites de Kindia (CBK), yang merupakan patungan antara pemerintah dan RUSAL (Rusia), juga memproduksi jutaan ton bauksit.
Selain bauksit, Guinea memiliki deposit emas yang signifikan. Produksi emas pada tahun 2015 mencapai 17 metrik ton. Tambang emas terdapat di beberapa wilayah, termasuk di sekitar Siguiri. Intan juga ditambang di Guinea, meskipun produksinya lebih kecil dibandingkan bauksit dan emas.
Guinea juga memiliki lebih dari 4 miliar ton cadangan bijih besi berkualitas tinggi, terutama di kawasan Simandou di tenggara. Tambang Simandou dianggap sebagai salah satu cadangan bijih besi yang belum dimanfaatkan terbesar dan berkualitas tertinggi di dunia. Pengembangan tambang ini melibatkan investasi besar dalam infrastruktur, termasuk jalur kereta api dan pelabuhan, dan telah menarik minat perusahaan internasional besar seperti Rio Tinto dan perusahaan-perusahaan Tiongkok. Namun, pengembangan Simandou seringkali terhambat oleh masalah hukum, politik, dan pembiayaan. Ada juga indikasi cadangan uranium.
Meskipun sektor pertambangan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan ekspor, dampaknya terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan dan kesejahteraan masyarakat seringkali terbatas. Isu-isu terkait tata kelola sumber daya mineral, transparansi pendapatan, pembagian keuntungan yang adil dengan masyarakat lokal, dampak lingkungan dari kegiatan penambangan (seperti kerusakan lanskap, polusi air, dan hilangnya keanekaragaman hayati), serta kondisi kerja di sektor pertambangan menjadi tantangan utama. Upaya untuk memastikan bahwa kekayaan mineral Guinea dikelola secara berkelanjutan dan memberikan manfaat maksimal bagi pembangunan negara dan pengentasan kemiskinan terus menjadi agenda penting. Kasus Tigui Camara, seorang mantan model yang menjadi wanita pertama di Guinea yang memiliki perusahaan pertambangan yang sebagian dijalankan sebagai usaha sosial, menyoroti potensi peran perempuan dan model bisnis yang lebih inklusif dalam sektor ini.
9.3. Perminyakan dan Energi
Potensi minyak bumi di Guinea masih dalam tahap eksplorasi. Pada tahun 2006, Guinea menandatangani perjanjian bagi hasil produksi dengan Hyperdynamics Corporation dari Houston untuk eksplorasi di lepas pantai. Sumur eksplorasi awal, Sabu-1, dibor pada tahun 2011 tetapi tidak dianggap layak secara komersial pada tahun 2012. Kemitraan kemudian melibatkan perusahaan lain seperti Dana Petroleum dan Tullow Oil. Hingga saat ini, belum ada produksi minyak komersial yang signifikan di Guinea.
Kapasitas produksi listrik di Guinea sangat terbatas dan tidak dapat diandalkan, menjadi salah satu kendala utama bagi pembangunan ekonomi dan kualitas hidup. Sebagian besar listrik berasal dari tenaga air (hidroelektrik), mengingat potensi sungai-sungai besar di negara ini. Namun, infrastruktur pembangkit dan transmisi listrik sudah tua, kurang terawat, dan tidak mencukupi kebutuhan. Pemadaman listrik sering terjadi, bahkan di ibu kota Conakry. Pemerintah berupaya menarik investasi untuk mengembangkan sektor energi, termasuk pembangunan bendungan hidroelektrik baru dan eksplorasi sumber energi terbarukan lainnya. Ketergantungan pada generator diesel yang mahal dan mencemari juga umum terjadi. Buruknya layanan listrik bahkan pernah memicu protes yang menghalangi jalur kereta api yang digunakan oleh perusahaan tambang bauksit, yang menunjukkan dampak langsung masalah energi terhadap sektor ekonomi utama.
9.4. Pariwisata


Guinea memiliki potensi pariwisata yang cukup besar berkat keindahan alam dan keragaman budayanya, namun industri pariwisata saat ini masih sangat terbatas dan belum berkembang secara signifikan. Beberapa daya tarik utama meliputi:
- Air Terjun: Guinea memiliki banyak air terjun yang indah, terutama di wilayah Guinea Hilir (Basse Guinée) dan Guinea Tengah (Moyenne Guinée/Fouta Djallon). Beberapa yang terkenal adalah air terjun Soumba di kaki Gunung Kakoulima di Kindia, Voile de la Mariée (Kerudung Pengantin) di Dubreka, air terjun Kinkon (tinggi sekitar 24 m (80 ft)) di sungai Kokoula di prefektur Pita, air terjun Kambadaga (bisa mencapai 30 m (100 ft) saat musim hujan) di sungai yang sama, air terjun Ditinn & Mitty di Dalaba, serta air terjun Fetoré dan jembatan batu di region Labé.
- Taman Nasional dan Cagar Alam: Cagar Alam Ketat Gunung Nimba, sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO, menawarkan keanekaragaman hayati yang unik. Taman Nasional Badiar juga memiliki potensi untuk ekowisata.
- Situs Budaya: Termasuk desa-desa tradisional, pasar-pasar yang ramai, dan situs-situs bersejarah yang terkait dengan kekaisaran-kekaisaran kuno atau era kolonial. Formasi batuan Dame de Mali di dekat Mali-ville adalah salah satu ikon alam dan budaya.

- Pantai: Pesisir Atlantik menawarkan beberapa pantai, meskipun belum banyak dikembangkan untuk pariwisata massal. Kepulauan Los di lepas pantai Conakry memiliki potensi wisata bahari.
Pengembangan industri pariwisata menghadapi berbagai kendala, termasuk infrastruktur yang buruk (jalan, akomodasi, transportasi), ketidakstabilan politik, kurangnya promosi, dan masalah keamanan. Pemerintah telah menyatakan minat untuk mengembangkan sektor pariwisata sebagai salah satu cara untuk diversifikasi ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, tetapi upaya ini memerlukan investasi yang signifikan dan perbaikan kondisi secara keseluruhan. Pariwisata yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat dapat memberikan manfaat ekonomi langsung kepada komunitas lokal dan membantu melestarikan warisan alam dan budaya Guinea.
10. Transportasi
Infrastruktur transportasi di Guinea secara umum masih kurang berkembang dan menghadapi banyak masalah, yang menjadi kendala signifikan bagi pembangunan ekonomi dan mobilitas penduduk.
- Jalan Raya: Jaringan jalan raya sebagian besar tidak beraspal dan dalam kondisi buruk, terutama di luar kota-kota besar dan selama musim hujan. Kurangnya pemeliharaan dan investasi telah menyebabkan banyak jalan sulit dilalui. Meskipun ada beberapa jalan arteri utama yang menghubungkan kota-kota penting, perjalanan darat seringkali lambat dan sulit.
- Kereta Api: Guinea memiliki beberapa jalur kereta api, namun sebagian besar dibangun untuk keperluan angkutan hasil tambang (terutama bauksit) dan tidak melayani penumpang secara reguler atau efisien.
- Jalur kereta api yang pernah menghubungkan Conakry ke Kankan melalui Kouroussa, dibangun antara tahun 1904 dan 1910, berhenti beroperasi pada tahun 1995 dan sebagian besar telah dibongkar pada tahun 2007, dengan rel-relnya dicuri atau dijual sebagai besi tua. Ada rencana untuk merehabilitasi jalur penumpang ini sebagai bagian dari rencana induk pengembangan bijih besi, tetapi terhenti karena berbagai masalah. Sebagian jalur ini dibangun kembali sebagai jalur kereta api mineral sepanjang 105 km hingga tambang di Kalia.
- Terdapat jalur kereta api mineral yang dikelola negara yang menghubungkan tambang bauksit di Sangarédi ke pelabuhan Kamsar (sepanjang 137 km).
- Perusahaan aluminium Rusia, RusAl, mengoperasikan jalur kereta api sempit (narrow-gauge) era 1960-an ke tambang di Fria (sepanjang 143 km).
- Sebagai bagian dari rencana untuk memulai kembali penambangan bijih besi di blok 1 dan 2 Simandou, konsorsium pembangunan baru pada tahun 2019 berjanji untuk mendanai pembangunan jalur kereta api standar (standard gauge) baru sepanjang 650 km ke Matakong di pantai Atlantik, di mana mereka akan menginvestasikan sekitar 20.00 B USD untuk mengembangkan pelabuhan laut dalam.
- Penerbangan: Bandar Udara Internasional Ahmed Sékou Touré (juga dikenal sebagai Bandar Udara Internasional Conakry) adalah bandara terbesar dan utama di negara ini. Bandara ini melayani penerbangan ke kota-kota lain di Afrika dan beberapa tujuan di Eropa. Terdapat juga beberapa lapangan terbang domestik yang lebih kecil, tetapi layanan penerbangan dalam negeri terbatas.
- Pelabuhan: Pelabuhan utama Guinea adalah Pelabuhan Conakry, yang menangani sebagian besar perdagangan maritim negara, termasuk impor barang dan ekspor beberapa komoditas. Pelabuhan Kamsar sangat penting untuk ekspor bauksit. Infrastruktur pelabuhan memerlukan modernisasi dan perluasan untuk meningkatkan efisiensi.
Jaringan transportasi domestik dan internasional serta sistem logistik di Guinea masih menghadapi banyak tantangan. Biaya transportasi yang tinggi dan waktu tempuh yang lama menghambat perdagangan, investasi, dan akses ke layanan dasar bagi sebagian besar penduduk.
11. Demografi
Tahun | Populasi (juta) |
---|---|
1950 | 3.0 |
2000 | 8.8 |
2021 | 13.5 |
Pada tahun 2021, populasi Guinea diperkirakan sekitar 13,5 hingga 14 juta jiwa. Conakry, ibu kota dan kota terpadat, adalah pusat ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan budaya. Pada tahun 2014, angka kesuburan total (TFR) Guinea diperkirakan sebesar 4,93 anak per wanita, menunjukkan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kepadatan penduduk bervariasi di seluruh negeri, dengan konsentrasi tertinggi di Conakry dan daerah perkotaan lainnya. Harapan hidup masih relatif rendah dibandingkan standar global. Tingkat urbanisasi meningkat, dengan semakin banyak orang pindah dari daerah pedesaan ke perkotaan untuk mencari peluang ekonomi dan layanan yang lebih baik.
11.1. Kelompok Etnis
Populasi Guinea terdiri dari sekitar 24 kelompok etnis yang beragam. Tiga kelompok etnis terbesar dan paling dominan adalah:
1. Fula (juga dikenal sebagai Fulani, Peuhl, atau Fulɓe): Merupakan kelompok etnis terbesar, sekitar 33,4% hingga 40% dari populasi. Mereka sebagian besar ditemukan di wilayah dataran tinggi Fouta Djallon di Guinea Tengah dan secara tradisional adalah peternak nomaden atau semi-nomaden, meskipun banyak juga yang kini tinggal di perkotaan dan terlibat dalam perdagangan serta profesi lainnya. Mereka memiliki pengaruh budaya dan politik yang signifikan.
2. Mandinka (juga dikenal sebagai Malinké atau Mandingo): Merupakan kelompok etnis terbesar kedua, sekitar 29,4% hingga 30% dari populasi. Mereka sebagian besar ditemukan di Guinea Hulu (timur laut Guinea), terutama di sekitar prefektur Kankan dan Kissidougou. Mereka memiliki sejarah kekaisaran yang kaya (Kekaisaran Mali) dan berpengaruh dalam perdagangan dan penyebaran Islam.
3. Susu (juga dikenal sebagai Soussou): Merupakan kelompok etnis terbesar ketiga, sekitar 21,2% hingga 20% dari populasi. Mereka sebagian besar mendiami wilayah pesisir Guinea Maritim, termasuk ibu kota Conakry, Forécariah, dan Kindia.
Kelompok etnis yang lebih kecil membentuk sekitar 16% hingga sisa populasi, termasuk Kpelle, Kissi, Zialo, Toma, Guerze (Kpelle), Loma, Koniagui, Bassari, dan lain-lain, terutama di wilayah Guinea Hutan yang secara etnolinguistik beragam. Pada tahun 2017, diperkirakan ada sekitar 10.000 non-Afrika yang tinggal di Guinea, sebagian besar adalah orang Lebanon, Prancis, dan Eropa lainnya.
Hubungan antar kelompok etnis di Guinea umumnya damai, tetapi politik seringkali dipengaruhi oleh afiliasi etnis, yang kadang-kadang dapat memicu ketegangan, terutama selama periode pemilihan umum. Upaya untuk mempromosikan persatuan nasional dan mengatasi potensi perpecahan etnis menjadi penting bagi stabilitas negara.
11.2. Bahasa
Bahasa Prancis adalah bahasa resmi Guinea dan digunakan dalam pemerintahan, administrasi, pendidikan formal, media, dan sebagai bahasa komunikasi antar kelompok etnis yang berbeda. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas penduduk menggunakan bahasa-bahasa pribumi.
Terdapat lebih dari 24 bahasa pribumi yang dituturkan di Guinea. Tiga bahasa pribumi utama yang paling banyak penuturnya dan mendominasi di wilayah geografis tertentu adalah:
1. Bahasa Pular (juga dikenal sebagai Fulfulde, Fula, atau Poular): Dituturkan oleh suku Fula dan merupakan bahasa dominan di wilayah Fouta Djallon (Guinea Tengah). Sekitar 33,9% populasi menuturkannya sebagai bahasa ibu pada tahun 2018.
2. Bahasa Maninka (juga dikenal sebagai Malinké atau Mandingo): Dituturkan oleh suku Mandinka dan dominan di Guinea Hulu (timur laut). Sekitar 29,4% populasi menuturkannya sebagai bahasa pertama pada tahun 2018. Salah satu aksara yang digunakan untuk menulis bahasa Maninka adalah aksara N'Ko.
3. Bahasa Susu: Dituturkan oleh suku Susu dan merupakan bahasa utama di wilayah pesisir Guinea Maritim, termasuk Conakry. Sekitar 21,2% populasi menuturkannya sebagai bahasa pertama pada tahun 2018.
Bahasa-bahasa pribumi lainnya yang signifikan termasuk Kissi dan Kpelle, yang banyak dituturkan di wilayah Guinea Hutan. Bahasa-bahasa pribumi ini digunakan secara luas dalam komunikasi sehari-hari, perdagangan lokal, dan dalam ekspresi budaya tradisional. Beberapa bahasa ini juga digunakan dalam program pendidikan non-formal dan siaran radio lokal. Upaya untuk mempromosikan dan melestarikan bahasa-bahasa pribumi dilakukan seiring dengan penggunaan bahasa Prancis sebagai bahasa persatuan nasional.
12. Kehidupan Sosial
Masyarakat Guinea memiliki karakteristik yang beragam, dipengaruhi oleh warisan budaya etnis, agama (terutama Islam), dan dampak modernisasi serta urbanisasi. Struktur sosial seringkali masih dipengaruhi oleh ikatan keluarga besar dan komunitas. Terdapat kesenjangan yang signifikan antara kehidupan di perkotaan, khususnya di Conakry, dengan daerah pedesaan, baik dalam hal akses terhadap layanan dasar, peluang ekonomi, maupun gaya hidup. Masalah sosial utama meliputi kemiskinan yang meluas, pengangguran (terutama di kalangan pemuda), ketidaksetaraan gender, dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas. Kebijakan sosial pemerintah seringkali berfokus pada upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan kelompok rentan, meskipun implementasinya menghadapi banyak tantangan.
12.1. Pendidikan

Sistem pendidikan di Guinea terdiri dari beberapa jenjang:
- Pendidikan Dasar (enseignement élémentaireAnsènyemang ElementerBahasa Prancis): Berlangsung selama 6 tahun dan secara teori merupakan masa wajib belajar.
- Pendidikan Menengah Pertama (collègeKolèzhBahasa Prancis): Berlangsung selama 4 tahun.
- Pendidikan Menengah Atas (lycéeLiseBahasa Prancis): Berlangsung selama 3 tahun, mengarah ke ujian Baccalauréat.
- Pendidikan Tinggi: Mencakup universitas, institut, dan sekolah kejuruan. Universitas utama termasuk Universitas Conakry (sekarang Universitas Gamal Abdel Nasser Conakry) dan Universitas Kankan.
Bahasa pengantar utama dalam pendidikan formal adalah bahasa Prancis. Tingkat melek huruf di Guinea masih rendah, terutama di kalangan perempuan dan di daerah pedesaan. Pada tahun 2010, diperkirakan 41% orang dewasa melek huruf (52% laki-laki dan 30% perempuan). Pada tahun 1999, tingkat partisipasi sekolah dasar adalah 40%. Anak-anak, terutama perempuan, seringkali tidak bersekolah karena harus membantu orang tua dengan pekerjaan rumah tangga atau pertanian, atau karena perkawinan anak. Pada tahun 2015, Guinea memiliki salah satu tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia.
Kondisi lingkungan belajar dan kualitas pendidikan seringkali menjadi masalah, dengan kurangnya fasilitas yang memadai, buku pelajaran, guru yang berkualitas, dan kelas yang terlalu padat. Tantangan nasional terkait pendidikan meliputi peningkatan akses dan partisipasi (terutama untuk anak perempuan), peningkatan kualitas pengajaran, relevansi kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja, dan pendanaan yang memadai untuk sektor pendidikan. Upaya untuk meningkatkan sistem pendidikan terus dilakukan dengan bantuan mitra internasional, namun kemajuannya lambat.
12.2. Kesehatan
Sistem layanan kesehatan di Guinea menghadapi tantangan besar dan secara umum masih lemah. Akses terhadap layanan kesehatan berkualitas terbatas, terutama di daerah pedesaan.
- Fasilitas Medis dan Tenaga Medis: Distribusi fasilitas medis utama seperti rumah sakit dan klinik tidak merata, dengan konsentrasi di perkotaan. Daerah pedesaan seringkali kekurangan fasilitas dan tenaga medis yang terlatih. Jumlah dokter, perawat, dan bidan per kapita masih sangat rendah.
- Indikator Kesehatan: Harapan hidup di Guinea termasuk yang terendah di dunia. Angka kematian bayi dan angka kematian balita masih tinggi. Penyakit menular seperti malaria, penyakit pernapasan, dan penyakit diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas.
- Pendanaan Kesehatan: Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan relatif rendah, dan banyak penduduk harus membayar sendiri biaya pengobatan (out-of-pocket), yang menjadi beban berat bagi keluarga miskin.
Masalah kesehatan masyarakat utama meliputi kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak, gizi buruk, dan rendahnya kesadaran akan praktik kesehatan preventif. Upaya untuk memperkuat sistem kesehatan, meningkatkan infrastruktur, melatih lebih banyak tenaga medis, dan memastikan ketersediaan obat-obatan esensial terus dilakukan, seringkali dengan dukungan dari organisasi internasional.
12.2.1. Penyakit Utama dan Penanganannya
Guinea telah dan terus menghadapi beban penyakit menular yang signifikan:
- Ebola: Guinea menjadi pusat wabah Ebola tahun 2014-2016 di Afrika Barat, yang berdampak buruk pada sistem kesehatan dan ekonomi. Kasus pertama dilaporkan di desa Meliandou. Pemerintah, dengan bantuan komunitas internasional, melakukan upaya besar untuk mengendalikan wabah, termasuk pelarangan penjualan dan konsumsi daging kelelawar (yang dianggap sebagai pembawa virus), peningkatan pengawasan, isolasi pasien, dan kampanye kesadaran masyarakat. Ebola muncul kembali di Guinea pada Januari-Februari 2021, tetapi berhasil dikendalikan lebih cepat.
- HIV/AIDS: Diperkirakan 170.000 orang dewasa dan anak-anak terinfeksi pada akhir tahun 2004. Survei tahun 2001 dan 2002 menunjukkan tingkat HIV yang lebih tinggi di daerah perkotaan, terutama di Conakry (5%) dan kota-kota di wilayah Guinea Hutan (7%) yang berbatasan dengan Pantai Gading, Liberia, dan Sierra Leone. HIV menyebar terutama melalui hubungan seksual dengan banyak pasangan. Kelompok berisiko tinggi termasuk pekerja seks komersial (42%), personel militer aktif (6,6%), pengemudi truk dan taksi (7,3%), penambang (4,7%), dan orang dewasa dengan tuberkulosis (8,6%). Faktor-faktor yang mendorong epidemi HIV/AIDS di Guinea termasuk seks tanpa kondom, banyak pasangan seksual, buta huruf, kemiskinan endemik, perbatasan yang tidak stabil, migrasi pengungsi, kurangnya tanggung jawab sipil, dan layanan medis serta layanan publik yang langka. Upaya pencegahan dan pengobatan terus dilakukan, termasuk penyediaan terapi antiretroviral (ART).
- Malaria: Malaria bersifat endemik di seluruh Guinea dan ditularkan sepanjang tahun, dengan puncak penularan dari Juli hingga Oktober. Ini adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas, terutama pada anak-anak di bawah usia lima tahun dan wanita hamil. Upaya pengendalian meliputi distribusi kelambu berinsektisida, penyemprotan dalam ruangan, dan pengobatan dengan terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT).
- COVID-19: Kasus pertama COVID-19 dilaporkan di Guinea pada 13 Maret 2020. Pada akhir tahun 2020, jumlah total kasus yang dikonfirmasi adalah 13.722, dengan 81 kematian. Pemerintah menerapkan berbagai tindakan untuk mengendalikan penyebaran virus, termasuk pembatasan perjalanan, kampanye kesadaran, dan program vaksinasi.
- Penyakit lain yang umum termasuk tuberkulosis, demam tifoid, penyakit cacingan, dan penyakit tropis terabaikan lainnya.
12.2.2. Kesehatan Ibu dan Anak serta Gizi
Kesehatan ibu dan anak serta status gizi merupakan perhatian utama di Guinea:
- Angka Kematian Ibu (AKI): Meskipun telah ada penurunan, AKI di Guinea tetap tinggi. Pada tahun 2021, AKI diperkirakan sebesar 576 per 100.000 kelahiran hidup. Sebagai perbandingan, angka ini adalah 680 pada tahun 2010, 859,9 pada tahun 2008, dan 964,7 pada tahun 1990. Kurangnya akses terhadap layanan kebidanan darurat yang berkualitas, rendahnya persalinan yang ditolong tenaga medis terlatih, dan anemia merupakan faktor penyebab utama.
- Angka Kematian Bayi (AKB) dan Balita: AKB dan angka kematian balita juga masih tinggi. AKB per 1.000 kelahiran hidup adalah 146 (sumber lain mungkin berbeda, angka ini perlu diverifikasi dari sumber yang lebih baru jika tersedia). Kematian neonatal (kematian bayi dalam 28 hari pertama kehidupan) menyumbang sekitar 29% dari kematian balita.
- Sunat perempuan (FGM): Seperti disebutkan sebelumnya, praktik FGM sangat merusak kesehatan fisik dan psikologis perempuan dan anak perempuan, dan prevalensinya sangat tinggi di Guinea, menjadikannya masalah kesehatan masyarakat yang serius.
- Gizi Buruk Anak: Malnutrisi kronis (stunting) dan akut (wasting) pada anak-anak merupakan masalah yang signifikan. Sebuah studi tahun 2012 melaporkan tingkat malnutrisi antara 34% hingga 40% berdasarkan wilayah, dan tingkat malnutrisi akut di atas 10% di zona pertambangan Guinea Hulu. Studi tersebut menunjukkan 139.200 anak mengalami malnutrisi akut, 609.696 mengalami malnutrisi kronis, dan 1.592.892 menderita anemia. Degradasi praktik perawatan, terbatasnya akses ke layanan medis, praktik kebersihan yang tidak memadai, dan kurangnya keragaman pangan disebut sebagai penyebab tingkat ini.
- Jumlah bidan per 1.000 kelahiran hidup adalah 1, dan risiko kematian seumur hidup bagi wanita hamil adalah 1 banding 26. Upaya untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak meliputi promosi perawatan antenatal, persalinan yang aman, perawatan pascanatal, imunisasi, program gizi, dan peningkatan akses terhadap layanan keluarga berencana.
12.3. Keamanan Publik
Situasi keamanan publik di Guinea secara umum bervariasi dan dapat menjadi tantangan. Kejahatan jalanan seperti perampokan, penjambretan, dan pencurian umum terjadi, terutama di daerah perkotaan seperti Conakry dan di malam hari. Kejahatan yang lebih serius seperti perampokan bersenjata dan pembunuhan juga dilaporkan.
Kondisi kepolisian dan sistem peradilan pidana seringkali lemah, dengan sumber daya yang terbatas dan masalah korupsi yang dapat menghambat penegakan hukum yang efektif. Kepercayaan masyarakat terhadap polisi mungkin rendah.
Bagi wisatawan dan penduduk asing, disarankan untuk mengambil tindakan pencegahan keamanan standar, seperti menghindari berjalan sendirian di malam hari, tidak memamerkan barang berharga, dan waspada terhadap lingkungan sekitar. Ketidakstabilan politik, seperti demonstrasi atau kerusuhan, dapat meningkatkan risiko keamanan. Daerah perbatasan tertentu mungkin memiliki risiko keamanan yang lebih tinggi karena potensi aktivitas kriminal lintas batas atau spillover dari konflik di negara tetangga. Kementerian Luar Negeri berbagai negara sering mengeluarkan travel advisory untuk Guinea, yang sebaiknya diperiksa sebelum bepergian.
Pemerintah berupaya untuk meningkatkan keamanan publik, tetapi tantangan terkait kemiskinan, pengangguran, dan tata kelola yang lemah berkontribusi pada masalah kejahatan.
13. Budaya

Budaya Guinea kaya dan beragam, mencerminkan perpaduan tradisi dari berbagai kelompok etnis yang mendiami negara ini, serta pengaruh Islam dan warisan kolonial Prancis. Ada harmoni antara budaya tradisional dan modern, meskipun tradisi masih memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari banyak orang Guinea. Bentuk seni yang unik dari berbagai kelompok etnis, gaya hidup, sistem nilai, dan budaya secara keseluruhan mencerminkan identitas Guinea yang khas.
13.1. Musik dan Seni Pertunjukan
Guinea memiliki tradisi musik yang sangat kaya dan diakui secara internasional. Musik tradisional menggunakan berbagai alat musik, di antaranya yang paling terkenal adalah:
- Djembe: Gendang tangan berbentuk piala yang berasal dari Afrika Barat, dan Guinea dianggap sebagai salah satu pusat perkembangannya. Mamady Keïta adalah salah satu pemain djembe Guinea yang paling terkenal di dunia.
- Kora: Alat musik dawai sejenis harpa-lute dengan 21 senar, dimainkan oleh para griot (penyanyi dan penutur sejarah lisan) dari suku Mandinka.
- Balafon: Sejenis xilofon kayu.
- Koni (Ngoni): Sejenis lute berdawai empat.
Musik populer kontemporer Guinea juga berkembang pesat, seringkali memadukan ritme tradisional dengan pengaruh modern seperti jazz, funk, dan reggae. Beberapa musisi Guinea yang terkenal secara internasional termasuk Mory Kanté, Sékouba Bambino Diabaté, dan grup Bembeya Jazz National.
Tarian tradisional dan seni pertunjukan juga merupakan bagian penting dari budaya Guinea. Setiap kelompok etnis memiliki tarian dan ritual khasnya sendiri yang ditampilkan pada acara-acara perayaan, upacara adat, dan festival. Les Ballets Africains adalah ansambel tari dan musik nasional Guinea yang telah melakukan tur keliling dunia dan mendapatkan pengakuan atas pertunjukannya yang dinamis dan penuh warna, yang menampilkan kekayaan budaya Guinea.
13.2. Kuliner

Makanan tradisional Guinea umumnya menggunakan nasi sebagai makanan pokok, yang sering disajikan dengan berbagai macam saus atau rebusan yang terbuat dari daging (sapi, kambing, ayam), ikan, atau sayuran. Singkong juga merupakan bahan makanan penting. Beberapa hidangan dan bahan makanan utama meliputi:
- Nasi dan Saus: Saus yang populer termasuk saus kacang tanah (sauce d'arachideSos DarasidBahasa Prancis atau maafe), saus daun singkong (sauce feuilles de maniocSos Fey de ManyokBahasa Prancis), saus okra, dan saus tomat.
- Yétissé: Hidangan populer.
- Fonio: Sejenis sereal biji-bijian kecil yang bergizi dan tahan kekeringan, penting di beberapa daerah.
- Tapalapa: Jenis roti lokal.
- Buah-buahan tropis seperti mangga, pisang, nanas, dan jeruk banyak tersedia.
Minuman khas termasuk jus jahe (jus de gingembreZhu de ZhinzhămberBahasa Prancis), jus bissap (dari bunga kembang sepatu), dan minuman fermentasi lokal. Etiket makan tradisional sering melibatkan makan bersama dari satu piring besar menggunakan tangan (biasanya tangan kanan). Makanan seringkali dimakan di luar rumah dalam suasana komunal.
13.3. Olahraga
Sepak bola adalah olahraga paling populer di Guinea, seperti di banyak negara Afrika lainnya. Tim nasional sepak bola Guinea, yang dijuluki Syli Nationale (Gajah Nasional), telah berpartisipasi dalam berbagai kompetisi Piala Negara-Negara Afrika, dengan pencapaian terbaik sebagai runner-up pada tahun 1976. Liga domestik utama adalah Kejuaraan Nasional Guinea. Beberapa pemain sepak bola Guinea telah bermain di klub-klub Eropa terkemuka, seperti Naby Keïta dan Amadou Diawara. Horoya AC, Hafia FC, dan AS Kaloum Star adalah klub-klub sepak bola paling sukses di Guinea, semuanya berbasis di Conakry. Hafia FC memenangkan Piala Champions Klub Afrika (sekarang Liga Champions CAF) tiga kali pada tahun 1970-an.
Bola basket juga populer, terutama di kalangan pemuda perkotaan. Cabang olahraga lain seperti atletik dan gulat tradisional juga memiliki pengikut. Guinea telah berpartisipasi dalam Olimpiade Musim Panas sejak 1968, meskipun belum pernah memenangkan medali.
13.4. Pernikahan dan Poligami
Adat dan prosedur pernikahan tradisional di Guinea bervariasi antar kelompok etnis, tetapi umumnya melibatkan peran keluarga besar, mas kawin, dan serangkaian upacara. Pernikahan seringkali dianggap sebagai penyatuan dua keluarga, bukan hanya dua individu.
Poligami, khususnya poligini (seorang pria memiliki lebih dari satu istri), secara hukum dan sosial diterima sebagian di Guinea, terutama di kalangan Muslim yang merupakan mayoritas populasi. Undang-undang perdata Guinea secara umum melarang poligami, tetapi ada pengecualian dan dalam praktiknya, poligami masih umum terjadi. Diperkirakan pada tahun 2020 sekitar 26% pernikahan bersifat poligami (29% di kalangan Muslim dan 10% di kalangan Kristen). Persepsi masyarakat terhadap poligami beragam, dan ada diskusi yang sedang berlangsung mengenai dampaknya terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak, serta kesejahteraan keluarga. UNICEF melaporkan bahwa 53,4% wanita Guinea berusia 15-49 tahun berada dalam pernikahan poligami.
13.5. Media Massa
Media massa di Guinea terdiri dari surat kabar, stasiun radio, stasiun televisi, dan media daring.
- Surat Kabar: Terdapat beberapa surat kabar swasta dan milik negara, meskipun sirkulasinya terbatas, terutama di luar Conakry.
- Penyiaran (Radio dan TV): Radio adalah media yang paling mudah diakses oleh sebagian besar penduduk, dengan banyak stasiun radio swasta dan komunitas selain radio milik negara. Televisi juga ada, dengan stasiun milik negara dan beberapa saluran swasta.
- Media Daring: Penggunaan internet dan media sosial meningkat, terutama di kalangan pemuda perkotaan, menyediakan platform alternatif untuk berita dan diskusi.
Tingkat kebebasan pers di Guinea mengalami pasang surut. Meskipun ada jaminan konstitusional untuk kebebasan berekspresi, jurnalis sering menghadapi tantangan seperti intimidasi, penangkapan, dan pembatasan dari pihak berwenang, terutama ketika melaporkan isu-isu politik yang sensitif atau kritik terhadap pemerintah. Kebijakan media pemerintah dan pengaruh sosial media terus berkembang seiring dengan perubahan politik dan teknologi.
13.6. Situs Warisan Dunia
Guinea memiliki satu situs yang terdaftar dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO:
- Cagar Alam Ketat Gunung Nimba: Situs ini terletak di perbatasan antara Guinea, Pantai Gading, dan Liberia. Bagian Guinea dan Pantai Gading dari situs ini ditetapkan sebagai Warisan Dunia pada tahun 1981 (Guinea) dan 1982 (Pantai Gading) karena keanekaragaman hayatinya yang luar biasa, termasuk banyak spesies flora dan fauna endemik. Gunung Nimba merupakan "pulau" pegunungan yang terisolasi dengan ekosistem yang unik. Upaya pelestarian situs ini menghadapi tantangan dari potensi penambangan bijih besi di sekitarnya dan tekanan dari aktivitas manusia.
13.7. Hari Libur Nasional
Hari libur nasional utama di Guinea meliputi:
- Hari Kemerdekaan: 2 Oktober (merayakan kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1958).
- Hari Buruh: 1 Mei.
- Hari Perempuan Internasional: 8 Maret.
- Hari Angkatan Bersenjata: 1 November.
Hari libur keagamaan yang penting juga dirayakan secara nasional, terutama yang terkait dengan Islam (yang merupakan agama mayoritas) dan Kristen:
- Idul Fitri (عيد الفطرIdul FitriBahasa Arab): Menandai akhir bulan Ramadan.
- Idul Adha (عيد الأضحىIdul AdhaBahasa Arab): Festival Kurban.
- Maulid Nabi (المولد النبويMaulid NabiBahasa Arab): Hari kelahiran Nabi Muhammad.
- Natal (25 Desember).
- Paskah (tanggal bervariasi).
Tanggal pasti untuk hari libur Islam ditentukan berdasarkan kalender lunar Islam. Selain itu, mungkin ada hari libur lain yang memiliki makna budaya atau regional tertentu.